Share

Come Back

Sepeninggal Jack, tak lama berselang, Ammy mendapatkan panggilan dari sambungan interkomnya.

"Ammy. Bisa kau antarkan surat kontrak dengan ELS Group? Aku akan mempelajarinya."

"Masih belum selesai, Davee. Segera kuurus."

"Lakukan dengan teliti, Ammy. Kalau sudah selesai antarkan ke ruanganku."

"Apakah kau sudah mengcopy laporan terakhir meeting kemarin, filenya ada pada Mrs. Howard, tanyakan saja padanya apa saja yang kau tak tahu saat kau tak masuk kemarin? jika sudah aku akan mengambilnya, jadi aku berubah pikiran untuk mengambilnya ke ruanganmu saja."

"Perlu aku yang antar?"

"Tidak, tidak ... biar aku saja ke ruanganmu. Sepertinya aku butuh udara yang sama seperti yang kau hirup." Davee sedikit berimprovisasi dengan sedikit candaan, lalu berjalan menuju ruangan Ammy. Penghidunya mencium semerbak aroma Tulip menyeruak memenuhi ruangan ketika membuka pintu. Rupanya buket bunga Tulip merah memang tergeletak di meja.

"Hai, Ammy. Senang bertemu denganmu kembali, di kantor ini tentunya." Davee tersenyum dan menjabat tangan Ammy. Ammy pun menyambutnya dengan senang hati.

"Ya, aku juga senang bekerja di sini kembali, Davee."

"Kupikir aku melewatkan hari penyambutan." Ia menggaruk sudut alis dengan telunjuknya.

"Hari penyambutan?" Ammy mengerutkan dahi. Davee menunjuk buket tulip yang tergeletak di meja dengan dagunya sementara Ammy hanya mengedikkan bahu.

"Dari Jack," ucapnya.

"Jack?" Ia terlihat tidak senang meskipun ia berusaha memasang wajah biasa saja.

"Hu uh, ada masalah?" Ammy beringsut setelah beberapa saat lamanya tertegun mengamati gelagat tak nyaman dari Davee. Pria itu mengendurkan simpul dasi, menghela napas panjang lalu berujar, "bagaimana aku harus memperingatkanmu, Amm. Supaya kau jangan terlalu dekat dengannya."

"Why, Davee? Kupikir Jack sudah mulai berubah."

"Aku hanya tidak ingin melihatmu terluka. Ini bukan soal berubah. Keadaan tak akan berubah. Percayalah padaku."

"Hei, ada apa denganmu? Aku tidak akan terluka, aku percaya padanya. Bukankah semua ini baru dimulai."

"Semudah itu , Ammy? Kau baru mengenalnya sekitar sebulan lalu. Dan kau sudah jatuh ke tangannya?"

"Aku punya intuisi yang baik kurasa. Kupikir aku dan dia memiliki kecocokan yang khas. Jodoh tak ada yang tahu, kan?"

"Kau boleh mencintai laki-laki mana pun, Ammy. Tapi, tolong jangan dia."

Davee merasa buntu, tidak tahu bagaimana harus mencegah kedekatan mereka. Tidak tahu bagaimana harus memberitahu mereka, jika bersama mereka akan menghancurkan satu sama lain. Seperti skenario yang telah Hans perhitungkan. Dan itu tidak boleh terjadi. Bukan tidak ingin mereka bersama, ia hanya tidak tahu harus memulai dari mana untuk menjelaskan bahwa mereka adalah sebuah ketidakmungkinan.

"Kau cemburu?" tuding Ammy.

"Tidak, kau sama salah pahamnya dengan Jack. Jack itu teman baikku. Kau tahu, bahkan dia sudah seperti adikku sendiri."

"Lalu apa alasannya kau bertingkah aneh? Aku dan Jack, itu bukan urusanmu, Davee."

"Aku hanya ingin melindungimu." Ia mengadah, memandang langit-langit ruangan. Pikirannya melayang. Hans seolah menempatkannya di posisi yang sulit.

"Melindungi dari apa? Dia sepupumu dan dia bukan orang jahat. Aku bisa merasakannya. Aku pikir aku dan dia memiliki ikatan batin yang kuat, mungkin itu cinta sejati. Dan aku percaya itu."

