Raveen menatap langit yang gelap di pagi hari. Medung. Tampaknya akan turun hujan. Cuacanya sangat tidak menyenangkan. Melihat pagi yang suram seperti ini, siapa yang bisa bersemangat? Sama seperti Raveen yang hatinya begitu kelabu.
Bukan tanpa sebab dirinya murung. Lima menit yang lalu, ayahnya memintanya pergi ke Jerman segera untuk menyelesaikan sesuatu yang berkaitan dengan perusahaan yang Rael kelola. Bukannya dia tidak ingin pergi. Tapi bagaimana dengan Lavina? Setengah hari saja Raveen tak bertemu dengannya, bisa membuatnya gila, apa lagi jika harus pergi jauh dari sisinya?
Kepalanya terasa berat. Pikirannya begitu terhimpit sehingga rasanya gelarnya sebagai seorang jenius hilang dihisap situasi yang menyebalkan. Dia tidak bisa melakukan apa pun. Tidak ada ide brilian yang muncul di kepalanya. Bagaimana dia bisa pergi tanpa mengkhawatirkan Lavina? Lagi pula ini bukan hanya soal hati tapi juga keselamatan perempuan itu.
“Apa yang kau pikirkan Raveen? Kenapa masih berada di sini?” tegur sang ayah ketika melihat Raveen yang masih diam berdiri di depan mansion. Pertanyaan tajam. Tampak sangat tidak suka melihat Raveen yang menunda pekerjaan penting.
Raveen menghela napas. Entah untuk yang keberapakalinya.
“Berapa lama aku harus berada di sana, Ayah?” Raveen ingin memastikan berapa lama ia harus terpisah dengan gadisnya.
“Satu ... atau mungkin tiga bulan, tergantung seberapa cepat kau bisa menyelesaikannya,” jawab sang Ayah. Raveen ingin mengumpat. Ayolah! Dia pikir hanya 3-5 hari, tapi ini ... 1-3 bulan? Apakah ayahnya sedang bercanda? Bagaimana Raveen sanggup meninggalkan Lavina selama itu? Ini benar-benar tidak baik. Apakah ayahnya tengah merencanakan sesuatu? Lagi pula pekerjaan ini seharusnya bisa diselesaikan ayahnya sendiri. Kenapa Raveen yang harus menjadi pion utamanya?
Ia memejamkan matanya sejenak setelah ayahnya memintanya segera masuk ke dalam mobil. Bahkan dia belum sempat untuk berpamitan pada Lavina. Perempuan itu pasti akan marah dengannya lagi, merajuk dan merengek. Protes padanya lagi karena telah melanggar janji untuk yang kesekian kalinya—meskipun melihatnya cemberut malah menjadi hiburan tersendiri bagi Raveen, namun sekarang tidak bisa dibilang menyenangkan. Meninggalkan Lavina bukan suatu hiburan.
“Ayah, pukul berapa keberangkatan pesawatnya?” tanya Raveen. Masih tidak menyerah untuk mencari peluang. Dia harus menemui Lavina meskipun hanya sebentar. Dia akan memastikan keamanan Lavina terjamin selama dia pergi.
“Pukul 8 nanti.” sahut Rael. Raveen melirik arloji Rolex yang melingkar manis di pergelangan kirinya. Masih ada waktu satu setengah jam lagi. Ini cukup untuk mengunjungi Lavina bukan? Bahkan jika hanya ada waktu 5 menit, Raveen akan tetap pergi menemui Lavina lebih dulu.
“Ayah, aku ingin pergi ke suatu tempat. Aku akan menyusul nanti.”
Rael menatap Raveen tajam. Sepertinya sudah menduga jika Raveen akan melakukan ini.
“Mau ke mana?” tanyanya langsung.
“Menemui gadisku,” jawab Raveen jujur. Sebenarnya Raveen gentar menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan padanya. Khawatir jika laki-laki yang dia panggil ‘Ayah’ ini mencium gelagat mencurigakan Raveen.
