Hari- hari merayap lambat, namun dengan sendirinya bergerak berganti nama. Mudah saja bagi bumi berotasi untuk mencapai putaran dua puluh empat jam.
Ammy masih setia di bed pasien Jack. Matanya balutnya melukiskan kesedihan yang tak terucap. Entah berapa banyak air mata yang telah tumpah. Namun Jack belum juga tersadar dari tidur panjangnya.
"Jack, bangunlah. Aku membutuhkanmu."
Ia menggenggam tangan pria jangkung yang terlentang dengan selang infus dan dengan selang oksigen melengkapinya. Jika saja bisa, ingin sekali rasanya ia bertukar tempat dengan Jack.
Ammy merintih, air matanya berjatuhan dan membasahi punggung tangan Jack, terperanjat saat melihat pria lemah di hadapannya itu menggerakkan telunjuknya. Betapa kaget ia melihat pria itu telah membuka mata.
Ia melemparkan sepotong senyum seraya menyapu rambut Ammy penuh kelembutan. Dengan te
Ammy membantu Jack mengemas barang-barangnya dari rumah sakit saat mendengar bahwa Jack diperbolehkan pulang hari itu. Ia meminta bantuan kepada Doughlas Maldonano untuk membawa barang-barang itu pulang sebab Jack yang keras kepala itu tak ingin langsung pulang ke rumah. Dan Ammy harus menurut saat Jack bertingkah layaknya bayi besar yang merengek agar Ammy membawanya berjalan-jalan untuk menikmati kepulangannya. "Aku senang bisa pulang hari ini. Kau tahu, berbaring di rumah sakit lebih dari seminggu itu melelahkan." Jack berbicara begitu bersemangat. "Siap dengan petualangan baru?" imbuhnya. "Kau bercanda, kau tetap harus istirahat, 'kan, Mr. CEO." "Ya, aku akan banyak istirahat dipelukanmu, apalagi yang kubutuhkan selain itu? Aku kuat, bahkan jika kau memberiku jatah hari ini." Ia tersenyum nakal. Ammy mencubit kecil pipi Jack. Lalu mengacak rambutnya gemas. Setelah selesai berkemas mereka m
Cuaca sore yang sejuk meniupkan angin surga, mengalir seperti alunan yang disenandungkan para malaikat. Silent beach, adalah tempat yang benar-benar mereka rindukan.Mereka saling bergandengan sepanjang jalan, seperti biasa mengendarai sepeda dari rental sepeda dan membonceng Ammy menjadi hal yang paling menyenangkan bagi Jack."Aku mengkhawatirkanmu. Apa kau akan baik- baik saja?" Ammy mengarahkan maniknya pada kekasihnya sekilas."Bahkan benang di dahimu belum dilepas," imbuhnya."Ayolah, aku sudah sehat. Kau dengar sendiri, dr. Grace bilang baru bisa dilepas minggu depan." Jack menunjuk ke arah boncengan dengan dagunya. "Naiklah ke boncengan," paksanya."Jika kau kenapa-kenapa aku bisa mati menyesal nanti, Jack!" sungut Ammy."Kau akan menyesal jika tidak menurut."Jack menarik tangan Ammy. Mendudukannya di boncengan lalu melingkarkan tangan Ammy
Davee masih tampak rapi dengan Jas dan dasi yang dikenakannya pagi itu, Ia sudah mendengar kabar tentang kepulangan Jack dari rumah sakit dan tukang marah itu tak kunjung menelponnya.Ia sengaja menghampiri Jack ke rumahnya sebelum kembali ke mansionnya setiba di Meksiko meskipun dia belum sempat beristirahat. Membawa kabar gembira dan angin segar mengenai perusahaan bahwa semuanya berjalan mulus sesuai harapan.Sepagi ini Ammy telah berada di kediaman Jack, tampak menikmati hidangan saat Emely membuka pintu. Jack terlihat sehat. Jauh lebih baik dari pada saat dia pergi hampir seminggu lalu. Ia mengendurkan simpul dasi, melepas jas dan meletakkannya di lengan seraya menggulung lengan kemeja linennya.Davee berdeham. Kesal karena sejoli itu tak lekas menyadari keberadaanya."Apa aku mengganggu?""Hai, Davee kau sudah kembali rupanya. Tentu saja tidak, kemarilah, Amigo (Kawan)!" jawab
Jack tampak gagah dengan setelan yang ia kenakan pagi itu, dasi motif garis-garis warna hijau tosca kian menambah aksen lembut pada tampilannya.Bekas luka di dahinya masih tampak begitu jelas meskipun sudah tidak menimbulkan rasa sakit. Rambut blonde terang itu telah berganti warna, Ammy yang mengubah warnanya beberapa hari lalu. Para karyawan National Company menyapanya dan menganggukkan kepala hormat kepada pimpinannya. Dibalas dengan lambaian tangan dengan ramah. Sebagian dari mereka menatap keheranan, sejak kapan sang CEO itu bersikap seramah itu?Ia menelusuri koridor kantornya. Menekan tombol saat memasuki elevator menuju ruangannya yang berada di lantai dua puluh. Jack menyunggingkan senyum saat mendapati Davee sudah berdiri di dalam elevator. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya mereka berdua. Mungkin karena masih terlalu pagi, oleh karena itu baru beberapa saja karyaw
