LOGINWanita yang bernama Esther itu melengkungkan senyum tipis, anggun, lalu menganggukkan kepala kecil ke arah Bu Emma. Setelah itu, tatapannya bergeser sekilas ke arahku yang masih berdiri kaku di belakang.
Kemudian ia kembali berucap. “Ikut aku.” Lagi. Mengajakku ikut masuk.Mataku spontan mencari-cari dukungan, dan tentu saja yang aku temukan adalah Bu Emma. "Bu..." Bu Emma mengangguk, dan menyuruhku untuk mengikuti wanita itu. Setelah masuk, aku kembali dibuat terperangah. Ruangan ini rasanya lebih mirip lounge eksklusif yang nyaman ketimbang kantor formal. Lalu mataku menangkap sosok familiar. Bosku. Christian Luciano. Pria itu duduk santai di sofa panjang, satu tangan sibuk menggeser layar ponsel. Namun, begitu terdengar suara langkah masuk, jari-jarinya berhenti. Ia mengangkat kepala, menoleh. Tatapannya langsung menangkapku. Hening sepersekian detik. Dari sorot matanya, aku bisa merasakan pertanyaan tak terucap. Bukan sekadar datar, tapi ada kebingungan, mungkin terkejut melihat kehadiranku disini. Entah mengapa dadaku langsung berdegup kencang. Aku merasa seperti kehadiranku disini salah. "Kau bisa duduk, dimanapun yang kau mau." ucap wanita itu kepadaku. Kemudian aku lihat Esther melangkah, mendekati Christian. Wanita ini menjatuhkan tubuhnya tepat disamping Christian, lalu tangannya yang lentik mulai menggerayangi tubuh pria itu. Sedangkan Christian tetap diam, tidak memberikan reaksi apapun. Esther terkekeh pelan. “Sekretaris baru lagi, hm?” ucapnya, entah mengapa terdengar seperti sindiran dan… godaan. "Kau masih sama Christian... sama sekali tidak berubah." Kemudian tatapan Eshter jatuh kepadaku. Dengan senyum tipisnya, ia bertanya. "Berapa lama kau bekerja dengannya?" Aku tersentak. "B-baru beberapa hari, Bu." ucapku terbata. Senyum Esther melebar. Lalu kembali menatap Christian penuh kemenangan. "Pantas saja." Christian tak menanggapi. Namun, dengan gerakan perlahan, ia melepaskan tangan Esther dari lengannya, lalu bangkit. Membuat wanita itu terlihat kecewa. "Kau salah Esther." Langkahnya kini mengarah kepadaku. "Kau... selalu buruk dalam menilai sesuatu." Tatapannya tajam, seperti ingin menerkam mangsa. Membuat jantungku berdetak lebih liar. “Dia bukan sekretaris baruku.” Suara dingin Christian menolak, penuh penekanan. Aku menahan nafas. Merasakan tensi ruangan ini menjadi semakin tebal. Langkah Christian semakin mendekat, hingga berhenti tepat di hadapanku. Jarak diantara kami nyaris hilang, semakin hilang ketika tangan kekar itu menyentuh lembut wajahku. Menangkup daguku dengan sempurna. Dan kemudian, Christian Luciano mengucapkan kalimat yang membuat duniaku seolah berhenti berputar. “....tapi calon istriku.” lanjutnya pelan, setiap kata diucapkan dengan tekanan. Mata kami saling bertemu. Saling menatap. Dapat aku lihat raut wajah Christian yang juga tampak terkejut, seolah tak percaya dengan apa yang keluar dari mulutnya. Sementara aku… terpaku. Kewarasanku entah hilang kemana. Sejak momen tadi, hanya satu hal yang aku ingat dengan jelas... tangan Christian yang menggenggam erat tanganku, lalu menarikku keluar dari ruangan itu tanpa memberi kesempatan untuk berpikir. Langkahku mengikuti begitu saja. Begitu kami keluar, Bu Emma yang masih menunggu di depan pintu sempat terheran. Apa-apaan ini? Tentunya pemandangan Christian Luciano, bos dingin yang kejam dan tak berperasaan sedang menggandeng tangan sekretarisnya, berada diluar logika. Tapi, profesional tetap profesional. Bu Emma segera menegakkan tubuh, lalu mengikuti di belakang, meski rasa ingin tahunya sudah hampir meluap. Lobi… mobil… semua terasa kabur di mataku. Hingga aku duduk di mobil itu pun, pikiranku masih melayang. Christian? Lelaki itu sama sekali tak menunjukkan ekspresi aneh, datar, dingin, seperti tak terjadi apa-apa. Sedangkan