Share

Ketahuan

Hamburg memanglah indah. Meskipun begitu, selama dua bulan ini, tidak ada pemandangan yang bisa menggoda Raveen untuk melengkungkan bibirnya. Menyadari bahwa dirinya telah bermil-mil jauh dari Lavina, Raveen semakin biru lalu berubah menjadi abu-abu. Hatinya kelabu. Hitam malah. Awan kumulunimbus kalah telak dengan suramnya Raveen saat ini.

Apalagi pekerjaan yang harus dia handle adalah sesuatu yang sangat berkaitan erat dengan Lavina. Membahas kehancuran keluarga Dawson dan mendiskusikan kekayaan yang ditinggalkan. Mungkin diskusi merupakan istilah yang terlalu halus. Tidak-tidak! Mereka tidak sedang berdiskusi. Mereka tengah berebut untuk mendapatkan harta kekayaan keluarga itu. Seperti anjing yang berebut tulang.

“Karena semua keluarga Dawson sudah tewas, maka yang menjadi masalah sekarang adalah harta warisan yang ditinggalkan tidak ada satu pun yang berhak mendapatkannya. Tapi, kabar baiknya hakim memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada rekan bisnis keluarga Dawson, karena ternyata mereka memiliki hutang dengan semua rekannya,” seseorang membuka percakapan di ruang rapat itu.

Dua bulan ini, mereka berhasil memenangkan kasus dipengadilan. Untuk merebut kekayaan keluarga Dawson ternyata bukanlah hal yang mudah. Perdebatan, mencari bukti, memalsukan kakus dan lain sebagainya dilakukan untuk mempertahankan keserakahan mereka. Well, meskipun akhirnya mereka mampu mengamankan seluruh harta Dawson dengan baik.

Yang membuat rumit adalah wasiat yang ditinggalkan oleh Dawson. Keluarga itu memang tidak bisa diremehkan. Mereka memberikan dan mempercayakan wasiat itu pada firma hukum yang sangat terpercaya dan memiliki integritas yang sangat disegani. Pengacara handal yang mereka miliki juga sangat setia. Betapa baiknya pengacara itu yang tak ingin mengkhianati mantan majikannya yang sudah mati.

Hal tersebut mempersulit semua rekan bisnisnya yang ingin menguasai seluruh hartanya. Wasiatnya mengatakan bahwa jika masih ada keturunan Dawson yang tersisa, maka yang berhak memegangnya adalah keturunan itu. Kesimpulanya, jika ada satu saja keluarga Dawson yang masih hidup, maka tidak ada yang bisa memiliki apa yang mereka inginkan.

Baik Raveen maupun ayahnya mendengarkan dengan seksama. Raveen sedikit gusar, namun dirinya dengan baik menyembunyikannya. Kontrol emosinya mungkin sedikit buruk tapi cukup untuk menutupi semua rahasianya.

Sejatinya, menghabiskan waktu selama dua bulan di sini adalah sia-sia. Landergee menjadi salah satu anjing yang berebut tulang. Meskipun Landergee digadang-gadang akan memenangkan pertarungan ini dan mendapatkan semuanya, tapi tidak akan sah saat keberadaan Lavina terungkap.

Seluruh peserta rapat—yang katanya pendukung Landergee—menampilkan senyumnya. Mereka sudah tidak sabar mendengar kabar Landergee memenangkan harta Dawson. Tentu saja karena mereka akan terciprat harta itu juga. Ada perjanjian di awal untuk ‘bagi hasil’ dari harta yang mereka rampok dari Dawson.

Sesuai dengan pengadilan, kekayaan Dawson telah dikurangi untuk membayar hutang-hutangnya pada rekan bisnisnya. Meski begitu, ternyata Dawson memang sialan. Ternyata keluarga itu menyembunyikan kekayaannya yang teramat besar. Bisa dibilang jika kekayaan mereka nyaris sama dengan kekayaan Landergee—yang notabene pengusaha terkaya diantara para peserta rapat. Fakta yang sangat mengejutkan!

Maka Rael menampilkan seringainya. Dirinya merasa melakukan hal yang benar untuk membantai keluarga sialan itu. Baginya, membantai mereka tidak menjadikan balas dendam Rael selesai. Sekarang waktunya mengambil apa yang seharusnya menjadi milik Landergee.

“Dan karena tidak ada satupun keluarga Dawson yang tersisa, kita berhasil meyakinkan hakim untuk membahas perihal sisa harta Dawson yang ternyata sangat fantastis ini,” lanjut orang yang tadi membuka rapat.

