Share

Kedatangan Madu Baru

Buka pintunya! siapa yang mengunci pintu kamar mandi dari luar, woyyyy!" teriak Marni yang terjebak dalam kamar mandi. Alena melepaskan ciumannya sesaat.

"Apa ini ulahmu?"

Harry terkekeh sambil mengangguk.

"Meski saya tak takut, mati. Saya tetap harus waspada pada bahaya yang bisa mengancam kita berdua." balas Harry.

Alena girang bukan main. Harry yang biasanya ketus itu tiba-tiba berubah manis seperti ini. Dia melanjutkan ciumannya tanpa peduli dengan teriakan pembantunya yang meminta tolong.

****

Hari terus berlalu. Tiap malam dua manusia yang tengah menjalani cinta terlarang itu tak pernah menyia-nyiakan kesempatan mereka untuk curi-curi bertemu. Alena nampak tak peduli ketika Harry meninggalkan beberapa tanda merah keunguan di beberapa bagian tubuhnya.

"Alena sayang. Mas pulang!" teriak Yudi sambil mengetuk pintu kamar. Alena dan Harry terkejut bukan main, tiba-tiba sekali suaminya pulang ke rumah tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Ini jam satu malam, suaminya pulang lebih awal dari jadwal seharusnya.

"Harry. Cepat pakai bajumu!" ujar Alena seraya mengutip bajunya yang berserakan di lantai.

"Baik, Len." balas Harry. Dia mulai berani berbicara tak formal pada majikannya.

"Kau sembunyi dulu dalam lemari, Harry. Nanti aku akan alihkan perhatian suamiku dan Dewi."

Cepat-cepat Harry menurut. Setelah dia selesai memakai bajunya, dia langsung masuk dalam lemari baju majikannya.

Ceklek!

"Mas dah pulang? cepet banget?" tanya Alena saat menyambut suamimya. Dia mengikuti saran Chika agar menghadapi Yudi dengan lembut, dengan begitu ia akan lebih mudah menjalankan rencananya. Berpura-pura bersikap lembut dan mengalah untuk mencapai tujuan besarnya.

"Besok pagi ada meeting mendadak, jadi Mas pulangnya lebih cepet. Kenapa ekspresimu kok kaya gak suka melihat Mas pulang?" tanya Yudi penuh selidik.

"Bukan gitu, tapi males aja harus bertengkar lagi dengan istri muda, Mas." jawab terbata Alena.

"Hampir seminggu Mas tinggal harusnya kemarahanmu padanya sudah berkurang." balas Yudi sambil menarik masuk kopernya ke dalam kamar Alena.

"Tidak akan Mas. Tolong jangan paksa aku memaafkan penghianat itu." ucap Alena dengan nada tak setinggi biasanya.

Yudi duduk di atas ranjang kemudian menatap wajah istrinya yang masih belum bisa menerima pernikahan keduanya.

"Kamu kok keringetan? Padahal suhu ruangan di kamarmu lumayan dingin?"

Alena terkejut bukan main, dia tak menyangka suaminya akan memperhatikannya sedetail itu.

"Itu...itu tadi sebenarnya aku belum tidur. Aku beres-beres isi lemari karena tak bisa tidur."

Yudi menatap Alena dengan sedikit rasa iba, "Maaf. Kamu pasti sangat tersiksa dengan datangnya wanita lain di rumah ini."

Alena mulai berdrama, dia menunjukan wajah sedihnya sembari mengangguk.

"Mas bawa oleh-oleh buat kamu." ucap Yudi sembari berjongkok membuka kopernya.

"Wah, cantik banget. Mas." puji Alena senang.

"Cincin berlian ini harganya lebih mahal dari mobilmu. Kau suka?"

Alena mengangguk senang.

"Jangan marah lagi sama, Mas. Janji?"

"Ya. Aku enggak akan marah lagi sama kamu."

Untuk sesaat Yudi memeluk erat istri pertamanya, "Makasih, sayang. Kamu tetap menjadi yang pertama dari banyaknya wanita-wanita lain yang dekat dengan Mas."

