LOGIN“Kita pergi sekarang.”
Aku buru-buru membereskan tumpukan kertas yang membuatku keteteran pagi ini. Dengan perjanjian imbalan Christian yang memenuhi pikiran, sungguh rasanya ingin melarikan diri dan tidak kembali lagi ke perusahaan ini. Tapi nyatanya, yang aku lakukan sekarang adalah mengekor dibalik tubuh bidang Christian yang berjalan dengan langkah besar, sementara aku berlari kecil mengimbanginya. Sesampainya di lobi, aku terperangah. Aku duduk dimana? Bu Emma, yang menjadi mentorku selama satu bulan ini telah duduk di kursi sebelah sopir, sementara Christian telah melaju lebih dulu masuk kebagian belakang penumpang. “Lola! Ayo masuk!” sahut Bu Emma, sementara aku menatapnya ragu. “B-bu, saya duduk dimana?” Bu Emma terlihat mengernyitkan dahi, lalu tangannya memberi instruksi agar aku duduk dibelakang… tepatnya di samping Christian. Aku meneguk ludah. Buru-buru mengangguk dan mendudukkan diri disebelah Christian. Untungnya saat ini pria itu sedang fokus dengan ponselnya. Aku semakin duduk merapat ke arah pintu, meskipun Christian tidak melakukan apapun padaku, tapi pikiran burukku padanya tak kunjung sirna. “Apa kau takut?” Suara berat nan dingin itu mengudara. Sempat aku lihat Bu Emma dan juga sopir di depan sempat melirik ke arah kami. Mungkin terkejut atas kata yang keluar dari mulut Christian. Ya, aku takut dan tolong berhentilah mengacau… Tapi yang kukatakan adalah, “Tidak, Pak.” Suasana kembali hening, sampai kurasakan mobil perlahan berhenti. Dan dengan jelas didepanku berdiri satu bangunan megah dengan nama ‘ESTHER COMPANY’ terpampang nyata. Ukurannya bahkan tidak kalah besar dengan perusahaan milik Christian. Syukurlah. Kami sudah sampai. Aku meliriknya, namun Christian tampak acuh dan keluar lebih dulu dari mobil. Memasuki perusahaan, aku sempat tercengang. Para karyawan berlalu lalang dengan penampilan yang mencuri perhatian. Ada yang memamerkan jaket leopard dengan kilau sequin, dipadukan dengan sepatu sneakers. Beberapa rambut mereka diwarnai terang pink fuchsia, biru elektrik, hingga hijau lime. Dan tawa canda mereka yang menggema. Terlihat sangat menikmati pekerjaan. Sangat kontras dengan perusahaan yang dimiliki Christian. Orang-orang hanya datang untuk: Kerja, kerja, dan kerja—oh, jangan lupakan, menggosip. Kemudian aku lihat Christian memasuki ruangan yang berada di ujung koridor. Bu Emma tidak ikut masuk, membuatku turut menghentikan langkah. “Bu, kita tidak ikut masuk?” tanyaku pelan. Bu Emma menatapku sekilas dari sudut matanya. “Tidak.” Oh. “Baik.” Suasana kembali canggung. Kantuk yang tak kunjung reda mulai menyerang. Aku berulang kali menahan menguap, tapi sepertinya Bu Emma menyadarinya. “Pergi, basuh wajahmu,” katanya tegas, dan aku segera menurut. Di Dalam toilet, aku bergumam sendiri. “Toilet ini bahkan lebih mewah daripada butik kecantikan,” gumamku, setengah putus asa. Aku menatap cermin—wajahku pucat, kantung mata menonjol, bibirku kering. Kelelahan yang terpancar, membuatku terlihat jauh lebih tua. “Sepertinya aku salah masuk perusahaan…” ucapku lirih, sambil membasuh wajah. Hingga… suara terkekeh pelan terdengar dari arah bilik. Tawa ringan, tapi anggun, seperti milik seseorang yang terbiasa menarik