“Yah, siapa yang tidak tergiur dengan kekayaan itu. Sepertinya ini akan menjadi pertarungan yang sengit dan menarik bukan?” salah satu peserta begitu angkuh. Mungkin sebentar lagi akan ada perdebatan mengenai bagi hasil atas kekayaan yang sudah berada di depan mata.

Maka seluruh peserta rapat tertawa terbahak karena tidak sabar dengan pertempuran yang menggiurkan ini. Hanya Raveen yang diam, dia menghela napas kemudian menatap keluar jendela kaca besar di samping ruangan itu. Sejujurnya Raveen tahu dan menyadari jika mereka semua telah kalah dalam pertarungan, termasuk dirinya dan sang ayah. Tidak! Seharusnya pertarungan ini tidak pernah ada, karena satu keluarga Dawson masih hidup dengan baik. Ironisnya, Raveenlah yang menyembunyikan keberadaannya. Dia penghianat kelompok. Sebut saja begitu karena Raveen memang sengaja melakukannya.

Rapat usai, meninggalkan beberapa tugas bagi masing-masing pebisnis. Tak membuang-buang waktu lebih lama, mereka harus mengumpulkan bukti yang cukup agar mendapatkan hak penuh dan bisa merebut semua kekayaan Dawson. Manipulasi akan dimainkan. Sokongan kekuatan lebih dari mumpuni. Bisa dibilang, mereka sudah dipastikan menjadi pemenang.

“Raveen, urusan ini aku serahkan padamu,” ujar Rael.

Entah mengapa akhir-akhir ini sang ayah benar-benar melepaskan semua urusannya pada Raveen. Anaknya ini harus memiliki pertarungannya sendiri. Membunuh tidaklah cukup, dia harus belajar bagaimana untuk ‘membunuh’ sesuatu yang lebih besar dan mendapatkan hasil yang setimpal. Putranya harus bisa mencapai puncak tertinggi sehingga siapa pun tak akan pernah bisa menyakitinya.

Sementara itu, Raveen hanya bisa mengiyakan. Bukan karena dia menyetujui semua rencana busuk ini, tapi karena dia tak akan pernah bisa menolaknya. Sama seperti dirinya dulu yang telah dilatih untuk menjadi mesin pembunuh. Menolak? Tentu saja Raveen ingin menolak dan memberontak. Dia terlahir normal dengan psikis yang normal pula. Tapi ayahnya sendiri yang merusaknya. Siapa sangka ketika usia 5 tahun dia sudah dilatih untuk membunuh orang?

Sekarang anak dan ayah itu terpisah untuk mengerjakan urusan masing-masing. Raveen memejamkan mata, menghirup udara bebas dengan leluasa karena akhirnya dia bisa ‘terbebas’ dari ayahnya—yah, untuk sementara ini. Segera Raveen mengeluarkan ponsel pintarnya. Ada seseorang yang amat dia rindukan. Dia sangat merindukan suara Lavina.

Halo,” suara di seberang begitu sopan.

“Apa Lavina baik-baik saja?” tanya Raveen. Sudah tidak sabar untuk mendengar kabar Lavina.

Tentu saja Tuan, Raveen. Anda ingin berbicara dengan Nona Lavina?” sahut Bibi Maria. Raveen mengiyakan. Tentu saja dia ingin berbicara pada wanitanya.

Setelah menunggu beberapa saat, dirinya tersenyum saat menangkap suara Lavina di rungunya. Terdengar begitu halus tapi sarat dengan manja. Menggelitik dan menggoda. Membangkitkan gairah Raveen.

Raveen ...”

‘Sial, bisakah kau tidak mengayunkan suaramu, Lavina?’ jangan kaget. Laki-laki yang sudah sangat mencintai Lavina ini tentu tidak akan bisa lepas dari angan tentangnya. Ingin bertemu, memagut bibir dan lidah dengan liar dan menyentuh semua sudut tubuh perempuan yang sangat dia rindukan.

“Kau baik-baik saja, Lavina?” tanya Raveen tanpa melepaskan senyumnya di wajahnya. Sementara ini dia harus bisa meredam khayalan kotornya untuk fokus mendengarkan gadisnya.

Tidak! Kau pergi lama sekali. Huh.” Tampaknya Lavina kesal karena dirinya tak segera pulang. Jujur saja, Raveen sebenarnya ingin lekas pulang dan bertemu dengan dirinya. Lagi-lagi semesta tidak sedang berada di pihaknya. Senyum Raveen luntur, meskipun masih tersungging lengkungan tipis di bibirnya.