Alena sedikit melonggarkan pelukan suaminya, "Apa maksud kalimatmu tadi Mas? Apa itu berarti ada banyak wanita lain selain Dewi yang sedang Mas kencani?"

Yudi tertawa, "Mas cuma ngledek kamu. Jangan serius gitu, dong!" ucap Yudi sambil mencolek hidung istrinya.

"Mas Mandi dulu, baru boleh tidur di sini!" ucap Alena.

"Sudah tengah malam gini, Mas cuci muka saja, ya?" balas Yudi dengan nada malas.

"Enggak bisa. Di tubuh Mas menempel parfum Dewi. Aku benci pada segala sesuatu yang mengingatkanku pada wanita itu!" tegas Alena. Yudi yang melihat Alena kembali marah saat mencium bau parfum Dewi di tubuhnya akhirnya mengalah.

"Ok. Mas akan mandi." ucap Yudi sembari bangkit dari duduknya. Kemudian ia menyambar handuk miliknya dan masuk ke dalam kamar mandi.

Setelah Yudi masuk dalam kamar mandi, Alena mengunci pintu kamar mandi dari luar kemudian cepat-cepat ia membuka pintu lemarinya.

"Aku akan mengalihkan perhatian Dewi, saat itu cepat-cepat kamu turun!"

Harry paham dan mengangguk.

"Wi! buka pintu!" teriak Alena sambil mengetuk pintu kamar Dewi.

Dewi membuka pintu kamarnya kemudian dia melipat dua tangannya di dadanya.

"Eh, maduku. Datang kesini pasti mau ngelabrak aku karena minjem suamimu terlalu lama, kan?"

Bukan Dewi namanya kalau dia tak selalu memancing amarah Alena. Alena yang kemarin sering terpancing oleh tajamnya lidahnya kini tidak lagi.

"Aku mau ngomong sesuatu yang penting di dalam. Boleh aku masuk?"

"Ngomongnya di sini saja. Ngapain harus pake ke dalam!" tolak Dewi.

"Aku tak mau Mas Yudi mendengarnya. Boleh aku masuk?" Alena mengulang pertanyaannya.

Karena penasaran Dewi akhirnya mengizinkan Alena masuk ke dalam kamarnya. Pintu kembali Dewi tutup saat Alena sudah sampai ke dalam.

"Mau ngomong apa?"

"Gini, Wi. Suamiku ngelarang aku cerita sama kamu. Kalau dia ngasih aku cincin berlian ini yang harganya lebih mahal dari mobil yang ku pakai."

Wajah Dewi memerah melihat Alena pamer cincin berliannya. Cincin itu sangat cantik, bagaimanapun caranya Dewi harus mendapatkannya juga.

"Jadi kamu datang ke sini cuma mau pamer?"

"Bukan pamer Dewi. Aku sedang curhat saja sama kamu tentang betapa sedang bahagianya aku malam ini."

Dewi berdecak kesal, "Sama saja itu pamer, bodoh!"

"Owh. Jadi selama pertemanan kita dulu kamu selalu menganggapku pamer ketika sedang curhat tentang kebahagiaanku sama kamu? Aku ngerti sekarang kenapa kamu juga menginginkan suamiku. Itu karena kamu iri kan sama kemewahan yang ku dapatkan dari Mas Yudi?" ucap Alena dengan nada meremehkan.

"Diamlah kamu, Len. Apa masih penting membahas masalalu kita? Aku sudah jadi istri kedua Mas Yudi. Kedudukan kita di rumah ini sudah setara. Jadi jika kamu mendapatkan cincin itu aku janji esok aku juga akan dapatkan cincin yang sama persis dengan itu. Aku janji."

"Aku juga janji kamu takan berhasil mendapatkanya!" ucap Alena kemudian melenggang pergi. Dewi kembali berhasil di buat kesal Alena. Seperginya Alena, Dewi membanting vas bunga yang ada di kamarnya karena sangat marah.