perhatian tanpa perlu berusaha keras. Wanita itu melangkah keluar dengan aura yang hampir menelan seluruh ruangan. Rambut panjangnya yang bergelombang jatuh indah hingga punggung, warnanya merah tua—seperti wine mahal yang berkilau di bawah lampu restoran mewah. Ditambah dengan kulit putih bersih. Aku—yang jelas-jelas juga perempuan—tak bisa menahan rasa kagum. Wanita itu berjalan santai ke arah wastafel. Tidak melirik sedikitpun ke arahku. Tangannya terulur menekan sensor air, lalu ia membiarkan air mengalir membasahi jari-jarinya yang lentik dengan kuku terawat sempurna. Sementara itu, mataku… masih saja mengikuti setiap gerakannya. Hingga akhirnya— Wanita itu menoleh. Tatapan matanya jatuh tepat padaku. Aku langsung tersentak. Buru-buru menegakkan tubuh, berpura-pura sibuk dengan rambutku yang jelas-jelas tak perlu dirapikan. Namun, alih-alih menegur, wanita itu hanya menyunggingkan senyum tipis. Dan dengan nada suara lembut namun penuh keyakinan, ia berkata, “Sekretaris baru Christian?” Aku membeku. Bagaimana bisa… dia tahu? Dalam hati, otaknya langsung berpacu. "Apa kabar kalau aku sekretaris barunya Christian sudah menyebar? Atau… jangan-jangan Christian sendiri yang kasih tahu orang-orang?" Tapi… nggak mungkin. Christian? Orang sekaku itu ngenalin aku ke orang lain? Wanita itu kembali tertawa, seakan bisa membaca isi pikiranku, ia berkata: “Don’t think about it.” ucapnya lembut, dan tanpa menunggu responku, ia menambahkan. “Ikut aku.” Aku masih terpaku, bingung. Ke mana? Tapi kakiku otomatis bergerak mengikuti, seperti terhipnotis. Aku mengekor di belakang, menjaga jarak, mataku tak lepas dari rambut merah cherry-wine yang bergoyang indah setiap langkahnya. Hingga akhirnya, aku tersadar. Kami berjalan menuju ruangan tempat Christian masuk tadi. Benar saja, di depan ruangan itu, Bu Emma masih berdiri tegak, menunggu. Begitu melihat kami, pandangan Bu Emma beralih. Bukan padaku, tapi pada wanita di depanku. Dalam sekejap, dia menunduk sopan, tubuhnya sedikit membungkuk. “Selamat datang, Bu Esther,” ucap Bu Emma dengan penuh wibawa. Aku membeku di tempat. Kepalaku langsung menoleh ke wanita berambut merah itu. Dia hanya melengkungkan senyum tipis, penuh percaya diri. Esther?Musik dari piano kecil di pojok ruangan mengalun lembut, membungkus udara dengan kehangatan yang tenang. Lampu-lampu gantung berwarna kuning keemasan menyoroti permukaan meja yang tertata rapi. Di luar jendela, salju turun perlahan, memantulkan cahaya lampu jalan yang pucat. Restoran itu terasa hangat. Georgio sengaja memilih tempat ini, tempat yang seharusnya bisa mencairkan suasana. Ia tahu, rapat kali ini bukan tentang bisnis semata. Christian datang sedikit terlambat. Matanya menelusuri suasana restoran dan baru menyadari, di ujung ruangan, Lola sudah ada di sana. “Sudah datang rupanya,” gumam Giorgio, suaranya pelan tapi cukup untuk membuat Christian mengalihkan pandangan ke Georgio lalu kembali memusatkan pada Lola. Lola balas menatapnya, bibirnya membentuk senyum kecil. Ia hanya mengangguk, sebelum kembali menunduk, merapikan map berisi berkas-berkas rapat. Mencoba tidak memperdulikan kehadiran Christian. Christian memanggilnya, “Lola.” Lola tidak langsung menoleh.
