Share

Win

Jack mulai bergerak menuju ruangannya. Ketika sampai di ambang pintu sebelum sempat menarik gagang, ponselnya berdering.

"Hai Jack, pesananmu sudah jadi, apakah kau akan mengambilnya, ataukah orangku saja yang mengantarkannya padamu."

"Chloe, satu minggu. On time sekali. Aku suka! Biar orangmu saja yang mengantarkannya, kau punya gambarnya? Aku ingin melihatnya."

"Of course, Anyway, kemana harus kuantar?"

"Kirim saja ke Avenida Presidente Masary real estate nomor sebelas. Jangan lupa sertakan namaku di kotaknya. Nanti kau bisa kabari aku, aku akan mentransfer biaya pengganti pembuatannya."

"Ok, Jack. Aku melakukannya dengan baik. Kuharap kau menyukai hasilnya."

Chloe mematikan sambungan teleponnya, kemudian mengirimkan gambar kotak musik kristal itu. Ia memperhatikannya. Nyaris tak ada bedanya. Ini sempurna ... step by step yang penting sampai pada tujuannya. Ammy.

****

Ammy menggerutu kala pintu rumahnya diketuk tak sabaran.

"Paket Nona?"

"Dari siapa?"

"Tuan muda Jack Wiliams Graham."

Ammy membubuhkan tanda tangannya pada surat tanda terima, membawanya masuk lalu membukanya perlahan tetapi dengan begitu antusias.

Music box the wings? kau benar- benar menggantinya, Jack. Aku tahu ini sangat mahal meskipun hanya duplikasi. Ah, aku pikir aku benar-benar jatuh cinta padamu, Jack.

Ammy terbaring di tempat tidurnya, bertelungkup seraya mengamati kotak musik dari Jack. Berpikir bahwa mungkin Jack menyebalkan tetapi terkadang terasa begitu manis. Sayang sekali pria itu tidak tahu bahwa Ammy telah mempermainkannya. Apa laki-laki itu akan marah besar jika tahu mengenai itu?

Bib....

Suara notifikasi pesan pendek membuyarkan lamunannya. Ia sudah menerka bahwa itu adalah Jack.

"Sudah terima paketnya? Bagaimana menurutmu? jika kau menerimanya kuanggap kita berbaikan, kembalilah ke National Company, I need you Ammy. Jika kau terima paketnya berarti kau menjawab 'ya'."

"Tentang yang kemarin saat aku mendatagi rumahmu pagi buta, lupakan saja. Aku hanya sedang mabuk."

"Benarkah? Padahal aku sudah terlanjur menganggap serius apa yang kau katakan kemarin. Meskipun aku tahu kau sedikit gila, tetapi aku menyukainya." Ammy menekan dadanya, dagdigdug khas orang kasmaran menggetarkan dadanya. Seandainya dia bisa melihat ekspresi Jack saat ini. Pasti senyumnya setampan malaikat.

Jack tersenyum simpul. Bunga-bunga bermekaran di hatinya, kejutan sekali. Gadis ini rupanya bisa bersikap baik juga padanya.

"Memangnya apa yang kukatakan kemarin?"

"Kau mencintaiku, itu yang kau katakan."

"Ada yang lain?"

Ammy tersenyum geli. "Kau gila, aku tak mengingat semuanya karena kau berteriak-teriak," jawabnya.

"Benarkah? Kalau begitu lupakan saja!"

"Termasuk kalimat yang mengatakan kau sungguh-sungguh mencintaiku?"

"Ingat bagian itu saja, aku ... kau tentu tahu aku serius di bagian itu."

"Kau mabuk lagi?"

"Yeah, kau selalu membuatku mabuk. But i like it, Ammy. Lebih dari itu, kau seperti virus yang menjangkitiku, aku tidak bisa mempertahankan diri dari seranganmu, kupikir aku sudah benar- benar gila."

"Aku akan kembali bekerja mulai besok, Jack. Bersikaplah sepatutnya. Aku memberimu kesempatan, kau seorang pemimpin di perusahaan, maka kau harus memiliki jiwa seorang pemimpin." Ammy tersenyum kembali. Jika Jack tahu yang sebenarnya tentang kotak musik itu, apakah dia akan memaafkannya?