Mendengar kemarahan Dewi, Alena tersenyum puas. Dia berjalan menuju kamarnya dengan senyuman penuh kemenangan.

Setelah masuk kembali dalam kamar, cepat-cepat Alena mengecek keberadaan Harry. Alena bernafas lega setelah melihat Harry sudah tak ada di sana lagi. Ia kemudian berlari dan membuka kunci pintu kamar mandi.

Yudi telah memakai kimononya dan duduk di sebelah Alena.

"Mas aku sudah ngantuk. Aku tidur duluan, ya?" ucap Alena sebelum Yudi melakukan sesuatu padanya. Dengan wajah kecewa Yudipun mengijinkan istrinya tidur duluan padahal malam ini dia sangat menginginkannya.

Keesokan paginya Dewi mengamuk ingin cincin yang sama dengan Alena. Alena mengancam Yudi jika kali ini dia memberikan cincin yang sama pada Dewi, dia takan memaafkan Yudi. Kepala Yudi hampir pecah menghadapi dua wanita egois yang sudah menjadi istrinya.

Malam harinya Yudi ingin mengajak Alena makan malam. Tentu saja tanpa Dewi. Alena cukup tersanjung dengan sikap baik Yudi. Sepertinya kali ini lelaki itu ingin menebus rasa bersalah padanya.

Sepanjang perjalanan ke restoran, Yudi menggenggam tangan Alena. Mereka berdua terlihat begitu romantis. Harry yang melirik mereka dari kaca spionnya merasa cemburu. Cinta buta telah membangunkan keegoisannya. Dia sadar betul, harusnya dia tidak merasa panas melihat keromantisan sepasang suami istri yang ada di belakangnya.

Di dalam restoran Yudi menarik ke belakang kursi dan mempersilahkan istrinya duduk. Alena merasa seperti seorang Putri di perlakukan seperti itu oleh suaminya. Jujur dari hatinya paling dalam ia merasa terharu melihat kebaikan suaminya.

Setelah selesai makan malam, Yudi ragu-ragu mengutarakan sebuah keinginannya pada Alena.

"Mas membawamu kesini sebenarnya ingin mengatakan sesuatu yang penting padamu."

Alena mulai menyimak ucapan suaminya.

"Kamu janji ya, enggak akan marah setelah aku jujur padamu?"

"Tergantung. Memangnya Mas mau bilang apa sampai-sampai ragu-ragu gitu?" tanya penasaran Alena. Perasaannya mulai tak enak.

"Sebenarnya saat Mas bulan Madu di Bali, Mas ketemu dengan seorang gadis cantik. Mas ingin menjadikannya istri ke tiga Mas."

Alena syok mendengar ucapan suaminya.

"Jadi cincin berlian dan makan malam ini adalah sogokan dari Mas agar aku mengizinkan Mas menikah lagi?" ucap Alena dongkol. Ia mengatur nafasnya karena merasa di bohongi dengan sikap baik suaminya yang dia anggap tulus sebelumnya.

"Tolonglah, Len. Ini terakhir kalinya Mas akan menikah. Jangan marah, ya?"

"Kalau aku gak ngijinin pernikahan kalian, apa Mas akan tetap menikah?"

"Tentu saja. Karena keputusan mas sudah bulat. Dengan ijin atau tanpa ijinmu Mas akan nikah lagi."

"Kalau akhirnya seperti itu kenapa masih minta ijinku, hah?" geram Alena sambil melempar sendok di piringnya. Ingin dia melakukan hal lebih kasar dari itu, tapi melihat dia jadi pusat perhatian pengunjung lain dia tak jadi melakukannya.

'Sabar Alena. Tujuanmu menguras harta suamimu. Biarkan dia melakukan apa pun yang ingin ia lakukan!'

Alena kembali merasa sejuk setelah mengingat tujuan awalnya. Sejak malam itu dia berjanji untuk tidak akan lagi tersentuh oleh sikap baik suaminya. Entah berapa wanita lagi yang akan singgah di hati suaminya, dia harus siap akan hal itu. Dia berjanji pada dirinya sendiri, akan segera mengakhiri penderitaannya. Setelah ia rasa uangnya cukup untuk pengobatan ibunya, dia akan kabur dari Yudi.

