"Aduh, maaf ya! Sibuk banget sampai nggak lihat jalan." Aku berkata entah apa. Kenapa ya, kok jadi gak nyambung gini sih.
Haduh!Aku menggeleng pelan, beberapa kali."Tidak apa-apa. Mbaknya baik-baik saja?"Oh, my!Mbak? Dia panggil aku, Mbak? Emang muka aku setua itu kah?"Eh, aku gak papa kok! Oh iya. Panggil aku Siska. Jangan mbak. Aku belum tua loh!" kataku sedikit tak suka.Lihat-lihat. Pemuda yang belum aku ketahui namanya itu malah tersenyum. Dan ah, senyumnya bukan bikin sehat, malah bikin aku diabetes.Ya Tuhan ... sehatkan aku, supaya aku bisa deket-deket terus sama pemuda yang tak hamba ketahui namanya itu."Mbak?" panggilnya padaku. aku terkesiap. Namun, belum mampu aku jawab."Kok malah diem aja. Mbak gak papa 'kan mbak? Saya jadi gak enak, karena udah nabrak mbaknya. Eh, maksud saya ... Siska.""Wah, kamu ganteng sekali! Ehm, iya, aku baik-baik aja. Aduh, ngomong apaan ya, aku?Tapi, terima kasih sudah bertanya."Huh! bodoh, bodoh, bodoh! Pake acara keceplosan segala lagi, ini mulut.Ya ampun!"Terima kasih, kamu juga cantik."Ya Tuhan. Demi apa?Mataku membulat dengan sempurna saat mendengar kata-kata yang terucap dari bibirnya yang seksi itu. Dia bilang aku cantik? Oh, my. Apa aku lagi ngimpi? Ah, rasanya enggak deh. Aku sadar kok. Seratus persen sadar. Bahkan, aku masih sadar, kalau aku ini belum mandi dan masih dasteran.Walah!"Hehe. Makasih loh, udah bilang aku cantik. Kamu orang yang entah keberapa yang mengakui kecantikan aku."Lihat! Dia senyum lagi.Ya Allah ... senyumnya bener-bener bikin aku diabetes, kalau terus-terusan dilihat. Tapi, kalau gak diliat sayang juga sih.Mubadzir!"Heh, Siska! Ganjen banget sih, jadi perempuan! Mentang-mentang kamu itu janda, bisa seenaknya godain laki yang baru dikenal."Aku menoleh! Suara si Juminten yang kurang kerjaan itu terdengar nyaring di telinga.Gak bisa apa, kalau dia gak ganggu aku sebentar aja. Gak bosen apa, gangguin hidup aku terus? Dasar wanita jadi jadian."Sirik! Tanda tak mampu!""Apa kamu bilang? Sirik! Ih, sorry ya. aku gak sirik sama kamu. Aku tuh cuma heran aja sama kamu.""Heran kenapa?" tanyaku tak mengerti."Mentang-mentang janda bisa seenaknya begitu. Gak bisa lihat yang ganteng dikit, langsung di embat! Langsung di godain."Wah! Bener-bener gak di sekolahin nih mulut si Juminten. Bisa-bisanya dia ngatain aku yang enggak-enggak."Dijaga ya, punya mulut. Jangan suka fitnah! Nanti aku kasih sambel tuh mulut. Tau rasa kamu! Tau 'kan kalau sambel buatan aku itu paling enak!""Halah! Pakai bawa-bawa sambal segala lagi. percuma bisa bikin sambal enak juga kalau nggak ada yang makan. Situ 'kan janda!""Heh! Jumi alias Juminten! Si janda yang sekarang udah jadi mantan janda! Ada masalah apa sih kamu sama aku? Suka banget gangguin aku! Aku merasa kayaknya kamu tuh benci banget sama aku. Kenapa sih?!"Ku keluarkan semua kekesalanku pada si Juminten. Hati ini sudah menggebu ingin sekali mengeluarkan semua unek-unek mengenai wanita nyinyir ini."Heh, Siska--""Ekhem!"Aku menoleh. Si Juminten pun melakukan hal yang sama denganku. kami berdua sama-sama menoleh ke arah sumber suara yang baru saja berdehem saat si Juminten hendak mengeluarkan kata-kata yang entah apa itu. Namun yang pasti suaranya pasti akan menyakitkan telinga. Takan salah lagi."Maaf sebelumnya."Walah! Aku langsung meleleh saat laki laki itu bersuara. Cuma ngomong gitu aja, bisa buat jantung aku dangdutan. Apalagi kalau dia nyatakan cinta barusan. Sudah pasti jantungku bakal tawuran sama organ yang lainnya.Bener bener udah gak sehat aku ini kayaknya.Tapi eh, eh, eh ... ternyata bukan cuma aku aja yang terpesona dan meleleh hatinya karena melihat ketampanan pemuda di hadapanku ini. Tapi juga si Jumi alias Juminten. Bahkan, ekspresi wajahnya itu jauh lebih mengerikan daripada yang bisa kalian bayangkan.Mulut lebarnya terbuka hampir sepenuhnya. Ilernya bahkan