"Bagus, selamat bergabung kembali. And damn, i love you Ammy."

Jack tersenyum ketika selesai menekan tombol send di telepon pintarnya. Senyum indah yang sempurna. Tampaknya dia memang adalah seorang mahakarya Tuhan yang begitu memesona. Mungkin Tuhan sedang dalam mood yang bagus saat menciptakannya.

Lihat Davee, aku selalu mendapatkan apa yang kumau, 'kan? Kita lihat siapa yang akan menang, selamat bersaing, Sepupuku!

***

Ammy tersenyum ramah menyapa beberapa karyawan National Company di lobi depan. Melangkah menuju ruangannya, saat pintu dibuka, Jack telah berada di depan pintu. Mengulurkan buket tulip merah.

"Selamat datang kembali, Amm." Ia tersenyum. Senyum yang menambah ketampanannya seratus ribu kali di mata Ammy. Ammy sedikit salah tingkah, menyelipkan anak rambut ke belakang telinga seraya mengguman dalam hati, sejak kapan Jack berubah begitu manis?

"Terima kasih." Ammy meraih buket bunga pemberian Jack. Menghirup aromanya kemudian berujar, "tulip merah, sayang sekali aku tidak terlalu suka, Jack."

"Kenapa? Itu melambangkan cinta abadi, Ammy. Aku berharap kita bisa saling mencintai seperti legenda terkemuka di Turki. Tentang kisah tulip merah, dan perjalanan prince Farhad dan Shirin. Ketika Shirin meninggal, Prince Farhad yang begitu mencintai Shirin putus asa dan memutuskan untuk melompat dari tebing dengan tulip merah di genggamannya hingga darahnya memercik  pada tulip itu. Aku akan melakukan hal yang sama jika itu terjadi padamu, Amm. Sungguh, kurasa cinta sejati itu ada, dan aku yakin kaulah orangnya."

Ammy tersenyum. "Bukankah bunga tulip berasal dari negeri kincir angin?lagi pula, itu akhir yang tragis. Siapa yang menyukai akhir seperti itu? Kukira kau pun tidak."

"Tapi, cinta mereka tidak berakhir bukan? Kau akan menyukai bunga ini nanti, lihat saja! Karena kau menyukaiku, maka kau akan menyukai semua hal yang kusukai."

"Kau terlalu percaya diri, Jack. Casanova memang begitu berpengalaman dalam mengambil hati wanita. Kupikir karena kau sudah terbiasa melakukannya." Ammy menarik garis lengkung di bibirnya, antara menyanjung dan mengolok.

"Bukankah segalanya bisa berubah?"

"Kau baru sebulan lalu memamerkan wanitamu padaku di sebuah kafe, 'kan? Apakah itu bukan Jack yang sama?" Ammy memasang wajah meledek sementara Jack menyipitkan matanya. Mencari ingatan tentang ucapan Ammy. Sialan, kenapa dia punya banyak sekali wanita bayaran.

"Ezperansa?!" terkanya, ia ingat betul, selain teman kencan berbayar, Ezperansa juga teman baiknya sejak mereka sering mabuk bersama. Tak ada wanita lain yang Jack kenal dalam urusan tempat tidur. Ia hanya menikmatinya saja.

"Entahlah, aku tidak tahu namanya."

"Kau masih kesal karena itu? Jika boleh kuakui, dia bukan apa-apa dibanding kau."

Ammy mengalihkan pandangannya, menyusun beberapa berkas di atas meja kerjanya dan menatanya secara berjajar.

"Kau pasti juga mengatakan hal itu padanya, 'kan?"

Ia tersenyum, "Kau cemburu?" Meraih tangan Ammy. Manik cokelat Jack menuntut mata Ammy bertemu dengan irisnya.

"Aku tidak melakukan apa pun dengannya, demi Tuhan, Ammy. aku hanya ingin melihatmu cemburu. Semenjak bertemu denganmu, tidak ada wanita mana pun yang mampu menghangatkan tempat tidurku, mana mungkin bisa, kau terlalu sempurna dan bayanganmu selalu mengikuti ke mana pun aku pergi."

