Share

Scared to be Alone

Raveen menatap Lavina yang masih bergeming di atas tempat tidur. Dia benar-benar marah rupanya karena Raveen meninggalkannya terlalu lama. Raveen mendekat.

“Lavina,” panggil Raveen lagi. Kali ini Raveen duduk di atas ranjang. Ia hendak menyentuh punggung Lavina sebelum ia mendengar isakan kecil. Raveen bergerak semakin mendekat pada Lavina lalu membuka selimut yang menutupi tubuhnya.

Lavina buru-buru menutupi wajahnya. Raveen menghela napas berat ketika Lavina seperti itu. Sangat jelas jika perempuan ini tidak ingin menunjukkan wajahnya pada Raveen. Sepertinya dirinya sedang ketakutan atau sedih dan mungkin—oh sudah pasti—juga marah. Marah dan kesal menjadi kondisi perasaan Lavina paling memungkinkan karena ia kembali mengingkari janjinya padanya.

Dirinya memang tidak berpengalaman tentang bagaimana cara menghadapi wanita. Namun, bukan berarti dia sama sekali buta untuk memperlakukan wanita. Ayahnya adalah contoh terbaik yang bisa Raveen tiru. Perempuan itu rapuh. Bisa pecah jika salah mengenggam. Harus diperlakukan dengan lembut tak terkecuali Lavina. Raveen memutuskan untuk berbaring di samping Lavina dan memeluknya. Lavina terperanjat, sedikit menggeliat untuk melepaskan diri dan beringsut bangkit dari tidurnya lalu menjauh dari Raveen.

“Maafkan aku,” lirih Raveen, mencoba mendekatkan diri pada Lavina. Permintaan maaf Raveen bukan tanpa alasan. Jelas sekali apa kesalahan yang telah ia perbuat. “Maaf meninggalkanmu cukup lama,” lanjut Raveen memperjelas bahwa ia kembali menyesal karena telah meninggalakannya. Lantas ia merengkuh tubuh yang lebih mungil darinya. Laki-laki itu memberikan kehangatan lewat pelukannya yang erat, untuk menyalurkan rasa rindu dan penyesalannya.

Merasa tidak berdaya setelah berada di dekapan hangat Raveen, Lavina menyerah. Air matanya tidak bisa dibendung lagi. Terisak lebih keras dan menumpahkan semua yang ia tahan di pelupuk mata. Dirinya benar-benar ketakutan, kesal, sedih, rindu juga marah. Tadi selama Raveen pergi, dirinya hanya menggumamkan nama Raveen untuk segera datang. Dia sangat membutuhkan Raveen. Dia tidak ingin Raveen jauh dari sisinya. Sekarang pemilik aroma kuat yang dia rindukan sudah ada di depan mata. Dia tidak akan mengizinkan Raveen pergi jika seperti ini.

“Kau pergi terlalu lama,” protes Lavina di sela-sela isaknya. Raveen mengecup puncak kepala Lavina. Dia tahu. Dia sudah menyadarinya. Kini sekarang dia tengah menenangkan Lavina, mendekapnya erat untuk menebus rasa bersalahnya.

“Maafkan aku,” sahut Raveen kembali mengucapkan maaf.

“Jangan pergi lagi!” pinta Lavina. Raveen menghela napas pelan. Keinginannya pun sama. Siapa yang ingin pergi? Jauh dari Lavina sebentar saja nyaris membuatnya gila.

Raveen melepaskan pelukannya dan memandangi wanita di depannya itu. Netra Lavina memang sihir untuk Raveen. Ingin rasanya bibir laki-laki itu berucap iya untuk semua permintaan Lavina. Sayang sekali, semesta memiliki kenyataan yang lebih kejam.

“Lavina, aku tidak akan bisa selalu di sini menemanimu. Ada banyak urusan yang harus aku selesaikan.”

Kalimat Raveen menjadi momok baru bagi Lavina. Perasan tidak nyamannya kini terjawab. Dirinya tidak suka dengan penuturan Raveen yang seolah menunjukkan bahwa Raveen akan meninggalkannya atau memang akan meninggalkan dia? Akhirnya wanita cantik itu beranjak dari ranjang dan menjauhi Raveen.

“Kau berbohong!” Lavina sungguh sangat kesal. Padahal Raveen sudah berjanji tidak akan meninggalkannya. Dia masih ingat bagaimana Raveen membisikkan sumpahnya untuk tetap bersama dirinya. Sekarang laki-laki itu jutru berkata seolah hari ini, adalah pertemuan mereka yang terakhir.

Raveen ikut turun dari ranjang, berjalan menuju Lavina yang masih mencoba berjalan mundur menjauhi Raveen. Beberapa kali Lavina hendak terjatuh karena tersandung, sebanyak itu pula Raveen menggapai Lavina meskipun pada akhirnya, Lavina menepis tangan Raveen.

