Share

One way or another

Raya bersedekap, memandang kedua orangtuanya yang sibuk. Hari ini mereka memutuskan untuk kembali ke kantor polisi dan meskipun dirinya sangat ingin ikut, ada hal mendesak lain yang harus Raya lakukan.

            “Ada makanan di kulkas, kau bisa menghangatkannya.” Ujar Ibunya yang terburu-buru mengalungkan syal di leher, “atau kalau kau mau membeli sesuatu, ada uang di toples dapur.”

            “Kau juga boleh menyusul kalau mau, Raya.” Ayahnya menambahkan.

            “Tidak, kurasa aku akan menunggu kalian pulang saja. Badanku tidak enak- tapi aku tidak apa-apa, kalian pergilah.”

            Setelah memastikan putrinya baik-baik saja, sepasang suami istri lalu pergi dan Raya menunggu hingga mobil tua ayahnya menghilang diujung jalan sebelum akhirnya ia menutup pintu dan bergegas menaiki tangga menuju lantai tiga – loteng sekaligus tempat kamar Freya berada. Bahkan sejak dini Freya sudah mengerti apa itu ranah pribadi. Ya, mereka adalah tipikal anak kembar yang berbagi segalanya bersama – kecuali kamar, dan menjadi adik kembarnya bukan tiket bagi Raya untuk mengusiknya. Raya menghormati itu, hingga saat ini.

            Biasanya Raya selalu ingin masuk ke kamar Freya, karena ia memiliki barang-barang menarik. Tapi semenjak kedatangannya ke Jakarta, Raya menghindari kamar itu. Dirinya belum sepenuhnya yakin untuk berhadapan lagi dengan apapun yang berhubungan dengan kakaknya. Freya mungkin tidak ada lagi didunia ini, tapi tiap jengkal dirumah ini menyimpan kenangan yang tak akan pernah mati, dan ketika membuka pintu kamar Freya nanti, ia seperti mempersilahkan gadis itu kembali ke dunia, membentuk realita yang bahkan tak nyata di dalam pikiran dan mimpinya. Menyiksanya.

            Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang janggal pada kematiannya, dan mengenal kakaknya, ia pasti menyimpan sesuatu di kamar. Raya berhenti sebentar didepan pintu coklat kayu gelap dengan berbagai macam sticker dan gambar-gambar ala Freya. Ada tempelan tanda dilarang masuk tepat ditengah pintu namun Raya tidak menggubrisnya. Perlahan, ia menekan gagang pintu dan membukanya.

                Hal pertama yang menyambutnya adalah hembusan angin yang mengantarkan aroma kayu bercampur vanilla samar. Karena berbentuk kamar loteng, satu-satunya penerangan alami datang dari jendela diujung kamar, dibawahnya terdapat meja kayu berukuran sedang yang nyaris tertutup oleh berbagai macam barang – buku, beberapa produk perawatan wajah, alat tulis, jam, tanaman dalam pot kecil, scented candle beraroma vanilla dan foto-foto berpigura kayu mini. Ya, Freya penggemar berat kayu dan itu dapat dilihat dari kamarnya. Tidak terlalu besar, tapi nyaman. Kasur berukuran Queen diletakkan langsung dilantai dan ditutupi seprai putih bercorak abstrak. Beberapa bantal dengan berbagai macam ukuran dan warna cover tergeletak acak diatasnya. Tak ada satupun diruangan ini yang berwarna senada, sebagai mahasiswi jurusan seni, Freya jelas senang bereksperimen dengan berbagai macam warna dan tak peduli dengan harmoni. Lemari baju berbentuk laci disebrang kasur adalah contoh nyatanya, tekstur lembut kayu itu ditutupi berbagai macam corak cat, di berbagai tempat. Terlepas dari itu semua, kamar ini sangat bersih dan rapi. Hm, Ibunya jelas merawatnya dengan baik – tak ada debu sama sekali, seakan Freya masih tinggal disini.

            Ia menarik napas dan menutup matanya sesaat. Hening, namun ia tidak merasa sendirian. Ia merasa Freya berdiri dihadapannya, mungkin untuk memarahinya karena masuk tanpa izin, atau tersenyum karena ingin memperlihatkan hasil karya seni terbarunya. Freya, please help us… Raya menghembuskan napas dan tanpa membuang waktu, mulai menelusuri tiap jengkal kamar.

                                                                        ***

            “Tuan, kita sudah sampai.”

