Share

It's odd, isn't it?

Jakarta, 29 Oktober 2002.

            Freya sudah meninggal, Raya… tubuhnya ditemukan disini sebulan lalu.

Yang terjadi setelah mendengar perkataan Ayahnya saat itu hanyalah gelap dan suara isakan keras yang memenuhi ruangan, entah datang darimana. Mimpi-mimpi buruk yang sering ia alami belum pernah terasa sangat nyata seperti ini, bahkan mimpinya yang terakhir. Ia tidak merasakan apa-apa ketika tubuhnya terpelanting ke tanah, namun sekarang seperti ada tangan tak nyata yang mencengkram hatinya lalu menariknya kebawah tanpa peringatan. Tubuhnya gemetar hebat dan terasa sakit, namun ketika menyadari bahwa sakit itu berasal dari pelukan ibunya yang mencegahnya terjatuh ke lantai, Raya sadar bahwa isakan keras itu berasal dari dirinya sendiri.      Raya mengepal tangannya, mencoba menahan rasa sakit di kepala dan sekujur tubuhnya dan saat itulah ia menyadari dirinya masih memegang selembar koran yang diberi Ayahnya pada hari itu. Matanya perlahan terbuka dan untuk kesejuta kalinya, ia kembali menatap foto Freya di kertas yang sudah hampir menguning itu. Kakaknya tersenyum kepadanya – senyum jenaka yang memperlihatkan giginya yang tidak rata – sepertinya diambil belum lama ini, karena rambut sebahunya yang ia banggakan di beberapa surat terakhirnya.

             MAHASISWI UNIVERSITAS TERNAMA DITEMUKAN TEWAS   DI KEDIAMANNYA

            Freya sudah tiada

            Freya dibunuh

            Luka tembak dikepala

            Tubuhnya ditemukan berlumuran darah

            Pintu berderit terbuka perlahan dan ibunya masuk sambil tersenyum simpul. Geez, Raya masih belum terbiasa dengan sosok ibunya yang jelas makin menua seperti ini. Rambut kebanggaannya yang dulu hitam lebat kini mulai sedikit memutih dan disanggul berantakan. Tubuhnya jelas kehilangan beberapa kilogram, pipinya tirus membuat tulang pipinya – yang disapu blush on - makin menonjol. Ia memakai pakaian terbaiknya dan Raya merasa tidak berhak untuk menghakiminya, Biar bagaimanapun, kematian Freya juga pasti berat untuk Ibunya. Tapi tetap saja…

            “Hey, sarapan sudah siap…” ujarnya halus, seakan Raya masih tidur dan tidak ingin membangunkannya, “ibu pikir... mungkin hari ini kamu mau makan bersama didepan?”

            “Tidak, terimakasih.” Jawab Raya cepat, ia bangkit dari kasurnya dan menggeram pelan ketika merasa kepalanya berputar. Sial, sepertinya dia tertidur terlalu lama.

            “Raya-“

            “Tidak bu, terimakasih.” Potong Raya lagi dan kali ia tidak menyembunyikan rasa jengkelnya, “nanti aku ambil sendiri dan makan disini, seperti biasa.”

            “Nak, sudah seminggu kau mengurung diri disini, dan-“

            “Ya, dan sudah sebulan lebih Freya meninggal tapi tidak ada seorang pun yang memberitahuku.”

            Ibunya membisu. Raya memandangnya dengan lekat nyaris tak berkedip. Gemuruh amarah didalam dirinya begitu kuat dan gadis itu tak punya rencana untuk menahannya – tidak kali ini.  

            Suaranya sedikit bergetar ketika ia melanjutkan, “aku tidak punya hak untuk melarangmu berpisah dari Ayah sepuluh tahun lalu. Aku menuruti semua keinginanmu  untuk pergi dari Indonesia, tidak menuntut sedikitpun kasih sayang dari Ibu walaupun aku sangat membutuhkannya saat itu karena aku tahu Ibu tidak butuh anak seperti aku.”