“Dengarkan aku dulu!” pinta Raveen. “Aku tidak akan meninggalkanmu. Hanya saja aku tidak bisa terus terusan berada di sampingmu. Aku memiliki banyak urusan yang harus aku selesaikan”

Lavina terdiam mendengarkan. Bukan karena dia percaya, tapi perkataan Raveen menjadi sangat abu-abu untuk dijadikan pegangan. Sudah dua kali Raveen melanggar perkataannya sendiri. Katanya Lavina miliknya, bukannya seharusnya ‘miliknya’ harus tetap berada di sisi? Saat mendengar langkah kaki Raveen, dirinya beringsut mundur. Tidak mau lagi mendengar semua alasan yang coba Raveen ungkap.

“Jangan mendekat!” Lavina yang masih marah, enggan disentuh oleh pemiliknya itu. Raveen menurut. Dia berhenti dan berdiri tak jauh dari Lavina.

“Baik, tapi dengarkan aku!”

Menuruti Lavina, bukan berarti dia mengalah, tidak. Dalam dunia bisnis harus memiliki simbiosis mutualisme. Aksi-reaksi harus saling menguntungkan. Jika Raveen memberikan sesuatu, dia harus mendapatkan hasil yang pantas pula. Kini Lavina harus benar-benar mendengar perkataan Raveen.

“Aku harus kuliah,” jelas Raveen yang sudah tidak ingin mendengarkan penolakan Lavina. Sementara itu, perempuan yang hanya tiga langkah di depannya telah berhenti merengek. Dia diam dan mendengarkan.

Kuliah? Lavina bingung.

“Kau tahu, kuliah, sekolah—ah atau bisa dibilang belajar.”

Lavina mengerjabkan matanya. Mencerna semua istilah yang Raveen gunakan untuk menjelaskan alasan mengapa presensi Raveen di sisinya hanya sekejab.

“Lalu aku masih memiliki orang tua. Mereka akan mengkhawatirkan aku jika aku terlalu sering meninggalkan rumah,” tambah Raveen.

Perempuan berparas cantik ini masih bungkam sembari meremas dress yang dia pakai. Lavina membuka mulutnya, akan mengatakan sesuatu. Tapi dirinya bingung. Banyak kata yang terputar di kepalanya, namun tak tahu mana yang harus disampaikan lebih dahulu, hingga katub itu tertutup kembali. Diam tak menyahuti.

“Kau mengerti?” Raveen berusaha mendekatinya perlahan. Kali ini Lavina tidak membuat pergerakan. Raveen tersenyum. Itu artinya, Lavina sudah sudi untuk berdekatan lagi dengannya.

“Lalu bagaimana denganku? Kenapa aku tidak kau bawa saja kemana pun kau pergi?” akhirnya pertanyaan itu terlontar juga, membuat Raveen sedikit melebarkan matanya. Itulah yang Raveen inginkan. Mengigat Lavina, pokoknya menahan Lavina agar tetap di sisinya adalah kehendak Raveen. Akan tetapi, itu mustahil dilakukan kecuali Raveen memang ingin memicu peperangan antara dirinya dan sang ayah.

“Bawa aku!” Lavina memaksa. Itu jelas menjadi godaan tersendiri bagi Raveen. Melihat Lavina menggebu ingin selalu berada di sisinya membuat Raveen ingin melakukan kegilaan yang sudah berputar di kepalanya. Terlebih bagaimana wajah Lavina yang masih menunjukkan kekesalan pada Raveen, terlihat sangat jelas jika tidak ingin jauh dari pemiliknya.

Namun, lagi-lagi kenyataan membuatnya meredam niat sintingnya. Dia masih memikirkan keselamatannya juga Lavina. Dia tidak akan mengorbankan sesuatu yang belum jelas kemungkinannya. Apalagi ini berkatikan dengan dirinya dan Lavina, Raveen tidak boleh ceroboh.

“Bagaimana aku bisa membawamu pergi jika kau saja tidak mau mendekat padaku?” lontar Raveen. Mecoba menggoda miliknya yang masih berdiri jauh mempertahankan jarak keduanya. Apa yang pria itu katakan membuat Lavina terkesiap. Tanpa ragu, Lavina langsung berjalan menuju sumber suara Raveen. Berlari membabibuta tanpa tahu arah yang benar karena dirinya yakin bahwa Raveen akan menangkap dia.