            Mendengar suara berat sang supir, pemuda itu membuka matanya perlahan. Untuk sekejap ia menangkap refleksinya sendiri di jendela mobil – wajahnya nampak lelah, bahkan ketika bergerak ia dapat merasakan rasa ngilu ditiap senti tubuhnya. Tapi ia tak peduli. Hari ini pun, ia harus menemuinya.

            “Tunggu disini, aku tak akan lama.” Katanya pada si supir yang dijawab dengan anggukan. Sang pemuda mengenakan kacamata hitam dan turun dari mobil SUV hitam miliknya. Hembusan udara dingin langsung menyambutnya dan dengan reflek ia memasukkan kedua tangan kedalam jaket. Jakarta selalu panas, tapi kenapa hari ini cuaca mendung? Tapi kalau diingat-ingat, cuacanya memang selalu seperti itu tiap kali ia datang ke pemakaman ini – seperti mendukung rasa sedih para pengunjungnya agar tetap abadi.

            Ia berjalan menjauh dari jalur kendaraan, melintasi rerumputan hijau dan beberapa pohon besar yang menaunginya. Setelah semenit berjalan, langkahnya terhenti tepat di sebuah makam pualam. Untuk sesaat, ia hanya terdiam menatap makam itu lekat-lekat. Matanya berulang-ulang membaca nama yang terukir disana:

Here lies our beloved daughter and sister

FREYA GANENDRA

1981 - 2002

            Setelah beberapa waktu yang terasa seperti selamanya, lelaki itu menekuk lututnya dan bersimpuh dengan satu kaki disisi makam. Ia menariuk keluar tangannya dari satu jaket dan dengan hati-hati mulai menyentuh kepala makam. Suaranya agak serak ketika ia bicara, “hai lagi, Freya. Apa kau menungguku hari ini? Maaf aku tidak datang kemarin… Aku bermimpi terlalu indah, walaupun tidak terlalu mengingatnya.”

            Ia terdiam sesaat.

            “Tapi itu sesuatu tentang layangan kuning… dan bunga lily. Apa kau masih ingat tentang hari itu?” Sang pemuda terdiam lagi seakan menunggu Freya menjawab. Namun ketika yang diharapkan tak datang, sinar matanya meredup, ekspresinya melayu dan perlahan, ia berbaring disisi makam, menantang menatap langit yang kian menggelap.

            “Aku tidak akan pernah lupa.” Ujarnya, “Kalau saja kau mendengarku saat itu, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Kau begitu egois, kau selalu egois, Freya. Lihat kemana keegoisan membawamu sekarang.” Ia mendengus sekali, “kau pergi… dan tidak akan pernah kembali. Kau selalu ingin pergi jauh, apa kau senang sekarang? I hope you do. I really do…”

            Setelah itu ia terdiam, membiarkan heningnya menyatu dengan alam. Hembusan angin makin kencang dan ia merasakkan dirinya mulai diselimuti perasaan familiar yang selalu gagal ia taklukan: rasa dingin disekujur tubuh dan detak jantungnya yang makin cepat hingga membuat dadanya sakit. Tidak, kali ini ia tidak akan kalah. Ia mendekap tubuhnya dengan jaket dan menutup matanya.

            Ketika ia mengepal tangan didalam jaket, ia merasakan logam dingin di ujung jarinya. Dengan cepat ia membuka mata dan menarik keluar benda itu. Matanya melebar dan ekspresinya tidak terbaca ketika ia menatap benda mungil tak asing di sela jarinya – sebuah cincin perak polos, dengan ukiran namanya dibagian dalam. Dahinya mengernyit, bagaimana cincin ini bisa berada di saku jaketnya? Bukankah harusnya benda ini berada di…

            Napas pemuda itu seakan berhenti ketika ia menyadari sesuatu. Dengan gesit ia kembali ke posisi duduk dan menatap jaket yang dikenakannya dengan seksama. “Tidak mungkin…” Ia menoleh ke makam Freya dengan ekspresi yang bercampur aduk – horror dan tidak percaya.

            “Tuan?”

            Suara sang supir yang tiba-tiba jelas mengagetkan si pemuda. Ia sedikit terlonjak dna butuh beberapa detik untuk kembali tenang. Si supir jelas merasa bersalah dan dengan hati-hati ia berkata, “maaf aku mengganggu, tapi ini sudah waktunya kita kembali. Tuan sudah menele-“

            “Baik.” Potong si pemuda dengan cepat seraya bangkit berdiri, “bawa aku ke tempatnya. Sekarang.”

