Raveen masih menyandang sebagai mahasiswa. Dia harus kuliah. Masalahnya, dirinya tidak mungkin meninggalkan Lavina dalam waktu yang lama. Bagaimana perempuan itu akan mengurus dirinya sendiri?
Raveen menghela napas gusar. Pagi-pagi sekali dirinya sudah beranjak dari rumah kayu dan pulang menuju rumahnya. Sedari tadi kepalanya buntu karena tidak memiliki ide agar Lavina tetap terjaga meskipun dirinya tidak berada di sampingnya. Jika Raveen mengutus anak buahnya, tentu saja malah akan berbahaya bagi Lavina. Bisa saja ayahnya akan tahu bahwa ternyata dirinya menyembunyikan salah satu keturunan Dawson.
Sial! Umpatnya.
Tak lama, akhirnya Raveen sampai di rumahnya. Di sana, Emily ternyata sudah menunggunya—ibunya sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit kemarin.
“Raveen kau dari mana saja? Kenapa semalam tidak di rumah, hm?” Emily bertanya sembari menggandeng putranya masuk ke mansion megah mereka.
“Maafkan aku, sudah membuat Bunda khawatir,” sesal Raveen. Emily tersenyum dan menggeleng.
“Lain kali kau bisa berpamitan pada Bunda dulu,” sahut Emily. Raveen mengangguk patuh.
“Kau dari mana?” Suara tajam yang menginterupsi obrolan antara anak dan ibu, membuat Raveen menegang.
Dirinya mendongak melihat Rael, sang ayah yang tengah turun dari lantai dua. Netra sang ayah lurus menatapnya. Apa yang harus dia katakan? Alasan apa yang harus dia ucapkan?
“Aku hanya mencari angin, Ayah,” jawabnya. Mencoba terlihat setenang mungkin.
“Mencari angin? Tidak biasanya kau seperti itu. Bahkan semalam kau tidak tidur di rumah. Kau ke mana?” Rael tidak bodoh. Dia sangat hafal dengan kebiasaan anaknya yang telah ia tunjuk untuk menjadi penerusnya.
Raveen mencoba menetralkan dirinya yang merasa tersudut. Dirinya juga tahu bahwa ayahnya tidak akan pernah bisa dikelabuhi begitu saja. Raveen membuka mulutnya hendak bicara sembari memikirkan keputusan yang dibuatnya.
“Aku menemui seorang gadis, Ayah.” Jawaban yang terlontar dari mulut Raveen membuat Rael maupun Emily terkejut.
“Seorang gadis?” Rael memastikan rungunya. Maka keterkejutannya tidak salah ketika melihat putranya mengangguk. Rael bisa melihat bahwa mata Raveen tidak berbohong. Dirinya memang bersama seorang gadis semalaman.
“Jadi kau sudah memiliki orang yang kau suka?” Emily masih tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar. Pasalnya selama ini, Raveen tidak pernah membicarakan perempuan. Terakhir kali, Raveen pernah menceritakan teman perempuannya saat dia masih kecil. Setelah itu, putranya tak pernah mengungkit-ungkit lagi.
Jujur saja, tidak satu dua kali Emily menggoda Raveen soal perempuan. Apakah Raveen tertarik dengan seseorang? Apakah dia memiliki gadis pujaan? Dan pertanyaan seputar itu selalu Emily lontarkan pada putranya. Namun, Raveen tak pernah menunjukkan tanda-tanda jika dia sedang tertarik dengan lawan jenisnya dan kali ini, Raveen benar-benar mengejutkan Emily.
“Iya, Bunda.” Jawaban Raveen membuat Emily mengembangkan senyumnya.
“Bagus! Kenalkan pada kami, bawa dia ke mari!”
Deg.
Tentu saja tidak bisa. Raveen tidak mungkin membawa Lavinanya ke rumah. Selain karena kondisinya yang buta, Lavina adalah keturuan Dawson. Lavina akan berada dalam bahaya jika ayahnya sampai mengetahuinya. Ia harus mencari alasan yang masuk akal agar mereka, terutama Emily tidak menyudutkan Raveen untuk segera membawanya ke hadapan orang tuanya.
“Aku akan membawanya saat aku sudah mengenal dirinya dengan baik,” sahut Raveen.