Benar saja, laki-laki itu sigap menangkap tubuh Lavina yang berhambur memeluknya. Raveen mengembangkan senyumnya. Sungguh wanitanya benar-benar imut. Ingin sekali Raveen menelan Lavina bulat-bulat dan menjadikan dirinya milik Raveen seutuhnya. Tidak puas hanya dengan ikrar kepemilikan saja. Rasanya ingin menandai Lavina di setiap jengkal kulit. Ingin mendominasi. Menjadi superior dengan Lavina yang inferior.

“Aku sudah memelukmu, jadi bawa aku!” pinta Lavina. Senyum Raveen melembut kemudian mencangkup kedua pipi Lavina.

“Jika aku membawamu sekarang, jutsru kau akan dalam bahaya. Apakah kau mau jika kejadian di rumahmu terulang kembali padamu?”

Raveen tampaknya tahu bagaimana cara mengendalikan perempuan ini. Mengancam dengan sesuatu yang telah menjadi traumanya akan menjadi sangat efektif meskipun terlihat sangat kejam. Benar saja, Lavina langsung menggeleng, menolak pernyataan Raveen. Dirinya tidak mau mengalami hal mengerikan itu lagi. Tidak akan pernah mau.

“Jadi kau harus tetap di sini. Aku berjanji akan mengunjungimu setiap hari, hm?”

“Lalu bagaimana denganku? Aku akan sendirian.” Lavina masih tidak rela jika Raveen pergi walaupun hanya sebentar. Apa bedanya dengan hidupnya yang sebelumnya? Tanpa Raveen, Lavina tidak berarti.

Cup.

Raveen memberikan kecupan singkat di bibir ceri Lavina. Menahan diri untuk tidak melumatnya atau Raveen benar-benar akan kalah dan membuat kegilaan yang bisa mengancam keharmonisannya dengan orang tuanya.

“Aku sudah memikirkannya, kau tidak akan sendirian. Untuk itulah aku membawakan seseorang untukmu,” ucap Raveen.

Lantas Lavina mendengarkan langkah kaki yang masuk ke kamar itu. Lavina menciut dan kembali memeluk Raveen dengan erat. Ia begitu takut dengan orang asing.  Tidak ingin percaya.

“Lavina, kenalkan, dia Bibi Maria yang akan menjagamu di saat aku tidak ada,” tutur Raveen. Lavina hanya diam, menyembunyikan wajahnya di dada Raveen.

“Selamat malam, Nona Lavina. Perkenalkan saya Maria. Saya yang akan menjaga Nona.”

Begitulah orang itu memperkenalkan dirinya. Akan tetapi ada yang menarik di rungu Lavina hingga akhirnya dia menarik wajahnya dari dekapan Raveen. Perlahan dirinya menghadap ke sumber suara. Rasanya suara perempuan paruh baya itu mirip sekali dengan suara ibunya, meskipun suara ibunya tidak seserak suara barusan. Lavina bisa merasakan bagaimana kelembutan dari suara tadi.

“B-bibi Maria?” Lavina memastikan tidak salah menyebutkan namanya.

“Iya, Nona. Saya Maria,” sahut wanita paruh baya itu.

Raveen tersenyum. Sepertinya membawa Bibi Maria ke tempat ini adalah pilihan tepat. Melihat reaksi Lavina yang tampaknya telah menenggelamkan ketakutannya sendiri, membuktikan jika Lavina akan baik-baik saja bersama Bibi Maria.

“Kau akan di sini bersama Bibi Maria. Dia yang akan mengajarimu banyak hal di saat aku tidak ada. Ya?”

Lavina mengangguk pelan, membuat Raveen menghela napas lega.

“Kalau begitu berikan senyuman untukku. Jangan marah lagi denganku.” Raveen membelai pipi Lavina. Akan tetapi sang perempuan hanya diam. Banyak hal yang harus dia cerna sekarang. Semuanya terlalu mendadak. Terlalu banyak yang menyerobot ingin masuk ke kepala Lavina tapi tidak satu pun yang dimengerti.

Lagipula, dia masih marah dengan Raveen. Kenyataan tidak akan berubah. Raveen akan tetap meninggalkannya bukan? Sungguh dibandingkan dengan orang lain, Lavina lebih ingin bersama Raveen kapan pun dan di mana pun.

“Hei, ayolah tersenyum!” bujuk Raveen.

“Tidak mau!” Lavina masih merajuk. Bagaimana dia bisa dengan mudah tersenyum?

Raveen terkekeh. Entitas yang tengah direngkuhnya ini memang menggemaskan. Terlihat marah tapi tangannya masih begitu erat memeluk Raveen. Tidak ingin kehilangan.

“Kalau begitu, aku pergi.” Raveen mencoba menggoda Lavina. Ingin mengeksplorasi lebih jauh reaksi miliknya ini.

“Jangan!” Lavina merengek dan semakin mengeratkan pelukannya. Lihat! Berhasil kan? “Jangan pergi!” kini Lavina khawatir.

