"Siapa di sana?" ucap Azila sekali lagi. Gadis itu mulai beranjak dari tempatnya duduk. Perlahan ia mulai mendekati pintu. Sebelumnya ia melarang kedua wanita yang bersamanya itu untuk bersuara dan tetap diam di tempat.Ceklek! Pintu itu perlahan mulai terbuka. Azila mengedarkan pandangannya melihat keadaan luar rumah. "Astaghfirullah, Danur? Kamu kenapa, Sayang?" teriak Gadis itu terkejut melihat keponakan kecilnya sedang terduduk sambil memegangi lututnya yang terlihat mengeluarkan darah."Bi, Danur jatuh, Bi!" teriak Azila memanggil Bi Nani.Seketika dua orang wanita yang berada di dalam rumah langsung ke luar saat mendengar teriakan gadis itu."Ya Allah, Nak? Kamu kenapa?" Gegas Bi Nani menghampiri anak lelakinya yang kini sedang menangis tersedu."Huhuhu ... huhuhu .., sakit Bu! Huhuhu ...!" ucap Danur
'Sepertinya wanita itu bos mereka,' gumam Azila dalam hati."Serahkan kotak hitam yang kalian bawa!" ucap salah satu pria bertopeng yang memiliki tato di lengan kanannya.'Ternyata benar, wanita itu yang tadi Danur lihat.'"Kotak hitam apa yang kalian maksud?" Azila pura-pura tidak mengerti dengan barang yang mereka incar."Alah, jangan pura-pura bodoh, gadis cantik!" Salah satu pria bertopeng tadi mulai terlihat kesal. Azila masih saja bungkam dan tidak mau bicara."Siapa yang sudah menyuruh kalian melakukan ini kepada kami?" tanya gadis yang sedang mengikat rambutnya itu, air mukanya kini berubah merah padam. Ia bisa saja langsung menghajar ketiga pria di depannya, hanya saja senjata tajam yang mereka bawa bukanlah tandingan gadis tomboy ini."Kau tidak perlu tahu, jangan banyak omong, cepat serahkan kotak hitam itu! Atau ... kami ambil paksa?" ucap pria bertato dengan kasar. Sedangkan salah satu pria menodongkan sebuah pisau belati ke arah dirinya."Ck, kalian semua laki-laki cemen
Semua mata langsung tertuju pada asal suara. "Bi Nani?" ucap Raihanah dan Revan bersamaan."Iya, Sus, ambil darah saya! Mungkin saja darah kami cocok," ujar wanita itu dengan tergopoh-gopoh menghampiri Raihanah dan Revan."Baik, kami akan memeriksa Anda semua. Silakan ikut kami ke ruang pemeriksaan!" seru perawat itu kepada mereka bertiga.Revan yang mendapat giliran pertama untuk diperiksa. Sambil menunggu giliran, Bi Nani dan Raihanah sempat berbincang."Saya langsung datang ke mari setelah Nak Revan mengabari soal Si Neng. Ya Allah, kenapa bisa begini, Bu?" tanya Bi Nani dengan terisak. Wanita itu tidak menyangka hal ini akan terjadi pada gadis yang sudah ia anggap seperti anaknya itu."Saya minta maaf, Bi. Saya tidak bisa melindungi anak saya untuk kedua kalinya.