                                                                        ***

            Raya menjatuhkan dirinya ke atas kasur dan menghela napas keras. “Benar-benar tidak masuk akal.” Gerutunya sambil memijit pelipis kepalanya dengan frustasi, “kau benar-benar tidak main-main dengan barang pribadimu, eh…”

            Raya menggeram lagi, kesal. Sudah berjam-jam ia menggeledah kamar Freya, berharap menemukan apapun yang dapat membantunya atau apapun itu yang berhubungan dengan kakaknya dan Toro. Masih menjadi misteri bagaimana ia tidak dapat menemukan Toro dirumah ini, di kamar ini. Namun tak ada temuan aneh, semuanya tampak normal, barang-barang seni untuk kuliah, pakaian, buku-buku, hanya itu. Tak ada yang lain.

            “Kau tidak mungkin pergi begitu saja,” ujar Raya lebih kepada dirinya sendiri. “kau pasti meninggalkan sesuatu untukku, kan? Iya kan…. Freya? Please, beritahu aku apa yang terjadi padamu… siapa yang bisa melakukan hal seperti ini padamu?”

            Hening. Tentu saja, memang siapa yang akan menjawab? Freya? Walaupun ia berlutut memohon kakaknya untuk kembali, ia tak akan pernah kembali. Raya mendesah lagi, dan saat itulah angin dingin menyentuh lembut kulitnya, membuatnya tersadar bahwa awan gelap sudah menutupi matahari yang tadi menerangi ruangan ini. Mata cokelatnya menerawang menatap tirai putih tipis di jendela yang melambai pelan tersapu angin bersamaan dengan pikirannya yang melayang ke berbagai tempat tak terjamah.

                “Raya!”

            Raya bangkit dari Kasur dan menoleh dengan cepat ke sumber suara. Ia bersumpah mendengar seseorang membisikkan namanya dengan kasar – tapi tentu saja taka da siapapun disana selain dirinya. Gadis itu membeku ditempatnya selama beberapa detik, mencoba mencerna apa yang terjadi. Apakah ia berhalusinasi? Angin berhembus lagi dari jendela, dan menjatuhkan sesuatu dari dinding di pojok kamar. Matanya langsung tertuju pada selembar foto yang kini tergeletak dilantai, dan tanpa membuang waktu ia bergerak untuk meraihnya – sebuah foto, Freya bersama teman-temannya di tempat yang tampak seperti sebuah restoran. Ia membalik foto itu dan membaca tulisan Freya. 

Freya, Bumi, Diandra dan Bian – Malang, Maret 2002

            “Ah, ini perjalanan ke Malang yang waktu itu ia ceritakan…” gumamnya. Freya sering menceritakan tentang dua orang sahabatnya tersebut – Diandra dan Bian, dan meskipun belum pernah melihat wajah mereka, Raya dapat memastikan yang mana figur dari pemilik nama-nama tersebut. Diandra dan Bian tersenyum ceria disamping Freya – Bian mengangkat sebuah kaleng bir sementara Diandra mengatup wajahnya seperti bunga, pose klasik. Lalu disisi lain Freya… Raya mengamati wajah lelaki itu dengan seksama. Ia lebih tinggi dari Freya dengan tubuh cukup ramping yang mengenakan kaus hitam polos dan beanie abu-abu dikepalanya. Ia mengalungkan satu lengan dibahu Freya sementara si gadis merangkul lelaki itu dipinggang. Bumi.

            “Bumi.” Raya melafal nama yang tak asing itu. Berulang kali Freya menceritakan tentang kekasih yang sangat dicintainya, sampai Raya hapal apa makanan kesukaan dan warna favoritnya. Bumi, satu-satunya saksi hidup saat kejadiaan naas itu terjadi, yang dibebaskan oleh polisi karena kurangnya bukti. Lalu apa foto ini akan berguna? Sepertinya tidak – selain hanya memperkuat cerita Freya ketika mereka pergi berlancong ke Malang, beberapa bulan sebelum pembunuhan terjadi.

            Setelah tertegun beberapa saat, Raya memutuskan untuk mengembalikan foto itu ke tempatnya. Ia meraih paku kertas yang  ikut terjatuh dan bermaksud untuk menancapkannya kembali ke papan kain di dinding – tempat beberapa foto lain bertengger disana. Namun alih-alih langsung menyentuh dinding, ujung paku itu seperti mengenai sesuatu yang menonjol dibalik kain. Ada sesuatu disana… Raya meletakkan foto dan melepaskan papan kain tersebut. Benar saja, tepat dibalik papan tersebut ada sebuah handle bulat kecil berwarna perunggu yang bertengger tepat ditengah laci yang tertanam di dinding – laci yang dicat serupa dengan warna dinding dikamar ini, biru pastel. Tanpa membuang waktu, Raya menariknya pelan dan matanya bersinar penuh semangat ketika melihat sebuah buku hitam legam dan beberapa kertas didalam laci terebut. Di ujung bawah buku terdapat ukiran emas berinisial FG – yang berukuran sangat kecil hingga nyaris tak terlihat.

