Share

002 - Bukan Menantu Idaman

Slamet pengin kaget mendengar jawaban Sari, tetapi tidak bisa. Dia sudah menduga sejak tadi jika yang sedang dilamar adalah gadis itu. Tak mungkin ibunya.

Toh, tetap saja Slamet jadi melongo. Seketika seperti ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya. Entah apa, tetapi pemuda itu tiba-tiba saja merasa nelangsa.

Memang tak pernah ada kata cinta dan sayang terucap di antara Slamet dan Sari. Juga tak ada kesepakatan di atara mereka berdua untuk berpacaran atau apapun itu jenis hubungan antara lelaki dan perempuan.

Namun mereka berdua tahu jika sama-sama saling membutuhkan. Slamet dan Sari sama-sama saling merindukan jika lama tak bertemu. Meski saat bertemu paling banter hanya berpegangan tangan, sembari memandang sendu satu sama lain.

Tak ada dinner romantis ala-ala drama Korea. Namun Sari paling suka merengek minta diajak makan bakso di warungnya Lik Ganjar di dekat jalan besar.

Slamet pun paling senang membelanjakan uang hasil narik angkot yang tak seberapa untuk menyenangkan Sari, selain tentu saja untuk membantu keuangan rumahnya sendiri. Meski hanya makan bakso atau mie ayam sebulan sekali.

"Met, kamu kok enggak bales meluk aku, to?"

Ucapan Sari yang lebih mirip rengekan mengagetkan Slamet. Pemuda itu berdeham untuk melepas ketegangan yang tiba-tiba saja dia rasakan.

"K-kamu ... kamu jawab dulu, kamu itu kenapa malah nangis?" tanya Slamet kemudian.

"Kamu serius nanya gitu, Met?" Sari malah balik bertanya, lalu sesenggukan. "Wis to, peluk aku, Met. Aku pengin kamu meluk aku."

Slamet garuk-garuk kepala. Bukannya menuruti ucapan Sari, dia malah bertanya lagi, "Kamu dilamar orang kok malah sedih, piye to?"

Sari yang tadinya cuma sesenggukan langsung meraung. Air mata gadis itu bertambah deras saja membanjiri sepasang pipi mulusnya nan halus.

Melihat itu Slamet jadi semakin serba salah. Jujur saja pemuda itu bingung. Sari dilamar, terus dia harus apa? Simpanan bukan, pacar bukan, apalagi istri.

Lagi pula kalau Slamet mati-matian menolak, memangnya ada pengaruh? Semua orang satu desa tahu siapa Marni, ibu Sari. Perempuan keras kepala yang suka semaunya sendiri. Bahkan terhadap puteri semata wayangnya sekalipun.

"Met, kamu tuh asline sayang apa enggak sih, sama aku?" tanya Sari lagi, masih sambil susah payah menahan linangan air mata.

Glek! Slamet menelan air ludahnya sendiri. Ini kali pertama Sari bertanya demikian.

Sejak mereka berhubungan dekat selepas kenaikan kelas II SMA, kira-kira tiga tahun lalu, baru sekarang Sari menanyakan perasaan Slamet seperti ini.

"A-aku ..." Slamet bimbang hendak menjawab. Dia jawab sayang juga, Sari sudah akan dilamar orang. Buat apa? Namun dia juga tak mau mengecewakan Sari.

"Lha kamu sendiri, sebenernya sayang enggak sih, sama aku?" Slamet akhirnya balik bertanya.

Yang ditanya kembali menangis kejer. Air matanya tak hanya membasahi sepasang pipi, tetapi juga meleleh sampai ke bahu Slamet. Membuat kaus yang dikenakan pemuda itu basah kuyup di dua titik.

Melihat Sari tampak sangat sedih, Slamet mengutuki diri sendiri. Pertanyaan bodoh, makinya di dalam hati. Perempuan itu enggak usah ditanya macam-macam. Cukup lihat dan perhatikan saja sikapnya terhadapmu.

Kalau diingat-ingat, memang segala kemanjaan Sari padanya selama ini apa namanya kalau bukan wujud rasa sayang? Begitupun judesnya gadis itu, sesuatu yang selalu Slamet rindukan.

Diliputi perasaan bersalah, Slamet lantas membuka mulut hendak berkata. Namun belum sampai pita suaranya bergetar, satu bentakan menggelegar sudah mendahului.

"Oh, di sini rupanya? Pantes! Pantesan kamu, Sar!"

Slamet kaget dan langsung mengarahkan pandangannya ke sumber suara. Meski sebetulnya dia sudah dapat menebak siapa si pembentak tadi, sebab orang satu Desa Dagan ini juga hapal dengan suara tersebut.

Seorang perempuan berusia kisaran paruh tiga puluhan datang mendekat. Riasan tebal lagi menor yang menghias wajahnya tak mampu menutupi ekspresi gusar bercampur kesal. Dialah Marni, ibu Sari.

"Heh, Met, jangan peluk-peluk Sari. Cepat lepas!" bentak Marni. Sepasang matanya melotot.

"T-tapi, Bulik ..." Slamet kebingungan sendiri.

Bukannya Slamet tidak mau menurut, tetapi bukan dia yang memeluk Sari. Justru Sari-lah yang sejak tadi memeluknya.

"Kamu itu dasar enggak tahu malu ya, Met. Sari ini sudah dilamar orang, kenapa kamu malah datang dan meluk-meluk dia, hah? Di sini lagi, kayak mau nantang saja," ujar Marni lagi, kedua tangannya sudah terlipat di pinggang.

"S-sepurane, Bulik, tapi Sari tadi yang nyuruh aku datang ke sini." Slamet akhirnya memberanikan diri menjawab.

