"--Bayi itu kamu, Neng."
Deg!
'Astaghfirullahaladzim, apa ini?'
"Bibi sudah sering bertanya, bayi siapa ini, tapi ayahmu menutup rapat tentang dirimu, bahkan sampai kematian menjemputnya. Istrinya pun dulu bahkan sampai meminta cerai karena dia lebih memilih membesarkanmu," ucap Bi Nani yang terus menatapku dengan ekspresi sedih.
"Jadi maksud Bibi, Zila ...." Aku terus memperhatikan ke arah kalung liontin pemberian Bi Nani. "Selama ini Azila bukan anak kandung ayah?" ujarku seakan tidak percaya dengan kata-kata yang diucapkan Bi Nani.
"Iya, Neng! Maaf Bibi baru bisa cerita sekarang. Awalnya ayahmu terus saja meminta Bibi untuk membuang kalung ini. Tapi Bibi berbohong dan menyimpan kalung ini. Bibi yakin, suatu saat kamu akan membutuhkannya. Dan ternyata benar dugaan Bibi. Mungkin dengan kalung ini, Neng Zila bisa cari tahu kebenaran tentang keluarga Neng yang sebenarnya," ujar Bi Nani hati-hati
Ya Allah, apa maksud dari semua ini? Apakah ini pertolongan darimu? Baru saja kemarin aku memikirkan siapa diriku sebenarnya, kini Engkau membukakan jalan untukku mencari tahu tentang semua kebenaran ini! Terima kasih Ya Allah.
Aku harus cari tahu tentang kalung liontin ini. Aku harus bisa mengungkapkan rahasia dibaliknya. Aku berharap, aku bisa bertemu dan berkumpul dengan orangtuaku yang sebenarnya. Aku ingin tahu, apa alasan mereka melakukan ini padaku? Atau jangan-jangan ... mereka memang sengaja ingin membuangku? Huft! Aku memikirkan spekulasi yang mungkin terjadi.
"Terima kasih, Bi. Karena Bibi sudah peduli sama Azila. Azila akan simpan kalung liontin ini baik-baik. Zila tidak menyadari kalau ternyata almarhum ayah ... bukan ayah kandung Zila yang sebenarnya."
Memang benar, fakta ini membuatku tercengang. Kebaikan beliau, kasih sayang beliau padaku begitu tulus bagaikan ayah pada anak kandungnya. Aku ingat, tiap kali aku bertanya perihal ibu kandungku, ia akan selalu menjawab 'Ibumu ada di sini,' sambil ia menunjuk dadanya. Aku tak pernah tahu, mungkin maksudnya saat itu adalah ... ada sesuatu yang begitu dekat dengannya--di dada, yang selalu mengingatkan ia, atau aku tentang ibuku.
Tanpa terasa butiran lembut yang sudah menganak sungai tidak bisa kubendung lagi. Kumencoba mengatur napas yang sudah mulai terasa berat.
Aku mendekati Bi Nani, mendekap tubuhnya yang mulai terlihat ringkih dan menua di usianya yang masih kepala empat. Berterima kasih padanya karena telah menerimaku dan tetap menjaga hal yang sangat penting untukku. Wanita hebat yang tidak pernah mengeluh dengan keadaannya. Walaupun aku tahu dia pun memiliki masalah yang jauh lebih rumit dan besar dari permasalahanku sekarang. Meski besar tanpa sosok ibu, melihat ketegaran Bi Nani membuatku merasakan kehadiran sosok ibu dari dirinya.
Kami terus berbincang, tanpa terasa matahari sudah mulai merangkak naik. Suara perutku keras sampai terdengar oleh Bi Nani. Aku hanya tersenyum malu dan mengangguk saat Bi Nani menawarkan untuk sarapan.
"Dari tadi kita ngobrol terus sampai lupa sudah waktunya sarapan. Hehehe ...," kekehnya pelan. Mencoba mencairkan kembali suasana yang tadi sempat mengharu biru untukku.
Aku mengikuti Bi Nani pergi ke dapur. Membantunya menyiapkan sarapan. Aku membuat nasi goreng telor ceplok kesukaanku. Tidak lupa sepiring lagi kusiapkan untuk Bi Nani. Sedangkan Bi Nani, meracik bahan-bahan untuk membuat bubur nasi untuk Danur, anaknya yang sedang sakit. Tiba-tiba kembali sudut mata ini terasa panas. Aktivitas pagi seperti ini membuatku kembali teringat dengan almarhum ayahku. Al-fatihah untuk almarhum ayahku.