“Ah ... jadi itu semacam cinta pada pandangan pertama?” Emily menebak jika Raveen belum mengenal gadis itu dengan baik.
Raveen mengangguk mengiyakan agar percakapan yang membuatnya sangat tidak nyaman ini segera selesai.
“Baiklah, Bunda tunggu sampai kau siap mengenalkannya pada kami.” Emily kemudian mengajak kedua laki-laki kesayangannya ke meja makan untuk sarapan. Saat Emily berjalan lebih dahulu dibandingkan mereka, Rael menahan Raveen.
“Temui ayah selesai kuliah, kita akan bicarakan soal gadismu itu nanti.”
Deg.
Fuck! Apa yang harus aku lakukan?!
Raveen benar-benar dalam kegundahan luar biasa.
***
Sepanjang kuliah, Raveen tidak bisa fokus mendengarkan. Kepalanya masih berkutat dengan permasalahan yang jalan keluarnya tak kunjung ditemukan. Ke mana otaknya yang terkenal dengan keencerannya? Hanya masalah begini dirinya tidak bisa menyelesaikannya. Menjengkelkan! Kenapa tidak semudah melenyapkan nyawa orang lain?
Kelas usai, Raveen segera meninggalkan kelas. Dirinya masih harus memutar otak untuk memperkirakan pertanyaan apa yang akan dilontarkan oleh ayahnya setelah ini. Dia juga harus menyusun jawaban atas kemungkinan pertanyaan dari Rael.
“Hei, Raveen!” Dante yang juga baru usai kelas, langsung menghampiri Raveen yang tampak terburu-buru. “Ada apa dengamu?” tanya Dante. Dante memang selalu tahu bagaimana kondisi partnernya itu. Peka. Melihat wajah Raveen yang dingin, Dante tahu jika partnernya ini tengah mengalami masalah serius.
“Ck! Aku dalam masalah,” jawab Raveen singkat.
“Biar aku tebak, ini soal keturunan Dawson yang kau sembunyikan bukan?”
Raveen tak memberikan jawabannya. Tidak perlu dijawab. Dante sudah tahu dengan sangat jelas. Dante terkekeh.
“Astaga! Ini tidak baik. Jadi bagaimana? Ayahmu sudah tahu jika kau menyembunyikan milikmu itu?” Dante menyeringai. “Jadi kau akan berperang dengan ayahmu sendiri?” Lanjut Dante yang membuat Raveen semakin kesal. Sangat provokatif sekali anak yang usianya lebih muda darinya ini.
“Urusi dirimu sendiri, Dante! Bukankah kau juga sedang berperang dengan ayahmu?” Raveen membalasnya dengan sinis, membuat Dante melunturkan seringainya. Mimiknya menjadi dingin dan serius. Apa yang dilontarkan Raveen sangat menusuk. Dante tersindir.
“Hei, aku hanya ingin menawarkan bantuan padamu, Bodoh!” Dante membalas dan kini atensi Raveen penuh padanya.
“Apa?” tanya Raveen tanpa basa-basi. “Kau bisa membantu apa?” Raveen memang tengah membutuhkan jalan keluar. Dari pertanyaannya jelas Raveen berharap Dante bisa membantunya.
“Aku punya pengasuh kepercayaan Mama. Kau bisa meminjamnya untuk mejaga perempuan itu saat kau tidak ada. Yah, setidaknya ini bisa mengurangi kecurigaan ayahmu karena kau terlalu sering meninggalkan rumah.”
Briliant!
Raveen menyunggingkan senyumnya. Beban di kepalanya seakan langsung terangkat. Ini yang Raveen butuhkan. Seseorang yang bisa menjaga Lavina tanpa risiko ketahuan oleh ayahnya. Hal ini sebenarnya sudah dia pikirkan. Dia membutuhkan orang lain untuk mengawasi Lavina. Akan tetapi, ia tak mungkin mencari ‘orang’ untuk menjaga Lavina tanpa diketahui oleh ayahnya. Pergerakannya terbatas dan sekarang Dante benar-benar membantunya.
“Thanks ... aku akan membayarnya nanti.” Raveen tidak mungkin menolaknya. Dante terkekeh kemudian merangkul partner-nya itu.