aku, seperti boneka yang tak bernyawa. Bu Emma, yang duduk di depan, menoleh khawatir. “Lola, minum dulu.” Ia menyerahkan botol air mineral. Dengan gerakan kaku, aku menerima, meneguk sedikit, lalu menarik napas panjang. Dan— “AAAAAAAAAAAH!!!" Satu teriakan panjang dan pecah, keluar dari tenggorokanku. Keras. Liar. Memenuhi seisi mobil. Bu Emma langsung tersentak panik. Sopir refleks ngeinjek rem karena kaget. Dan Christian… Christian sampai menunduk, satu tangannya bahkan otomatis menutup telinganya. Dia ngelirik kearahku. Matanya sedikit melebar. Mungkin seumur hidup, belum pernah ada yang berani teriak tepat di sebelahnya seperti itu. Orang-orang sudah lebih dulu ketakutan. Tapi ini? Aku meledak, tepat di sisi Christian. Pria ini memang harus diberi pelajaran. Aku menatap Christian tajam. “Apa?! Apa maksudnya calon istri?!” suaraku tinggi, masih dipenuhi emosi. Christian sempat terpaku. Bibirnya setengah terbuka, tidak menyangka. Tangannya masih di pangkuan, tapi tatapan matanya jelas menandakan: what the hell just happened? Beberapa detik hening lagi. Ketegangan terasa seperti udara membeku di antara mereka. Lalu, Christian segera menetralkan ekspresinya. Bahunya kembali lurus, wajahnya ditata ulang biar keliatan tenang. Tatapannya balik kepadaku, dingin. “Untuk sementara saja,” katanya. Kalimat pendek, seolah menenangkan, tapi juga terdengar seperti kompromi sementara. “Tetap aja! Saya nggak mau!” Balasku. “Pokoknya… pokoknya saya nggak mau!” Aku kembali bersuara, meskipun kini gemetar. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Lalu, dengan tatapan tajam ke arahnya, aku melanjutkan, “Dan saya mau Anda tanggung jawab!”Musik dari piano kecil di pojok ruangan mengalun lembut, membungkus udara dengan kehangatan yang tenang. Lampu-lampu gantung berwarna kuning keemasan menyoroti permukaan meja yang tertata rapi. Di luar jendela, salju turun perlahan, memantulkan cahaya lampu jalan yang pucat. Restoran itu terasa hangat. Georgio sengaja memilih tempat ini, tempat yang seharusnya bisa mencairkan suasana. Ia tahu, rapat kali ini bukan tentang bisnis semata. Christian datang sedikit terlambat. Matanya menelusuri suasana restoran dan baru menyadari, di ujung ruangan, Lola sudah ada di sana. “Sudah datang rupanya,” gumam Giorgio, suaranya pelan tapi cukup untuk membuat Christian mengalihkan pandangan ke Georgio lalu kembali memusatkan pada Lola. Lola balas menatapnya, bibirnya membentuk senyum kecil. Ia hanya mengangguk, sebelum kembali menunduk, merapikan map berisi berkas-berkas rapat. Mencoba tidak memperdulikan kehadiran Christian. Christian memanggilnya, “Lola.” Lola tidak langsung menoleh.
Sesuai yang pernah Christian bayangkan, gadis itu benar-benar datang kepadanya.Lola Sienna, alisnya sempat menyipit ketika mendengar nama itu. Sebagai pria berdarah asli Italia, Christian tentu tidak asing dengan nama Siena, sebuah kota tua di jantung negeri itu. Namun setelah ia perhatikan lebih jauh, sekretaris barunya ini jelas bukan berasal dari sana.Kulitnya sangat pucat, nyaris seperti porselen. Garis wajahnya halus, berbanding terbalik dengan tatapannya yang berusaha terlihat tajam.“Terdapat bisnis tekstil yang telah berdiri puluhan tahun di Kota Siena. Setelah saya selidiki, Lola Sienna merupakan anak dari pemegang Sienna Tekstil sekarang. Hal itu didukung oleh kabar menyeruak bahwa ia berasal dari keluarga berada, sehingga para karyawan mencurigai nya masuk ke perusahaan ini dengan tidak murni.”Setidaknya, hal itulah yang sempat Christian cari tahu tentang sekretarisnya. Bukan hal penting, bukan pula sesuatu yang akan memberinya keuntungan. Tapi setelah itu, ia tidak bisa