“Ternyata pekerjaanku di Jerman tak semudah yang aku pikir, Lavina,” sahut Raveen yang terdegar begitu frustasi. Sebenarnya bukan karena pekerjaannya, tapi karena rasa rindunya pada Lavina.

Eh? Kau baik-baik saja?” kini terdengar nada khawatir dari lawan bicaranya. Raveen tersenyum. Senang mendengar gadisnya mengkhawatirkan dirinya. Meskipun Lavina tidak bisa melihatnya, dia menggeleng.

“Tidak ... aku tidak baik karena sangat merindukanmu,” balas Raveen. Terdengar helaan napas yang sedikit panjang.

Kalau begitu cepatlah pulang, aku juga sangat merindukanmu, Raveen.” Lavina ikut sedih.

Raveen ikut menghembuskan napasnya panjang, memejamkan mata sejenak untuk kembali menetralkan rindunya. Ah, seharusnya moodnya membaik setelah mendengar suara Lavina kan? Dia tak seharusnya membahas topik yang sensitif untuk hatinya.

“Aku dengar, kau belajar banyak dari Bibi Maria.” Raveen mengalihkan.

Tentu! Banyak yang aku pelajari! Kau tahu, sekarang aku bisa membaca buku,” suara di seberang tampak riang. Raveen terkekeh. Lebih baik seperti ini. Bicarakan saja apa pun yang menyenangkan.

“Benarkah? Aku akan membelikan banyak buku breile untukmu.”

“Banyak yang aku tahu sekarang. Bibi Maria juga mengajarkan warna padaku. Kemarin hujan. Kata Bibi, ada pelangi di langit. Awalnya aku tak mengerti, tapi sekarang aku sedikit paham. Yah, meskipun sulit membayangkan seperti apa ‘warna’ itu, namun Bibi Maria menjelaskannya dengan baik.”

Lavina terus bercerita. Raveen semakin mengembangkan senyumnya. Dia bersyukur karena Lavina baik-baik saja. Akan tetapi rasa bersalah juga menyelimutinya. Rasanya bagai menjadi dua orang dalam satu tubuh. Manipulatif dan tetap mengkhianati pihak ayahnya maupun Lavina.

‘Maafkan aku, Lavina. Aku terpaksa harus mengambil hartamu. Kau jangan khawatir, jika waktunya tiba nanti, aku akan mengembalikan semuanya padamu.’

***

Matahari telah tenggelam sempurna. Raveen merapatkan coatnya untuk melindungi diri dari dingin. Waktunya dia pulang ke apartemen untuk membersihkan diri. Dia juga harus segera menyusun rencana cadangan untuk memenuhi keinginan dan tugas dari ayahnya. Dia butuh waktu untuk berpikir agar bisa memenangkan pertempuran ini. Bukan hanya soal memenangkan harta Dawson namun juga tentang memenangkan cintanya atas Lavina.

Raveen tengah mengeringkan rambutnya yang basah saat ponselnya berdering. Sang ayah menghubunginya. Raveen mengerutkan kening kemudian menggeser layarnya untuk menerima panggilan dari sang ayah.

“Halo—“

Datanglah ke kantor sekarang!”

Tut.

Raveen terdiam. Siapa pun bisa tahu jika Rael sedang marah. Firasatnya mengatakan telah terjadi sesuatu yang buruk. Tentang apa? Apakah ada yang menganggu ibunya lagi? Atau soal apa? Maka setelah merapikan dirinya, Raveen segera melesat menuju tempat yang diminta ayahnya.

Laki-laki itu bergegas masuk ke ruang utama. Rael sudah menunggunya di sana. Duduk di atas kursi kerjanya dengan pandangan yang begitu gelap. Rahangnya sudah mengeras.

“Ada apa ayah?” Raveen yang sudah berada di depan meja, bertanya langsung.

Rael yang menatap nyalang pada putranya, melempar sebuah kertas padanya. Raveen tak akan bertanya ‘ini apa?’ atau itu hanya akan menambah amarah sang ayah. Maka dia diam saja dan memunguti kertas yang berserakan itu.

“Lavina Dawson.”

Deg.

Tangan Raveen terhenti untuk mengambil kertas itu. Ayahnya menyebutkan nama gadis yang tengah disembunyikannya.

“Bukankah dia masih hidup, Raveen?”

Deg.

“Sekarang katakan padaku, di mana gadis itu?!”

Deg.

Raveen benar-benar berada dalam masalah sekarang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status