Share

Status Kontrak dengan Kakak Angkat
Status Kontrak dengan Kakak Angkat
Penulis: Arwend Arau

Bab 1. Asal-Usulku

 "Heh, mau apa kamu datang lagi ke sini? Kamu pikir kita bank yang bisa terus kamu pinjami uang, hah?"

"Pergi sana! Datangi saja kuburan ayah kamu, gara-gara dia ngurus kamu hidupnya jadi ga jelas! Bahkan harus meninggal di usia yang masih muda."

"Kita juga sama, lagi gak pegang uang sama sekali, kamu cantik jual saja tubuh kamu mungkin bakal banyak om-om genit yang bakal ngelirik kamu!"

Semua ucapan-ucapan itu masih selalu terngiang di kepalaku. 

Aku tersungkur di pusara ayahku. Tanahnya masih terlihat basah walaupun sudah satu tahun berlalu sejak kecelakaan tragis itu terjadi. Duniaku serasa hancur berkeping-keping sepeninggal ayah. Bahu tempatku bersandar kini hilang bersama asa yang hanya menjadi abu hitam dan terbang ke udara.

Aku tidak tahu lagi harus ke mana membawa langkah ini pergi. Semua orang yang kuanggap saudara seakan tutup mata dan telinga ketika aku datang meminta pertolongan. Bahkan mereka mengusirku terang-terangan dan tidak pernah menganggap keberadaanku.

"Zi-la ha-nya ingin a-yah ba-ngun, Zila ng-gak sang-gup, yah! Zila ng-gak kuat seperti yang orang-orang lihat! Zila ha-rus apa sekarang, yah?" Aku semakin terisak.

Bagaikan ditimpa sebuah bongkahan batu besar dada ini sesak dan bergemuruh. Ingin rasanya kumenyusul ayahku, kalau saja aku tidak ingat Danur, keponakanku yang sedang berjuang untuk mempertahankan hidupnya. 

Memang naif, tapi dengan beban berat yang harus kupikul kini, rasanya aku lelah untuk hidup. Rasanya ujian tidak henti datang kepadaku. Ditinggal ibu sejak bayi, kini ayahku pun pergi untuk selamanya, dengan meninggalkan hutang yang baru kutahu setelah beliau meninggal. Kuliah yang terancam D.O gegera belum bisa melunasi biaya semester yang sudah membengkak, sekarang harus ikut memikirkan biaya untuk operasi Danur yang jumlahnya sangat fantastis. Ya Allah, indah sekali ujian untukku saat ini.

Kumeraup udara sebanyak yang kubisa dan menghembuskannya kembali perlahan, kemudian mengatur ritme napasku untuk bisa lebih tenang. Walaupun masih terisak, setidaknya perasaanku sudah lebih baik usai tadi aku luapkan segala kemelut di dalam hati.

"Sebenarnya siapa Zila, yah?" Awalnya aku tidak pernah peduli siapa ibuku selama ayahku masih menyayangiku, tapi kini setelah ayahku pergi, semua orang seolah menyadarkanku tentang keberadaan sosok wanita yang harusnya kupanggil ibu. Rahasia apa yang selama ini ayah sembunyikan dari Zila? Kenapa semua orang memperlakukan Zila seperti ini?" Arghhh ... aku menangkup wajahku, tangisku kembali pecah. Aku sedikit menyesali kenapa ayah membawa rahasia itu rapat-rapat hingga mati.

Tak terasa, aku cukup lama berada di pusara ayah. Dari matahari terik, hingga langit berubah jingga. 

Setelah dirasa kembali tenang, dan cukup meratapi nasibku, aku bangkit berdiri. Tekadku untuk melanjutkan hidup semakin menguat. Aku tidak boleh lemah! Aku tidak ingin ma4ti k0nyol hanya karena masalah seperti ini. 

"Ayah, Zila akan cari tahu siapa Zila sebenarnya. Ayah tenang di sana, ya! Zila janji, Zila akan baik-baik saja di sini." Aku menyusut air mata yang sedari tadi tak henti membasahi pipiku.

Diakhiri dengan sebuah d'oa, dengan berat kucoba untuk melangkahkan kakiku meninggalkan tempat ayahku tinggal dalam keabadian.

Namaku Azila Meina Zahrain. Umurku saat ini menginjak 20 tahun dan di umurku ini aku masih mencari kebenaran tentang siapa sosok ibuku masih menjadi misteri, meski bagiku dia telah m4ti.

Semasa hidupnya ayahku tidak pernah berkata hal buruk tentang ibu dan tidak pernah mengajarkanku untuk membencinya.  Ayahku benar-benar menguburnya rapat bahkan hingga ia meninggal dunia.

Dering ponselku terus berbunyi. Sebuah nomor tidak dikenal kembali menghubungiku. Untuk kesekian kalinya aku mengabaikan panggilan tersebut. Karena kuyakini itu adalah nomor para debt kolektor yang terus saja mengejarku.

Ting!