“Tak perlu kau pikirkan. Setidaknya kau beruntung karena bebas mengekspresikan perasaanmu pada perempuanmu itu,” ucap Dante. Raveen mengerjab dan menoleh ke arah Dante.
Yah, bisa dibilang Raveen berada di posisi yang lebih aman dibandingkan Dante. Bukan hanya karena dirinya tidak seperti Dante—belum—yang harus berperang dengan ayahnya. Akan tetapi, tetap saja Raveen harus mempersiapkan kemungkinan terburuk jika harus bersitegang dengan pemimpin Landergee itu.
“Jangan sungkan meminta bantuanku, Bung.” Raveen menepuk punggung Dante. Dia tahu bahwa mereka saling membutuhkan satu sama lain. Dante mengangguk.
Maka setelah percakapan singkat dengan rekannya, Raveen melajukan mobilnya menuju kantor ayahnya. Dirinya sudah lebih tenang dibandingkan tadi pagi. Kepercayaan dirinya mulai terbangun. Hal ini cukup sebagai amunisi untuk menghadapi ayahnya setelah ini.
Benar saja, setelah bertemu dengan sang ayah, Raveen dihujani berbagai macam pertanyaan seputar perempuan yang bersemayam di hatinya itu. Raveen bisa menjawab dengan baik. Setidaknya untuk kali ini dia bisa mengelabuhi ayahnya. Raveen tidak sepenuhnya berbohong. Beberapa potongan kejadian yang dia alami dengan Lavina, secara gamblang Raveen ceritakan pada Rael. Hanya saja beberapa part termasuk nama Lavina, tidak dia diutarakan pada sang ayah.
Usai dipersilakan pergi oleh Rael, Raveen langsung bertolak untuk menemui Dante. Mereka sudah sepakat untuk bertemu di suatu tempat untuk membawa pengasuh yang Dante janjikan pada Raveen. Benar saja, selanjutnya Raveen membawa seorang wanita paruh baya menuju tempat di mana dia menyembunyikan Lavina. Dia menerangkan semua macam tugas, perjanjian dan ancaman pada pengasuh yang bernama Maria itu.
Sampai di tempat persembunyiannya, Raveen segera berlari ke dalam rumah. Tak lupa ia menghidupkan lampu karena hari sudah mulai gelap. Sungguh Raveen terlalu lama meninggalkan Lavina. Mungkin terdengar aneh bagi psikopat seperti dirinya, namun rasa bersalah benar adanya telah bersarang di benaknya.
Laki-laki itu masuk ke dalam kamar dan menjumpai Lavina tengah meringkuk di balik selimut. Mengatur napas yang memburu sebelum berjalan perlahan mendekati Lavina. Beberapa saat lalu perempuan itu bergerak gusar. Meskipun memunggungi arah Raveen datang, Raveen tahu jika Lavina tidak sedang tidur.
“Lavina ... kau sudah tidur?” Raveen memanggilnya dengan Lembut. Hening tidak ada jawaban. Melihat Lavina seperti ini, Raveen tahu bahwa Lavina kesal padanya namun, dia tidak bisa melakukan apa-apa. Hanya saja, semua yang Raveen lakukan adalah untuk kebaikan gadis miliknya ini.