Rael terkekeh. Putranya ini apakah memang sedang dimabuk cinta? Yah ... karena tidak ada kebohogan pada putranya, maka Rael mengizinkan Raveen pergi. Rael akan membiarkan putranya dan gadis itu bersenang-senang sementara waktu. Anggaplah laki-laki itu tengah beruntung sekarang.
Jika sudah tiba saatnya, Rael akan menuntut untuk dipertemukan dengan gadisnya. Dia akan mempertimbangkan apakah gadis yang Raveen pilih memang benar-benar menguntungnkan bagi pihaknya atau tidak. Raveen bukan hanya remaja biasa. Dia pembunuh seperti dirinya. Apabila gadis itu tak bisa menerima jati diri Raveen, dia harus mati.
Mobil itu berhenti di pinggir jalan, menurunkan Raveen yang bergegas pergi setelah mencegat taksi. Bersama dengan itu, Raveen mengeluarkan ponselnya, menghubungi seseorang untuk meminta bantuan lagi. Tidak mungkin Raveen pergi ke tempat Lavina dengan menggunakan taksi yang dia tumpangi. Raveen tahu jika dirinya sekarang tidak akan lepas dari pengawasan sang ayah.
“Dante, aku butuh bantuanmu,” ucap Raveen yang dari tadi sebenarnya sudah tersambung dengan Dante.
“Aku tahu, aku sudah ada di dekat jembatan di dekat kampus,” sahut dari seberang. Ikatan mereka sebagai partner memang tidak perlu diragukan. Selalu bisa memberikan backuip satu sama lain.
Raveen tersenyum puas, rekannya ini memang benar-benar bisa diandalkan dengan baik. Segera Raveen menuju tempat yang dimaksud Dante. Kemudian mereka pergi ke rumah yang digunakan untuk menyembunyikan Lavina.
Di sisi lain, Lavina sedang asik mendengarkan cerita dari Bibi Maria di pagi hari. Bibi maria sedang menceritakan bagaimana keindahan rumah baru Lavina—menjelaskan taip detail sudut ruangan—sembari menghabiskan roti coklat yang kini menjadi makanan favoritnya.
Pine citrus mint musk.
Lavina beranjak tiba-tiba saat mencium aroma yang sangat dia kenal juga karena mendengar langkah kaki yang mendekat padanya. Sudah bisa ditebak jika yang kini tengah menghampirinya adalah laki-laki yang sudah sangat ia rindukan. Sudah dinantikan kedatangannya. Senyumnya mengembang saat merasakan keberadaan Raveen. Lavina berjalan sembari meraba-raba menuju arah di mana Raveen datang.
Bruk.
“Wow wow, hati-hati Lavina. Kau ingin ke mana? Kenapa terburu-buru, hm?” tanya Raveen yang telah menangkap tubuh Lavina yang sebelumnya nyaris terjatuh menubruk lantai.
“Hihi, aku tahu kau datang. Aku rindu padamu, Raveen.”
Sekali lagi, Lavina menyampaikan perasaannya dengan jujur dan sangat gamblang, membuat Raveen semakin berat untuk meninggalkan Lavina. Laki-laki itu menghela napas berat sembari menatap manik teduh Lavina yang entah sedang memandang ke mana. Percayakah jika seorang pembunuh seperti Raveen memiliki perasaan yang gundah hanya karena akan meninggalkan seorang gadis buta untuk beberapa waktu? Oh, ayolah jangan bercanda!
Menepiskan semua ego dan keinginannya untuk tetap berada di sisi Lavina, Raveen harus mengatakannya. Dia harus menyampaikan pada Lavina jika dirinya akan pergi untuk beberapa waktu. Tentu saja hanya sebentar. Dia tetap akan kembali pada Lavina.
“Lavina ...”
“Hm?”
Raveen memeluk gadis itu lagi dan mendaratkan ciuman hangat di keningnya. Lama, kemudian diakhir dengan beberapa kecupan singkat di mata, hidung, pipi dan bermuara di bibirnya.
“Maafkan aku, tapi aku harus pergi lagi untuk beberapa waktu.”
Deg
Lavina yang tengah menikmati perlakuan Raveen tiba-tiba tertegun. Senyumnya memudar, matanya perlahan tebuka ketika mendengar jika Raveen akan pergi. Tentu saja Lavina tidak suka. Dia tidak mau Raveen pergi lagi. Ini sudah yang keberapa kali?