Sebuah notifikasi pesan baru saja masuk ke aplikasi hijau. Aku kembali mengabaikan ponselku, aku lelah, benar-benar lelah dengan situasi ini. Akan tetapi, rasa penasaranku lebih tinggi ternyata setelah terdapat dua pesan masuk di sana. Kali ini aku bergegas membuka pesan yang baru saja masuk. Ternyata sebuah pesan yang sedang kunantikan kedatangannya.

[Assalamu'alaikum.]

[Saya sudah terima laporan, ginjal kamu sehat dan cocok. Besok siang, jam dua, saya tunggu di kantor saya untuk membicarakan masalah pembayarannya. Sehingga operasi bisa segera dilakukan. Terimakasih.]

"Alhamdulillah." Aku bersorak girang setelah membaca pesan yang masuk. 

Seminggu lalu, aku mendapatkan sebuah tawaran dari temanku. Katanya ada saudaranya yang sedang sakit dan harus segera mendapatkan donor ginjal. Bila cocok, bayaran yang ditawarkannya sangat menggiurkan bisa untuk melunasi semua hutang-hutangku dan tentunya bisa untuk operasi Danur. Aku bersyukur setidaknya aku tidak harus menjual diriku kepada para pria hidung belang.

'Zila minta maaf, yah! Hanya ini jalan satu-satunya yang bisa Zila lakukan,' ujarku dalam hati usai merasa senang sesaat.

 Gegas, aku pun membalas pesan tersebut dengan senyum terukir di bibir.

[Baik, saya pasti akan datang tepat waktu. Saya harap pembayarannya sesuai dengan kesepakatan di awal.]

[Ok, saya tunggu! Senang bisa bekerja sama.]

***

Kubuka mata perlahan, menghirup udara sebanyak yang kubisa. Bersyukur aku masih diberi kehidupan setelah tidur malam yang hanya sekitar satu sampai dua jam saja. Mata ini rasanya tidak bisa terpejam, semalaman aku terus memikirkan nasib diriku setelah nanti hanya memiliki satu ginjal.

Aku beranjak dari tempat tidur, merapikannya, dan mulai membersihkan diri sebelumku mengadu pada Sang Pemilik Hari.

"Udah bangun, Neng?" Sapa Bi Nani sesaat setelahku membuka pintu kamar.

"Iya, Bi. Maaf semalam Zila pulang larut. Kemarin setelah pulang dari makam ayah, Zila ke rumah teman buat nyiapin lamaran kerja," ucapku bohong pada Bi Nani.

"Lho, emangnya kamu mau kerja? Bagaimana dengan kuliahmu?" ujar Bi Nani cemas setelah mendengar kalau aku akan bekerja.

"Zila ambil cuti dulu, lagian Zila masih belum bisa membayar uang semester yang semakin membengkak, Zila malu," kataku memberi penjelaskan kepada Bi Nani.

Bi Nani adalah adik perempuan almarhum ayahku,. Beliau yang sudi menampungku setelah kepergian ayah. Umurnya tidak berbeda jauh dengan almarhum ayah, mungkin hanya terpaut dua sampai tiga tahunan.

Ia mempunyai dua orang anak. Anak sulungnya, ikut suaminya merantau di pulau Kalimantan. Sedangkan anak bungsunya, Danur, kini tengah sakit dan harus segera melakukan operasi.

Bi Nani tidak membalas perkataanku. Ia malah mengajakku masuk ke kamarnya. Nampak di dalam sana, Danur sedang tertidur pulas di sebuah kasur berukuran 120*100 centimeter tanpa dipan di sana. Bi Nani membuka pintu sebuah lemari baju yang terbuat kayu. Aku hanya memperhatikan apa yang Bi Nani lakukan tanpa berani bertanya padanya. Tidak berselang lama, Bi Nani mengajakku duduk dan mengeluarkan sebuah kotak hitam yang kutaksir usia kotak itu sudah cukup tua.

"Mungkin sudah waktunya kamu tahu asal-usul kamu, Neng! Di dalam kotak ini, ada sebuah kalung yang akan menunjukkan siapa kamu sebenarnya," ujar Bi Nani, sambil menyerahkan sebuah kalung. Pada kalung ini, terdapat sebuah liontin berinisial huruf yang sama dengan awalan namaku.

"Apa ini, Bi? Dan maksud Bibi tentang asal- usulku? Zila tidak mengerti." Aku tertegun mendengar ucapan Bi Nani. Sambil memegang kalung pemberian Bi Nani, sejuta pertanyaan menari-nari di pikiranku.

"Jadi, dulu ... almarhum ayahmu, bekerja sebagai supir pribadi di sebuah keluarga kaya. Bibi tidak tahu pasti ada kejadian apa di rumah majikan ayahmu. Yang jelas setelah beberapa bulan ayahmu bekerja di sana, ia pulang dengan membawa seorang bayi mungil cantik dengan sebuah kalung di lehernya. Dan bayi itu --"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Herti Herti
sepertinya akan banyak rahasia dicerita ini,saya mulai suka ceritanya,semangat terus Kaka,lanjutkan
goodnovel comment avatar
Rida nugraha Rida
ceritanya bagus, semangat kak!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status