Share

Nightmares

Untuk sesaat Raya merasa dirinya diselimuti kain tebal dan halus, yang dengan erat membungkus tubuhnya, menghantarkan kehangatan mulai dari kepala hingga ujung kaki. Ia tak tahu dirinya berada dimana sekarang – tidak peduli, bahkan. Kenyamanan ini terlalu berharga untuk ditinggalkan. Raya merasakan tubuhnya terbang perlahan oleh sapuan angin hangat yang menelungkupnya, menggiringnya ke pusaran udara  yang dengan lembut menyapu kulit wajahnya. Rasanya seperti baru sedetik ketika tiba-tiba sapuan lembut itu berubah menjadi kuat dan dingin, menggigit kulitnya dan seakan menarik selimut yang tadi melindunginya. Ia belum sempat mencerna apa yang terjadi ketika sekujur tubuhnya berubah dingin dan dirinya tersedot ke pusaran udara tadi yang dengan brutal membuat tubuh rampingnya berputar, melilitnya dengan angin sedingin es hingga membuat mulutnya kelu. Namun anehnya, ia tak bisa menutup mata meskipun rasanya bola matanya itu akan membeku.

Ia berada di langit, dalam putaran tornado berwarna biru pekat dan ia tidak melihat apapun selain warna hijau dan biru beribu-ribu kaki dibawahnya – tanah dan laut, bumi. Menyadari betapa jauh dan tinggi dirinya kini, rasa takut mulai menghinggapinya. Namun tak ada yang bisa ia lakukan karena tak sesentipun dari tubuhnya bisa ia gerakkan. Saat itulah matanya mulai menangkap kilasan-kilasan gambar dan suara abstrak yang seakan tercipta dari gumpalan angin dingin itu. Raya menonton seseorang – atau sesuatu berteriak, berlari, tertawa dan marah, namun siapapun mereka atau apapun itu, ia tak bisa melihat atau mendengarnya dengan jelas. Hal itu berlangsung selama beberapa detik yang rasanya seperti beberapa jam sebelum akhirnya pusaran angin itu berhenti dan menghilang – meninggalkan tubuh Raya melayang tinggi di udara. Gadis itu belum sempat bereaksi ketika tubuhnya terjatuh dengan cepat.

Kini ia mendengarnya - suara teriakan yang memekakkan telinga, penuh ketakutan dan putus asa – bersamaan dengan tubuhnya yang terus melayang turun,

This is it… aku akan mati.

 Ia menutup telinga dan matanya, bersiap menyambut ajalnya. Ketika kegelapan menyelubunginya, saat itulah ia melihat kilasan gambar tadi dengan jelas. Ia melihatnya… Freya berlari dengan wajah ketakutan kearahnya. Kedua tangan kurusnya yang berlumuran darah terjulur seakan ingin memeluknya dan ia berbisik kasar, “Tolong!” sebelum akhirnya tubuh Raya terbanting ke daratan.

Raya terbangun tiba-tiba dengan tarikan napas yang kasar, jantungnya berdegup kencang hingga menimbulkan sakit di dadanya dan ia merasakan jari-jarinya menjadi dingin.

“Hei, nak. Sudah bangun?”

Kepala Raya otomatis menoleh kearah suara rendah yang tak asing ditelinganya. Ayahnya berada di kursi supir, memandangnya dari kaca spion, “Kau baik-baik saja?”

“Iya, aku…” setengah bingung, Raya mulai mengedarkan pandangan ke sekitar sambil memijit pelipisnya. Dirinya berada didalam mobil – yang Raya percaya – Avanza hitam tua milik Ayahnya yang tak pernah digantinya sejak bertahun-tahun lalu, dan dengan pemandangan gedung-gedung tinggi, pengendara motor dan mobil bahkan pejalan kaki  memenuhi jalanan yang disinari matahari tanpa ampun, satu hal yang pasti – dia sudah berada di Jakarta.

“Ya ampun, aku tertidur berapa lama?” gerutunya sambil menyandarkan kepala ke kursi, kembali menatap ayahnya melalui spion, “aku ngga ingat sudah berada di Jakarta.”

Pria tua berwajah ramah itu terkekeh pelan, “belum berapa lama, pasti lelah setelah berjam-jam di pesawat.” Jelasnya, “mimpi buruk lagi, ya?”

Raya mengangguk dan melemparkan pandangannya ke jalanan sibuk Jakarta, “iya, tapi kali ini berbeda dari biasanya. Aku tidak berada di ruangan gelap seperti sebelumnya, dan Freya…” Raya mengernyit, menolak menyuarakan kondisi Freya dimimpinya barusan. Ia lalu menoleh kembali ke Ayahnya. “Aku sudah disini sekarang, ayah. Kapan kau akan menjelaskan semuanya seperti yang kau bilang di surat?”