[]
Raveen menatap Lavina yang masih bergeming di atas tempat tidur. Dia benar-benar marah rupanya karena Raveen meninggalkannya terlalu lama. Raveen mendekat.“Lavina,” panggil Raveen lagi. Kali ini Raveen duduk di atas ranjang. Ia hendak menyentuh punggung Lavina sebelum ia mendengar isakan kecil. Raveen bergerak semakin mendekat pada Lavina lalu membuka selimut yang menutupi tubuhnya.Lavina buru-buru menutupi wajahnya. Raveen menghela napas berat ketika Lavina seperti itu. Sangat jelas jika perempuan ini tidak ingin menunjukkan wajahnya pada Raveen. Sepertinya dirinya sedang ketakutan atau sedih dan mungkin—oh sudah pasti—juga marah. Marah dan kesal menjadi kondisi perasaan Lavina paling memungkinkan karena ia kembali mengingkari janjinya padanya.Dirinya memang tidak berpengalaman tentang bagaimana cara menghadapi wanita. Namun, bukan berarti dia sama sekali buta untuk memperlakukan wanita. Ayahnya adalah contoh terbaik yang bisa Raveen
Raveen menatap langit yang gelap di pagi hari. Medung. Tampaknya akan turun hujan. Cuacanya sangat tidak menyenangkan. Melihat pagi yang suram seperti ini, siapa yang bisa bersemangat? Sama seperti Raveen yang hatinya begitu kelabu.Bukan tanpa sebab dirinya murung. Lima menit yang lalu, ayahnya memintanya pergi ke Jerman segera untuk menyelesaikan sesuatu yang berkaitan dengan perusahaan yang Rael kelola. Bukannya dia tidak ingin pergi. Tapi bagaimana dengan Lavina? Setengah hari saja Raveen tak bertemu dengannya, bisa membuatnya gila, apa lagi jika harus pergi jauh dari sisinya?Kepalanya terasa berat. Pikirannya begitu terhimpit sehingga rasanya gelarnya sebagai seorang jenius hilang dihisap situasi yang menyebalkan. Dia tidak bisa melakukan apa pun. Tidak ada ide brilian yang muncul di kepalanya. Bagaimana dia bisa pergi tanpa mengkhawatirkan Lavina? Lagi pula ini bukan hanya soal hati tapi juga keselamatan perempuan itu.“Apa yang kau pikirkan Raveen?
Hamburg memanglah indah. Meskipun begitu, selama dua bulan ini, tidak ada pemandangan yang bisa menggoda Raveen untuk melengkungkan bibirnya. Menyadari bahwa dirinya telah bermil-mil jauh dari Lavina, Raveen semakin biru lalu berubah menjadi abu-abu. Hatinya kelabu. Hitam malah. Awan kumulunimbus kalah telak dengan suramnya Raveen saat ini.Apalagi pekerjaan yang harus dia handle adalah sesuatu yang sangat berkaitan erat dengan Lavina. Membahas kehancuran keluarga Dawson dan mendiskusikan kekayaan yang ditinggalkan. Mungkin diskusi merupakan istilah yang terlalu halus. Tidak-tidak! Mereka tidak sedang berdiskusi. Mereka tengah berebut untuk mendapatkan harta kekayaan keluarga itu. Seperti anjing yang berebut tulang.“Karena semua keluarga Dawson sudah tewas, maka yang menjadi masalah sekarang adalah harta warisan yang ditinggalkan tidak ada satu pun yang berhak mendapatkannya. Tapi, kabar baiknya hakim memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada rekan bisnis kelua
Dunia runtuh, dua kata itu yang kini menghantam Raveen. Sama seperti badai yang tiba-tiba datang menerjang lembah bunga yang begitu indah. Luluh lantah. Tidak berbekas. Menerbangkan semua kelopak. Tidak indah lagi. Begitulah gambaran Raveen sekarang. Dirinya diam seribu bahasa. Ia tak menyangka pertanyaan itu lebih cepat dilayangkan oleh sang ayah. Sekarang ayahnya tahu jika dialah yang telah menyembunyikan Lavina. Dia tidak menuntaskan misi dari ayahnya. Dia mengkhianati Rael. Dia tidak membunuh Lavina dan memilih untuk menyelamatkannya. Sekarang dia harus apa?“Apa maksud Ayah?” Raveen mencoba berkilah namun malah satu tamparan keras yang ia dapat.PLAK.Perih dan panas yang terasa di pipinya bisa menggambarkan bagaimana murkanya Rael padanya.“APAKAH KAU SEDANG BERUSAHA MENGKHIANATIKU?!” bentak sang ayah. Amarahnya pecah. Wajahnya sudah merah padam. Meledak. Ingin menghancurkan pemuda di depannya ini jika tidak mengingat bahwa R
