Share

Bab 2. Rahasia Sebuah Liontin

"--Bayi itu kamu, Neng."

Deg!

'Astaghfirullahaladzim, apa ini?'

"Bibi sudah sering bertanya, bayi siapa ini, tapi ayahmu menutup rapat tentang dirimu, bahkan sampai kematian menjemputnya. Istrinya pun dulu bahkan sampai meminta cerai karena dia lebih memilih membesarkanmu," ucap Bi Nani yang terus menatapku dengan ekspresi sedih.

"Jadi maksud Bibi, Zila ...." Aku terus memperhatikan ke arah kalung liontin pemberian Bi Nani.  "Selama ini Azila bukan anak kandung ayah?" ujarku seakan tidak percaya dengan kata-kata yang diucapkan Bi Nani.

"Iya, Neng! Maaf Bibi baru bisa cerita sekarang. Awalnya ayahmu terus saja meminta Bibi untuk membuang kalung ini. Tapi Bibi berbohong dan menyimpan kalung ini. Bibi yakin, suatu saat kamu akan membutuhkannya. Dan ternyata benar dugaan Bibi. Mungkin dengan kalung ini, Neng Zila bisa cari tahu kebenaran tentang keluarga Neng yang sebenarnya," ujar Bi Nani hati-hati

Ya Allah, apa maksud dari semua ini? Apakah ini pertolongan darimu? Baru saja kemarin aku memikirkan siapa diriku sebenarnya, kini Engkau membukakan jalan untukku mencari tahu tentang semua kebenaran ini! Terima kasih Ya Allah.

Aku harus cari tahu tentang kalung liontin ini. Aku harus bisa mengungkapkan rahasia dibaliknya. Aku berharap, aku bisa bertemu dan berkumpul dengan orangtuaku yang sebenarnya. Aku ingin tahu, apa alasan mereka melakukan ini padaku? Atau jangan-jangan ... mereka memang sengaja ingin membuangku? Huft! Aku memikirkan spekulasi yang mungkin terjadi.

"Terima kasih, Bi. Karena Bibi sudah peduli sama Azila. Azila akan simpan kalung liontin ini baik-baik. Zila tidak menyadari kalau ternyata almarhum ayah ... bukan ayah kandung Zila yang sebenarnya."

Memang benar, fakta ini membuatku tercengang. Kebaikan beliau, kasih sayang beliau padaku begitu tulus bagaikan ayah pada anak kandungnya. Aku ingat, tiap kali aku bertanya perihal ibu kandungku, ia akan selalu menjawab 'Ibumu ada di sini,' sambil ia menunjuk dadanya. Aku tak pernah tahu, mungkin maksudnya saat itu adalah ... ada sesuatu yang begitu dekat dengannya--di dada, yang selalu mengingatkan ia, atau aku tentang ibuku. 

Tanpa terasa butiran lembut yang sudah menganak sungai tidak bisa kubendung lagi. Kumencoba mengatur napas yang sudah mulai terasa berat.

Aku mendekati Bi Nani, mendekap tubuhnya yang mulai terlihat ringkih dan menua di usianya yang masih kepala empat. Berterima kasih padanya karena telah menerimaku dan tetap menjaga hal yang sangat penting untukku. Wanita hebat yang tidak pernah mengeluh dengan keadaannya. Walaupun aku tahu dia pun memiliki masalah yang jauh lebih rumit dan besar dari permasalahanku sekarang. Meski besar tanpa sosok ibu, melihat ketegaran Bi Nani membuatku merasakan kehadiran sosok ibu dari dirinya. 

Kami terus berbincang, tanpa terasa matahari sudah mulai merangkak naik. Suara perutku keras sampai terdengar oleh Bi Nani. Aku hanya tersenyum malu dan mengangguk saat Bi Nani menawarkan untuk sarapan.

"Dari tadi kita ngobrol terus sampai lupa sudah waktunya sarapan. Hehehe ...," kekehnya pelan.  Mencoba mencairkan kembali suasana yang tadi sempat mengharu biru untukku.

Aku mengikuti Bi Nani pergi ke dapur. Membantunya menyiapkan sarapan. Aku membuat nasi goreng telor ceplok kesukaanku. Tidak lupa sepiring lagi kusiapkan untuk Bi Nani. Sedangkan Bi Nani, meracik bahan-bahan untuk membuat bubur nasi untuk Danur, anaknya yang sedang sakit. Tiba-tiba kembali sudut mata ini terasa panas. Aktivitas pagi seperti ini membuatku kembali teringat dengan almarhum ayahku. Al-fatihah untuk almarhum ayahku.