Seakan menemukan sebuah titik terang. Aku berharap dengan kalung liontin ini aku bisa menemukan orang tuaku yang sebenarnya.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Dengan kemeja putih dan celana hitam, aku telah bersiap untuk berangkat mencari pekerjaan dengan hanya bermodalkan ijazah SMA. Sesuai rencana, jam dua siang nanti aku akan mendatangi kantor temanku untuk membicarakan pembayaran terkait ginjal yang akan kudonorkan. Semoga rencana hari ini berjalan lancar dan aku bisa segera mendapatkan pekerjaan.
Aku mencepol rambutku agar terlihat rapi. Tidak lupa kubawa alat riasku yang sederhana, hanya terdiri dari pelembab, bedak dan sebuah lipglos, setidaknya aku bisa terlihat segar dan tidak terlalu pucat saat melamar kerja. Satu lagi, aku akan memakai kalung liontin yang Bi Nani berikan. Terlihat cantik dipakai di leherku yang putih ini.
Dor! Dor! Dor!
"Astaghfirullah ...!" Aku terperanjat saking terkejutnya. Terdengar suara pintu depan diketuk dengan keras. Aku yang masih di dalam kamar langsung keluar bermaksud melihat siapa yang telah mengetuk pintu begitu keras.
Ternyata Bi Nani sudah berada di balik pintu, dan mengintip dari balik gorden. Bi Nani memberi isyarat untuk tidak bersuara.
"Siapa, Bi?" tanyaku pelan bahkan tanpa bersuara.
"Laki-laki, gak kenal," jawabnya yang hanya menggunakan isyarat bibir.
"Mau apa?"
"Bibi juga gak tau!"
Dor! Dor! Dor!
Semakin kuat pria itu mengetuk pintu rumah Bi Nani.
"Keluar elu Karta! Gue tau elu udah ma4ti, tapi setidaknya di dalam pasti ada orang yang masih hidup! Keluar gak, atau gue dobrak pintu reot ini!" bentaknya keras membuat seisi rumah ketakutan.
Aku memberanikan diri mendekati Bi Nani dan mencoba untuk membukakan pintu. Walaupun Bi Nani bersikeras melarangku, tapi teriakan lelaki yang ada di luar sangat mengganggu. Aku kini yang melarang Bi Nani untuk keluar rumah, aku akan menyelesaikan ini dengan caraku.
Dengan mengucapkan basmallah dan meminta perlindungan Allah, perlahan kubuka pintu yang dari tadi terus diketuk dengan kencang. Terlihat seorang lelaki tua dengan kemeja pantainya dan celana panjang abu-abu beserta perut buncitnya yang mendominasi tubuhnya sedang berdiri tepat di hadapanku.
"Anda siapa dan mau apa? Pagi-pagi sudah membuat keributan di rumah orang!" gertakku, walaupun dalam hati aku sangat ketakutan melihat lelaki tua ini.
"Hey, hey, hey, jangan galak-galak nona manis! Kayaknya nona manis ini tidak mengenal siapa saya? Kamu pasti anak si Karta," ujarnya yang terus memindaiku dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Cantik juga."
Dia mencoba memegang tanganku dan segera kutepis. "Gak sopan, ya! Jangan coba macam-macam dengan saya atau saya akan teriak maling!"
"Teriak saja nona manis, orang-orang di sini tidak ada yang berani melawanku." Tatapannya tajam ke arahku, membuat nyaliku sedikit menciut.
"Apa mau Anda? Cepat katakan! Saya tidak punya waktu berurusan dengan orang seperti Anda."
"Aku hanya meminta uang yang dipinjam ayahmu segera dikembalikan, ini sudah sangat jatuh tempo kamu tidak mau 'kan bunganya semakin hari semakin membesar," ujarnya sambil mendekatkan wajahnya ke arahku. Yang membuatku merasa ji*jik dibuatnya.
Sial, lagi-lagi mereka ke sini untuk menagih hutang almarhum ayahku, aku sama sekali tidak tahu pada siapa lagi ayahku itu berhutang.