Dua pria tampan Landergee telah pulang. Urusannya di Jerman dihentikan sementara untuk mencari keberadaan Lavina. Sebagai seorang ayah, Rael tidak mungkin mengungkapkan pada koleganya bahwa putranyalah yang telah menyembunyikan perempuan itu. Jika ingin menghukum Raveen, Rael akan melakukannya sendiri.Tidak langsung menuju rumah, dari bandara mereka pergi ke sebuah tempat di tengah hutan. Keberadaan Lavina sudah diketahui. Selama perjalanan, kedua laki-laki itu saling diam. Raveen tidak bisa melakukan apa pun. Dalam diam, dia berharap Emily sudah melakukan apa yang telah dia janjikan. Raveen juga Menyusun rencana di kelapanya sebagai antisipasi jika sesuatu yang buruk terjadi setelah ini.Tak lama, mobil berhenti di sebuah halaman rumah kayu di tengah hutan. Rael dan anak buahnya masuk ke rumah itu untuk membawa Lavina. Akan tetapi, mereka tidak menemukan keberadaan siapa pun di rumah itu. Lagi-lagi Rael menahan amarahnya. Merasa dibodohi. Dia tengah ditipu dengan per
Lavina bergeming. Duduk diam di ranjang sembari menerawang entah ke mana. Meskipun tampak membisu, di kepalanya begitu ribut karena memikirkan Raveen. Hatinya bergemuruh, meraung-raung sebat dirinya terlampau merindukan Raveen. Ingin berjumpa, memeluk dan menghirup aroma khas yang berhasil membuatnya tenang dari laki-laki itu.Sayang sekali perkataan Emily membuatnya semakin dirundung pilu. Rindu hanya akan menjadi rindu. Sudah merenung dan paham apa yang wanita itu maksud. Sudah jelas jika dirinya tidak diizinkan untuk menemui Raveen. Dia ternyata yang menjadi sumber kekacauan. Baru tahu setelah Emily mengatakannya. Apakah Lavina telah membuat masalah yang begitu besar pada Raveen? Sebesar itukah kesalahan Lavina sehingga ia harus dipaksa hidup tanpa laki-laki itu?Akan tetapi, bukankah Lavina adalah milik Raveen dan Raveen adalah pemiliknya? Lalu bagaimana Lavina hidup tanpa dimiliki oleh pemiliknya? Bagaimana Raveen hidup tanpa memiliki miliknya?Hati gadis i
Emily menahan amarah. Sampai sekarang dia masih belum bisa menghubungi Raveen. Putranya itu juga tidak beriktikad untuk menemuinya. Putranya benar-benar sudah berubah. Sejak kapan Raveen menjadi pembangkang seperti ini?Mengapa Raveen tak mengerti bagaimana cemasnya Emily padanya? Emily menyembunyikan Lavina dan memisahkan mereka, benar-benar untuk kebaikan mereka berdua. Wanita itu tahu, baik Rael ataupun Raveen sama-sama keras kepala. Apakah Raveen tak tahu jika Rael akan tetap membunuh Lavina sedalam apa pun cinta Raveen padanya? Dan itu yang Emily hindari. Raveen tentu tidak akan membiarkannya ayahnya melakukan itu bukan? Yang ada akhirnya kedua laki-laki yang dicintainya akan saling menghunuskan pedang. Sungguh Emily tak akan memihak siapa pun. Kedua laki-laki itu adalah orang yang paling Emily cintai. Dia tak ingin kehilangan keduanya.Sayangnya Emily tidak bisa berbuat apa-apa ketika Raveen merajuk. Dia tidak akan mau pulang jika Emily tidak memberi tahu di mana
BRAKSuara keras khas barang yang dipukul memekakkan seluruh dinding rumah itu. Tidak ada yang bisa menghentikannya dari merusak barang yang ada di dalamnya untuk menyalurkan kemarahan. Tidak bisa dibendung. Tidak bisa dihadang. Dia teramat marah karena tidak berhasil menemukan Lavinanya.Matanya menatap nyalang pada dua orang yang sedari tadi berdiri sembari menatap miris pada tuan mereka. Terutama pada wanita yang sudah terlampau jauh usianya dengan Raveen. Padahal ia telah mempercayakan Lavina padanya. Tapi dia gagal menjaga nonanya.“DI MANA LAVINA!?”Dibandingkan bertanya, Raveen lebih terlihat sedang menggertak kedua orang tua itu. Membentak sesukanya. Memaksa mereka untuk mengatakan di mana Lavina atau mereka akan mendapatkan hal yang begitu buruk, hal yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.Keduanya tertunduk dalam. Tidak berani bahkan hanya untuk sekedar menatap Raveen, apalagi mengeluarkan suara, mereka tak mampu. Takut