hampir saja terjatuh jika saja aku tak menyenggol dengan keras bahunya pakai lenganku ini."Heh! Janda yang udah jadi mantan! Inget suami! Gak usah berlebihan kayak gitu ekspresi wajahnya. Ngeri!" sindirku tajam. Setajam tatapan matanya saat ini padaku."Ngapain liat liat aku kayak gitu? Situ demen? Merasa kalau apa yang aku omongin itu benar?" cerocosku sambil menuduhnya."Sinting!" Satu kata dan dia kembali mengalihkan tatapannya pada laki-laki ganteng di hadapan kami."Aku Jumi, alias Juminten." Tak kusangka dan tak kuduga. Mantan janda itu mendahului aku berbicara dengan laki laki ganteng ini. Tangannya yang mungkin bau jigong itu terulur pada si ganteng. Dengan wajah tak tahu malu, ia tersenyum sangat manis padanya. Bahkan, saking manisnya, malah berubah jadi pait.Wah, keterlaluan! Ini tak bisa di biarkan. Dia ini 'kan sudah ada yang punya. Mana boleh begitu?!"Bang Joko Kesemsem!" Teriakku kencang. Bahkan, saking kencangnya teriakanku itu, si Mas ganteng yang ada di depan, langsung menutup telinga dengan kedua tangan. Si Jumi pun langsung celingukan."Bininya nih ..., ganjen sama cowok ganteng! Mana masih muda, lagi, alias berondong!" Aku berteriak kembali. Si Juminten semakin gelagapan. Dia gelisah! Tubuhnya udah persis kayak cacing kepanasan.Hiii ... ngeri!"Awas kamu, ya!" ancam si Juminten padaku. Matanya yang masih ada setitik kotoran itu, melirik sinis ke arahku.Aku terkikik Pelan. Pergi juga dia dari hadapanku."Eh, sampai lupa. Mas di depan sampai di anggurin." Aku membenarkan rambut yang berantakan dengan gaya lembut.Aih, di pandangi juga aku olehnya."Siska gak papa 'kan? Jangan banyak teriak, nanti tenggorokannya sakit."Gimana, gimana?Aku terkesima sesaat. Merasa diperhatikan oleh mas ganteng yang satu ini."Kenalin, nama saya Reyhan."Aduhai ... belum usai keterkejutanku, pemuda ganteng itu malah semakin membuatku terkejut dengan memperkenalkan namanya.'Reyhan' begitu dia berucap."Neng Siska! Kalau mau nyari gebetan baru, jangan di sini! Akang sakit hati liatnya."Aku menoleh sinis. Ternyata si kang sayur yang berbicara. Apa maksudnya coba, bilang begitu di hadapanku dan si mas ganteng. Eh, Reyhan maksudnya."Suka suka aku dong, mau kenalan di mana aja.""Gimana?" Satu kata terucap. Sebuah pertanyaan yang membuatku tak bisa berkata-kata, keluar dari mulut manis Angga.Walau aku belum pernah mencoba mulut itu. Eh, tapi aku yakin, mulutnya memang manis. Semanis kata katanya padaku. Dan sikapnya selama ini, tentu saja."Kenapa malah diam? Saya tanya loh. Gimana?" tanyanya lagi. Masih dengan pertanyaan yang sama."Gimana apanya Mas?" Bukannya menjawab. Eh, mulutku malah balik bertanya. Dasar Siska!Grogi kok bisa sampai kayak gini sih."Kok malah balik nanya sih? Saya kan yang nanya duluan sama kamu," katanya dengan kepala yang menggeleng ke kiri dan ke kanan. Aku menatapnya takjub. Cuman gelengin kepala aja, udah bisa bikin aku terpesona. Ganteng banget sih dia. Ya ampun! Pikiranku jadi ke mana mana. Apalagi kalau dia senyum coba. Pasti bakal langsung bikin aku hilang ingatan."Jangan kebanyakan mikirin yang enggak enggak. Kita belum
"Kamu baik bener sama Marni. Gak rugi Sis, nasi gorengnya kamu kasih gratis sama Marni?" tanya si Dudu saat Marni sudah melenggang pergi dari tempatku berjualan. Tanganku yang sedikit kotor, karena bumbu, segera ku bersihkan dengan lap yang biasa aku gunakan di tempat jualanku. Mengabaikan dulu pertanyaannya si Dudu. Masih tak mau menjawab, aku malah tersenyum sama si Dudu."Enggak lah, Du. Cuma satu bungkus doang kok. Masa sih aku rugi. Gak papa lah, kasian aku sama si Marni. Dia itu tetangga aku yang gak pernah ikut campur. Dia masa bodoh. Tapi, dia juga gak cuek, kalau aku ada masalah. Oh ya, aku yakin tuh, di balik sikapnya yang barusan bisa ketawa itu, dia sebenernya nyimpen luka buka si Marno.""Kamu bener, Sis. Kasian aku sama Marni. Dia kan cantik ya? Mukanya bening, walau dia cuma seorang babu. Gak kayak aku," kata Dudu yang membandingkan wajah Marni dengan wajahnya."Kamu juga cantik Du. Sayang aja, ka