Seakan menemukan sebuah titik terang. Aku berharap dengan kalung liontin ini aku bisa menemukan orang tuaku yang sebenarnya.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Dengan kemeja putih dan celana hitam, aku telah bersiap untuk berangkat mencari pekerjaan dengan hanya bermodalkan ijazah SMA. Sesuai rencana, jam dua siang nanti aku akan mendatangi kantor temanku untuk membicarakan pembayaran terkait ginjal yang akan kudonorkan. Semoga rencana hari ini berjalan lancar dan aku bisa segera mendapatkan pekerjaan.

Aku mencepol rambutku agar terlihat rapi. Tidak lupa kubawa alat riasku yang sederhana, hanya terdiri dari pelembab, bedak dan sebuah lipglos, setidaknya aku bisa terlihat segar dan tidak terlalu pucat saat melamar kerja. Satu lagi, aku akan memakai kalung liontin yang Bi Nani berikan. Terlihat cantik dipakai di leherku yang putih ini.

Dor! Dor! Dor!

"Astaghfirullah ...!" Aku terperanjat saking terkejutnya. Terdengar suara pintu depan diketuk dengan keras. Aku yang masih di dalam kamar langsung keluar bermaksud melihat siapa yang telah mengetuk pintu begitu keras.

Ternyata Bi Nani sudah berada di balik pintu, dan mengintip dari balik gorden. Bi Nani memberi isyarat untuk tidak bersuara.

"Siapa, Bi?" tanyaku pelan bahkan tanpa bersuara.

"Laki-laki, gak kenal," jawabnya yang hanya menggunakan isyarat bibir.

"Mau apa?"

"Bibi juga gak tau!"

Dor! Dor! Dor!

Semakin kuat pria itu mengetuk pintu rumah Bi Nani.

"Keluar elu Karta! Gue tau elu udah ma4ti, tapi setidaknya di dalam pasti ada orang yang masih hidup! Keluar gak, atau gue dobrak pintu reot ini!" bentaknya keras membuat seisi rumah ketakutan.

Aku memberanikan diri mendekati Bi Nani dan mencoba untuk membukakan pintu. Walaupun Bi Nani bersikeras melarangku, tapi teriakan lelaki yang ada di luar sangat mengganggu. Aku kini yang melarang Bi Nani untuk keluar rumah, aku akan menyelesaikan ini dengan caraku.

Dengan mengucapkan basmallah dan meminta perlindungan Allah, perlahan kubuka pintu yang dari tadi terus diketuk dengan kencang. Terlihat seorang lelaki tua dengan kemeja pantainya dan celana panjang abu-abu beserta perut buncitnya yang mendominasi tubuhnya sedang berdiri tepat di hadapanku.

"Anda siapa dan mau apa? Pagi-pagi sudah membuat keributan di rumah orang!" gertakku, walaupun dalam hati aku sangat ketakutan melihat lelaki tua ini.

"Hey, hey, hey, jangan galak-galak nona manis! Kayaknya nona manis ini tidak mengenal siapa saya? Kamu pasti anak si Karta," ujarnya yang terus memindaiku dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Cantik juga."

Dia mencoba memegang tanganku dan segera kutepis. "Gak sopan, ya! Jangan coba macam-macam dengan saya atau saya akan teriak maling!"

"Teriak saja nona manis, orang-orang di sini tidak ada yang berani melawanku." Tatapannya tajam ke arahku, membuat nyaliku sedikit menciut.

"Apa mau Anda? Cepat katakan! Saya tidak punya waktu berurusan dengan orang seperti Anda."

"Aku hanya meminta uang yang dipinjam ayahmu segera dikembalikan, ini sudah sangat jatuh tempo kamu tidak mau 'kan bunganya semakin hari semakin membesar," ujarnya sambil mendekatkan wajahnya ke arahku. Yang membuatku merasa ji*jik dibuatnya.

Sial, lagi-lagi mereka ke sini untuk menagih hutang almarhum ayahku, aku sama sekali tidak tahu pada siapa lagi ayahku itu berhutang.

Laki-laki tua itu kemudian berbisik dekat telingaku. "Kamu cantik dan memiliki tubuh yang indah. Kamu tidak perlu membayar hutang ayahmu dengan uang. Semua akan aku anggap lunas, asal--"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Arwend Arau
siap, Terima kasih kak ...
goodnovel comment avatar
Herti Herti
lanjutkan Kaka,makin penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status