Sepanjang perjalanan pulang Alena diam. Yudi tahu kalau istrinya masih syok dengan keputusannya.

Karena tak mau membuat mood Alena bertambah buruk, dia memutuskan tidur di kamar Dewi.

Yudi masuk dalam toilet. Ponselnya tiba-tiba bergetar. Notif pesan masuk. Mata Dewi membulat saat tak sengaja membaca pesan tersebut. Panggilan sayang dan kata-kata mesra di kirim oleh seorang gadis cantik berumur belasan tahun untuk suaminya.

Saat Yudi keluar dari toilet, Dewi langsung mengintrogasi suaminya. Ketenangan yang Yudi inginkan, tapi bencana yang ia dapatkan. Jika tadi dia tak memutuskan tidur di kamar Dewi, peperangan ini takan terjadi.

Jam menunjukan pukul sebelas malam, tapi suara cempreng Dewi tak bisa membuat Alena tidur. Dewi yang tengah mengamuk dan mengomeli suaminya mengganggu ketenangan Alena.

"Kamu tega, Mas! belum genap dua minggu pernikahan kita tapi kamu sudah main serong dibelakangku!" teriakan Dewi hampir membuat gendang telinga Alena pecah. Dia menyumbat telinganya dengan hansfree bermaksud agar tak lagi mendengar pertengkaran dua orang itu.

"Hentikan bertindak seperti anak kecil Wi, kamu pikir Mas peduli tentang perasaanmu apa? Jadi, jangan berani-beraninya mengatur hidup Mas. Minggu depan Mas akan menikah lagi dengan wanita yang mengirim pesan tadi, jika kamu merasa keberatan kamu boleh pergi meninggalkan rumah ini!"

"Sumpah demi apapun, suara mereka lebih berisik dari pasar yang menjual hewan-hewan liar." bebel Alena. Dia membanting bantalnya dan keluar kamar, telinganya sakit mendengar dua badut itu bertengkar.

Alena mengambil air putih lalu meneguknya tanpa sisa. Setidaknya air putih itu kembali menetralkan rasa kesalnya.

Selesai minum mendadak pikiran nakal Alena datang, dari pada dia suntuk dikamar bukankah lebih baik kalau dia habiskan sedikit waktunya bersama sopir tampannya yang akhir-akhir ini membuatnya tergila-gila.

"Hai, tampan! kok melamun sih?" Harry terkejut melihat Alena tiba-tiba muncul dalam kamarnya, ia tak mengunci pintu jadi dengan mudahnya Alena bisa masuk ke dalam.

"Kamu belum tidur?" tanya Harry sambil tersenyum menyambutnya. Ia mengecup kening Alena dan ini lebih dari cukup membuat hati Alena senang.

"Aku gak bisa tidur, suamiku dan Dewi sedang bertengkar. Berisik banget!" Alena duduk di bibir ranjang sambil menyandarkan kepalanya di pundak Harry. Harry yang juga belum tidur karena rasa cemburunya akan keromantisan Alena dan Yudi tadi, merasa hatinya mulai membaik.

"Kenapa mereka ribut, apa Dewi marah lagi kalau Pak Yudi lebih suka tidur bareng kamu” Harry bertanya dengan memperlihatkan sedikit rasa cemburunya. Itu makin terlihat menggemaskan bagi Alena.

"Bukan itu sayang. Mas Yudi mau nikah lagi jadi sekarang Dewi tengah mengamuk." mata Harry membulat, tak percaya mendengar cerita Alena.

"Serius?" tanya Harry dengan tak mengedipkan matanya karena saking terkejutnya.

"Ya seriuslah, masa aku bohong sih!" kembali Alena menyandarkan kepalanya di pundak Harry. "Makan malam tadi hanya sebuah sogokan. Dia bilang padaku ingin menikahi satu wanita lagi."