"Aku hanya tak ingin kau menyesal, Ammy. Tidak sesederhana yang kau pikirkan, percayalah! Aku lebih tahu darimu."

"Jika tak sesederhana itu, katakan serumit apa, Davee? Sejak kapan kau peduli pada percintaanku?"

"Desde que me enamorĂ© de ti. (Sejak aku jatuh cinta padamu) Tidakkah itu cukup menjadi alasan? Serumit aku mengatakan hal itu padamu!" Jawabnya cepat penuh penekanan.

Davee mengembuskan napas kasar.

Bagaimana caranya mengatakan pada Ammy, bahwa dia dan Jack terlarang? Apakah semua akan berjalan seperti kemauan Hans? Rasanya dada Davee sangat nyeri.

Ia tak ingin Jack dan Ammy terluka. Namun, jika ia mengatakan semuanya, ada dua konsekuensi yang harus dia terima, yang pertama adalah mereka tak percaya, yang kedua, janjinya kepada mendiang ibunya mengenai saham dan seluruh harta Hans yang akan pindah ke tangannya. Mana yang harus ia utamakan? Jack dan Ammy atau dirinya sendiri? Pada akhirnya ia tetap memilih dirinya sendiri. Demi sang ibu yang telah berpulang memeluk surga.

Ammy mengambil flashdisck di laci mejanya. Memberikannya pada Davee.

"Lain kali jangan memancingku membicarakan sesuatu yang bukan berkenaan dengan kantor. Jangan mempengaruhi integritasku dalam bekerja. Kuharap kau bisa profesional."

Davee terpaku, memandangi Ammy yang entah sibuk dengan dokumen di atas meja atau mungkin hanya sok sibuk untuk mengabaikannya. Davee mendengkus kesal. Kekesalan tanpa tahu mau diapakan.

"Maaf mengganggu pekerjaanmu." Ia kemudian meninggalkan ruangan Ammy. Ammy mendengkus sembari meletakkan pulpen yang digenggamnya dan membiarkan tangannya bertelakan di meja. Ia tak habis pikir dengan sikap kekanakan Davee. Davee dan Jack, keduanya sulit di mengerti, kenapa Davee bersikeras memintanya menjaga jarak dengan Jack? Apa sebenarnya yang dia sembunyikan?

***

Pikiran Davee berkeliaran tak menentu, ia tak tenang. Banyak hal yang ia pikirkan. Terlebih mengenai Jack dan Ammy.

"Jack. Aku ingin bicara." Davee memulai percakapan dengan Jack di sela-sela kesibukannya. Mencari celah agar bisa berdiskusi mengenai dia dan Ammy.

"Kau terlihat serius. Ada apa? Apakah tentang ELS Group? Bukankah aku tinggal menandatangi kontrak kerjasamanya saja?"

"Ini tentang Ammy," ucap Davee sedikit ragu-ragu, ini kali pertama membicarakan hal lain di kantor, apalagi hanya mengenai urusan wanita. Terlebih ketika jam kerja masih berlangsung.

Jack menatapnya dengan penuh selidik. terlihat raut wajahnya yang tegang.

"Ada apa dengannya?"

"Kau mencintainya? Maksudku benar-benar mencintainya?" Davee mengarahkan manik kecokelatannya pada Jack.

Jack tersenyum tipis. Tak berniat menyangkal.

"Tentu saja, dia wanita yang sempurna di mataku."

"Bukan hanya keinginan untuk mengencaninya lalu menidurinya, 'kan?"

"Buang otak kotormu, Amigo (Teman). Aku bersungguh-sungguh."

"Sungguh-sungguh atau tidak, yang kutahu kau akan menghancurkannya, Jack. Kau bisa mendapatkan wanita mana pun, bisa aku memohon agar jangan dia?" Kata-kata Davee sarat permohonan. Namun Jack malah tersenyum meremehkan.

"Apa kau tak terlalu yakin pada dirimu sendiri? Bukankah kau yang memintaku bersaing secara sehat? Dan sekarang kau memintaku mundur saat aku hampir menang?" Ia memainkan telepon genggam di tangannya. Rasa jengkel menggondok di kerongkongannya. Davee lama-lama semakin menyebalkan.

"Kau pasti salah paham. Jika kau meninggalkannya, aku juga tidak akan mengejarnya. bukankah kau pun tak ingin melihat dia hancur?"