“Kau akan meninggalkaku!” Lavina membentak. Sudah bosan mendengar Raveen yang selalu mengatakan bahwa dia harus pergi.
“Aku tidak ingin melakukannya, tapi harus. Aku pergi tidak akan lama.” Raveen berkilah—tidak, memang begitu kenyataannya. Raveen tidak memiliki pilihan lain. Jika memang tidak menginginkan meninggalkan Lavina dan tidak bisa memilih tinggal, seharusnya Raveen memiliki alternatif lain bukan? Maka usul Lavina akan selalu sama.
“Kau bisa membawaku!” usul Lavina yang selalu sama. Benar! Raveen bisa membawanya ke mana pun dia pergi bukan? Seharusnya Raveen mempertimbangkan usulnya yang sangat masuk akal.
Raveen mengeratkan pelukannya dan kembali mencium puncak kepala perempuan itu. Itu memang yang diinginkan oleh Raveen tapi tentu dia tidak bisa memberitahu alasan utama mengapa Raveen tidak bisa membawanya pergi. Tidak mungkin Raveen mengatakan jika Rael, sang ayah ingin membunuhnya bukan?
“Maaf, tapi aku tak bisa membawamu. Aku benar-benar harus menyelesaikan urusan. Aku akan segera kembali. Aku janji,” ikrar Raveen.
Lavina terdiam. Dia sesungguhnya sudah lelah. Raveen tentu tahu jika wanitanya pasti akan semakin merajuk. Mau tak mau, Raveen harus membujuk Lavina. Tidak ada jalan keluar lain. Dia benar-benar tak bisa menolak pergi atau membawa Lavina. Dia harus melakukan ini untuk melindungi Lavina juga.
Akhirnya setelah bujuk rayu Raveen, dengan terpaksa wanita itu mengizinkannya—tentu saja berhasil. Tidak ada yang bisa meragukan handalnya Raveen dalam melakukan diplomasi. Lagipula Lavina tidak benar-benar sendiri, masih ditemani Bibi Maria yang juga telah bersedia mengajarkan banyak hal padanya. Menunggu Raveen untuk beberapa waktu, seharusnya bukan menjadi masalah besar kan?
Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Raveen berbicara empat mata dengan Bibi Maria. Memberikan arahan ini dan itu untuk memastikan tidak ada kesalahan yang dilakukan oleh pengasuh paruh baya ini. Raveen juga memberikan ponsel khusus untuk sang Bibi agar bisa menghubunginya. Jika sesuatu terjadi, Bibi Maria harus segera menghubungi Raveen.
Maka dengan berat hati, setelah memberikan kecupan terakhir untuk hari itu, Raveen pergi.
[]
Hamburg memanglah indah. Meskipun begitu, selama dua bulan ini, tidak ada pemandangan yang bisa menggoda Raveen untuk melengkungkan bibirnya. Menyadari bahwa dirinya telah bermil-mil jauh dari Lavina, Raveen semakin biru lalu berubah menjadi abu-abu. Hatinya kelabu. Hitam malah. Awan kumulunimbus kalah telak dengan suramnya Raveen saat ini.Apalagi pekerjaan yang harus dia handle adalah sesuatu yang sangat berkaitan erat dengan Lavina. Membahas kehancuran keluarga Dawson dan mendiskusikan kekayaan yang ditinggalkan. Mungkin diskusi merupakan istilah yang terlalu halus. Tidak-tidak! Mereka tidak sedang berdiskusi. Mereka tengah berebut untuk mendapatkan harta kekayaan keluarga itu. Seperti anjing yang berebut tulang.“Karena semua keluarga Dawson sudah tewas, maka yang menjadi masalah sekarang adalah harta warisan yang ditinggalkan tidak ada satu pun yang berhak mendapatkannya. Tapi, kabar baiknya hakim memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada rekan bisnis kelua