Jajan tak jadi, yang ada keluar uang buat Mak Iroh.Huh! Si emak yang satu ini emang meresahkan! Padahal, tadi siang ia juga kebagian jatah bagi bagi uang dari Angga. Tapi, masih aja minjam sama aku. Aku sampai kehilangan nafsu makan, gara gara kelakuan Mak Iroh yang kembali kumat. Ku pikir, setelah lama Mak Iroh tak meminjam uang padaku, ia sudah tobat dan tak akan minjam minjam uang lagi. Tapi ternyata ... ah, sudahlah!Berbagai tipe tetangga, ada di lingkungan kontrakanku. Dari yang julid, yang mulutnya lemes, yang tukang nyebar berita palsu, sampai yang suka minjam uang, tapi jarang kembali pulang itu uang, semuanya ada di sini. Dan aku menjadi salah satu penghuni yang terbilang normal di sini. Karena aku bukan salah satu dari yang baru aja aku sebutkan."Wey, bengong aja, kayak ayam pengen kawin!"Kulirik wajah si Dudu sekilas. Lalu, kembali pada setelan awal.Aku tak berniat untuk terkejut. Apalagi samp
Barisan bubar setalah mereka mendapatkan apa yang sudah di janjikan oleh Mas Angga. Yaitu, duit. Mereka semua pulang dengann wajah senang, senyum senang dan mata berbinar. Gagal mendapatkan sembako, mereka pulang dengan membawa uang. Beruntung memang para tetanggaku ini. Uang mengalahkan segalanya. Bahkan, si Jumi yang biasanya suka ketus padaku, berubah bak ibu peri yang kapan saja siap untuk di mintai tolong."Kalau butuh apa apa, bilang aja sama aku. Aku siap bantu kamu, asal ada ininya." Itu kata si Jumi sebelum ia beranjak pergi dari teras rumahku. Jempol dan telunjuknya saling beradu. Aku tau apa maksudnya. Pasti ujung ujungnya duit lagi deh."Mas, harusnya gak usah sampai segitunya sama mereka. Nanti keenakan mereka. Harusnya kan yang kasiih mereka itu si Wati, bukannya Mas Angga," omelku saat semua barisan ibu ibu dan bapak bapak sudah menghilang bak di telan bumi. Hilang kare
Gusti! Aku terkejut bukan main. Gak ada angin, apalagi hujan, tiba tiba aja ini rumah di kerubunin para tetangga kontrakan, dari yang paling dekat hingga ke paling ujung, alias paling jauh, semuanya ada. Bukan tanpa alasan mereka mengerubungi rumah kontrakanku. Katanya, aku ada jadwal bagi bagi sembako hari ini. What! Siapa yang bilang dan nyebar fitnah kayak gitu tentangku? Aku kok gak merasa pernah bilang sama seseorang, apalagi orang orang, kalau aku mau bagi bagi sembako. Wong, aku juga masih kekurangan kok. Gimana ceritanya aku mau bagi bagi? Kalau aku ada uang lebih sih, aku juga mau bagi bagi. Tapi, uang lebihku kan sudah aku kasih sama si Dudu, buat biaya sunat adik bontotnya. Nanti malah, aku mau nyari uang lagi, biar ada lebihnya lagi. "Ayo Dong, Sis. Jangan tunda tunda rezeki kami. Kamu kan mau bagi bagi sembako. Kenapa gak langsung di segerakan aja bagi baginya. Dosa loh, kalau kamu nunda nunda apa yang
Ya ampun! Duniaku terasa berbunga saat kulihat wajah Angga memerah karena cemburu. Ada untungnya juga, aku ketemu dengan Andi, teman saat aku sekolah dulu. Ya, aku tau kalau dari dulu itu, Andi suka padaku. Namun, entah kenapa, dari dulu pula hingga sekarang, aku tak pernah memiliki perasaan yang serupa dengan Aldi. Bukan karena Aldi tidak tampan dan menarik. Bukan karena dia juga tak baik. Tapi, karena hati ini yang tak pernah bisa memiliki perasaan yang sama dengan Aldi. Hingga, hanya sebatas teman, yang bisa aku sematkan dalam hubungan kami berdua. Lama tak jumpa, ternyata kami di pertemukan kembali dengan aku yang sudah memiliki calon suami. Dulu, aku memilih menikah dengan temannya. Dan sekarang? Hatiku pun telah terpaut pada yang lain. Mungkin, hatiku dan hatinya yang tak bisa menyatu. Hingga kata 'teman' yang lebih cocok untuk kita sandang dalam hubungan ini. "Bilang cemburu aja kok s