Share

003 - Keputusan Slamet

Setelah mengempaskan napas berat untuk melegakan dada, Slamet kembali mendayung sepedanya. Dia pulang ke rumah. Tidak mau berlama-lama menyaksikan kesedihan Sari. Apalagi melihat gadisnya itu dilamar pemuda lain.

Ah, harus Slamet akui kalau pemuda yang melamar Sari jauh lebih keren darinya. Dari segi cara berpakaian saja Slamet kalah telak, belum lagi kalau yang dibandingkan harga pakaian.

Sudahlah, Slamet harus menyadari kalau dirinya memang tidak pantas untuk Sari. Ada pemuda lain yang lebih pantas bagi gadis itu, juga sepertinya bakal lebih bisa membahagiakan Sari.

Betul kata Marni tadi, perasaan sayang saja tidaklah cukup dalam membangun dan mempertahankan rumah tangga. Tidak sekali-dua Slamet menyaksikan pasangan yang terpaksa harus berpisah karena tuntutan kebutuhan hidup, padahal dulunya saling sayang saat menikah.

"Sari kenapa, Met?" sambut ibu Slamet saat pemuda itu menyandarkan sepeda di tiang halaman dengan kasar.

Bukannya menjawab pertanyaan ibunya, Slamet malah balik mengajukan tanya, "Ibu kapan terakhir teleponan sama Lik Muji?"

Ibu Slamet mengerutkan kening, terheran-heran oleh pertanyaan mendadak itu. Lagipula tak biasanya Slamet menanyakan pamannya yang lebih sering tinggal di Jakarta itu.

"Kalau enggak salah, semingguan kemarin," jawab ibu Slamet kemudian. "Memangnya kenapa, kok kamu ujug-ujug nanya paklikmu itu? Butuh duit?"

"Lik Muji pernah cerita-cerita soal kantor tempat dia kerja itu, enggak? Yang katanya dulu buka lowongan?" tanya Slamet lagi, mengabaikan dugaan ibunya.

"Oh, itu ..." Ibu Slamet langsung dapat menangkap ke mana arah ucapan puteranya. "Coba kamu telepon sendiri saja sana. Nomornya ibu catet di samping lemari makan."

Tanpa menyahut, Slamet langsung masuk ke dalam rumah dan terus ke dapur. Sambil berjalan tangannya sambil mengambil ponsel dari saku.

Tiba di dapur, Slamet langsung menuju ke lemari makan. Di sampingnya memang terdapat beberapa coretan. Salah satunya nomor telepon pamannya yang sudah lama bekerja di Jakarta. Samuji nama lengkapnya, biasa dipanggil Muji.

"Halo, ini siapa, ya?" sapa Samuji begitu panggilan dari Slamet dia terima. Belasan tahun sudah dia tinggal di Jakarta, tetapi logat banyumasannya tetap medok.

"Lik, iki aku. Slamet," sahut Slamet tanpa basa-basi.

"Oh, kowe, Met. Mbokan sih sapa," kata Samuji, agak terkejut. "Ana apa? Tumben kowe kiyeng nelepon si om?"

Slamet jadi cengengesan dibilang tumben menelepon pamannya. Memang selama ini dia tidak pernah. Paling-paling sekadar meneleponkan untuk ibu atau ayahnya.

"Anu, Lik, inyong pan takon. Lowongan sing kae sih, esih ana apa ora?" tanya Slamet soal lowongan pekerjaan di tempat pamannya bekerja.

Beberapa waktu lalu Samuji memang mengabarkan kalau kantor tempatnya bekerja membutuhkan tenaga. Ketimbang jadi sopir angkot yang selalu sepi penumpang, Samuji menyarankan agar Slamet merantau ke Jakarta saja.

Namun ketika itu Slamet tidak tertarik. Salah satu alasannya karena dia tidak mau berjauhan dengan Sari. Ah, mengingat gadis itu hati Slamet seakan teriris.

"Sapa sing pengin kerja mene? Kancane mbok?" Samuji malah balik bertanya, menduga jika ada teman Slamet yang tertarik bekerja di Jakarta.

"Ora, Lik, tapi aku...."

"Hah?" Samuji terdengar kaget bukan main. Tidak menyangka jika justru Slamet yang berminat. "Kowe serius gelem kerja aring Jakarta, Met?"

Slamet menyeringai kecut. Di kepalanya seketika terbayang Marni, terngiang kembali segala ucapan pedas wanita yang sebelumnya dia bayangkan bakal jadi ibu mertuanya.

Lalu, sosok pemuda yang melamar Sari tadi juga terbayang di kepala Slamet. Darahnya seketika bergejolak!

***

Diantar oleh ayahnya, sore itu juga Slamet menuju Terminal Bobotsari. Ibunya melepas kepergian sang anak hingga pagar halaman. Wajah wanita paruh baya itu masih saja menampakkan raut terheran-heran.

Wajar bila ibu Slamet heran, sebagaimana Samuji tadi juga sudah lebih dulu merasakannya. Sebab entah sudah berapa kali Slamet ditawari bekerja di Jakarta begitu lulus SMA, tetapi pemuda itu tak pernah mau.

Alasannya macam-macam. Paling sering diucapkan adalah tidak mau meninggalkan ayah dan ibunya berdua saja di rumah. Namun alasan yang sesungguhnya adalah ... Sari.

Eh, tiba-tiba saja sekembali dari rumah Sari tadi, Slamet bilang ingin bekerja di Jakarta. Walaupun terheran-heran, baik ayah maupun ibu Slamet langsung mengizinkan.

