Share

Something Happened To Freya
Something Happened To Freya
Penulis: Dawn

Departure

Jepang, 10 Oktober 2002.

Bandara Narita.

"Raya, earth to, Raya."

            Raya berkedip cepat ketika udara dingin yang tercipta dari kibasan cepat sebuah tangan besar tepat di hadapan mukanya menghempas lembut kulitnya. Gadis itu mendongak dan mendapatkan sepasang mata coklat hangat milik seorang lelaki yang menatapnya dengan senyum jahil.

         "Maaf, tapi kau terlihat jelek sekali kalau melamun, jadi- aduh!" kalimat lelaki itu terpotong dan diganti dengan kekeh pelan ketika Raya mendaratkan tinju ke lengannya.

"Cut it, Jiro." gumam Raya seraya merekatkan syal di lehernya. sial, bulan Oktober di Jepang selalu saja terlalu dingin, dan Raya tidak pernah terbiasa meski sudah 10 tahun melaluinya, "harusnya kau pergi kerja hari ini."

"Dan membiarkan pacarku yang linglung ini pergi ke Bandara sendirian? No way."

Perkataan Kekasihnya itu membuat Raya tersenyum – entah itu karena aksen kaku Bahasa Indonesia-nya yang masih tercampur Jepang  kental atau dari ketegasannya yang selalu membuat Raya nyaman. Senyum gadis itu semakin merekah ketika Jiro mengisyaratkan dirinya untuk bersandar di bahunya yang lebar, bahu favorit Raya nomor dua setelah milik ayahnya. Ia bersandar dan membiarkan sebelah tangan Jiro merangkulnya sementara matanya menyapu bandara yang sibuk dan berisik itu.

Raya ingat ketika pertama kali ia menginjakkan kaki di bandara ini sepuluh tahun lalu. Senyumnya perlahan memudar ketika ia perasaannya menyatu dengan dirinya yang berusia sebelas tahun, dengan mata sembab dan tangannya dengan erat menggenggam jari ayahnya ketika mereka melangkah diantara lautan orang asing, di negara asing.

Udara saat itu memang lebih hangat, tapi tidak membuat lubang besar dalam hatinya merasa lebih baik. Berpisah dengan Freya dan ibunya tidak pernah ada dalam rencana hidupnya. Ya Tuhan, ia bahkan tidak pernah memikirkannya sedikitpun.

"Hidup selalu punya kejutan kan, Raya?" ujar Freya pelan, ketika mereka berdiri menghadap deretan pesawat dari Jendela besar di Bandara Soekarno Hatta. Saat itu sore hari, matahari perlahan turun dan menyoretkan warna jingga kemerahan di langit - waktu yang paling digemarinya. "wah, aku penasaran seperti apa pemandangan ini akan terlihat dari dalam pesawat. Kamu beruntung karena nanti bisa menyaksikannya!" Freya tersenyum lebar, memamerkan rentetan giginya yang tidak rapi yang selalu berhasil membuat ibu mereka jengkel. Raya pun, tapi mengingat kalau mungkin ia tak akan bisa melihat senyum itu lagi... ia tidak membalas senyuman saudarinya dan membuang muka. 

"Kirimi aku surat." Freya bersuara setelah keheningan beberapa menit.

"Kau tidak suka membaca."

"Aku suka!"

"Buku Edgar Allan Poe yang kuberikan sebagai hadiah ulang tahun setahun lalu sampai kemarin masih terbungkus rapi."

Freya mendegus dan tanpa melihatnya pun Raya tau kalau kakak kembarnya itu memutar bola matanya, kebiasaan ketika ia merasa sebal dan itu saja cukup membuat Raya kecil sedikit tersenyum.

“Mana ada anak 11 tahun yang normal yang membaca buku semacam itu.”

Mendengarnya, Raya memutar kepalanya dan seakan menantang Freya, ia berkata, “ada, aku. Kau lupa, sejak kapan aku normal?”

Freya mengerjap, bulu matanya yang lebat membuat ilusi seakan matanya yang kecil menjadi lebih besar. Ia nampak terkejut namun senyumnya kini merekah lagi, senyum tulus kali ini. “Lihat, kalau kau bisa berkata seperti itu padaku, kau bisa melawan siapapun, Raya. Sepertinya aku tidak perlu khawatir lagi kalau ada yang mengganggumu disana.”

Belum sempat Raya menjawab, Freya sudah meletakkan sebelah tangannya diatas kepala Raya – biasanya ia melakukan itu untuk mengejek kenyataan bahwa adiknya lebih pendek beberapa senti, tapi kali ini berbeda. Alih-alih ejekan, ia mengusap lembut rambut hitam Raya. Mulutnya terkatup rapat, dan baru kali ini Raya menyaksikan raut tak biasa di wajah kakaknya. Apa dia sedih?