Dunia runtuh, dua kata itu yang kini menghantam Raveen. Sama seperti badai yang tiba-tiba datang menerjang lembah bunga yang begitu indah. Luluh lantah. Tidak berbekas. Menerbangkan semua kelopak. Tidak indah lagi. Begitulah gambaran Raveen sekarang. Dirinya diam seribu bahasa. Ia tak menyangka pertanyaan itu lebih cepat dilayangkan oleh sang ayah. Sekarang ayahnya tahu jika dialah yang telah menyembunyikan Lavina. Dia tidak menuntaskan misi dari ayahnya. Dia mengkhianati Rael. Dia tidak membunuh Lavina dan memilih untuk menyelamatkannya. Sekarang dia harus apa?“Apa maksud Ayah?” Raveen mencoba berkilah namun malah satu tamparan keras yang ia dapat.PLAK.Perih dan panas yang terasa di pipinya bisa menggambarkan bagaimana murkanya Rael padanya.“APAKAH KAU SEDANG BERUSAHA MENGKHIANATIKU?!” bentak sang ayah. Amarahnya pecah. Wajahnya sudah merah padam. Meledak. Ingin menghancurkan pemuda di depannya ini jika tidak mengingat bahwa R
Dua pria tampan Landergee telah pulang. Urusannya di Jerman dihentikan sementara untuk mencari keberadaan Lavina. Sebagai seorang ayah, Rael tidak mungkin mengungkapkan pada koleganya bahwa putranyalah yang telah menyembunyikan perempuan itu. Jika ingin menghukum Raveen, Rael akan melakukannya sendiri.Tidak langsung menuju rumah, dari bandara mereka pergi ke sebuah tempat di tengah hutan. Keberadaan Lavina sudah diketahui. Selama perjalanan, kedua laki-laki itu saling diam. Raveen tidak bisa melakukan apa pun. Dalam diam, dia berharap Emily sudah melakukan apa yang telah dia janjikan. Raveen juga Menyusun rencana di kelapanya sebagai antisipasi jika sesuatu yang buruk terjadi setelah ini.Tak lama, mobil berhenti di sebuah halaman rumah kayu di tengah hutan. Rael dan anak buahnya masuk ke rumah itu untuk membawa Lavina. Akan tetapi, mereka tidak menemukan keberadaan siapa pun di rumah itu. Lagi-lagi Rael menahan amarahnya. Merasa dibodohi. Dia tengah ditipu dengan per
Lavina bergeming. Duduk diam di ranjang sembari menerawang entah ke mana. Meskipun tampak membisu, di kepalanya begitu ribut karena memikirkan Raveen. Hatinya bergemuruh, meraung-raung sebat dirinya terlampau merindukan Raveen. Ingin berjumpa, memeluk dan menghirup aroma khas yang berhasil membuatnya tenang dari laki-laki itu.Sayang sekali perkataan Emily membuatnya semakin dirundung pilu. Rindu hanya akan menjadi rindu. Sudah merenung dan paham apa yang wanita itu maksud. Sudah jelas jika dirinya tidak diizinkan untuk menemui Raveen. Dia ternyata yang menjadi sumber kekacauan. Baru tahu setelah Emily mengatakannya. Apakah Lavina telah membuat masalah yang begitu besar pada Raveen? Sebesar itukah kesalahan Lavina sehingga ia harus dipaksa hidup tanpa laki-laki itu?Akan tetapi, bukankah Lavina adalah milik Raveen dan Raveen adalah pemiliknya? Lalu bagaimana Lavina hidup tanpa dimiliki oleh pemiliknya? Bagaimana Raveen hidup tanpa memiliki miliknya?Hati gadis i
Emily menahan amarah. Sampai sekarang dia masih belum bisa menghubungi Raveen. Putranya itu juga tidak beriktikad untuk menemuinya. Putranya benar-benar sudah berubah. Sejak kapan Raveen menjadi pembangkang seperti ini?Mengapa Raveen tak mengerti bagaimana cemasnya Emily padanya? Emily menyembunyikan Lavina dan memisahkan mereka, benar-benar untuk kebaikan mereka berdua. Wanita itu tahu, baik Rael ataupun Raveen sama-sama keras kepala. Apakah Raveen tak tahu jika Rael akan tetap membunuh Lavina sedalam apa pun cinta Raveen padanya? Dan itu yang Emily hindari. Raveen tentu tidak akan membiarkannya ayahnya melakukan itu bukan? Yang ada akhirnya kedua laki-laki yang dicintainya akan saling menghunuskan pedang. Sungguh Emily tak akan memihak siapa pun. Kedua laki-laki itu adalah orang yang paling Emily cintai. Dia tak ingin kehilangan keduanya.Sayangnya Emily tidak bisa berbuat apa-apa ketika Raveen merajuk. Dia tidak akan mau pulang jika Emily tidak memberi tahu di mana