Laki-laki tua itu kemudian berbisik dekat telingaku. "Kamu cantik dan memiliki tubuh yang indah. Kamu tidak perlu membayar hutang ayahmu dengan uang. Semua akan aku anggap lunas, asal--"
"Asal kau mau menjadi istriku yang ke lima." Pria tua yang ada di depanku tertawa puas melihat ketidakberdayaanku saat ini. "Anda sudah tidak w4ras, saya lebih cocok jadi cucu Anda dibandingkan istri Anda," rutukku karena j1jik mendengar ucapannya. "Aw ...." Laki-laki tua itu meringis kesakitan setelah aku menginjak kakinya kuat. "Dasar b0cah ingusan, berani ya kamu main-main denganku?" umpatnya dengan penuh amarah. Sepertinya aku telah membuatnya semakin marah. Tapi aku tidak peduli. Ayahku yang berhutang dan kini aku yang harus menanggung hutangnya pada banyak rentenir. Bahkan dengan terang-terangan mereka meminta tubuhku sebagai gantinya. Gil4! mereka benar-benar gil4 dan aku hampir dibuat gil4 karena harus berurusan dengan orang gil4 seperti mereka. Tanpa pikir panjang aku berteriak minta tolong. Seketika orang-orang datang berkerumun dan akhirnya pria tua itu berhasil pergi karena dia takut akan diserang warga. Suasana rumah kembali tenang setelah pria tua tadi berhas
Bukannya tempat ini, sebuah pemakamam umum. Dan ini tempat pemakamam yang sama dengan ayahku?"Siapa yang meninggal?" Aku langsung bertanya pada Revan sesaat setelah keluar dari mobil."Nanti kau akan tahu di sana? Bisa tolong bantu ibuku berjalan?" pintanya padaku karena sang ibu tidak pernah melepaskan tangannya dariku."Tentu saja, dari tadi bahkan ibumu sama sekali belum melepaskan tangannya dariku," ucapku dengan nada sedikit kesal."Maaf, kami sudah merusak harimu. Tapi, terima kasih sudah berlaku baik dan sopan pada ibuku yang sedang sakit dan sepertinya ... kamu cocok jadi adikku," ujarnya lirih hampir saja tidak terdengar olehku."Maaf, bisa kamu ulangi kata-katamu yang terakhir!""Tidak, aku hanya bercanda. Tidak usah terlalu dipikirkan," jawabnya enteng yang membuatku kebingungan.Ternyata benar, tempat ini pemakaman yang sama dengan ayahku berada, hanya berbeda blok. Dia membawaku ke pemakaman khusus untuk keluarga kaya. Perawatannya pun berbeda sesuai kelas mereka."Mah,
"Ada apa? Kenapa raut wajahmu terlihat cemas?""Ternyata banyak panggilan tidak terjawab dari bibiku. Aku khawatir terjadi sesuatu di rumah. Bisa tolong lajukan mobilmu lebih cepat!" pintaku dengan perasaan panik."Baiklah, untungnya jalanannya tidak terlalu padat," balasnya yang mulai melihat kepanikan di raut wajahku.Sesampainya di depan rumah Bi Nani, aku dibuat terkejut dengan keadaan di sini.'Astaghfirullah. Sebenarnya ada apa ini?'Tanpa memperdulikan keberadaan Revan, aku berlari memasuki rumah. Kulihat Bi Nani sedang bersimpuh di lantai."Ya Allah, ini kenapa, Bi?" tanyaku cemas.Bi Nani menceritakan semua kejadian yang baru saja terjadi."Sial, aku terlambat!" gumamku geram.Tidak berselang lama, Revan datang menghampiri kami. Aku baru tersadar akan keberadaannya. Sepertinya Revan mendengar semuanya.Dia langsung berpamitan karena ternyata sang ibu terus saja mencarinya. Aku baru teringat dengan tawaran yang tadi Revan berikan."Tunggu!" Aku menghentikan langkahnya sebelum
"Kenapa? Apa uangnya kurang?" tanya Revan kemudian. "Tidak, ini terlalu banyak, aku tidak bisa menerimanya," jawabku seraya menyerahkan cek itu kembali. "Bukankah kamu ingin terbebas dari para rentenir itu? Terus kenapa kamu tidak mau menerima cek dariku? Tenang saja, uangku tidak akan berkurang hanya karena cek yang kuberikan padamu!" ucapnya enteng. Ia sedikit menyombongkan harta yang dimilikinya. Tentu saja, baginya uang mungkin tidak bernilai. Ketika kita memiliki privilege dan orang dalam kekuasaan sudah pasti dalam genggaman. "Tetap saja, bagiku ini terlalu banyak! Aku bukan orang yang suka memanfaatkan keadaan!" tolakku lagi. "Sudahlah, lebih baik kamu terima! Anggap saja itu bayaran untuk kontrak kerja yang nanti akan kamu lakukan," ujarnya san
