Share

3

Leo menjatuhkan pandangannya. Mengunci mulut rapat-rapat tatkala kakinya menendang rerumputan. Saat ini suasana hatinya sedang tidak baik. Pertama ucapan Shota dan dilanjut oleh mimpi buruk Stella. Benar-benar menyebalkan! Ditambah Abu yang terus mengoceh, menanyakan banyak hal. Dongkol sekali rasanya.

Lelaki berjaket hitam itu lantas mengangkat wajah. Lalu, membiarkan matanya menyapu sekitar. Abu menanyakan lokasi dari setiap pemimpi, tetapi jujur saja dia sama sekali tidak berniat memberi tahu karena merasa malas untuk sekadar membuka mulut. Jadi, yang dilakukannya hanyalah memandangi sekeliling dalam diam sembari mendengarkan setiap pembicaraan dari anggota pemimpi yang masuk ke dalam telinga.

Yang jelas, sekitar dua atau tiga meter di depannya tampak sebuah jalan setapak yang sudah mulai bobrok. Di seberang sana juga terlihat rumah-rumah warga yang kelihatan tak berpenghuni, persis kata Abu.

Leo sendiri tidak merasakan ada yang aneh selain dari itu semua. Sehingga dia memutuskan untuk menyusuri jalan setapak demi memperoleh informasi atau apapun itu yang bisa memberinya petunjuk. Tepat di langkah yang kedua puluh, kakinya berhenti bergerak. Melalui netranya, dia dapat melihat sebuah papan nama dari bangunan yang dicat berwarna hijau cermin.

Setelah membaca papan nama itu terdengar helaan napas dari Leo. Dia kemudian berkata dengan ogah-ogahan. "Aku akan menghampiri Nana."

"Eh?" ucap Nana dan Abu bersamaan karena sukses dibuat terkejut oleh perkataannya.

Kendati demikian, Leo malah menunjukkan sikap tak acuh. Persetan apakah perkataannya barusan terdengar membingungkan atau mungkin mengagetkan, karena sudah dijelaskan di awal bahwa dia malas sekali untuk membuka mulut. Apalagi kalau sampai harus memberi penjelasan lebih detail terkait posisinya yang tidak jauh dari tempat Nana berada. Jelasnya, Leo akan menemui anak itu dan menurutnya tidak ada yang salah mengenai hal ini.

Selain itu, Leo juga sempat mendengar Abu yang menanyakan alasan kenapa Alexa diam saja dari tadi. Walaupun sebenarnya Leo turut merasa penasaran sekaligus kesal dengan Alexa, tetapi dia berusaha untuk tidak memedulikan itu. Sebab prioritasnya saat ini adalah menemui Nana. Lagi pula dia tidak lagi mendengar apapun  keluar dari mulut Abu atau pemimpi lainnya.

Sesampainya di tempat tujuan, Leo dengan segera meraih knop pintu. Ternyata benar saja, pintunya tidak terkunci. Itu bagus dan memudahkan Leo untuk masuk.

Ketika sudah berada di dalam, Leo disuguhkan pemandangan yang tidak biasa dia jumpai. Di sini terdapat banyak perlengkapan atau mainan anak-anak. Tepat seperti apa yang dikatakan Nana. Serta Leo juga dapat melihat bahwa rungan bermain, belajar, dan istirahat dijadikan dalam satu ruangan. Namun, semuanya tidak membuat ruangan ini menjadi sempit karena perabot dan beragam benda di dalamnya disusun dengan sangat rapi. 

Tunggu sebentar. Bukankah ini aneh? Semua barang di dalam Tempat Penitipan Anak ini terlihat sangat rapi di saat keadaan rumah-rumah warga di sekitarnya persis rumah tinggal yang banyak sekali debunya.

Menyadari itu, Leo spontan meraih sebuah boneka kelinci yang entah sejak kapan tergeletak di dekat kakinya. Sambil memegangi boneka itu, dia berkata, "Sepertinya ada yang baru memainkan boneka ini. Apakah Nana?"

Leo pun memacu tungkai untuk memasuki ruangan lebih jauh. Dia menuju tempat biasa anak-anak beristirahat, karena dari posisinya berdiri sekarang dia melihat seseorang yang tampak tengah bersembunyi di balik selimut dan menurutnya itu adalah Nana. Memangnya siapa lagi?

"Enak ya tidur?" tanya Leo sambil berdiri di dekat Nana yang sedang berselubung.

Nana menggigit bibir bawahnya dan ragu-ragu membuka selimut bermotif polkadot yang menutupi tubuhnya. Lalu, berakhir duduk sambil tersenyum seperti orang bodoh yang sedang memamerkan giginya yang ompong. 

"Tidak usah tersenyum. Ompong begitu. Jelek tahu," ejek Leo.

Nana tidak terima. "Ti-tidak, kok. Coba lihat ini," ucapnya kemudian menunjuk gigi taring bawahnya. "Sudah mulai tumbuh, kan?