“Sebentar lagi,” jawabnya singkat seraya memberikan sebotol air mineral yang langsung diraih Raya, “kita temui ibumu dan bicarakan semuanya.”

Kalau ada satu hal yang paling ia mengerti dari ayahnya adalah beliau tidak pernah memutuskan apapun tanpa berdiskusi dengan ibunya – paling tidak ketika mereka masih menikah dulu – apalagi mengenai hal-hal tertentu. Tapi sejak perceraian mereka sepuluh tahun lalu mengubah kebiasaan ayahnya itu, namun ketika tiba-tiba beliau kembali ke kebiasaan lamanya… Raya tahu pasti ada sesuatu, dan itu bukan hal baik.

Raya meneguk airnya perlahan dan memutuskan untuk bersabar sampai mereka sampai tujuan – rumah ibunya, bersiap untuk hal yang terburuk.

                                                               ***

Ruko milik ibunya tidak banyak berubah, meski sudah sepuluh tahun berlalu. Cat dindingnya yang dulu berwarna putih kini berwarna lilac lembut, jelas dicat ulang untuk menutupi ‘grafiti’ yang dulu Raya dan Freya ukir disana ketika mereka kecil. Berbeda dengan sang ayah, ibunya paling tidak suka ketidak-aturan yang anak-anaknya lakukan. Menggambar hanya dibuku gambar, baju harus dimasukkan kedalam celana atau rok, kaos kaki harus sama tinggi, makan tidak boleh bersisa, dan rumah harus selalu bersih – suatu hal yang mustahil ketika kau mempunyai seorang anak yang hyper active dan yang lain selalu menurutinya apapun yang ia lakukan. Dalam hati Raya kasihan pada Freya harus tinggal bersama ibunya yang sangat text book.

Raya dan ayahnya berjalan menuju ruko mungil itu, dengan beberapa pot tanaman yang menghiasi lahan kecil didepannya. Sebuah plang bertuliskan “Rose Bakery” terpampang di dinding, tepat diatas rolling door berwarna coklat gelap.

“Oh ya, Freya bilang usaha bakery ibu semakin bagus akhir-akhir ini.” Ujar Raya, tersenyum kecil seraya memandang plang berbentuk bulat yang pasti menyala ketika malam hari tiba, “tapi ibu tidak pernah membiarkan Freya membantunya.”

“Kita tahu kenapa” sahut ayahnya.

“Ya, dia akan membakar dapur jika ibu menoleh sedikit.”

“Membakar rumah, maksudmu?”

Raya terkekeh pelan, jelas sangat tidak sepenuh hati. Ayahnya membunyikan bel dan mereka menunggu. Ia tidak menolehkan pandangannya dari rolling door. Hatinya berdegup kencang dan tanpa sadar tangannya tercengkram kuat di pegangan kopernya. Dalam hati ia berharap Freya yang membukakkan pintu, dengan senyum sumringah jahilnya seperti tiap kali mereka bermain. Bahwa semua ini adalah keusilannya untuk membuat Raya pulang kembali padanya. Tapi ia terpaksa menelan ludah dengan kecewa ketika sosok ibunya lah yang pertama dilihat ketika rolling door itu terbuka.

“Raya!” Seru wanita setengah baya itu dan tanpa membuang waktu, menarik Raya kedalam pelukannya. Aroma bunga khas ibunya langsung memenuhi indera penciumannya, dan ketika ia melingkarkan lengan untuk memeluk sang ibu, ia merasakan betapa kurusnya wanita itu sekarang. Ibunya terisak keras hingga ia merasa bahunya basah.

“Maaf ya Raya…” ujarnya disela-sela isakannya, dan mata Raya menangkap ayahnya yang menunduk, mengusap lehernya dengan tidak nyaman, “maaf ibu tidak langsung memberitahumu..”

Saat itulah Raya merasakan ada tangan tak terlihat yang mencengkram perutnya dengan kencang, “Bu… dimana Freya?”

Alih-alih menjawab, ibunya justru menangis makin kencang, sekencang pelukannya terhadap Raya dan membenamkan kepalanya di bahu anak gadisnya itu. Raya tak perlu bertanya lagi untuk mendapatkan jawaban yang jelas mengenai kakak kembarnya selama ini. Matanya masih menatap lekat ayahnya mulai terasa panas dan rabun ketika air matanya mulai terjatuh. Ia seperti berada diantara ambang kesadaran dan mimpi, suara ayahnya terdengar sangat jauh ketika beliau akhirnya menjawab ketakutannya selama ini…

“Freya sudah meninggal, Raya…tubuhnya ditemukan sebulan lalu disini…”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status