Compartir

Bab 8

last update Última actualización: 2025-09-12 13:03:32

Wanita yang bernama Esther itu melengkungkan senyum tipis, anggun, lalu menganggukkan kepala kecil ke arah Bu Emma. Setelah itu, tatapannya bergeser sekilas ke arahku yang masih berdiri kaku di belakang.

Kemudian ia kembali berucap. “Ikut aku.” Lagi.

Mengajakku ikut masuk.Mataku spontan mencari-cari dukungan, dan tentu saja yang aku temukan adalah Bu Emma.

"Bu..."

Bu Emma mengangguk, dan menyuruhku untuk mengikuti wanita itu.

Setelah masuk, aku kembali dibuat terperangah. Ruangan ini rasanya lebih mirip lounge eksklusif yang nyaman ketimbang kantor formal.

Lalu mataku menangkap sosok familiar.

Bosku. Christian Luciano.

Pria itu duduk santai di sofa panjang, satu tangan sibuk menggeser layar ponsel. Namun, begitu terdengar suara langkah masuk, jari-jarinya berhenti. Ia mengangkat kepala, menoleh.

Tatapannya langsung menangkapku.

Hening sepersekian detik.

Dari sorot matanya, aku bisa merasakan pertanyaan tak terucap. Bukan sekadar datar, tapi ada kebingungan, mungkin terkejut melihat kehadiranku disini.

Entah mengapa dadaku langsung berdegup kencang.

Aku merasa seperti kehadiranku disini salah.

"Kau bisa duduk, dimanapun yang kau mau." ucap wanita itu kepadaku.

Kemudian aku lihat Esther melangkah, mendekati Christian. Wanita ini menjatuhkan tubuhnya tepat disamping Christian, lalu tangannya yang lentik mulai menggerayangi tubuh pria itu.

Sedangkan Christian tetap diam, tidak memberikan reaksi apapun.

Esther terkekeh pelan.

“Sekretaris baru lagi, hm?” ucapnya, entah mengapa terdengar seperti sindiran dan… godaan.

"Kau masih sama Christian... sama sekali tidak berubah."

Kemudian tatapan Eshter jatuh kepadaku. Dengan senyum tipisnya, ia bertanya.

"Berapa lama kau bekerja dengannya?"

Aku tersentak. "B-baru beberapa hari, Bu." ucapku terbata.

Senyum Esther melebar. Lalu kembali menatap Christian penuh kemenangan.

"Pantas saja."

Christian tak menanggapi. Namun, dengan gerakan perlahan, ia melepaskan tangan Esther dari lengannya, lalu bangkit. Membuat wanita itu terlihat kecewa.

"Kau salah Esther."

Langkahnya kini mengarah kepadaku.

"Kau... selalu buruk dalam menilai sesuatu."

Tatapannya tajam, seperti ingin menerkam mangsa. Membuat jantungku berdetak lebih liar.

“Dia bukan sekretaris baruku.” Suara dingin Christian menolak, penuh penekanan.

Aku menahan nafas.

Merasakan tensi ruangan ini menjadi semakin tebal.

Langkah Christian semakin mendekat, hingga berhenti tepat di hadapanku. Jarak diantara kami nyaris hilang, semakin hilang ketika tangan kekar itu menyentuh lembut wajahku.

Menangkup daguku dengan sempurna.

Dan kemudian, Christian Luciano mengucapkan kalimat yang membuat duniaku seolah berhenti berputar.

“....tapi calon istriku.” lanjutnya pelan, setiap kata diucapkan dengan tekanan.

Mata kami saling bertemu.

Saling menatap.

Dapat aku lihat raut wajah Christian yang juga tampak terkejut, seolah tak percaya dengan apa yang keluar dari mulutnya.

Sementara aku… terpaku. Kewarasanku entah hilang kemana.

Sejak momen tadi, hanya satu hal yang aku ingat dengan jelas... tangan Christian yang menggenggam erat tanganku, lalu menarikku keluar dari ruangan itu tanpa memberi kesempatan untuk berpikir.

Langkahku mengikuti begitu saja.

Begitu kami keluar, Bu Emma yang masih menunggu di depan pintu sempat terheran.

Apa-apaan ini?

Tentunya pemandangan Christian Luciano, bos dingin yang kejam dan tak berperasaan sedang menggandeng tangan sekretarisnya, berada diluar logika.

Tapi, profesional tetap profesional. Bu Emma segera menegakkan tubuh, lalu mengikuti di belakang, meski rasa ingin tahunya sudah hampir meluap.

Lobi… mobil… semua terasa kabur di mataku.

Hingga aku duduk di mobil itu pun, pikiranku masih melayang.

Christian? Lelaki itu sama sekali tak menunjukkan ekspresi aneh, datar, dingin, seperti tak terjadi apa-apa.