Marni mendengus sumbang. Mana mau dia percaya kalau puterinyalah yang malah mengundang Slamet untuk datang. Biar tahu kalau Sari akan dipinang orang apa bagaimana?

"Kamu itu jangan macam-macam ya, Met. Jangan berharap muluk-muluk sama Sari," lanjut Marni, masih dengan berkacak pinggang. "Aku selama ini diam, pura-pura enggak tahu kedekatan kamu sama Sari, itu cuma karena masih merasa segan sama bapakmu. Bukan karena aku seneng Sari lengket sama kamu."

Slamet diam. Tak tahu harus berkata apa. Sementara Sari semakin deras tangisnya. Semakin erat pula pelukannya.

"Sekarang Sari sudah ada yang nembung, sudah ada yang ngelamar, ngajak kawin. Jadi, kamu jangan dekat-dekat Sari lagi," sambung Marni. "Lagian, calonnya Sari anak pejabat, bukan sopir angkot kaya kamu...."

"Bu, tapi aku sayang karo Slamet," sela Sari di antara isak tangisnya.

"Halah! Sayang-sayangan tai kucing! Hidup itu butuh duit, butuh materi, bukan cuma sayang," sergah Marni dengan nada mengejek. Lalu katanya pada Slamet, "Terus kowe ya, Met, anak mantan lurah kere kaya kamu mana pantas jadi pasangan Sari. Mbok mikir kamu itu. Ngaca!"

Slamet masih diam, mulutnya terkancing rapat. Namun di dalam hati pemuda itu tengah bergemuruh. Dia rela dihina Marni, dikatai apa saja dia akan terima, tetapi jangan coba-coba menyebut-nyebut ayahnya seperti itu.

Baru saja Slamet hendak membalas ucapan Marni, Sari sudah terlebih dahulu melepaskan pelukan dan menyahuti ibunya.

"Bu, Ibu yang harusnya mikir, yang harusnya ngaca. Dulu kalau bukan bapaknya Slamet yang nolong pas Bapak meninggal, kita bisa apa?" ucap Sari yang masih menangis.

"Oo, jadi ceritanya kamu mau balas budi sama mantan lurah kere itu, hah? Mau jadi mantunya, gitu? Aja ngimpi!" balas Marni lebih sengit.

"Lagian mantan lurah kere itu pernah bantu kita apa, sih? Wong bantu dirinya sendiri saja enggak bisa gitu, kok. Ini jaman teknologi maju, tapi dia kemana-mana masih naik sepeda. Kaya jaman penjajahan Jepang wae!

"Wis, kamu jangan bikin malu ibumu, Sar. Yang datang melamar kamu ini anaknya teman baik Ibu. Bukan cuma itu, tapi dia juga orang terkaya sekabupaten ini!"

Usai berkata begitu, Marni menarik tangan Sari kuat-kuat. Karena kaget dan tak siap, gadis itu tersentak sehingga pelukannya pada Slamet terlepas.

Marni masih belum puas. Dia tarik lagi anak gadisnya itu sampai berdiri di sebelahnya. Tak peduli Sari masih terus menangis, meratapi nasibnya yang harus ikut kemauan ibu tanpa memedulikan bagaimana perasaannya.

"Sudah, jangan pernah lagi kamu menemui si Mamet. Dikasih jodoh pengusaha muda, anak pejabat, malah nemplok ke sopir angkot. Bikin malu saja!" gerutu Marni, sembari menyeret Sari ke dalam rumah.

"Tapi, Bu...."

"Sudah, diam! Cepat masuk dan hapus air mata kamu. Dandan lagi sana! Jangan bikin malu ibumu, Sar!"

Bertepatan dengan itu, seorang pemuda berdandan perlente dengan kemeja rapih dimasukkan ke dalam celana panjang pantalon, bersepatu semir hitam mengilat, muncul bersama seorang perempuan seusia Marni. Agaknya keributan kecil di samping rumah barusan mengusik rasa ingin tahu mereka.

"Ada apa, Jeng Marni?" tanya perempuan berdandan wah yang muncul dengan pemuda gagah dan rapi tadi.

"Oh, enggak ada apa-apa, Jeng Susi. Sudah, ayo masuk, kita mulai acaranya," jawab Marni, berusaha menutupi apa yang terjadi.

Sari yang tak tahu lagi harus berbuat apa akhirnya menurut saja. Sambil berjalan didorong-dorong ibunya, gadis itu menoleh ke belakang. Memandangi Slamet yang masih berdiri diam di tempatnya.

Melihat itu, pemuda perlente tadi ikut memandang ke arah Slamet. Untuk beberapa saat dua pemuda berpenampilan bagaimana langit dan bumi itu bersitatap tajam.

Sambil menatap si pemuda yang dia tebak adalah pelamar Sari, Slamet menggeretakkan geraham dan mengepalkan tangan. Dia tengah menahan amarah karena sekali lagi ayahnya dihina.

Kalau menuruti amarah di dada, ingin rasanya Slamet balas mencaci maki Marni. Perempuan itu harus diajari menjaga mulut, menjaga ucapan, menjaga perasaan orang lain, biar tidak terus-terusan berbuat dan berbicara seenak udel.

Namun demi melihat Sari yang tampak begitu sedih dan menderita, Slamet mengurungkan niat. Dia tak mau menambah kesusahan di hati gadis itu. Biarlah, lebih baik mengalah saja.

Maka, ketika pemuda di depan sana berbalik badan dan masuk ke dalam rumah, Slamet memutuskan pergi.

"Selamat tinggal, Sar. Aku mungkin memang bukan menantu idaman ibumu sekarang, tapi jangan lupa kalau bumi itu berputar...."

=$$$=

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status