"Heh, mau apa kamu datang lagi ke sini? Kamu pikir kita bank yang bisa terus kamu pinjami uang, hah?"
"Pergi sana! Datangi saja kuburan ayah kamu, gara-gara dia ngurus kamu hidupnya jadi ga jelas! Bahkan harus meninggal di usia yang masih muda."
"Kita juga sama, lagi gak pegang uang sama sekali, kamu cantik jual saja tubuh kamu mungkin bakal banyak om-om genit yang bakal ngelirik kamu!"
Semua ucapan-ucapan itu masih selalu terngiang di kepalaku.
Aku tersungkur di pusara ayahku. Tanahnya masih terlihat basah walaupun sudah satu tahun berlalu sejak kecelakaan tragis itu terjadi. Duniaku serasa hancur berkeping-keping sepeninggal ayah. Bahu tempatku bersandar kini hilang bersama asa yang hanya menjadi abu hitam dan terbang ke udara.
Aku tidak tahu lagi harus ke mana membawa langkah ini pergi. Semua orang yang kuanggap saudara seakan tutup mata dan telinga ketika aku datang meminta pertolongan. Bahkan mereka mengusirku terang-terangan dan tidak pernah menganggap keberadaanku.
"Zi-la ha-nya ingin a-yah ba-ngun, Zila ng-gak sang-gup, yah! Zila ng-gak kuat seperti yang orang-orang lihat! Zila ha-rus apa sekarang, yah?" Aku semakin terisak.
Bagaikan ditimpa sebuah bongkahan batu besar dada ini sesak dan bergemuruh. Ingin rasanya kumenyusul ayahku, kalau saja aku tidak ingat Danur, keponakanku yang sedang berjuang untuk mempertahankan hidupnya.
Memang naif, tapi dengan beban berat yang harus kupikul kini, rasanya aku lelah untuk hidup. Rasanya ujian tidak henti datang kepadaku. Ditinggal ibu sejak bayi, kini ayahku pun pergi untuk selamanya, dengan meninggalkan hutang yang baru kutahu setelah beliau meninggal. Kuliah yang terancam D.O gegera belum bisa melunasi biaya semester yang sudah membengkak, sekarang harus ikut memikirkan biaya untuk operasi Danur yang jumlahnya sangat fantastis. Ya Allah, indah sekali ujian untukku saat ini.
Kumeraup udara sebanyak yang kubisa dan menghembuskannya kembali perlahan, kemudian mengatur ritme napasku untuk bisa lebih tenang. Walaupun masih terisak, setidaknya perasaanku sudah lebih baik usai tadi aku luapkan segala kemelut di dalam hati.
"Sebenarnya siapa Zila, yah?" Awalnya aku tidak pernah peduli siapa ibuku selama ayahku masih menyayangiku, tapi kini setelah ayahku pergi, semua orang seolah menyadarkanku tentang keberadaan sosok wanita yang harusnya kupanggil ibu. Rahasia apa yang selama ini ayah sembunyikan dari Zila? Kenapa semua orang memperlakukan Zila seperti ini?" Arghhh ... aku menangkup wajahku, tangisku kembali pecah. Aku sedikit menyesali kenapa ayah membawa rahasia itu rapat-rapat hingga mati.
Tak terasa, aku cukup lama berada di pusara ayah. Dari matahari terik, hingga langit berubah jingga.
Setelah dirasa kembali tenang, dan cukup meratapi nasibku, aku bangkit berdiri. Tekadku untuk melanjutkan hidup semakin menguat. Aku tidak boleh lemah! Aku tidak ingin ma4ti k0nyol hanya karena masalah seperti ini."Ayah, Zila akan cari tahu siapa Zila sebenarnya. Ayah tenang di sana, ya! Zila janji, Zila akan baik-baik saja di sini." Aku menyusut air mata yang sedari tadi tak henti membasahi pipiku.
Diakhiri dengan sebuah d'oa, dengan berat kucoba untuk melangkahkan kakiku meninggalkan tempat ayahku tinggal dalam keabadian.
Namaku Azila Meina Zahrain. Umurku saat ini menginjak 20 tahun dan di umurku ini aku masih mencari kebenaran tentang siapa sosok ibuku masih menjadi misteri, meski bagiku dia telah m4ti.
Semasa hidupnya ayahku tidak pernah berkata hal buruk tentang ibu dan tidak pernah mengajarkanku untuk membencinya. Ayahku benar-benar menguburnya rapat bahkan hingga ia meninggal dunia.
Dering ponselku terus berbunyi. Sebuah nomor tidak dikenal kembali menghubungiku. Untuk kesekian kalinya aku mengabaikan panggilan tersebut. Karena kuyakini itu adalah nomor para debt kolektor yang terus saja mengejarku.
Ting!