            Diary Freya!

            Raya nyaris memekik saking senangnya. Jantungnya beredegup kencang penuh kegembiraan. Finally! Freya tak mungkin mengecewakannya. Mungkin dia bisa menemukan sesuatu disini, mungkin identitas pelaku, atau apapun. Ia kembali duduk di Kasur dan mulai membaca dengan seksama.

            Pada mulanya isi buku harian itu normal, layaknya wanita yang mencurahkan segala macam keluh kesah, kegembiraan dan harapan. Berbeda dengan dirinya, Freya bukan orang yang suka menulis, terlihat dari isinya yang singkat dan kadang tidak berarti apa-apa. Namun semuanya berubah sejak November 2001, nyaris setahun lalu.

           

            10 November 2001

            Bertemu dengannya, tak menyukainya. Atau dia tidak menyukaiku? Tak peduli, seiring berjalannya waktu semua akan berubah. Freyaaa, kau bisa!

            13 November 2001

            Surat-surat Raya datang terlambat dari biasanya. Tapi entah bagaimana aku yakin itu bukan kesalahan pihak pos. Mereka tidak mungkin membuka surat, kan?

            15 November 2001

            Bertengkar dengan Bumi. Salahku, aku menghilangkan cincin yang dia berikan dulu. L

Isi diary setelahnya normal. Alih-alih tulisan, kadang ia hanya menggambar. Pohon, layangan, bunga, kucing, hati, wanita yang menatap ke jendela, wanita yang menangis, kue…

            20 Desember 2001

            Telepon dari nomor tidak dikenal. Tidak bicara apa-apa ketika dijawab, merasa aneh juga akhir-akhir ini, seperti ada yang mengawasiku. Kata Ibu aku hanya terlalu sering berimajinasi. Hmm..

            25 Desember 2001

            Apa ada hal lain yang lebih menyedihkan dari kabar bahwa beasiswa-mu ditangguhkan tanpa ada alasan yang jelas? Natal terburuk!

Apa?

Kenapa dia tidak menceritakkan tentang ini melalui surat…?

            30 Desember 2001

            Aku yakin ada seseorang yang mengawasi gerak-gerikku…

            7 Januari 2002

            Ketahuan! Sudah kuduga! L tapi kenapa…?

            11 Maret 2002

            Toro mati. Seseorang membunuhnya, aku yakin. Waktunya terlalu janggal untuk dibilang kebetulan. Siapa yang meracuninya?

            16 Maret 2002

            Ya Tuhan… haruskah aku menyerah?

                       

            18 Agustus 2002

            Tiket: purchased! Akan merayakan ulang tahun bersama Raya. Kejutaaan J

           

            22 Agustus 2002

            Hancur.  Mungkin mati memang jalan keluarnya.

            Dan tak ada entry lain setelah hari itu. Freya ditemukan tewas dikamar ini seminggu setelahnya… Raya menelan ludah, tenggorokannya kering dan hatinya sakit ketika ia mendapati sebuah tiket ke Jepang terselip di halaman terakhir diary. Freya berencana untuk mengunjunginya diam-diam untuk merayakan ulang tahun mereka. Dia seharusnya datang…tapi alih-alih bersama, dirinya justru terduduk disini, ditempat yang sama dimana Freya terbaring berlumuran darah dan tak bernyawa.

            “Kenapa kau tidak bilang padaku, Freya?” tanya Raya dengan suara gemetar, dadanya terasa sesak saat air matanya mulai turun dan membasahi lembaran diary Freya, “kau selalu melindungiku, kenapa kau tidak membiarkan aku melakukan yang sama untukmu? Bagaimana bisa kau begitu terbuka sekaligus terutuup padaku…”

            Tapi sekarang bukan saatnya menyalahkan Freya. Raya mengusap air matanya dan rasa sedih berganti dengan amarah – ini pembunuhan terencana. Freya diikuti oleh seseorang tak dikenal dan kemungkinan diancam. Toro mati, mungkin bagian dari rencana untuk menghancurkannya. Tapi siapa yang sebenci ini pada Freya?

            Raya menutup buku diary itu dengan kasar dan bergegas keluar kamar. Ia akan mencari tahu dan satu hal yang pasti, dia pasti akan menemukannya. One way or another.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status