Sedangkan aku, seperti boneka yang tak bernyawa.

Bu Emma, yang duduk di depan, menoleh khawatir.

“Lola, minum dulu.” Ia menyerahkan botol air mineral. Dengan gerakan kaku, aku menerima, meneguk sedikit, lalu menarik napas panjang.

Dan—

“AAAAAAAAAAAH!!!"

Satu teriakan panjang dan pecah, keluar dari tenggorokanku.

Keras. Liar. Memenuhi seisi mobil.

Bu Emma langsung tersentak panik. Sopir refleks ngeinjek rem karena kaget.

Dan Christian… Christian sampai menunduk, satu tangannya bahkan otomatis menutup telinganya.

Dia ngelirik kearahku. Matanya sedikit melebar.

Mungkin seumur hidup, belum pernah ada yang berani teriak tepat di sebelahnya seperti itu. Orang-orang sudah lebih dulu ketakutan. Tapi ini? Aku meledak, tepat di sisi Christian.

Pria ini memang harus diberi pelajaran.

Aku menatap Christian tajam.

“Apa?! Apa maksudnya calon istri?!” suaraku tinggi, masih dipenuhi emosi.

Christian sempat terpaku. Bibirnya setengah terbuka, tidak menyangka. Tangannya masih di pangkuan, tapi tatapan matanya jelas menandakan: what the hell just happened?

Beberapa detik hening lagi. Ketegangan terasa seperti udara membeku di antara mereka.

Lalu, Christian segera menetralkan ekspresinya. Bahunya kembali lurus, wajahnya ditata ulang biar keliatan tenang. Tatapannya balik kepadaku, dingin.

“Untuk sementara saja,” katanya.

Kalimat pendek, seolah menenangkan, tapi juga terdengar seperti kompromi sementara.

“Tetap aja! Saya nggak mau!” Balasku.

“Pokoknya… pokoknya saya nggak mau!” Aku kembali bersuara, meskipun kini gemetar.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Lalu, dengan tatapan tajam ke arahnya, aku melanjutkan,

“Dan saya mau Anda tanggung jawab!”

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 85

    Lola terdiam.Christian menatapnya, tidak dengan maksud lain—hanya memohon tempat untuk bernafas.Lola tidak menjawab, hanya mengangguk pelan.Dan untuk pertama kalinya, sejak perjalanan itu dimulai, keduanya duduk berdampingan dalam diam yang tidak menyakitkan.Lola menyandarkan kepalanya di bahu Christian, sementara pria itu memejamkan mata.Tidak ada kata cinta di antara mereka malam itu, tapi ada sesuatu yang lebih jujur dari cinta—keberanian untuk berhenti berpura-pura kuat.Dan ketika lampu apartemen dimatikan, hanya cahaya kota yang masuk lewat tirai, Christian membuka matanya pelan, menatap wajah Lola yang tertidur di bahunya.Ia menelusuri garis wajah itu, lalu berbisik lirih, seperti pada dirinya sendiri.“Seandainya kau tahu, Lola... apa yang sebenarnya terjadi malam ini.”Wajahnya suram, tapi ada keputusan di matanya.Ia tahu, begitu matahari terbit nanti, semuanya akan berubah lagi.Tapi untuk sekarang, hanya malam ini, ia izinkan dirinya untuk beristirahat di dunia kecil

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 84

    Hujan tidak turun malam itu, tapi udara terasa lembap, seperti kota baru saja selesai menangis.Di kamar apartemen kecil itu, Lola sudah terlelap di atas kasurnya. Rambutnya terurai berantakan di atas bantal, napasnya teratur, sesekali bibirnya bergerak kecil, mungkin sedang bermimpi, mungkin hanya sekadar bergumam.Ia baru saja menutup matanya kurang dari satu jam lalu. Matanya bengkak karena kelelahan, bukan karena tangis, meski keduanya terasa sama di tubuh yang nyaris tumbang itu.Tapi kemudian suara itu datang.Suara bel apartement nya.Lola menggeliat pelan, mengerang, mencoba mengabaikan. Ia menyelipkan kepalanya ke balik bantal, berharap suara itu hanyalah bagian dari mimpi. Tapi kemudian disusul bunyi bel pintu.Sekali. Dua kali. Panik, mendesak.Ia membuka mata, mendengus kesal. “Tengah malam begini...” gumamnya serak, bangkit setengah malas dari ranjang.Matanya masih setengah tertutup ketika ia menyeret langkah ke arah pintu, masih memakai kaus tipis dan celana tidur panja