Sebuah notifikasi pesan baru saja masuk ke aplikasi hijau. Aku kembali mengabaikan ponselku, aku lelah, benar-benar lelah dengan situasi ini. Akan tetapi, rasa penasaranku lebih tinggi ternyata setelah terdapat dua pesan masuk di sana. Kali ini aku bergegas membuka pesan yang baru saja masuk. Ternyata sebuah pesan yang sedang kunantikan kedatangannya.
[Assalamu'alaikum.]
[Saya sudah terima laporan, ginjal kamu sehat dan cocok. Besok siang, jam dua, saya tunggu di kantor saya untuk membicarakan masalah pembayarannya. Sehingga operasi bisa segera dilakukan. Terimakasih.]
"Alhamdulillah." Aku bersorak girang setelah membaca pesan yang masuk.
Seminggu lalu, aku mendapatkan sebuah tawaran dari temanku. Katanya ada saudaranya yang sedang sakit dan harus segera mendapatkan donor ginjal. Bila cocok, bayaran yang ditawarkannya sangat menggiurkan bisa untuk melunasi semua hutang-hutangku dan tentunya bisa untuk operasi Danur. Aku bersyukur setidaknya aku tidak harus menjual diriku kepada para pria hidung belang.
'Zila minta maaf, yah! Hanya ini jalan satu-satunya yang bisa Zila lakukan,' ujarku dalam hati usai merasa senang sesaat.Gegas, aku pun membalas pesan tersebut dengan senyum terukir di bibir.
[Baik, saya pasti akan datang tepat waktu. Saya harap pembayarannya sesuai dengan kesepakatan di awal.]
[Ok, saya tunggu! Senang bisa bekerja sama.]
***
Kubuka mata perlahan, menghirup udara sebanyak yang kubisa. Bersyukur aku masih diberi kehidupan setelah tidur malam yang hanya sekitar satu sampai dua jam saja. Mata ini rasanya tidak bisa terpejam, semalaman aku terus memikirkan nasib diriku setelah nanti hanya memiliki satu ginjal.
Aku beranjak dari tempat tidur, merapikannya, dan mulai membersihkan diri sebelumku mengadu pada Sang Pemilik Hari.
"Udah bangun, Neng?" Sapa Bi Nani sesaat setelahku membuka pintu kamar.
"Iya, Bi. Maaf semalam Zila pulang larut. Kemarin setelah pulang dari makam ayah, Zila ke rumah teman buat nyiapin lamaran kerja," ucapku bohong pada Bi Nani.
"Lho, emangnya kamu mau kerja? Bagaimana dengan kuliahmu?" ujar Bi Nani cemas setelah mendengar kalau aku akan bekerja.
"Zila ambil cuti dulu, lagian Zila masih belum bisa membayar uang semester yang semakin membengkak, Zila malu," kataku memberi penjelaskan kepada Bi Nani.
Bi Nani adalah adik perempuan almarhum ayahku,. Beliau yang sudi menampungku setelah kepergian ayah. Umurnya tidak berbeda jauh dengan almarhum ayah, mungkin hanya terpaut dua sampai tiga tahunan.
Ia mempunyai dua orang anak. Anak sulungnya, ikut suaminya merantau di pulau Kalimantan. Sedangkan anak bungsunya, Danur, kini tengah sakit dan harus segera melakukan operasi.
Bi Nani tidak membalas perkataanku. Ia malah mengajakku masuk ke kamarnya. Nampak di dalam sana, Danur sedang tertidur pulas di sebuah kasur berukuran 120*100 centimeter tanpa dipan di sana. Bi Nani membuka pintu sebuah lemari baju yang terbuat kayu. Aku hanya memperhatikan apa yang Bi Nani lakukan tanpa berani bertanya padanya. Tidak berselang lama, Bi Nani mengajakku duduk dan mengeluarkan sebuah kotak hitam yang kutaksir usia kotak itu sudah cukup tua.
"Mungkin sudah waktunya kamu tahu asal-usul kamu, Neng! Di dalam kotak ini, ada sebuah kalung yang akan menunjukkan siapa kamu sebenarnya," ujar Bi Nani, sambil menyerahkan sebuah kalung. Pada kalung ini, terdapat sebuah liontin berinisial huruf yang sama dengan awalan namaku.
"Apa ini, Bi? Dan maksud Bibi tentang asal- usulku? Zila tidak mengerti." Aku tertegun mendengar ucapan Bi Nani. Sambil memegang kalung pemberian Bi Nani, sejuta pertanyaan menari-nari di pikiranku.