             “Raya--“

            “Tapi Freya butuh aku, bu.” Sela Raya tegas, sama sekali tanpa simpati. “Kami butuh satu sama lain dan cuma itu yang kami inginkan, tapi bahkan hal semudah itu pun tidak bisa Ibu berikan.”

            Raya melihat mata Ibunya membelalak. Alih-alih amarah, yang terpancar dari mata coklatnya adalah air mata yang perlahan menetes, Bohong kalau Raya tidak terkejut dengan reaksi sang Ibu, Seumur hidupnya ia selalu melihat ibunya menjadi sosok yang tangguh, tidak mudah menyerah terutama ketika ia merasa benar. Sang Ibu yang mendidik anaknya dengan keras sekeras ia bekerja siang malam membangun toko kue impiannya. Sang istri yang selalu membantah perkataan suaminya meskipun ia salah. Sudah berapa kali ia menghadapi amarah ibunya dulu, namun baru kali ini ia melihat ibunya membisu dihadapannya. Tapi bahkan itupun tak bisa menghapus rasa marah dan benci dalam diri Raya. Maka ia bangkit dari kasurnya dan berjalan melewati sang Ibu, meninggalkannya sendiri di kamar.

                                                                        ***

Arashiyama, 29 Oktober 2002.

           

             “JIRO, awas! Kameramu.”

            Secepat kilat, Jiro menurukan kameranya dan berhadapan langsung dengan seekor nihonzaru – kera Jepang – yang beberapa detik lalu nyaris merebut kameranya atau lebih parah, melukainya jika saja ia tidak dengan sigap bertindak. Jiro berdecak, memberi sinyal pada kera itu untuk pergi yang langsung diturutinya.

            “Bukannya… hhh… kera-kera disini harusnya… hhh… sudah jinak?”

            “Mereka jinak, kok. Tapi bahkan kera pun tahu kamera bagus.” Jawab Jiro santai, bibirnya membentuk seringai jahil sambil memandang temannya yang terengah-engah menghampirinya, “hey, apa benar kau ini Shiori sang atlet yang kukenal sejak SD? Usia ternyata tidak bisa berbohong, ya- aduh!”

            Kali ini pemuda itu terkekeh ketika Shiori mendaratkan tendangan tepat di kakinya. Gadis itu menegak isi botol air minumnya banyak-banyak sebelum melanjutkan, “aku baru 20 tahun dan barangkali kau tidak sadar, kita sudah berjalan tiga jam. Bahkan anggota militer pun tidak sanggup menemanimu berjalan-jalan.”

            Masih sambil tersenyum, Jiro mengalungkan lengannya di bahu sahabatnya itu dan menariknya mendekat. “Karena itulah Tuhan mengirimkan Nakazawa Shiori sebagai sahabatku, bukan yang lain. Kau lebih kuat dari militer manapun.”

            Shiori memutar matanya, berusaha terlihat jengkel tapi ia tidak mampu menyembunyikan senyumnya. Bukan Jiro namanya kalau tidak tahu cara meredakan emosi orang lain dengan cepat!

            “Kau sudah mendapatkan semua foto yang kau butuhkan?” Tanya Shiori. Jiro memberinya anggukan sebagai jawaban dan memberikan kameranya pada gadis itu. Mereka berjalan dalam hening – Shiori sibuk mengamati tiap foto yang Jiro ambil sementara pemuda itu sibuk mengedarkan pandangannya.