"Tunggu! Biar aku obati lukamu dulu. Apa di mobilmu ada peralatan P3K?" Aku mencari kotak P3K itu di dalam mobil. "Tidak perlu, Aku baik-baik saja. Ini hanya luka kecil," tolaknya saat akan kuobati. Aku meneteskan cairan alkohol pada sebuah kapas dan mulai menempelkannya perlahan pada luka disekitar pipi dan sudut bibirnya. "Aw," ringisnya menahan perih. "Maaf, tahan sebentar. Aku beri plester terlebih dahulu." Saat hendak memasangkan plester, tiba-tiba tangan Revan memegang tanganku. Tatapan kami akhirnya bertemu. "Kamu mengingatkanku dengan Liana." Aku yang tadinya salah tingkah langsung melepaskan tangan Revan. Berusaha mengendalikan diri dan mencoba setenang mungkin. "Ya, jelas saja. Karena wajah kami mirip, bukan?" Aku lekas merapikan peralatan P3K dan menyimpannya ke tempatnya semula. Zila, Zila. Tidak sepantasnya aku memikirkan hal konyol itu. Mana mungkin dia akan menyukaiku. Kita hanya partner, jangan coba-coba mencintaiku. Pernyataannya masih ku ingat dengan jel
"Entahlah, mungkin kami sebenarnya adalah kembar yang terpisahkan oleh ... takdir," jawabku asal. Walaupun dalam hati aku berharap dia memang kembaranku. "What?" Sejak kapan memangnya Nona Liana punya kembaran?" tanya Alexa dengan mulut ternganga. "Aku bilang 'mungkin', aku sendiri bahkan belum pernah lihat semirip apa aku dengan gadis yang bernama Liana itu. Mereka hanya bilang aku mirip dan mirip tanpa memperlihatkan foto mendiang padaku." "Ya udah nanti juga yu bakal tau dengan sendirinya, iya 'kan? Eyke sekarang keluar buat manggil petugas terapisnya ke sini. Pokoknya habis ini, yu pasti beneran bakal dibuat se-rileks mungkin." Alexa pamit meninggalkan ruangan ini. "Wah, ruangannya indah sekali. Sungguh nyaman menjadi orang kaya, mereka selalu dimanjakan
"Kenapa Azila harus mengembalikan cek ini, Bi? Dengan uang ini Zila bisa membayar seluruh hutang peninggalan almarhum ayah dan kita bisa terbebas dari para rentenir dan debt kolektor itu. Selain itu, uang ini bisa Bibi pakai untuk operasi Danur nanti," tegasku. Aku kecewa Bi Nani malah memintaku untuk mengembalikan cek ini. Aku kira Bi Nani akan senang dan melompat girang ketika melihat cek ini. Ternyata dugaanku salah."Iya, Bibi tahu. Bibi mengerti. Bibi juga sangat butuh uang itu. Tapi, Bibi tidak mau kamu mendapatkan uang dengan jalan yang salah. Sekarang Bibi tanya? Pekerjaan apa yang Revan berikan dengan bayaran sebesar ini, kalau bukan menjual diri?" ucapnya pedas. "Lihat penampilanmu sekarang!" pekiknya keras. Emosinya meledak. Baru kali pertama, aku melihat Bi Nani semarah ini. Apakah seperti ini, sikap seorang ibu ketika mengkhawatirkan anaknya?"Astaghfirullah,
"Selamat Pak Revan, kinerja Anda sangat bagus dalam memimpin perusahaan ini. Ibu Raihanah pasti sangat bangga pada Anda.""Selamat, Pak. Anda layak jadi CEO di sini.""Anda hebat, pemuda pemberi inspirasi! Muda dan berprestasi. Lanjutkan!""Kami tunggu gebrakan dan inovasi terbaru Anda untuk perusahaan ini!" Itulah, ucapan para penjilat setelah aku terpilih kembali sebagai CEO di perusahaan mama. Mereka adalah orang-orang yang telah papa suap untuk memenangkan vote pemilihan CEO baru pada rapat dewan direksi. "Sudah papa bilang kamu yang akan terpilih kembali, 'kan?" ucap Papa senang ketika aku akhirnya yang terpilih menjadi CEO. "Kamu pantas dan layak mendapatkan semua ini, papa bangga padamu, Nak," ucapnya bangga. "Semua salah, Pah. Jabatan ini seharusnya milik Liana. Papa tahu, semua orang tahu ... kalau aku ini bukan anak kandun