"Jadi, dulu ... almarhum ayahmu, bekerja sebagai supir pribadi di sebuah keluarga kaya. Bibi tidak tahu pasti ada kejadian apa di rumah majikan ayahmu. Yang jelas setelah beberapa bulan ayahmu bekerja di sana, ia pulang dengan membawa seorang bayi mungil cantik dengan sebuah kalung di lehernya. Dan bayi itu --"
"--Bayi itu kamu, Neng." Deg! 'Astaghfirullahaladzim, apa ini?' "Bibi sudah sering bertanya, bayi siapa ini, tapi ayahmu menutup rapat tentang dirimu, bahkan sampai kematian menjemputnya. Istrinya pun dulu bahkan sampai meminta cerai karena dia lebih memilih membesarkanmu," ucap Bi Nani yang terus menatapku dengan ekspresi sedih. "Jadi maksud Bibi, Zila ...." Aku terus memperhatikan ke arah kalung liontin pemberian Bi Nani. "Selama ini Azila bukan anak kandung ayah?" ujarku seakan tidak percaya dengan kata-kata yang diucapkan Bi Nani. "Iya, Neng! Maaf Bibi baru bisa cerita sekarang. Awalnya ayahmu terus saja meminta Bibi untuk membuang kalung ini. Tapi Bibi berbohong dan menyimpan kalung ini. Bibi yakin, suatu saat kamu akan membutuhkannya. Dan ternyata benar dugaan Bibi. Mungkin dengan kalung ini, Neng Zila bisa cari tahu kebenaran tentang keluarga Neng yang sebenarnya," ujar Bi Nani hati-hati Ya Allah, apa maksud dari semua ini? Apakah ini pertolongan darimu? Baru saja kemari
"Asal kau mau menjadi istriku yang ke lima." Pria tua yang ada di depanku tertawa puas melihat ketidakberdayaanku saat ini. "Anda sudah tidak w4ras, saya lebih cocok jadi cucu Anda dibandingkan istri Anda," rutukku karena j1jik mendengar ucapannya. "Aw ...." Laki-laki tua itu meringis kesakitan setelah aku menginjak kakinya kuat. "Dasar b0cah ingusan, berani ya kamu main-main denganku?" umpatnya dengan penuh amarah. Sepertinya aku telah membuatnya semakin marah. Tapi aku tidak peduli. Ayahku yang berhutang dan kini aku yang harus menanggung hutangnya pada banyak rentenir. Bahkan dengan terang-terangan mereka meminta tubuhku sebagai gantinya. Gil4! mereka benar-benar gil4 dan aku hampir dibuat gil4 karena harus berurusan dengan orang gil4 seperti mereka. Tanpa pikir panjang aku berteriak minta tolong. Seketika orang-orang datang berkerumun dan akhirnya pria tua itu berhasil pergi karena dia takut akan diserang warga. Suasana rumah kembali tenang setelah pria tua tadi berhas
Bukannya tempat ini, sebuah pemakamam umum. Dan ini tempat pemakamam yang sama dengan ayahku?"Siapa yang meninggal?" Aku langsung bertanya pada Revan sesaat setelah keluar dari mobil."Nanti kau akan tahu di sana? Bisa tolong bantu ibuku berjalan?" pintanya padaku karena sang ibu tidak pernah melepaskan tangannya dariku."Tentu saja, dari tadi bahkan ibumu sama sekali belum melepaskan tangannya dariku," ucapku dengan nada sedikit kesal."Maaf, kami sudah merusak harimu. Tapi, terima kasih sudah berlaku baik dan sopan pada ibuku yang sedang sakit dan sepertinya ... kamu cocok jadi adikku," ujarnya lirih hampir saja tidak terdengar olehku."Maaf, bisa kamu ulangi kata-katamu yang terakhir!""Tidak, aku hanya bercanda. Tidak usah terlalu dipikirkan," jawabnya enteng yang membuatku kebingungan.Ternyata benar, tempat ini pemakaman yang sama dengan ayahku berada, hanya berbeda blok. Dia membawaku ke pemakaman khusus untuk keluarga kaya. Perawatannya pun berbeda sesuai kelas mereka."Mah,
"Ada apa? Kenapa raut wajahmu terlihat cemas?""Ternyata banyak panggilan tidak terjawab dari bibiku. Aku khawatir terjadi sesuatu di rumah. Bisa tolong lajukan mobilmu lebih cepat!" pintaku dengan perasaan panik."Baiklah, untungnya jalanannya tidak terlalu padat," balasnya yang mulai melihat kepanikan di raut wajahku.Sesampainya di depan rumah Bi Nani, aku dibuat terkejut dengan keadaan di sini.'Astaghfirullah. Sebenarnya ada apa ini?'Tanpa memperdulikan keberadaan Revan, aku berlari memasuki rumah. Kulihat Bi Nani sedang bersimpuh di lantai."Ya Allah, ini kenapa, Bi?" tanyaku cemas.Bi Nani menceritakan semua kejadian yang baru saja terjadi."Sial, aku terlambat!" gumamku geram.Tidak berselang lama, Revan datang menghampiri kami. Aku baru tersadar akan keberadaannya. Sepertinya Revan mendengar semuanya.Dia langsung berpamitan karena ternyata sang ibu terus saja mencarinya. Aku baru teringat dengan tawaran yang tadi Revan berikan."Tunggu!" Aku menghentikan langkahnya sebelum