Lavina kembali meyembunyikan wajahnya di dada Raveen. Ia memejamkan matanya, menikmati degup jantung milik Raveen yang begitu jelas di rungunya. Menenangkan. Suara degup yang selalu Lavina rindukan. Detak yang selama ini membuat Lavina damai, yang selalu menemani Lavina saat terlelap. Dirinya tidak ingin kehilangan semua ini.

“Kau benar-benar di sini,” celutuk Lavina tiba-tiba yang membuat Raveen mengerutkan dahinya. Bingung maksudnya apa.

“Hm?”

“Detak jantungmu benar-benar membuatku tenang. Aku tidak perlu khawatir sendirian lagi. Kau hangat,” jawabnya.

Raveen bergeming. Bagaimana dia harus bereaksi sekarang? Rasanya menggelitik ingin semakin mendominasi Lavina. Rasanya perempuan ini benar-benar memasrahkan seluruh dunianya pada Raveen. Bergantung padanya seolah tak bisa hidup tanpa Raveen. Bisakah wanita ini tidak menggodanya? Raveen tahu apa yang terlontar dari bibir Lavina memang begitu adanya. Lavina hanya wanita lugu yang perlu belajar banyak hal. Tapi apa pun yang meluncur dari lisannya membuat Raveen terbuai lebih dalam.

Hingga akhirnya ...

“Lavina, kau ingin tahu afeksi apa yang lebih membuatmu tidak perlu khawatir akan sendiri dibandingkan dengan degup jantungku?” Raveen bertanya.

Lavina mengerjab, mencoba mendongak meskipun dirinya tidak mampu memandang wajah Raveen. Membuka matanya lebar meskipun tidak bisa menangkap bayangan wajah dari pemiliknya.

“Apa?” Lavina balik bertanya.

Raveen menggelap. Sudah tidak tahan untuk kembali melahap bibir perempuan di depannya ini. Bukan-bukan, dia ingin lebih dari ciuman. Ingin menyalurkan seluruh perasaannya pada Lavina sehingga dia tahu jika Raveen juga gila karenanya. Tidak ada yang lain selain Lavina di hatinya.

“Buka mulutmu dan julurkan lidahmu!”

Maka setelah Lavina melakukan apa yang diperintahkan, Raveen menyatukan bibir mereka, tanpa ragu, Raveen mengulum lidah Lavina. Menyesapnya dengan begitu liar. Sengatan luar biasa, bisa Lavina rasakan saat Raveen mencoba menginvasi rongga mulutnya. Ciuman yang Raveen ajarkan padanya kemarin, tidak semenggelitik ini. Rasanya begitu kasar namun penuh gairah. Ada sesak dan bahagia yang tersemat sekaligus.

Hingga akhirnya, Lavina bisa merasakan degup jantungnya yang semakin berdebar luar biasa kencang. Sama seperti saat dia merasa ketakutan. Namun ini lain. Rasanya benar-benar hangat. Sangat hangat. Kini Lavina tahu apa yang ingin Raveen ajarkan. Dia tak akan merasa dan takut kesepian saat kedua degup jantung mereka padu dalam satu irama. Mereka tidak akan sendiran saat mereka saling menyalurkan kehangatan dan perasaan yang membuncah untuk disampaikan. Hanya saja, ada perasaan yang sangat menyeruak. Perasaan yang membuatnya merasakan kebahagiaan dan juga pilu bersamaan. Lavina belum memahami itu.

Ketika penyatuan mereka menyisakan penghubung berupa saliva bening, mata Lavina masih terpejam menikmati sisa sensasi yang melekat di bibir dan lidahnya. Dia tak peduli dengan napas yang menderu karena nyaris kehabisan oksigen. Kemudan Raveen menutupnya dengan ciuman yang sangat lembut, tidak seliar tadi. Mencoba sedikit bermain lidah lagi meskipun tidak sebrutal tadi.

Lavina langsung memeluk Raveen kembali begitu ciuman mereka terlepas. Sekarang sangat jelas bahwa detak jantung mereka memang tengah berdentum satu frekuensi dan beresonansi hingga ke relung. Perasaan bahagia meyeruak pada Lavina maupun Raveen. Rasa ingin saling memiliki sudah sangat mendominasi. Akan tetapi, ada nyeri di ulu hati mereka. Sungguh ini lebih menyeramkan dibandingkan dengan ketakutan akan kesepian.

Netra Lavina memanas, hingga peluh bening menerobos dan membasahi pipi Lavina lagi. Jalur napasnya seperti dicekik. Hanya sebagian oksigen yang mampu diraih sehingga membuat ngilu di dadanya.

Raveen, aku takut kehilangan dirimu. Aku sangat takut jika harus kembali sendirian.

[]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status