-Christian- Di hari yang sama. Jam digital di pojok meja menunjukkan pukul 18.30. Gedung sudah sunyi. Lampu koridor hanya menyala setengah. Christian bersandar di kursi, menatap layar laptop yang masih menampilkan rentetan angka dan laporan harian. Matanya terasa panas, pergelangan tangannya kaku, dan pikirannya penuh. Ia menutup berkas terakhir, menekan ujung hidung dengan jari tengah, lalu menghela napas lega. Seperti inilah kehidupan normal seorang Christian Luciano. Ia melepas kacamata, menatap pantulan dirinya di kaca. Dasi longgar, kemeja kusut, bahu tegang. Sesekali, Christian butuh sesuatu untuk mengalihkan pikirannya. Melepaskan kendali sebentar. Dan pria dewasa itu, mulai menarik resleting celananya. Bermain pada ‘miliknya’ di tengah keheningan malam. “Hngh…” Beberapa detik berlalu, suara napas yang mulai berat dan denyut di pelipisnya yang makin kencang. Tapi kemudian— Bruk! “Akh!” Suara keras dari arah pintu memecah kesunyian. Christian tersentak, bah
-Christian- Hari pertama. Kala itu, ada pepatah yang mengatakan, “Kehidupan selalu menagih sesuatu sebagai gantinya. Kadang uang, kadang waktu, kadang seseorang.” Begitulah yang terjadi di perusahaan IT nomor satu di negeri Kangguru ini. Banyak yang datang dengan harapan bisa mengabdi lama, namun tak sedikit pula yang hanya ingin mendapatkan ‘gelar’ pernah bekerja di sini. Karena jelas, bekerja di sini sama saja dengan mengubur kehidupanmu, dengan imbalan uang. Dan seperti yang lainnya, kali ini seorang gadis melangkah masuk dengan percaya diri. Rambutnya diikat rapi, senyum lebarnya mengiringi setiap langkah, menyapa para karyawan yang anehnya tak memberikan sambutan hangat. Wajah-wajah lelah, guratan sinis, dan beberapa bahkan sengaja mengacuhkannya. “Ini adalah ruang bos. CEO sekaligus pemilik perusahaan House of Luciano,” ucap seorang wanita dengan name-tag Emma Robert. Melalui perkenalan singkat, gadis itu mengetahui bahwa Emma adalah kepala divisi yang akan me
“Kenangan,” ulangnya pelan. “Jadi selama ini… semua yang Anda lakukan pada saya… juga ada hubungan dengannya?” Christian menatapnya singkat, lalu mengalihkan pandangan. “Sebagian, mungkin.” Lola menarik napas pendek, bahunya menegang. “Kalau begitu, saya tidak heran kenapa Bu Esther sempat marah pada saya.” Christian menoleh cepat, tatapannya berubah tajam. “Lola—” “Tapi saya heran,” potong Lola cepat, suaranya meninggi sedikit. “Kalau Anda masih punya urusan yang belum selesai dengannya, kenapa Anda bersikap seperti itu kepada saya?” Pria itu terdiam. “Kenapa Anda membela saya di rapat waktu itu?” lanjut Lola tanpa memberi jeda. “Kenapa Anda peduli setiap kali saya terlambat makan? Kenapa Anda memperlakukan saya seolah-olah saya ini… sesuatu yang penting?” Lola berusaha menahan getar di suaranya. Tapi semakin ia mencoba tenang, semakin kalimatnya terdengar rapuh. “Kalau memang hubungan Anda dengan Bu Esther belum selesai, Bapak tidak seharusnya melakukan itu semu
Entah mantra apa yang baru saja diucapkan Christian, tapi tubuhnya seakan membeku. Tangannya tak mampu mendorong, kakinya tak sanggup mundur. Lola hanya berdiri di sana, terperangkap di antara tubuh Christian dan meja di belakangnya. “Jadi sekarang, Anda memperluas wilayah kekuasaan Anda, ya? Dari kantor... ke rumah saya juga?” Tatapan Christian tak bergeming. Hanya ada senyum samar di sudut bibirnya, seperti pria itu menikmati setiap helaan napas yang tertahan di antara mereka. Di kantor, Lola tahu betul rasanya hidup di bawah pengawasan Christian. Setiap langkah, setiap file yang ia buka, setiap keputusan kecil, selalu terasa seperti ada mata yang mengamati. Tapi di sini... di rumahnya sendiri... seharusnya Lola bisa bernapas. Namun nyatanya, tidak segampang itu. Ia ingin melawan, ingin mendorong Christian menjauh, atau menegaskan bahwa ini rumahnya, ruang pribadinya. Tapi tubuhnya seakan tak lagi berpihak. Semua keberanian itu terkubur oleh sesuatu yang bahkan tak ia paha