"Kenapa? Apa uangnya kurang?" tanya Revan kemudian. "Tidak, ini terlalu banyak, aku tidak bisa menerimanya," jawabku seraya menyerahkan cek itu kembali. "Bukankah kamu ingin terbebas dari para rentenir itu? Terus kenapa kamu tidak mau menerima cek dariku? Tenang saja, uangku tidak akan berkurang hanya karena cek yang kuberikan padamu!" ucapnya enteng. Ia sedikit menyombongkan harta yang dimilikinya. Tentu saja, baginya uang mungkin tidak bernilai. Ketika kita memiliki privilege dan orang dalam kekuasaan sudah pasti dalam genggaman. "Tetap saja, bagiku ini terlalu banyak! Aku bukan orang yang suka memanfaatkan keadaan!" tolakku lagi. "Sudahlah, lebih baik kamu terima! Anggap saja itu bayaran untuk kontrak kerja yang nanti akan kamu lakukan," ujarnya san
"Tunggu! Biar aku obati lukamu dulu. Apa di mobilmu ada peralatan P3K?" Aku mencari kotak P3K itu di dalam mobil. "Tidak perlu, Aku baik-baik saja. Ini hanya luka kecil," tolaknya saat akan kuobati. Aku meneteskan cairan alkohol pada sebuah kapas dan mulai menempelkannya perlahan pada luka disekitar pipi dan sudut bibirnya. "Aw," ringisnya menahan perih. "Maaf, tahan sebentar. Aku beri plester terlebih dahulu." Saat hendak memasangkan plester, tiba-tiba tangan Revan memegang tanganku. Tatapan kami akhirnya bertemu. "Kamu mengingatkanku dengan Liana." Aku yang tadinya salah tingkah langsung melepaskan tangan Revan. Berusaha mengendalikan diri dan mencoba setenang mungkin. "Ya, jelas saja. Karena wajah kami mirip, bukan?" Aku lekas merapikan peralatan P3K dan menyimpannya ke tempatnya semula. Zila, Zila. Tidak sepantasnya aku memikirkan hal konyol itu. Mana mungkin dia akan menyukaiku. Kita hanya partner, jangan coba-coba mencintaiku. Pernyataannya masih ku ingat dengan jel
"Entahlah, mungkin kami sebenarnya adalah kembar yang terpisahkan oleh ... takdir," jawabku asal. Walaupun dalam hati aku berharap dia memang kembaranku. "What?" Sejak kapan memangnya Nona Liana punya kembaran?" tanya Alexa dengan mulut ternganga. "Aku bilang 'mungkin', aku sendiri bahkan belum pernah lihat semirip apa aku dengan gadis yang bernama Liana itu. Mereka hanya bilang aku mirip dan mirip tanpa memperlihatkan foto mendiang padaku." "Ya udah nanti juga yu bakal tau dengan sendirinya, iya 'kan? Eyke sekarang keluar buat manggil petugas terapisnya ke sini. Pokoknya habis ini, yu pasti beneran bakal dibuat se-rileks mungkin." Alexa pamit meninggalkan ruangan ini. "Wah, ruangannya indah sekali. Sungguh nyaman menjadi orang kaya, mereka selalu dimanjakan
"Kenapa Azila harus mengembalikan cek ini, Bi? Dengan uang ini Zila bisa membayar seluruh hutang peninggalan almarhum ayah dan kita bisa terbebas dari para rentenir dan debt kolektor itu. Selain itu, uang ini bisa Bibi pakai untuk operasi Danur nanti," tegasku. Aku kecewa Bi Nani malah memintaku untuk mengembalikan cek ini. Aku kira Bi Nani akan senang dan melompat girang ketika melihat cek ini. Ternyata dugaanku salah."Iya, Bibi tahu. Bibi mengerti. Bibi juga sangat butuh uang itu. Tapi, Bibi tidak mau kamu mendapatkan uang dengan jalan yang salah. Sekarang Bibi tanya? Pekerjaan apa yang Revan berikan dengan bayaran sebesar ini, kalau bukan menjual diri?" ucapnya pedas. "Lihat penampilanmu sekarang!" pekiknya keras. Emosinya meledak. Baru kali pertama, aku melihat Bi Nani semarah ini. Apakah seperti ini, sikap seorang ibu ketika mengkhawatirkan anaknya?"Astaghfirullah,