            Klub Jurnal di kampus membutuhkan artikel mengenai destinasi favorit selama musim gugur dan Jiro tanpa pikir panjang mengajukan diri untuk menulis artikel tersebut, dan destinasi utamanya adalah Arashiyama. Di musim gugur seperti sekarang, Arashiyama seperti berubah menjadi lautan oranye. Daun maple yang berguguran menutupi hampir keseluruhan aspal. Tempat ini selalu ramai, orang-orang berlalu lalang dan banyak kios makanan di tepi jalan yang memenuhi udara dengan uap hangat dan harum makanan. Ketika berjalan sedikit lebih jauh, kau akan sampai di Hutan Bambu Arashiyama yang entah bagaimana, meskipun padat dengan para turis dan pengunjung lokal, hanya berjalan disana bisa memberikan ketenangan. Namun yang paling menarik hati Jiro adalah Arashiyama Monkey Park – tempat mereka berada sekarang. Perjalanan kesana tidak mudah, mereka perlu menanjak sekitar 20 menit – yang selalu dikeluhkan Shiori tiap lima langkah – sebelum akhirnya mereka sampai di tempat berkumpulnya para nihonzaru.

            “Hey, Jiro.”

            “Hmm?”

            “Foto-foto yang kau ambil bagus semua, aku jadi bingung pilih yang mana untuk ditulis nanti… Hutan bambu ini menarik, tapi terlalu hijau sedangkan musim gugur harus berwarna oranye. Tapi boleh aku jujur?”

            “Shoot.

            “Monkey Park ini… aku tidak tahu kenapa kau memilih tempat ini, isinya Cuma… monyet.”

            “Kalau gajah, namanya Elephant park.” Kali ini giliran Jiro yang memutar mata sebelum melepaskan rangkulannya dari Shiori dan berjalan lebih dulu dari gadis itu. “Monyet tidak terlalu mengganggu, kok. Flash news Shiori, banyak orang menyukai monyet, tidak sepertimu.”

            “Yeah, duh. Semoga siapapun yang datang kemari menjaga kamera mereka dengan baik.”

            Jiro tertawa keras, dan ia yakin beberapa orang menoleh kearah mereka sekilas. Shiori tak pernah gagal menghiburnya apalagi ketika gadis itu sedang jengkel. “Kalau memang kau tidak suka tempat ini, kenapa masih bersikeras menemaniku mencari bahan untuk artikel? Kau tidak perlu melakukan itu, kau tahu?”

            Shiori tidak langsung menjawab. Jiro membalik badan dan berjalan mundur perlahan, kedua tangan didalam saku celana dan ia mengawasi sahabatnya berjalan kearahnya. Jiro mengangkat alis, menunggu jawaban.

            “Karena aku mau.” Jawab Shiori cepat seraya mengangkat bahu, “dan aku tahau kau tidak mungkin menolakku. Lagipula aku tahu cara mengambil foto lebih baik darimu.”

            “Hanya itu?”

            “Jawaban apa lagi yang ingin kau dengar?”

            Shiori mengalungkan kamera ke lehernya dan mengikat rambut panjangnya yang berantakan tertempa angin. Pipinya bersemu merah, entah karena hempasan angin dingin atau hal lain, yang jelas ia menolak untuk menatap Jiro selama beberapa saat. Untuk seorang gadis bertubuh mungil, tekad Shiori terlalu besar dan kuat. Ia pandai melakukan apapun selain menyembunyikan perasaan sebenarnya, atau mungkin karena Jiro sudah mengenalnya hampir seumur hidup jadi tanpa konfirmasi lisan pun, ia mengerti apa yang sahabatnya itu pikirkan.

            “Kau tidak perlu khawatir soal aku, Shiori.”  Kalimat itu diucapkan Jiro dengan pelan namun tegas. Hilangnya senyum Jiro menyadarkan Shiori bahwa lelaki itu tidak ingin dibantah. “Aku tidak akan terjun dari tebing atau apapun hanya karena seorang gadis yang tidak membalas e-mailku.”

            “Gadis itu Raya dan dia pacarmu selama lima tahun.” Balas Shiori seakan Jiro lupa.

            “Aku tetap tidak akan melompat atau apapun?”

            “Aku tahu, demi Tuhan!” Shiori menghela napas keras, dan kali ini ia mendongak memandang Jiro, “aku justru khawatir karena kau tidak melakukan apa yang harusnya kau lakukan.”