"Hem ...." Leo memperhatikan sebentar dan benar-benar melihat gigi taring bawah milik Nana yang sudah mulai tumbuh. "Ya, terserahlah," balasnya tak peduli dan memalingkan muka.

Nana memasang wajah cemberut dan dengan rasa sedikit kesal tangannya dia gerakkan untuk melipat selimut yang tadi dia pakai. Di sela-sela itu, suara Leo kembali mengudara.

"Aku mau melihat-lihat lagi. Siapa tahu ada petunjuk. Terserah kamu mau ikut atau tidak." Begitu katanya.

Setelah selesai merapikan selimut, Nana lekas berdiri dan melontarkan satu buah pertanyaan. "Kenapa kita tidak mencari Kak Alexa saja?"

"Alexa?"

Nana mengangguk dengan semangat sedangkan Leo justru menghela napas kasar. Pemuda berwajah garang itu balik melempar tanya.

"Apa yang bisa diharapkan dari perempuan itu?"

Saat mendengarnya tentu saja Nana terkejut juga tak habis pikir. "Maksud Kak Leo apa?"

"Tidak, bukan apa-apa."

"Kenapa berkata seperti itu?" tanya Nana dengan vokal yang sedikit meninggi. "Kak Leo tahu, dari tadi Kak Alexa sama sekali tidak bersuara. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?"

Sorot mata Leo berubah tajam. "Kupikir itu bukan urusanku," tukasnya dengan suara yang terdengar semakin berat dan wajah garangnya yang menjadi-jadi. "Aku juga tidak berkewajiban melindunginya. Lagian semua ini hanya mimpi. Apa yang perlu kamu takutkan?"

"Hanya ... mim-pi?!" Nana menatap Leo berang.

Kemudian ditanggapi Leo dengan nada bicara yang terkesan meremehkan dan juga menghina. "Ha? Apa maksudnya semua ini?"

Setelah itu, Leo menyambung perkataannya lagi. Kali ini dengan sebuah makian. "Stella sialan!" cercanya tetapi dengan suara yang cukup pelan hingga tidak begitu terdengar oleh Nana yang sepertinya tengah sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Hanya mimpi?" Maka berikutnya mata Nana mulai berkaca-kaca. "Apa Kak Leo menganggap Somnium adalah lelucon? Lalu, bagaimana dengan imbalan-imbalan yang Kakak peroleh dari semua ini?" tanyanya.

"Hei, anak kecil," ucap Leo dengan tatapan mata yang seolah-olah mengisyaratkan agar Nana lekas menutup mulut.

Nana menggelengkan kepala dan berusaha untuk tidak memedulikan itu kendati sedari tadi dirinya terus menahan rasa takut. "Tidak Kak, tidak. Ini bukan mimpi biasa. Ini—"

"Cih!" tukas Leo diikuti tangannya yang tiba-tiba dengan kasar menarik lengan Nana.

Perlakuan kasar dari Leo barusan itu serta-merta membuat Nana menjerit ketakutan. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah Leo hanya berniat menarik Nana supaya dapat lekas bersembunyi di balik tubuhnya untuk menghindari anak kecil yang entah bagaimana bisa berada di belakang Nana sambil menodongkan pisau.

Nana yang masih belum menyadari hal itu karena terhalang oleh tubuh Leo hanya bisa menangis dengan tubuh gemetar. Dia ketakutan bukan main. Apalagi tangan Leo yang masih mencengkeram lengannya kuat-kuat.

"Kak Leo, maaf ... aku hanya—"

"Pergi!" teriak anak yang menodongkan pisau memotong ucapan Nana. Anak kecil yang diketahui berjenis kelamin laki-laki itu lantas mendekat dengan niat melukai Leo menggunakan pisau di tangannya.

Untungnya Somnium memberi keistimewaan bagi setiap pemimpi hingga mampu melakukan sesuatu yang mustahil seperti di dunia sihir. Alhasil hanya dengan menjentikkan jari sebelah kirinya, Leo sukses membuat pisau di tangan anak itu terlempar. 

Menyadari hal tersebut, si anak pun memekik. Mengamuk dengan kedua tangan yang memukuli perut Leo sambil meneriakkan kata pergi berkali-kali.

Meski pukulannya terbilang tidak terlalu kuat tetapi cukup untuk membuat Leo tidak bisa bergerak beberapa saat. Sampai kemudian Leo melepaskan cengkeramannya dari lengan Nana dan segera menahan kedua tangan anak laki-laki itu agar berhenti memukulinya.

"Diamlah bocah!" titah Leo yang kini sudah berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan anak laki-laki di hadapannya.

"Nana kamu juga. Berhentilah menangis. Berisik tahu!" sambung Leo lagi mengetahui Nana yang masih sesenggukan di belakang punggungnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status