Beberapa hari belakangan, Jack mulai disibukkan kembali dengan urusan kantor. Ammy yang tak lagi bekerja di bawah naungan National Company, kadang membuat Jack dihantui rasa rindu. Jack berbicara pada sambungan telepon siang itu, berharap akan bisa mengajak Ammy makan siang bersama."Amm, Aku akan menjemputmu. Kita makan siang bersama.""Jangan ke rumah, Querido (Sayang). Ayah sedang di rumah. Nanti aku kena marah. Lagi pula aku sedang tidak di rumah.""Oh ya? Memangnya kau sedang di mana?"Perasaan Jack tidak enak. Dua hari yang lalu adalah terakhir kali ia bertemu dengan Ammy. Rindu? Apa perlu ditanya? Bukan hanya rindu. Tapi hati Jack terus dihantui pikiran gilanya, sedang di mana Ammy berada? Sedangapa di sana? Bersama siapa? Rasanya sedikit kesal karena kesibukan membuatnya tak bisa bersua dengan Ammy."Di restoran ayahku. Aku bosan di rumah. Kau tahu, 'kan.
Pertengakaran antara Ammy dan Jack dua hari lalu itu cukup mengganggu ketenangan di hati Jack. Ia berusaha memperbaiki semuanya, meskipun sebenarnya ia enggan mengakui bahwa semua adalah salahnya. Apa yang salah? Ia masih tak mengerti mengapa Ammy marah. Seharusnya dia yang marah. Ia sengaja pulang cepat dari kantor agar bisa segera menyelesaikan masalahnya dengan wanita pujaannya itu. Ia tak ingin membiarkan masalah ini menjadi berlarut-larut.Ia segera berganti pakaian, dengan langkah gegas kakinya berayun setelah ia menggunakan kaos lengan pendek warna hitam dan celana casual. Tidak ada rasa lelah jika itu tentang Ammy. Ya, sama sekali tak lelah meski belum sempat mengistirahatkan diri selepas jam kantor.Jack menekan tombol bel di pojok pagar rumah Ammy saat ia tiba. Langit seolah sedang menatapnya dingin dengan warna hitam melingkupinya. Mendung yang tak pernah hujan.Sadar tidak ada yang membuka pintu pagar, Jack kem
Cortez melayangkan tangannya, ingin menampar pipi Jack. Tapi sebelum telapak tangan itu menyentuh pipi Jack, tangan pria jangkung itu sudah lebih dulu menangkap tangannya."Minumannya, dokter." Seketika Ammy membuyarkan ketegangan di antara Jack dan Cortez. Pria itu menatap Ammy singkat kemudian melepaskan cekalannya pada tangan wanita itu."Kalian sedang apa?"Degh ...Darah Jack berdesir. Apa Ammy akan marah lagi padanya?"Tidak, seharusnya Jack membiarkan aku memeriksa kelopak matanya untuk melihat mungkin saja ia lemas atau kehilangan banyak darah, tapi kurasa sepertinya dia tidak nyaman. Jadi ... ya begitulah." Dokter muda itu mengedikkan bahu, berlanjut dengan mengemasi peralatan medisnya ke dalam tas. Ia tidak peduli apakah Ammy akan percaya pada alibi bodohnya atau tidak."Ini obatnya, dosisnya tiga kali sehari untuk antibiotik, dan pereda n
Bob mengernyitkan dahi di ujung ruang penginapannya, memandangi sekeliling yang sedang diguyur hujan lewat jendela kaca. Rintik basah hujan mengembun di antara kaca jendela, mengaburkan penglihatannya pada objek yang bisa dilihat di luar sana. Aroma petrikor terhirup bersamaan udara yang memenuhi paru-parunya.Tiga hari tidak pulangmembuatnya sedikit merasa gelisah, apalagi ia harus berbohong pada Ammy dan beralasan sedang keluar kota untuk mencari pemasok bahan baku menu restoran. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah ia hanya wara-wiri menyusuri jalanan dan mencari di tempat-tempat yang mungkin saja disinggahi wanita itu. Wanita yang sempat memberitahukan mengenai putranya yang hilang.Kalau saja bisa, ia ingin sekali mengetahui di mana kediaman wanita itu kini. Sebab dialah satu-satunya saksi kunci perihal hilangnya putra