Share

Mempelai yang Berbeda

Candy terdiam seribu bahasa, meragukan apa yang baru saja sepasang telinganya dengar. Candy berpikir, diri ini pasti sedang dalam keadaan tidak sehat atau sejenisnya, itu sebab sembarang menangkap suara. Tapi … Robert membuktikan bahwa kalimat yang sampai di indera pendengarnya tidaklah salah.

Robert bangkit dari duduk dan berlutut di depan Candy. Mengambil lembut tangannya mengulang, “Menikah denganku dan kita tidak harus memulangkan para tamu hari ini, kita bisa menghindari rasa malu,” tuturnya.

Candy mungkin setuju pada kalimat yang sampai di telinga, tapi menikah dengan seseorang yang seharusnya menjadi ayah mertuanya? Membayangkan hal itu dengan mudah sudah menyantak jantung bagaikan alat kejut. Candy bangkit, mencoba mengatur nafas agar kembali mengalir dengan benar.

Benar, menghindari malu …, tapi bobrok! Candy tidak mampu mencerna lamaran mendadak itu, sama sekali tidak bisa tidak perduli seberapa kuat berusaha.

Robert mendekat, berdiri di belakang punggung Candy sebelum menyentuh dua pundak putihnya lembut. Sekali lagi Candy sukses disentak, meski begitu tidak melakukan pergerakan apa pun. “Kau mungkin tidak tahu, tapi aku sering memperhatikanmu.” Lelaki itu menambahkan, “Aku tidak bercanda berkata, kau tidak pantas untuk Putra meski dia adalah anakku. Putra telah mengkhianatimu dan dia tidak pantas mendapatkanmu.”

Lantas, hal itu menjadikan dia pantas? Candy masih sulit mempercayai bahwa lamaran itu nyata, tapi … ibu tiri? Candy memutar badan menghadap Robert dan kontak mata pun bertemu.

Seorang ibu tiri? Ibu tiri Putra? Hal itu meloncat-loncat bagaikan kodok di atas otak Candy. Diri ini merasa terkhianati dan pembalasan apa yang paling sesuai untuk pemuda itu? Jika tidak ada pernikahan, Candy tidak akan punya kesempatan lagi untuk berada di dekat Putra dan itu artinya masalah ini akan terlewatkan dan lenyap begitu saja.

Candy tidak berpikir ia mau membiarkan hal itu terjadi. Setidaknya diri ini harus membalas rasa sakit yang memenuhi rongga dada, itu adalah apa yang melintasi benak dan apa yang ingin Candy lakukan. ‘Aku ingin menjadi ibu tiri yang kejam,’ batinnya. Candy mau melakukan apa saja untuk membuat pemuda bernama Putra tidak bahagia sama sekali meski itu termaksud menikahi orang yang tidak diri ini cintai.

“Mengapa kau ingin menikahiku?” tanya Candy, mengharapkan jawaban.

“Karena kau adalah perempuan yang baik,” jawab Robert tanpa ragu. “Aku jujur mengaku aku membenci Putra, tapi perempuan sepertimu tidak seharusnya dibiarkan pergi begitu saja. Itu mengapa … jika Putra tidak menginginkanmu, aku menginginkanmu.” Sedikit menjeda dengan mengambil nafas, Robert melanjutkan, “Biarkan aku mencintaimu dan menjagamu selama sisa umurku.”

Betapa tulus dan manis mulut lelaki itu, sangat menyentuh sampai Candy tidak mampu berkata-kata. Candy tidak mau mengakui bahwa diri ini kejam karena berpikir untuk menjadikan Robert sebagai alasan diri ini bisa memasuki rumah mereka dan memperlakukan Putra dengan buruk, tapi … Candy sudah bertekad. Hidupnya tidak akan tenang sebelum balas dendam terlaksanakan.

Tok … tok … tok … suara pintu yang digedor sukses merebut perhatian. Saat Candy dan Robert kompak menoleh, seorang lelaki yang adalah salah satu pengurus acara pada pagi hari ini sudah menyembulkan setengah badan. Dia berkata, “Nona, Tuan, acaranya akan dimulai sebentar lagi.”

Saat mendapat anggukan dari Robert, dia pergi tanpa lupa menutup pintu kembali. Robert kembali menatap Candy. Dia mengulang, “Jadi, apakah kau mau menikah denganku?”