Sesuai yang pernah Christian bayangkan, gadis itu benar-benar datang kepadanya.Lola Sienna, alisnya sempat menyipit ketika mendengar nama itu. Sebagai pria berdarah asli Italia, Christian tentu tidak asing dengan nama Siena, sebuah kota tua di jantung negeri itu. Namun setelah ia perhatikan lebih jauh, sekretaris barunya ini jelas bukan berasal dari sana.Kulitnya sangat pucat, nyaris seperti porselen. Garis wajahnya halus, berbanding terbalik dengan tatapannya yang berusaha terlihat tajam.“Terdapat bisnis tekstil yang telah berdiri puluhan tahun di Kota Siena. Setelah saya selidiki, Lola Sienna merupakan anak dari pemegang Sienna Tekstil sekarang. Hal itu didukung oleh kabar menyeruak bahwa ia berasal dari keluarga berada, sehingga para karyawan mencurigai nya masuk ke perusahaan ini dengan tidak murni.”Setidaknya, hal itulah yang sempat Christian cari tahu tentang sekretarisnya. Bukan hal penting, bukan pula sesuatu yang akan memberinya keuntungan. Tapi setelah itu, ia tidak bisa
-Christian- Di hari yang sama. Jam digital di pojok meja menunjukkan pukul 18.30. Gedung sudah sunyi. Lampu koridor hanya menyala setengah. Christian bersandar di kursi, menatap layar laptop yang masih menampilkan rentetan angka dan laporan harian. Matanya terasa panas, pergelangan tangannya kaku, dan pikirannya penuh. Ia menutup berkas terakhir, menekan ujung hidung dengan jari tengah, lalu menghela napas lega. Seperti inilah kehidupan normal seorang Christian Luciano. Ia melepas kacamata, menatap pantulan dirinya di kaca. Dasi longgar, kemeja kusut, bahu tegang. Sesekali, Christian butuh sesuatu untuk mengalihkan pikirannya. Melepaskan kendali sebentar. Dan pria dewasa itu, mulai menarik resleting celananya. Bermain pada ‘miliknya’ di tengah keheningan malam. “Hngh…” Beberapa detik berlalu, suara napas yang mulai berat dan denyut di pelipisnya yang makin kencang. Tapi kemudian— Bruk! “Akh!” Suara keras dari arah pintu memecah kesunyian. Christian tersentak, bah
-Christian- Hari pertama. Kala itu, ada pepatah yang mengatakan, “Kehidupan selalu menagih sesuatu sebagai gantinya. Kadang uang, kadang waktu, kadang seseorang.” Begitulah yang terjadi di perusahaan IT nomor satu di negeri Kangguru ini. Banyak yang datang dengan harapan bisa mengabdi lama, namun tak sedikit pula yang hanya ingin mendapatkan ‘gelar’ pernah bekerja di sini. Karena jelas, bekerja di sini sama saja dengan mengubur kehidupanmu, dengan imbalan uang. Dan seperti yang lainnya, kali ini seorang gadis melangkah masuk dengan percaya diri. Rambutnya diikat rapi, senyum lebarnya mengiringi setiap langkah, menyapa para karyawan yang anehnya tak memberikan sambutan hangat. Wajah-wajah lelah, guratan sinis, dan beberapa bahkan sengaja mengacuhkannya. “Ini adalah ruang bos. CEO sekaligus pemilik perusahaan House of Luciano,” ucap seorang wanita dengan name-tag Emma Robert. Melalui perkenalan singkat, gadis itu mengetahui bahwa Emma adalah kepala divisi yang akan me
“Kenangan,” ulangnya pelan. “Jadi selama ini… semua yang Anda lakukan pada saya… juga ada hubungan dengannya?” Christian menatapnya singkat, lalu mengalihkan pandangan. “Sebagian, mungkin.” Lola menarik napas pendek, bahunya menegang. “Kalau begitu, saya tidak heran kenapa Bu Esther sempat marah pada saya.” Christian menoleh cepat, tatapannya berubah tajam. “Lola—” “Tapi saya heran,” potong Lola cepat, suaranya meninggi sedikit. “Kalau Anda masih punya urusan yang belum selesai dengannya, kenapa Anda bersikap seperti itu kepada saya?” Pria itu terdiam. “Kenapa Anda membela saya di rapat waktu itu?” lanjut Lola tanpa memberi jeda. “Kenapa Anda peduli setiap kali saya terlambat makan? Kenapa Anda memperlakukan saya seolah-olah saya ini… sesuatu yang penting?” Lola berusaha menahan getar di suaranya. Tapi semakin ia mencoba tenang, semakin kalimatnya terdengar rapuh. “Kalau memang hubungan Anda dengan Bu Esther belum selesai, Bapak tidak seharusnya melakukan itu semu
Entah mantra apa yang baru saja diucapkan Christian, tapi tubuhnya seakan membeku. Tangannya tak mampu mendorong, kakinya tak sanggup mundur. Lola hanya berdiri di sana, terperangkap di antara tubuh Christian dan meja di belakangnya. “Jadi sekarang, Anda memperluas wilayah kekuasaan Anda, ya? Dari kantor... ke rumah saya juga?” Tatapan Christian tak bergeming. Hanya ada senyum samar di sudut bibirnya, seperti pria itu menikmati setiap helaan napas yang tertahan di antara mereka. Di kantor, Lola tahu betul rasanya hidup di bawah pengawasan Christian. Setiap langkah, setiap file yang ia buka, setiap keputusan kecil, selalu terasa seperti ada mata yang mengamati. Tapi di sini... di rumahnya sendiri... seharusnya Lola bisa bernapas. Namun nyatanya, tidak segampang itu. Ia ingin melawan, ingin mendorong Christian menjauh, atau menegaskan bahwa ini rumahnya, ruang pribadinya. Tapi tubuhnya seakan tak lagi berpihak. Semua keberanian itu terkubur oleh sesuatu yang bahkan tak ia paha







