Aku menahan lengan Mas Reno saat ia hendak menghampiri Bulan dengan emosi yang menyala-nyala. Aku tak mau nama Mas Reno semakin hancur di depan keluarga besarnya. Kalau sampai bersikap kasar pada Bulan.Jemari Mas Reno mengepal, otot tubuhnya pun tegang. Wajahnya merah padam dengan mata membulat, menatap tajam pada Bulan. Sementara wanita itu tampak tersenyum tak tahu malu."Mohon maaf sudah membuat kaget!"Seketika aku berbalik ke arah mikrofon saat mendengar Viola bersuara. Viola tampak berdiri di depan mikrofon."Perkenalkan, dia Bulan. Istri baru Reno," lanjut Viola.Kontan semua keluarga yang hadir langsung berkasak-kusuk mendengar penjelasan Viola."Viola yang undang Bulan. Karena gimanapun, dia sudah menjadi bagian dari keluarga kita. Apalagi saat ini dia sedang mengandung anak Reno," paparnya lagi."Viola!" seru Papi.Dengan memegangi dadanya, Papi menatap tajam pada menantu pertamanya.Viola hanya menatap Papi sekilas, kemudian kembali berkata, "silahkan, Bulan! Kamu bagian d
Bukannya panik, Mas Reno malah tampak bernafas lega. Karena tadi kami memang mengira Mami yang kenapa-kenapa. Kalau sampai Mami kenapa-kenapa, kemungkinan besar Mas Reno sangat merasa bersalah."Mas, gimana?" tanya Kiano. Mungkin ia heran melihat Mas Reno tak panik dengan berita yang mereka bawa."Ya, udah. Bawa aja ke rumah sakit," sahut Mas Reno dengan enteng."Ya, udah. Ayo, Mas! Mbak Bulan maunya digendong Mas Reno, dia enggak mau ditolong orang lain," papar Kiano.Hih, modus aja!"Gimana, Dek?" Mas Reno meminta persetujuanku."Iya, enggak apa-apa. Lagian dia emang istrimu. Tambah heboh nanti orang-orang kalau sampai kamu biarin dia," ucapku malas.Akhirnya kami berdua bersama tiga orang sepupu Mas Reno berjalan menuju taman. Langkah kami terhenti saat terlihat Papi turun dari lantai dua."Bulan kenapa, Ren?" tanya Papi."Pendarahan katanya, Pi," sahut Mas Reno. "Nekat, sih, udah dibilangin dokter buat jangan aktivitas berat malah ke sini. Cari penyakit emang!" omel Mas Reno."Uda
"Sebenarnya apa masalah Mas Randi sama kita, ya, Mas?" tanyaku saat kami masih di dalam mobil memandangi mobil Mas Randi. "Apa jangan-jangan ....""Apa, Dek?" sahut Mas Reno saat aku tak menyelesaikan kalimatku."Apa jangan-jangan ... Bulan selingkuhan Mas Randi. Terus biar dia aman, kamu dijadiin kambing hitam, Mas."Mas Reno tampak berpikir sembari memandangi mobil Mas Randi. Ujung jari telunjuknya mengetuk-ketuk setir mobil."Bisa jadi, ya, Dek?" ucap Mas Reno akhirnya. "Terus kalau misalnya Bulan ternyata hamil anak Randi, kalau nanti anak itu lahir terus tes DNA sama aku, hasilnya gimana ya, Dek? Kemungkinan cocok apa enggak, ya? Secara aku dan Randi saudara.""Wah, benar juga, ya, Mas? Kemungkinan bisa begitu. Coba kapan-kapan pas konsul ke dokter, kita tanyain sekalian, Mas," usulku.Mas Reno mengangguk setuju. "Mungkin itu sebabnya, Bulan sangat percaya diri buat buktiin itu anakku, ya, Dek? Kalau misal benar gara-gara aku saudaraan sama Randi terus anak itu bisa cocok juga sa
Aku tersenyum menunggu reaksi Viola. Wanita dengan dress warna burgundy yang menampakkan kedua bahunya itu menatap ponselnya. Kedua alisnya bertaut. Cukup lama dia mengamati benda tersebut.Lalu kedua bola matanya tiba-tiba seperti mau keluar dari kelopaknya. Nafasnya memburu, diikuti sebelah tangannya menutup bibir yang terbuka seketika. Setelahnya ia menatapku tajam. "Enggak mungkin!" tegasnya. "Kamu pasti bohong!" tuduhnya. "Ini bukan Mas Randi! Ini pasti cuma editan kalian!" teriaknya.Aku menatapnya sembari tersenyum jahat. Tak ingin meladeni wanita yang sedang terbakar hatinya tersebut."Iya, kan?" teriaknya lagi. "Jawab aku, bodoh! Jawab?!" jeritnya.Seketika orang-orang yang masih berada di taman menoleh ke arah kami. Tak mau menjadi pusat perhatian, aku memberikan senyum mengejek pada Viola kemudian melangkah pergi."Sil! Sisil! Tunggu, Bodoh!" teriak Viola seperti orang kesetanan. Ia bahkan tak peduli kita di sini sedang apa dan ada siapa saja.Mami menatapku dengan tatapan