Terlalu berat berkata mau, tapi jauh lebih berat untuk menggeleng. Demi balas dendam, agar putra bisa merasakan rasa sakit yang sama, kepala Candy bergerak naik dan turun sebagai jawaban. “Aku mau menikah denganmu,” ujarnya.

Robert tersenyum mendengar jawaban penuh percaya diri itu. Dia mengambil tangan Candy dan membawanya keluar dari ruangan.

Candy dibantu oleh dua orang bridesmaid untuk berdiri di depan pintu, tempat di mana acara akan berlangsung. Gadis itu sudah berpisah dari Robert yang akan berdiri di altar, masuk melewati pintu bagian samping.

Pintu tinggi dibuka, menampilkan Candy yang luar biasa indah dengan gaun yang sebelumnya dia pilih bersama Putra. Candy bahkan masih mengingat betapa lebar senyuman cerah di wajah sang pujaan hati, tapi senyuman itu kini lenyap dari kepala.

Candy tidak melihat senyuman, dia melihat ekpresi murung yang sukses menambah kadar kebencian dalam hati. Lagu pernikahan mengalun sangat lembut, semua tamu yang sebelumnya terduduk di bangku panjang, di antara karpet merah yang berbentang bangkit satu per satu.

Candy mengangkat kepala sebelum mengambil langkah, dia melihat Robert yang baru saja muncul di atas altar. Belum ada yang menyadari keanehan pernikahan ini karena semua tamu memberi perhatiannya khusus pada Candy yang perlahan memasuki ruangan dengan sebucket bunga di kedua tangan.

Gereja, tempat acara berlangsung dihias simpel dengan beberapa pita besar berwarna putih. Pintu bunga dan beberapa balon berwarna merah jambu. Dua bridesmaid membantu memegangi gaun panjang Candy dengan hati-hati agar sang empu tidak kesulitan berjalan, sementara dua di depan Candy menebar kelopak bunga mawar dengan senyuman megah.

Tepuk tangan sangat meriah sampai kemudian Candy tiba di atas altar. Menyadari mempelai yang berbeda, semua orang kompak membisu. Sang pendeta termaksud salah satu yang sebelumnya tidak memperhatikan. Lelaki tua itu mengenal Robert dengan baik, sangat baik sampai ia tidak mampu memutar otak kala menyadarinya berdiri di depan mata.

Semua orang melongo, mempertanyakan apa yang sebetulnya sedang terjadi! Lagu pernikahan masih mengalun, tapi mendadak tidak ada yang bisa mendengar suara apa pun. Semua mata tertuju khusus pada sang memepelai yang seharusnya menjadi ayah mertua dari sang mempelai perempuan!

Bukan hanya para tamu, keluarga besar dari kedua mempelai memberi reaksi yang tidak kalah heboh. Mereka berpikir, apakah Putra yang akan menikah mendadak semakin mirip wajahnya dengan sang ayah atau lelaki yang sedang menghadap Candy itu sungguh adalah Robert?

Semua terlalu sibuk termenung, tidak ada yang ingat untuk mengangkat tangan dan bertanya. Bahkan jika ingat pun, tidak mungkin ada yang berani karena pasti sangat tidak elok.

Namun …, namun … kehabisan kata-kata. Satu per satu dari tamu akhirnya bisa mengerjapkan mata, menelan ludah, menutup mulut yang mengganga tanpa aba-aba dan melakukan pergerakan-pergerakan kecil.

Apa pun yang mereka lakukan, siapa yang berdiri di atas altar sungguh tidak berubah dan dia adalah Robert Wijaya, ayah dari Putra yang seharusnya berdiri di sana.

Semua orang merasa yakin bahwa nama yang tercetak di kertas undangan adalah Putra, bukan Robert, tapi melihatnya berdiri di sana membuat semua yang hadir mendadak ragu. Kecuali keluarga besar, tentunya.

Candy menyadari tatapan penuh tanda tanya dari semua tamu dan ia tidak canggung sama sekali. Rasanya tidak begitu buruk, jika harus ia katakan. Robert baru saja menyadarkan sang pendeta yang masih sibuk membeku dan acara pun berlangsung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status