"Kamu yang sabar ya sayang, anggap ini sebuah cobaan untukmu." Harry menguatkan Alena sambil mengelus rambut kekasih gelapnya itu.

"Aku sudah tak pernah merasakan sakit lagi sejak bersamamu, Har! Aku benar-benar hutang budi padamu." kata-kata Alena membuat Harry terharu, semenit mereka berciuman dan berpelukan.

"Aku pamit dulu ya sayang, takutnya mereka curiga kalau terlalu lama meninggalkan kamarku." pamit Alena.

"Buru-buru banget, sih!" ucap Harry sambil manyun.

"Kamu mau kita ketahuan?"

Harry menggeleng.

"Jadi jangan egois. Kita akan kabur bersama setelah aku berhasil memberi pelajaran Mas Yudi. Kamu harus sabar sampai saat itu tiba." ucap Alena membujuk Harry agar tidak lagi manyun.

"Kamu janji, kamu akan membawaku ikut kabur dari sini? Kamu tidak akan menyesal menikahi pemuda miskin sepertiku?" tanya Harry. Alena menggenggam tangan Harry untuk kembali meyakinkan sopir tampannya.

"Aku sudah pernah hidup bergelimpang harta, tapi nyatanya aku tidak bisa bahagia. Harta tak menjamin kebahagiaanku, Harry."

Harry tersenyum, "Aku janji juga tidak akan membuatmu terluka. Aku takan membuatmu menyesal karena telah memilihku." ucap Harry.

"Aku pergi. Jangan manyun lagi seperti tadi. Aku mencintaimu!"

Harry bahagia bukan main saat Alena mengucapkan kalimat barusan. Dia lalu membiarkan wanita pujaan hatinya pergi dari kamarnya.

Cekleeekkk!

Alena terlonjak kaget melihat suaminya sudah berada dalam kamarnya.

"Mas Yudi?"

"Dari mana saja kamu?" tanya Yudi marah karena menunggu Alena terlalu lama di kamarnya.

"Minum dan duduk di bawah bentar Mas. Kalian berdua berisik banget. Aku sampai tidak bisa tidur!" Alena berpura-pura bersikap manja pada suaminya agar ia tak curiga.

"Mas makin lama makin stres dengan kelakuan Dewi. Baru punya istri dua saja rasanya kepala Mas, sudah mau pecah." curhat frustasi Yudi.

"Makanya jangan nikah lagi mas, kalau nambah istri lagi nanti kepala Mas benar-benar pecah loh!" Alena tertawa dalam hati saat menasehati suaminya dengan kalimat pedasnya.

"Kepala mas gak akan pecah kalau diobati sama kamu. Malam ini, jangan menghindar lagi, mas gak sabar makan kamu!"

Degh! 

Alena pucat, beberapa bekas tanda merah yang Harry tinggalkan masih tertinggal di beberapa bagian tubuhnya. Ia tak mau ketahuan. Dia harus memikirkan cara agar malam ini tidak di sentuh oleh Yudi.

Yudi mengangkat tangannya dan mulai membuka kancing baju Alena, cepat-cepat Alena menghentikan aksi nakal suaminya.

"Mas tadi sore aku dapet, maaf!" mendengar hal itu Yudi memukul kasurnya karena kesal. Melihat ekspresi frustasi suaminya Alena terkekeh dalam hati, "Kapok kamu, Mas!"

Seminggu kemudian Yudi kembali terbang ke Bali. Ia menikah dengan wanita yang ia ceritakan pada Alena. Resepsipun diadakan disana jadi Alena tak perlu repot-repot ikut mengurusnya.

"Kamu kok gak ada sedih-sedihnya ditinggal suami kawin lagi. Jangan-jangan kamu sudah tak mencintai suamimu lagi, ya?" tanya Dewi membuat Alena yang sedang santai berbalas pesan dengan Harry kaget. Dewi masuk dalam kamar tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Alena sangat marah melihat kelancangannya.