Serpihan kaca berhamburan. Suaranya memenuhi indra pendengaran. Nyaris saja kepala Mas Randi terkena lemparan asbak kaca yang cukup tebal. Untung lelaki itu segera menghindar saat mendengar teriakanku, sehingga asbak itu hancur saat mengenai dinding.Semua mata melebar melihat hamburan serpihan kaca itu. Bumi seakan berhenti berputar selama sepersekian detik. Aku bahkan sampai lupa bernapas, saking takutnya kepala Mas Randi pecah oleh hantaman asbak tersebut."Bulan!" geram Mas Randi setelah tercengang beberapa waktu. "Kamu!" Kedua bola mata Mas Randi melotot mengerikan. Kedua tangannya mengepal, lalu beranjak mendekati Bulan."Pak Randi! Pak, tenang, Pak! Sabar!" teriak Pak Lurah dan beberapa orang lain yang berada di ruangan ini saat melihat Mas Randi akan menghajar Bulan.Sementara Bulan tampak sangat ketakutan. Bahkan kedua telapak tangannya sampai gemetaran."Kita selesaikan ini secara baik-baik, Pak! Tolong kendalikan emosinya!" titah Pak Lurah sembari membimbing Mas Randi untuk
Mendengar penuturan Papi Viola, kontan membuat semua orang terperangah. Bahkan aku merasa jantungku nyaris copot.Kenapa Mas Randi sampai berbuat begitu? Apa salah Mas Reno?"Randi!" Kini Papi yang suaranya memenuhi ruangan. "Apa maksud Pak Sanjaya? Jelaskan sama Papi!""Pi, ini ... ini ... ini enggak se-seperti yang Papi pikir," jelas Mas Randi."Jelaskan!" seru Papi."Hah! Memang pengecut kamu, Ran!" ejek Papi Viola. "Pak Fabian, asal kamu tahu, anak sulungmu itu memintaku mendanainya, untuk menyingkirkan anak bungsumu," jelas Papi Viola sembari menyeringai.Wajah Papi merah padam. Menatap nyalang pada Mas Randi. "Randi!""Iya, Pi. Benar! Aku memang mau menyingkirkan anak kesayangan Papi itu," aku Mas Randi."Randi!" seru Papi."Kenapa, Pi? Papi harus tahu, di antara semua anak Papi, aku paling berhak menggantikan Papi. Aku, Pi!" seru Mas Randi. Lelaki itu bahkan seperti sudah tidak peduli apa-apa.Aku lihat, Mas Reno sangat marah. Napasnya memburu dengan tangan mengepal erat. Aku b
"Mama!" seru kedua anak Bulan bersamaan. Kemudian ibu dan anak tersebut saling menyambut dan berpelukan."Mama kenapa enggak pulang-pulang?" tanya anak yang lebih besar. "Naila kangen, Ma!""Iya, Sayang. Maafin Mama, Mama juga kangen banget sama kalian," ucap Bulan sambil terisak."Mama janan pelgi lagi!" pinta Najwa dengan logat cadel dan suara cempreng.Bulan mengangguk sambil menciumi rambut kedua anaknya. Terlihat wanita itu sangat merindukan anak-anaknya.Aku juga tak habis pikir, bagaimana bisa seorang ibu pergi meninggalkan anak-anaknya demi harta ataupun pria idaman lain? Tidakkah ia memikirkan nasib dan perasaan anak-anaknya? Bukankah banyak sekali wanita yang bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia demi anak? Namun, kenapa Bulan bisa seperti itu?Masih sambil memeluk kedua buah hatinya, Bulan menatap Mas Miko. Air matanya semakin deras mengalir saat menatap lelaki berpembawaan tenang tersebut."Pa, Mama minta maaf," ucapnya. "Mama menyesal, Pa! Maafin Mama!"Pak Miko ta
Di televisi terlihat dengan jelas wajah Viola. Ia mengenakan pakaian orange khas seorang pesakitan. Ia berjalan dikawal polisi dan didampingi orang tuanya serta Pak Ridwan, pengacara keluarganya. Tertera dengan jelas di berita itu kasus yang menjerat Viola. Yaitu penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Aku benar-benar tak menyangka, Viola mengkonsumsi obat-obatan tersebut. "Sejak kapan dia begitu, ya, Mas?" tanyaku pada Mas Reno tanpa mengalihkan pandangan dari televisi."Entah, Dek. Setahuku selama ini kehidupannya baik-baik aja. Mungkin dia salah pergaulan."Aku pun segera menelepon Dewita. Mencari tahu kebenarannya."Sil, kamu udah lihat Viola?" tanya Dewita langsung pada intinya."Ini, aku baru lihat beritanya. Kamu tahu sejak kapan?" tanyaku."Udah lumayan lama, Sil. Tapi aku enggak berani ngomong siapa-siapa," jawab Dewita di seberang sana."Kenapa dia sampai pakai gituan sih?" tanyaku lagi "Dia stress katanya, Sil.""Stress kenapa?""Hubungannya sama Mas Randi, kan, dingin. Me