BRAKSuara keras khas barang yang dipukul memekakkan seluruh dinding rumah itu. Tidak ada yang bisa menghentikannya dari merusak barang yang ada di dalamnya untuk menyalurkan kemarahan. Tidak bisa dibendung. Tidak bisa dihadang. Dia teramat marah karena tidak berhasil menemukan Lavinanya.Matanya menatap nyalang pada dua orang yang sedari tadi berdiri sembari menatap miris pada tuan mereka. Terutama pada wanita yang sudah terlampau jauh usianya dengan Raveen. Padahal ia telah mempercayakan Lavina padanya. Tapi dia gagal menjaga nonanya.“DI MANA LAVINA!?”Dibandingkan bertanya, Raveen lebih terlihat sedang menggertak kedua orang tua itu. Membentak sesukanya. Memaksa mereka untuk mengatakan di mana Lavina atau mereka akan mendapatkan hal yang begitu buruk, hal yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.Keduanya tertunduk dalam. Tidak berani bahkan hanya untuk sekedar menatap Raveen, apalagi mengeluarkan suara, mereka tak mampu. Takut
Senyum Emily mengembang saat melihat Raveen kembali ke rumah. Sangat senang karena akhirnya putranya pulang. Akan tetapi, perlahan senyumnya menghilang ketika putranya menolak untuk dia peluk. Pertama kalinya, Raveen bersikap seperti ini pada Emily. Menolak pelukan dari Emily membuat ulu hatinya berdesir ngilu. Tentu saja tanpa bertanya mengapa, wanita itu sudah tahu apa penyebabnya. Putranya ini masih marah karena Emily masih enggan memberi tahu keberadaan Lavina.“Apakah kau harus bersikap seperti ini pada Bunda, Raveen?” tanya Emily yang sendu. Raveen berhenti berjalan dan menatapnya. Tatapan Raveen terlihat sangat berbeda dari biasanya. Tampak begitu membenci Emily. Sayangnya Emily tidak bisa mengubah apa yang tengah Raveen rasakan.“Di mana lagi Bunda menyembunyikan Lavina?” tanya Raveen tanpa basa basi. Ia berani bertanya dengan lantang pada ibunya karena tahu bahwa Rael, sang ayah, tidak ada di rumah. Meskipun Raveen tahu jika Emily tidak
Sekali lagi malam berlalu tanpa Raveen. Pagi-pagi sekali Lavina sebenarnya sudah bangun, akan tetapi dia tidak melakukan aktivitas apa pun. Hanya berbaring di ranjang dan berkhayal tentang Raveen. Setidaknya jika ia memang tidak boleh berada di sisinya, ia bisa merasakan kehadiran Raveen di dalam angan. Tentu saja itu rahasia. Lavina tidak akan memberitahukannya pada orang lain. Takut jika berkhayal tentang laki-laki itu juga akan dilarang.Meskipun sudah berada dalam kondisi sadar sepenuhnya, tetap saja ia memejamkan netranya. Rasanya lebih nyaman membangun angan ketika mata tertutup dibanding terbuka. Tiba-tiba, Lavina membuka matanya ketika mendengar seseorang membuka kunci kamarnya. Dia memposisikan diri untuk duduk di atas ranjangnya. Siapa yang masuk ke kamarnya?“Kau sudah bangun?” ucap seseorang. Tak butuh waktu lama untuk mengenali, Lavina sudah tidak asing lagi dengan suaranya. Ia tahu bahwa yang masuk ke kamarnya adalah Emily, ibu Raveen.