            Jiro menelengkan kepala ke satu sisi, wajahnya penuh tanda tanya.

            “Kau menutup dirimu terlalu rapat akhir-akhir ini, Jiro. Aku mengerti kalau kau tidak ingin memperlihatkan kesedihanmu atau apapun… yang meresahkan. Aku cuma mau kau tahu kalau perasaanmu itu nyata dan wajar. Siapapun yang berada diposisimu akan merasakan hal yang sama dan kalau kau tidak ingin menunjukkan itu padaku atau orang sekitar, setidaknya Raya perlu tahu. Dia berhak untuk tahu.”

            Jiro menggeleng dan mendekap lengan didadanya – sikap defensif yang menyiratkan bahwa ia tidak ingin pikirannya diubah, “aku sudah berjanji untuk tidak mencampuri urusan keluargamya, Shiori.”

            “Apa yang kau lakukan tidak ada hubungan dengan keluarganya.”

            “Ada. Raya pulang karena ingin tahu apa yang terjadi pada Freya dan aku tidak bisa… tiba-tiba muncul dihadapannya karena pesanku tidak dibalas atau-“

            “Freya menghilang selama sebulan dan Raya pergi untuk menjemputnya kembali ke kehidupannya.” Jelas Shiori pelan dan lambat, “sekarang tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada mereka, apa mereka akan kembali… atau tidak. Kau butuh waktu berapa lama lagi sampai kehilangan Raya?”

            Kehilangan Raya? Kalau ada hal yang paling tidak Jiro inginkan adalah hal itu Raya tidak berada di kehidupannya. Walaupun sekarang rasanya sudah seperti itu. Semenjak kepergiannya ke Jakarta dua minggu lalu, tak ada satupun kabar yang ia dapat dari kekasihnya itu. Jiro bukan tipe merajuk, ia juga tahu kalau Raya pergi karena hal yang mendesak. Freya menghilang, dan kini Raya seakan mengikuti jejak kakaknya. Sesuatu terjadi pada Freya, dan mungkin saat ini terjadi pada Raya.

            Ya Tuhan, ia harus apa?

           

                                                                        ***

Jakarta, 1 November 2002.

            Raya bukan anak yang kejam, tapi hari-hari terasa lebih baik ketika ibunya pamit pergi keluar, meinggalkannya sendirian di ruko mungil itu. Finally! Jam menunjukkan pukul delapan malam ketika Raya selesai beraktivitas - makan dan membersihkan diri. Ia duduk diruang keluarga, dengan segelas the hangat di meja dan TV yang menyala menyala namun perhatiannya hanya tertuju pada lembaran koran yang selalu berada digenggamannya. Jutaan kali rasanya ia membaca koran itu sampai hapal isinya. Ia memejamkan mata dan mulai menggumam:

            “Seorang mahasiswi berinisal FG (21) ditemukan tewas dengan luka tembak di kepala. Lelaki yang diduga kekasihnya berada di TKP dan saat ini sudah diamankan di polres Ja-“ Raya membuka matanya dan terdiam.

            Apa tadi?

            Raya membaca ulang kalimat yang terputus tadi, dan setelah berhari-hari ia baru menyadari satu kenyataan: Freya tidak sendirian saat berada disini… ada seseorang bersamanya saat itu – kekasihnya! Tapi… bagaimana dia baru menyadari hal itu sekarang? Kalau kekasihnya ada bersamanya saat itu, berarti ada saksi atau mungkin… lelaki itu sendiri pelakunya! Kenapa tidak ada yang memberitahunya soal ini? Oh iya, tentu saja, semua yang terjadi pada Freya adalah rahasia orangtuanya.

            Untuk pertama kalinya sejak ia kembali ke Jakarta, Raya merasa dirinya dipenuhi harapan. Ada kemungkinan dia bisa menemukan siapa yang membunuh kakaknya. Tanpa membuang waktu, ia berlari ke pantry, menuju sebuah keranjang anyaman tempat ibunya biasa menyimpan koran setiap hari. Kalau polisi menemukan orang yang berpotensi menjadi tersangka dalam kasus kakaknya, tiap tindakan pasti akan dikabarkan oleh media. Raya meraih tumpukan koran dan mulai mencari koran bulan Agustus, tepatnya setelah 28 Agustus 2002 – hari kematian Freya.