   “Jangan menangis” Ujar Raya dengan nada tegasnya yang familiar seperti saat Raya memangis karena terjatuh, ketika diganggu anak nakal dikelas, dimarahi Ibu, ditinggal Ayah pergi bekerja atau ketika ia bermimpi buruk. “Pokoknya jangan menangis apapun yang terjadi selama aku tidak bersamamu.”

Tapi tentu saja, Raya tetaplah Raya. Meski sudah berjanji untuk tidak menangis, tepat saat kakinya melewati pintu keberangkatan, air matanya sudah mengalir deras tanpa bisa ditahan. Ketika ia berbalik, ia melihat Freya berdiri bersama ibunya, tanpa suara mengucapkan satu kata andalannya, “bodoh.” Sebelum akhirnya sang Ayah meraih tangan Raya dan menggandengnya pergi.

Satu hal yang selalu dikagumi Raya mengenai Freya selain betapa berani dirinya melawan siapapun yang mengganggunya, adalah dia tak pernah ingkar janji. Surat-surat terus berdatangan beberapa hari setelah Raya sampai di Jepang, dan itu tidak pernah berhenti selama sepuluh tahun mereka tinggal terpisah. Mereka tumbuh bersama melalui surat. Mengenal teman-teman sampai pacar Freya yang selalu berganti hampir tiap bulan, tak pernah sekalipun melewatkan ulang tahun satu sama lain. Surat-surat dari Freya yang selalu menemani harinya di Jepang setelah Jiro, anak tetangga yang tak pernah bisa diam dan selalu menggodanya.

Ia tak sabar untuk memberitahu Freya mengenai Makoto, sang drama Queen dari kelas sastra yang selalu membuat masalah, ketika surat-surat dari Freya sudah berhenti datang. Tak ada balasan dari surat terakhirnya, bahkan tidak dari sang Ibu sejak sebulan lalu. Sangat bukan Freya untuk begitu saja menghentikan hal rutin yang menjadi favorit mereka berdua selama sepuluh tahun. Freya tak pernah ingkar janji, Freya tak akan pernah meninggalkannya apapun yang terjadi. Bukan Raya saja yang merasa janggal, namun Ayahnya merasa hal yang sama…

Something happened to Freya.

Raya tersadar dari lamunannya ketika tubuh Jiro bergerak lembut, dan pria itu mengulangi perkataan wanita yang mengumumkan bahwa waktu penerbangannya ke Jakarta sudah tiba.  Beberapa orang diruang tunggu itu bangkit dan mulai menarik koper mereka menuju pintu keberangkatan. Jiro mendahuluinya berdiri dan menarik pegangan koper Raya, “This is it, this is the time.”

“Aaaah.” Raya meregangkan tangannya sebelum berdiri meraih pegangan koper, “ayahku akan menjemputku di bandara nanti, semoga saja tidak terlambat.”

“Oh, iya. Tolong sampaikan salamku, ya.”

Raya menggeram, “aku benar-benar benci perpisahan, Jiro.”

“Kau benar-benar tidak mau pisah denganku meski cuma sebulan ya?”

Mendengar lelucon Jiro, Raya memutar mata dan alih-alih memberi pukulan lain di lengan kekasihnya, Raya berjinjit dan mendaratkan satu kecupan di pipi tirus Jiro – membuat si pemuda tersenyum dan memeluknya dengan erat.

“Aku akan ke Jakarta dan menyeretmu kembali kesini kalau kau tidak kembali semester depan."

Raya terkekeh untuk pertama kalinya hari itu. Pelukan dan keberadaan Jiro cukup untuk membuatnya nyaman dan bahagia, seperti biasa. “Ya, susul aku dan kita lihat apa kau bisa bertahan dengan udara panas Jakarta.”

Jiro melepaskan pelukannya setelah beberapa lama dan dengan senyuman masih terpampang di wajahnya, ia menepuk pipi Raya, “find Freya and come back safely, Raya. Promise me, you’ll come back.

I promise.” Dan dengan itu, Raya melangkah pergi. Dalam setiap langkahnya, Raya dapat membayangkan wajah Freya ketika melihatnya nanti, mungkin ia akan bersembunyi dibalik pintu dan mengagetkannya. Kalau memang sampai itu yang terjadi, ya Tuhan, ia berjanji dalam hati untuk tidak akan membuang waktu dan mencekik saudari kembarnya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status