"Aku yang mencintainya. jadi untuk apa aku menghancurkannya?" Jack menjawab pertanyaan Davee dengan serangan balik, pertanyaan. Ekspresinya datar dan tampak apatis.

"Perasaanmu, dan juga perasaannya yang akan membuat kalian hancur. Dan aku tidak mau itu terjadi, tolonglah percaya padaku."

"Aku tahu kau menyukainya juga. Tapi kau tidak perlu menakuti kami dengan kehancuran, jika memang harus hancur, kami rela hancur bersama." Jack memfokuskan pandangan dan meletakkan ponsel, menatap Davee dengan pandangan mengintimidasi.

"Aku akan mengajaknya jalan-jalan nanti selepas jam kantor, jadi kuharap kau tidak mati terbakar cemburu."

"Sungguh, ini bukan soal cemburu, Jack!"  sangkalnya kesal.

"Terserah kau saja, Davee. Aku harap kau tidak menyulitkanku. Aku juga tidak terlalu suka caramu mencampuri urusanku." Jack menepuk bahu Davi, kemudian berjalan menuju mejanya, menyalakan sebuah laptop lalu menonton live streaming pertandingan bola.

"Kau menonton saat jam kantor?"

"Kenapa? Ada kau yang bisa mengerjakan semua tugasku. Aku Big bossnya. Aku punya wewenang. Jika kau bisa mengerjakannya kenapa harus aku? Aku mengajimu dengan pantas, jadi jangan mengeluh!"

Davee tersenyum miring.

"Baiklah, aku akan kembali keruanganku. Percuma berbicara dengan big boss diktator sepertimu." sarkasnya.

Sialan, Davee merasa tidak berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Dia harus mencegah rencana Hans menghancurkan Ammy dan Jack, tak peduli apa pun caranya. Tidak ada yang akan menyelamatkan mereka jika bukan dia. Bagaimana caranya mengutarakan semuanya, andai saja dia tahu bagaimana cara memulainya.

----

Ammy menata dokumen-dokumen dan menaruhnya sebagian di ruang arsip, dan sebagian dimasukkan ke laci kerjanya. Menyambar tasnya dan hendak meninggalkan ruangan, sebab jam kantor sudah usai.

Ia membuka pintu dengan tergesa-gesa. Hampir saja dia menabrak Davee yang sudah berdiri di ambang pintu sembari membawa setumpuk dokumen.

"Ada pekerjaan tambahan yang harus kau selesaikan hari ini juga, Ammy. Aku mau kau merevisi keseluruhan laporan ini."

"Kau tidak berusaha mencegahku pergi bersama Jack, kan?" tuduhnya.

Davee mengerutkan kening dan memperlihatkan ekspresi tenang. Wanita itu memang pintar dan memiliki pikiran yang begitu peka. Atau memang Davee saja yang terlalu mudah diterka.

"Tentu saja tidak, ini laporan mengenai ELS Group. Minggu depan pengiriman properti sudah harus berjalan. Mereka mau kita segera mengurus semuanya. Tentu kau pun tidak ingin kehilangan kepercayaan dari klien penting kita itu. Lagi pula, perusahaan ini milik Jack. Jika kau mencintainya tentu kau juga akan senang bila perusahaan ini berkembang." Davee beralibi. Memutar bola matanya sejenak, mencoba menyeimbangkan irama jantungnya yang berdegup tak beraturan.

Ammy kembali ke ruangannya. Mengambil gawainya dari dalam tas seraya menelepon Jack.

"Jack, sepertinya aku harus lembur, aku tidak bisa menemanimu hari ini. Maafkan aku."

"Lembur?"

"Hu um, Davee bilang ada beberapa laporan mengenai kontrak kerja dengan ELS Group yang harus direvisi."

Jack mengernyitkan dahi, Ia tahu semua persiapan tentang kontrak kerja dengan ELS Group sudah clear dan hanya tinggal menunggu pertemuan untuk tanda tangan kontrak. Mana ada laporan yang perlu direvisi lagi? Sepertinya ini hanya akal bulus Davee. Ia mengepalkan jemarinya erat-erat. Rasanya ia ingin menelan bulat-bulat si gila kerja itu.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status