"Sing ati-ati ya, Ndung. Aja kelalen solate sing tekun, aja nganti bolong," pesan ibu Slamet saat puteranya berpamitan, mengingatkan agar Slamet jangan sampai melupakan kewajiban salat.

"Iya, Mak," jawab Slamet, lalu mencium punggung tangan ibunya dan naik ke atas jok sepeda motor. Itu pinjam milik tetangga, btw.

"Wis, Met?" tanya ayah Slamet.

Sambil bertanya, ayah Slamet sambil menoleh sedikit ke belakang. Saking rampingnya si anak, sampai-sampai ayahnya tak dapat membedakan apakah pemuda itu sudah naik atau belum.

"Uwis!" jawab Slamet pendek saja.

Setelah mengucap salam, ayah Slamet menarik tuas gas. Mesin sepeda motor meraung keras, sebelum kemudian meluncur ke jalanan aspal yang membelah kampung kecil di Desa Dagan itu menjadi dua bagian. Menuju Terminal Bobotsari.

Bobotsari memang hanyalah sebuah kecamatan, tetapi suasana di sana tak ubahnya kota kabupaten di luar Jawa. Bahkan jumlah lampu merahnya lebih banyak dari Pulau Tidore yang adalah pusat pemerintahan Kotamadya Tidore Kepulauan di Maluku Utara sana.

Maka jangan heran jika Bobotsari punya terminal bus Tipe A. Meski hanya terminal level kecamatan, tetapi rute yang dilayani oleh deretan bus besar-besar di sana jarak jauh semua. Antar kota antar provinsi.

Kebanyakan dari bus AKAP itu menuju arah barat, terutama kawasan Jabodetabek. Banyak perantauan asal Purbalingga di kawasan tersebut, bahkan tidak sedikit yang kemudian memilih tinggal di sana.

Seturun dari boncengan sepeda motor, Slamet langsung menuju ke sebuah bus nan legendaris di Jawa Tengah: Sinar Raya.

"Inyong langsung balik ya, Met. Montore apan digawa ngarit karo Lik Mingan," kata ayah Slamet saat anaknya mengajak bersalaman, mengatakan jika Lik Mingan si pemilik sepeda motor butuh kendaraan itu untuk mencari rumput.

"Iya, Pak."

"Nek wis tekan, gagean ngabari," pesan ayah Slamet, meminta Slamet berkabar jika sudah sampai Jakarta. Sambil berkata begitu sambil menarik tuas gas dan pergi.

"Iya, Pak." Lagi-lagi Slamet hanya menjawab singkat. Entah ayahnya dengar atau tidak.

Begitu bayangan ayahnya menghilang di ujung gerbang masuk terminal, Slamet langsung naik ke dalam bus. Penumpang sudah penuh sesak, bercampur dengan penjual gorengan dan air mineral.

Bus Sinar Raya yang dipilih Slamet jenis Ekonomi AC. Sebetulnya lebih nyaman naik sleeper bus yang armadanya parkir tepat di sebelah sana. Namun ongkosnya dua kali lipat lebih banyak. Uang saku Slamet tidak cukup.

"Jakarta?" tanya seorang lelaki berseragam kemeja kombinasi warna cokelat muda, hitam dan hijau terang. Sekilas terbaca sederet tulisan "BUSMANIA" di dada kirinya.

Slamet segera tahu kalau lelaki itu kru bus Sinar Raya. Sambil meletakkan pantatnya di jok kosong, pemuda tersebut mengangguk dan menjawab singkat, "Iya."

"Jakarta-ne ngendi?" tanya kru bus lagi. Kali ini sambil memegang segepok tiket di tangan kiri dan sebatang pulpen di tangan kanan.

"Kalideres."

"Sangang puluh." Kru bus menyobek tiket, lalu menyerahkannya pada Slamet.

Slamet merogoh saku celana untuk mengambil selembar uang Rp100.000 yang tadi sengaja dia siapkan di sana. Diambilnya tiket, sembari menyerahkan lembaran merah itu.

Kru bus memberi kembalian Rp10.000. Ongkos Purbalingga-Jakarta dengan bus ekonomi Rp90.000.

Tepat pukul 16.30 WIB alias Wektu Ing Bobotsari, bus mulai bergerak perlahan meninggalkan terminal. Sopir yang iseng memencet klakson, membuat beberapa orang di dekat bus terjingkat kaget.

Slamet melihat-lihat keluar jendela. Tiba-tiba saja berkhayal Sari ada di antara kerumunan para pengantar yang melambai-lambaikan tangan di bawah sana. Melepas kepergiannya.

Ah, mana mungkin! Sisi lain di dalam diri Slamet meledakkan khayalan itu.

Sari sekarang mungkin sedang sibuk menata barang-barang hantaran lelaki yang melamarnya. Sedangkan Bulik Marni pastilah sudah asyik menghitung uang lamaran.

Memikirkan hal itu, wajah Slamet berubah murung. Kembali terngiang-ngiang ucapan pedas Marni. Membuat darah di dalam tubuhnya seakan-akan menggelegak. Tekadnya untuk meraih kesuksesan di Jakarta bertambah tebal.

"Tunggu kamu, Lik Marni. Menantu pilihanmu itu nanti enggak akan ada apa-apanya dibanding aku, Slamet bin Siswoyo!" desis Slamet. Gerahamnya bergemeletuk.

$$$

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status