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 83

    Esther berdiri terpaku, menatapnya dengan pandangan tak percaya, lalu tiba-tiba ia tertawa mengejek. “Jadi sekarang kau membawa perempuan murahan itu ke dalam pembicaraan keluarga ini? Yang kedua, setelah aku?” katanya dingin. “Kau benar-benar kehilangan akal sehat, Christian.”Kata itu, 'murahan', membuat rahang Christian mengeras. Pria itu bahkan mengepalkan tangannya, mencoba meredam emosi yang semakin menggila. Ia menatap Esther perlahan, pandangannya naik dari ujung sepatu hingga ke mata wanita itu. Dan untuk pertama kalinya sejak perceraian mereka, rahangnya benar-benar mengeras.“Jaga bicaramu.” Suaranya pelan, tapi berat. Terlalu tenang untuk disebut ancaman, tapi cukup membuat udara di sekitar mereka menegang.Esther mengangkat dagu, tak gentar. “Kau marah karena aku mengatakan yang sebenarnya?”“Tidak,” jawab Christian cepat. “Aku marah karena kau dengan mudah meludahi nama orang lain, hanya karena kau ingin terlihat lebih tinggi dariku.” Nadanya kini naik setengah oktaf.I

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 82

    Di sisi ruangan, lilin-lilin panjang menyala tenang, melemparkan cahaya keemasan yang bergetar di wajah tiga orang yang membisu di sana.Tuan Luciano menatap anaknya yang berdiri tegak di hadapannya. Tatapan itu seperti ujung pisau: dingin, presisi, dan berlapis kebencian yang tak terucap.Lalu ia membuka suara pelan, nyaris seperti gumaman:“Jangan pernah kau tadahkan kepalamu, sampai kau memastikan benar-benar bisa hidup tanpa bantuanku.”Christian tidak bergeming. Tatapan matanya menusuk lurus ke arah ayahnya.Kemudian, ia tersenyum tipis, senyum yang bukan untuk ramah, melainkan untuk menyembunyikan rasa muak yang sudah menahun.“Aku bisa hidup dengan kakiku sendiri sejak lama, Ayah,” ucapnya datar.“Hanya saja, setiap aku berhasil melaluinya sendiri, kau selalu memberikanku masalah lain dengan sengaja. Dengan begitu, usahaku akan tertutup, dan kau akan datang seperti pahlawan dalam kehidupanku. Selalu begitu.”Kata-kata itu jatuh seperti pecahan kaca.Nyonya Maria Luciano pucat.

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 81

    Lola duduk di kursi belakang mobil, menatap kosong ke luar jendela. Cahaya lampu jalan berganti satu per satu di wajahnya, menciptakan bayangan samar di pipinya yang basah oleh cahaya. Mobil melaju tenang di jalanan kota yang belum sepenuhnya terjaga.Ia masih bisa mendengar suara Christian sebelum pria itu menjauh.“Antarkan dia pulang. Pastikan dia sampai dengan selamat.”Hanya itu. Tanpa menoleh, tanpa melihatnya sedikit pun. Lalu langkah Christian menghilang, digantikan suara sepatu pria itu yang perlahan menjauh.Lola menunduk. Tangannya menutup wajah, menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan gemetar. Ia menepuk-nepuk pipinya pelan, mencoba menahan rasa panas yang tiba-tiba menggenang di mata.Ingin menangis, tapi tidak bisa.Kenyataan memang tidak sesederhana itu, pikirnya. Hanya karena seseorang mencintaimu, bukan berarti segalanya bisa berjalan mudah. Cinta tidak serta-merta memindahkan gunung yang berdiri di antara kalian.Dan begitulah kehidupan, selalu mengingatka

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 80

    Christian masih berdiri di tempat, bahunya naik-turun menahan emosi yang belum surut. Lola menatapnya lekat, menunggu penjelasan yang tak kunjung datang. Lalu akhirnya, suaranya pecah juga.“Sebenarnya apa maksudmu, Christian?” tanyanya tajam. “Kenapa kau bersikap seperti itu tadi?”Christian tak langsung menjawab. Ia menatap jauh, menelan napas berat, tapi diamnya justru membuat Lola semakin tersulut.“Memangnya aku terlihat seperti apa?” lanjut Lola, nadanya meninggi. “Apa kau takut aku melakukan sesuatu dengan Matthew? Apa tidak ada kepercayaanmu padaku?”Christian menatapnya tajam. “Aku tidak bilang begitu.”“Tidak bilang?” Lola tertawa sinis, tapi suaranya bergetar. “Tapi sikapmu jelas menunjukkan itu, Christian. Kau menuduhku seolah aku sengaja pergi dengannya. Seolah aku—” ia berhenti, menahan napas, “seolah aku tidak bisa dipercaya.”Christian mendekat, nada suaranya berat. “Lola, aku tidak menuduh. Aku hanya... khawatir. Kau tidak tahu apa yang terjadi di antara kami bertiga.

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status