Pov Azila."Di mana ini? Semua nampak hampa dan kosong." Aku mengedarkan pandangan--putih tanpa cela, berharap bertemu dengan seseorang yang mungkin bisa menjawab pertanyaanku."Mama ... Kak Revan ... Sus Reni ...? Kalian di mana?" Aku terus memanggil mereka. Tak ada yang mendengar dan menjawab teriakkanku."Ayah ... Bi Nani ... Danur ...! Kalian di mana?" teriakku sekali lagi.Aku terus berlari dan berlari menyusuri ruang hampa tak berujung. "Siapapun, tolong jawab! Aku di mana?" pekikku keras.Sunyi, hanya ada suaraku yang menggema. Aku bahkan bisa mendengar dengan jelas setiap hela napas yang keluar dari indera penciuman. Aku kembali berlari, berlari dan terus berlari. Sampai kaki ini lemas dan tak sanggup lagi untuk berpijak."Semua orang ... kalian di mana?" teriakk
Kutarik napas dalam-dalam, mengumpulkan segenap keberanian untuk menanyakan hal yang tak seharusnya kutanyakan sekarang."Apa kau mencintaiku, 'Kak?" Kutatap wajah teduhnya, ia nampak terkejut mendapatkan pertanyaan itu dariku.Satu menit, dua menit, lima menit, masih tidak ada satu kata pun yang terucap darinya. Aku masih menunggu jawaban dari pria yang waktu itu kudengar mengutarakan perasaannya.Mama menghampiri 'Kak Revan. "Jawablah, dia menunggu jawaban darimu!""Mengapa tiba-tiba kamu menanyakan hal itu?" tanyanya dengan ekspresi heran."Entahlah, hanya saja ketika aku belum tersadar rasa-rasanya aku mendengar seseorang mengucapkan kata itu. Aku hanya penasaran apa semua yang kudengar nyata atau hanya ilusiku saja," jawabku dengan pandangan yang lurus menghadap langit-langit kamar yang berwarna putih
Sementara itu, Yudistira sedang kewalahan dengan laporan yang telah dibuat oleh Raihanah dan Revan. Polisi sudah dua kali melayangkan panggilan dan belum ada tanggapan dari pihak dirinya terkait hal ini. Yudistira ditetapkan sebagai terdakwa untuk beberapa kasus yang dilaporkan Raihanah dan Revan."Sialan, apa-apaan ini? Mereka pikir aku takut dengan gertakan ini? AARRRGGGHHH!" Pria itu membanting surat panggilan tersebut. Tok! Tok! Tok! Seorang pria berjas hitam masuk dan menghampiri Yudistira, sambil mengangguk memberi hormat pada bosnya. "Bagaimana, Mr. Yukata sudah bersedia datang ke pertemuan nanti malam?" tanya Yudistira dengan wajah kesalnya. "Maaf, Tuan. Mr. Yukata harus segera kembali ke Jepang sore ini, sekitar pukul empat beliau akan take of dari Bandara Soetta," jelas pria berjas hitam itu. "Apa? Jadi benar Mr. Yukata
"Sialan, kalian mau bawa aku ke mana?" umpat Yudistira saat tahu mobil polisi yang membawanya berbelok arah dan bukan menuju kantor polisi. "Hahaha ... jangan banyak bicara kau Tua Bangka!" pekik salah satu pria yang menyamar sebagai polisi tersebut. "Siapa kalian sebenarnya? Cepat, katakan!" teriak Yudistira lantang ke arah kedua pria itu. "Plak! Jangan banyak bicara aku bilang!" Sebuah tamparan tepat mendarat di pipi Yudistira. Seketika cairan berwarna merah keluar dari salah satu sudut bibirnya. "Kalian berurusan dengan orang yang salah. Anak buahku pasti akan segera menemukan keberadaanku," ucapnya sinis. Seketika salah satu oknum tersebut menutup kedua mata pria paruh baya itu dengan kain hitam. "Lepaskan! Kalian pasti akan mati! Lepaskan!" Sebuah lakban lantas berhasil menyumpal mulut Yudistira. Pria paruh baya itu kini tak bisa berkutik melawan dua orang pria yang tadi menyamar sebagai polisi dan berhasil menangkapnya. 'Kurang ajar, siapa mereka? Kenapa mereka berani memp
Suasana dini hari itu begitu sunyi. Hujan lebat yang baru saja berhenti menyisakan tetesan air yang merembes dari atas plafon gudang tua tempat Raihanah dan Azila disekap. Terasa dingin dan pengap. Di salah satu sudut ruangan, terlihat seorang gadis muda tengah terbaring di sebuah dipan kayu yang mulai rusak. Perlahan gadis itu mulai terlihat sadar dan membuka matanya. Seketika itu pula, dia beringsut dari tempatnya terbaring. "Di mana ini?" Azila mencoba mengedarkan pandangannya. Terasa asing dan sedikit gelap. Hanya ada lampu gantung kecil yang berada tepat di tengah-tengah ruangan. "Aw!" Tiba-tiba rasa sakit itu datang kembali saat ia mencoba untuk berdiri. Azila memegang erat kepalanya. Pandangannya sedikit kabur dan serasa berputar. Belum lagi rasa ngilu yang harus kembali ia rasakan di area sekitar punggungnya. Gadis itu hanya bisa menarik napas panjang untuk menahan semua rasa sakitnya. Pikirannya kembali teringat pada sang ibu. Sekuat tenaga dan tidak lagi memperdulikan r