"Cinta? Cintaku sudah hilang dari tiga minggu yang lalu ketika tau kamulah yang menjadi maduku. Aku bisa memaafkan kecurangan Mas Yudi dengan wanita lain yang tak ku kenal, tapi tidak denganmu." jawab pedas Alena.

"Kamu sendiri yang gak pandai mengurus suami. Jangan salahkan aku jika suamimu waktu itu kepencut sama aku!"

Alena tertawa menahan geli mendengar ucapan mantan sahabatnya.

"Jadi pernikahan Mas Yudi sekarang karena kelalaianmu juga yang tak bisa menjaga suamimu?"

Alena kembali membalikan kalimat Dewi. Ini membuat Dewi mengangkat tangannya ingin menampar mulut Alena yang dianggapnya lancang. Sayangnya pergerakan tangannya bisa dibaca oleh Alena. Alena berhasil menangkis tangan Dewi sebelum menyentuh pipi mulusnya.

"Sadar dirilah sedikit, Wi. Kamu cuma istri kedua. Jika aku mau aku akan menghasut suamiku agar mendepakmu keluar rumah."

Wajah Dewi merah padam mendengar ancaman Alena. Ia kemudian memilih pergi meninggalkan Alena karena merasa kalah.

Seminggu sudah berlalu, pagi ini Alena dan Dewi bersiap menyambut kepulangan Yudi dan istri barunya.

"Mas Yudi!" panggil Dewi. Kemudian dengan mesranya ia cipika cipiki dengan Yudi seolah sudah satu abad mereka tak berjumpa. Senyum keceriaan Dewi terlihat memudar saat melirik kearah istri baru Yudi. Umurnya masih sekitar 18tahunan. Gadis itu terlihat sangat imut dan Dewi sangat benci mengakuinya.

"Wi, bantu Bunga membawa barang-barangnya ke kamar atas yang sudah disiapkan. Mas mau istirahat, cape sekali!" perintah Yudi pada Dewi.

"Kok cuma aku sih, Mas! Alena juga dong, kan barangnya banyak masa cuma aku yang disuruh bolak-balik naik turun ke lantai tiga sendirian!" protes Dewi.

"Alena suruh mijitin Mas didalam kamar. Sudah, kamu jangan banyak protes!" Dewi semakin dibuat kesal karena jawaban Yudi.

"Rasain kamu Wi!" batin Alena.

Alena menjabat tangan madunya dengan senyuman. Bukan senyuman ikhlas ataupun senyuman kemarahan. Ada tidak adanya wanita berumur belasan tahun itu bagi Alena sama saja. Toh, suaminya tetap buaya darat yang ingin memiliki wanita cantik yang di lihatnya.

"Gimana menurutmu istri baru Mas?" tanya Yudi ketika sudah berbaring disebelah Alena.

"Ia terlalu muda untuk pria ganas seperti Mas. Kok Mas tega sih nikahin anak kecil seperti itu?" jawab Alena, Yudi tertawa keras sekali mendengar ucapan Alena.

"Meski Bunga umurnya masih 18tahun tapi ia lumayan jago loh, kamu jangan salah!" entah rasa jijik atau muak yang Alena rasakan ketika mendengar jawaban Yudi, tapi tetap saja dia pura-pura ikut tertawa bersama suaminya.

"Len. Tumben kamu nggak ngambek-ngambek lagi. Malahan Mas lihat kamu memperlakukan Bunga dengan sangat baik."

Alena terdiam sejenak, memikirkan jawaban apa yang pas untuk suaminya.

"Aku sudah mulai terbiasa dengan karekter Mas yang tak bisa setia dengan satu wanita." jawab Alena setelah beberapa saat berpikir keras.

"Kamu tak cemburu pada Bunga?"

"Kalau aku bilang tak, apa Mas percaya?"

Yudi terdiam sebentar. "Itu berarti cintamu pada Mas sudah mulai berkurang?"

"Mungkin." jawab singkat Alena. Entah kenapa Yudi merasa sakit hati mendengar kejujuran Alena. Tapi penyesalannya tetap tak menjamin kalau dia tak mengulang kesalahan yang sama.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status