            Tumpukan pertama: nihil – koran edisi Juni

            Tumpukan kedua: nihil – koran edisi Juli

            Hal yang sama terjadi pada tumpukan ketiga, keempat dan seterusnya. Ia tidak dapat menemukan koran setelah tanggal 28 Agustus seakan-akan ibunya berhenti menyimpan koran setelah kejadian itu. Oke, mungkin Ibunya tidak ingin terus mengingat apa yang terjadi pada anaknya. Wajar. Raya menggeram, itu berarti dia menemukan jalan buntu. Atau tidak – Ia bisa ke kantor polisi sekarang dan menanyakan soal kasus ini, kan? Tapi tidak mungkin malam ini…

            KRIIIING KRIIIING

            Tubuh Raya otomatis terlonjak ketika suara nyaring telepon rumah memecah kesunyian. “Sebentar!” teriaknya seakan telepon itu akan mendengar. Ia bergerak begitu cepat hingga kakinya menghantam lemari kecil disisinya, sukses menjatuhkan beberapa barang ke lantai. Raya baru akan berlari mengangkat telepon ketika matanya terpaku pada satu barang yang tergeletak di lantai – foto dengan frame biru muda dimana terlihat Freya berpose sambil menggendong kucing abu-abu gemuk bermata biru.

            Toro!

            Ya, ia mengenal kucing itu dari surat beserta foto-foto yang dikirim Freya padanya berbulan-bulan lalu. Toro, kucing peliharaan Freya. Ia tersenyum ketika mengingat satu foto dimana Toro tertidur di sofa ruang TV padahal Freya sudah membelikan tempat tidur bermotif pelangi untuknya yang diletakkan tepat di samping sofa itu.

            Senyum Raya perlahan memudar ketika ia mulai sadar akan satu kenyataan janggal: ia tidak melihat Toro sekalipun sejak kedatangannya ke rumah ini. Ia kembali ke ruang TV tempat dimana harusnya alas tidur Toro berada, namun ia juga tidak menemukannya disana. Tak ada aroma khusus rumah yang memelihara kucing, tidak ada mangkok makanan, tidak ada mainan… tidak ada apapun. Dimana Toro?

            BEEP.

            Perhatiannya terpecah lagi ketika bunyi dering telepon berganti dengan penerima pesan otomatis. Beberapa detik kemudian suara Ayahnya terdengar dari telepon.

            “Maria, kau disana?” ujarnya, “aku mencoba menghubungi ponselmu tapi tidak aktif. Semua baik-baik disana, kan? Bagaimana keadaan Raya sekarang?”

            Hening.

            “Aku baru pulang dari kantor polisi, dan…” Ayahnya berdehem dan entah mengapa Raya merasakan tubuhnya menegang, “mereka bilang Bumi sudah keluar dari Rumah Sakit tapi mereka belum bisa menginterogasinya kembali sampai ada bukti-bukti kuat. Aku rasa kita bisa membantunya… polisi, maksudku. Mungkin Freya menyimpan sesuatu atau bercerita sesuatu padamu? Tolong hubungi aku secepatnya.”

            Telepon ditutup. Raya masih bergeming ditempatnya berdiri seakan ia dipaku disana. Jantungnya berdetak cepat hingga ia merasa dadanya sakit, berbagai macam perasaan ia rasakan sekaligus: harapan, ketakutan, entah mana yang lebih mendominasi. Satu hal yang jelas, ia tidak akan kembali ke Jepang – tidak sampai semua kejanggalan ini terbongkar.

            Darimana ia harus memulai? Mungkin dari tempat yang paling ia hindari saat ini – kamar Freya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status