"Kau pikir aku akan percaya, Jack?" Ammy menatapnya tajam. Meski seulas senyum menghiasi bibir mungilnya.

"Terserah kau saja. Setidaknya aku sudah coba meyakinkanmu, namanya juga usaha." Jack mengedikkan bahu. Memasukan kedua tangannya di saku celana.

"Well, sepertinya aku harus mempertimbangkan untuk mulai mempercayaimu." Ammy menimpali,  senyum simpul masih tergambar jelas di wajahnya. Ada binar kegembiraan yang begitu kentara.

"Aku mencintaimu, Amm." Lagi-lagi Ammy tersenyum, kata-kata Jack seolah menjadi candu baginya. Ingin mendengarnya lagi dan lagi. Jatuh cinta membuat hatinya seperti menjadi taman yang di penuhi bunga-bunga yang mekar memabukkan.

"Kau belum mau menjawabku?"

Ammy terdiam. Memberi jeda sebentar pertanyaan itu lalu menjawab, meskipun jawabannya sedikit skeptis, setidaknya Jack merasa lega.

"Entahlah, Jack. Dari saat pertama bertemu denganmu, jujur saja aku tertarik. Kau punya mata yang indah, tapi kau begitu menyebalkan kala itu. Kalau kau sedikit mau mempertimbangkan untuk menjadi kriteriaku dalam bersikap, mungkin saja aku akan lebih tertarik."

Pupil Jack melebar. Nyaris tak percaya akan mendapatkan jawaban itu dari Ammy.

"Kau kekasihku sekarang?"

"Aku belum mengiyakanmu, bagaimana bisa begitu? Tapi, anggap saja ini masa percobaan, aku mau tau dulu seberapa besar kau mencintaiku. Karena aku belum berani mencintaimu sepenuh hati. Lagi pula ini seperti kejutan, terlalu cepat, Jack."

"Dari satu sampai seratus berapa nilai harapanku untuk mendapatkan  cintamu seluruhnya, Ammy?"

"Enam puluh delapan, mungkin," jawab Ammy sekenanya.

"Itu tidak fair. Aku sudah terlanjur memberi nilai seratus untuk mencintaimu dan memberikan hatiku seluruhnya."

"Kalau begitu sempurnakan kekuranganmu, Supaya aku bisa memberimu nilai seratus."

"Tidak bisa, nilaiku terlalu kecil," protesnya.

"Jangan memprotes! Tunjukan dulu kau serius. Lupakan kebiasaanmu bersenang-senang dengan wanita. Atau kau bisa melakukan tes kesehatan. Barang kali kau terjangkit penyakit menular seksual."

"Aku memiliki dokter pribadi yang memantau kesehatanku dua minggu sekali, Ammy. Jadi, kapan aku bisa memeriksa apa kau benar-benar memiliki lubang kunci?" Jack tertawa terbahak-bahak.

"Diam, Jack!" sungut Ammy.

"Di novel yang pernah kubaca, banyak yang mengatakan, diam, atau kucium. Katakan itu, Mi Amor."

"Jack!" tegurnya mulai tampak kesal.

"Baiklah! Aku akan mendapatkan tiga puluh dua poin itu dengan baik. Lihat saja! Ammyku"

Jack tersenyum memikat, mengusap puncak kepala Ammy gemas.

"Baiklah, Jack. Kembalilah ke ruanganmu, aku tidak bisa bekerja jika kau tetap di sini. Apa kau akan menggajiku jika aku tidak melakukan apa-apa di kantormu?"

"Ya, selamat bekerja. Pulang kerja aku akan mengajakmu ke suatu tempat jika kau tidak keberatan."

"Ke mana?" Ammy menatap Jack sekilas. Kemudian kembali memutar bola matanya ke arah layar komputernya.

"Ke hotel mungkin." Jack menyeringai sementara Ammy meninggikan sebelah alisnya. Mengerucutkan bibirnya kesal.

"Hahahaha ... jangan cemberut begitu, Mi Amor. Aku hanya bercanda, ke rumahku. Kutunjukkan sesuatu."

"Kau tidak menjawab, Ammy. Jadi kuanggap kau setuju. Aku akan kembali ke ruanganku." Ia berlalu meninggalkan ruangan Ammy.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status