Semoga Samawa dan selalu bahagia’
Sebuah story dari status w******p adik iparku. Menampilkan sebuah video wajahnya dan ibu mertuaku dari belakang kedua mempelai yang sepertinya baru selesai melangsungkan akad. Kedua pasangan pengantin baru itu tampak sedang mengambil foto bersama beberapa orang yang mungkin rekan dan kerabat kedua mempelai.
Akan tetapi, aku mengecek ulang story tersebut saat mengenali sebuah jam tangan mewah yang melingkar di tangan kiri sang mempelai pria. Sangat jelas terlihat karna tangan itu sedang merangkul bahu wanita di sampingnya. Arloji itu persis milik suamiku yang kuberikan sebagai hadiah di anniversary kami yang ke lima, seminggu lalu.
Aku sangat yakin karna jam itu limited edition. Selain itu, jika kuamati lagi postur tubuh lelaki itu sangat mirip dengan Mas Adnan, suamiku.
Dengan jantung yang berdebar kencang, aku melakukan panggilan video ke nomor Lula, tapi tak kunjung dijawab meski tertulis berdering.
Aku semakin curiga, lalu mengalihkannya menjadi panggilan suara saja. Sekali, dua kali, hingga panggilan ketiga barulah terdengar sahutan dari Lula, adik sulung Mas Adnan.
“Ha-halo, Mbak? A-ada apa?” tanyanya terbata- bata. Sementara terdengar riuh suara keramaian di sana. Seperti berada di keramaian atau pun pesta.
“Kamu sama ibu di mana, Lul? Mbak tadi lihat story kamu, sepertinya kalian sedang menghadiri pesta, ya? Kok, Mbak gak diajak?” ucapku setenang mungkin, seolah kecewa karena mendapati mereka sedang berpesta tanpa mengajakku seperti biasanya. Ku akhiri kalimatku dengan sedikit tertawa agar percakapan antara kami tidak begitu tegang.
“Emm, ini, Mbak, kami lagi di Padang menghadiri acara pernikahan ... anaknya teman mama. Iya, teman mama,” ucapnya mengulang kembali perkataannya. Sedang dari nada bicaranya, sepertinya ia sempat berpikir dahulu sebelum kembali meneruskan ucapannya. Kali ini, aku yakin pasti ia sedang menyembunyikan sesuatu.
“Di Padang?” lirihku terkejut. Mas Adnan memang sedang tidak ada di rumah, setahuku ia juga di Padang sejak tiga hari yang lalu untuk mengecek proyek pembangunan jalan tol di sana selama seminggu.
“Sejak kapan kalian di sana? Mas Adnan juga di Padang. Apakah kalian bertemu di sana?” ucapku penasaran. Rasanya semua ini bukanlah kebetulan, tapi sebuah perencanaan.
“Semalam, Mbak. Setelah resepsi kami udah balik, kok. Besok juga udah sampai Medan. Udah ya, Mbak.” Panggilan diputus Lula, menyisakan tanda tanya besar di kepalaku.
Aku mencoba menghubungi mas Adnan, sayangnya nomornya tidak aktif. Kemudian mengecek akun W******p miliknya, aktif dua jam yang lalu.
Muncul lah inisiatif untuk membuka kembali story Lula lalu menyimpannya sebagai bukti yang akan kutanyakan pada lelaki yang bergelar suamiku nanti. Nihil, aku tak menemukannya lagi. Sepertinya Lula sudah menghapusnya sesaat setelah mengakhiri panggilan tadi untuk menampik kecurigaanku.
Sayangnya, justru perbuatannya malah membuatku semakin curiga dan bertekad untuk mencari tahu lebih jauh.
Gegas aku membuka aplikasi pelacak keberadaan melalui nomor HP Mas Adnan dan Lula. Mataku terbelalak, mendapati posisi keduanya berada di tempat yang sama. Yaitu sebuah hotel bintang empat di pusat kota tersebut. Aku membuka g****e, lalu memasukkan nama hotel yang tertera di layar tadi, menghubungi sebuah nomor
Yang tertulis sebagai customer service hotel bagi kalangan elit tersebut.
“Halo, selamat pagi. Kami dari hotel Grand Santika, Padang. Ada yang bisa dibantu?” Terdengar suara wanita dari seberang sana. Nada bicaranya sangat lembut dan sopan.
“Maaf, saya ingin memastikan, apakah hari ini ada resepsi pernikahan yang akan di selenggarakan di sana?” Aku bertanya ingin memastikan kecurigaan yang bersarang di hatiku. Walaupun sesungguhnya besar harapanku semoga dugaanku ini salah.
“Sebentar, ya, Bu. Saya cek dulu,” ucap wanita itu. Sementara perasaanku tak karuan menanti jawaban dari costumer hotel berbintang itu.
“Ada, Bu. Siang ini akan dilangsungkan dua resepsi pernikahan atas nama nyonya Sherly Gempita dan tuan Wijaya Hadi, serta nyonya Renita Clara dan tuan Adnan Fahreza.”
Deg ... Jantungku rasanya berhenti berdetak. Air mataku luruh dari benteng pertahanannya. Tulangku seakan lepas dari persendiannya.
Mas Adnan, lelaki yang kuanggap tanpa cela tega mengkhianati pernikahan yang telah berusia lima tahun. Bahkan, setelah kehadiran Tabitha, bayi mungil berpipi gembul yang terlelap di ayunan.
“Halo ... Halo ..., Bu. Ada lagi yang bisa saya bantu?”
Tak aku hiraukan lagi suara wanita dari seberang sana. Hingga panggilan itu terputus, aku masih menangis di sisi ranjang ukuran king size yang menjadi saksi betapa maha dahsyat cinta kami.
Sebenarnya bisa saja aku datang ke sana dan mengacaukan acara resepsi pernikahan diam – diam suamiku. Mengingat aku telah mengetahui letak gedung acara itu berlangsung, apalagi ini masih jam 9 pagi. Tak sulit jika aku segera memesan tiket pesawat dan bergegas menuju Bandara Kuala Namu yang hanya berjarak lima belas menit dari rumahku. Setidaknya, aku sudah tiba di sana saat acara itu berlangsung, sebab hanya memakan waktu sekitar 20 menit dari Bandara Minangkabau menuju Hotel Grand Santika, Padang. Selain itu, hanya butuh waktu sekitar satu jam lebih lima menit di pesawat.
Tetapi, aku tak mungkin turut membawa bayiku yang masih berumur dua bulan ke sana. Selain tak tega, aku juga pasti akan sangat kerepotan membawanya sendirian.
Air mataku terus berlinangan memikirkan apa penyebab Mas Adnan tega menduakan aku. Padahal, selama ini hubungan kami baik-baik saja dan tidak pernah kutemukan sesuatu yang mencurigakan darinya. Lalu, mengapa ia begitu tega menghujam belati ke jantung ini?
Aku, Zahira Putri Saragih, tak boleh lemah dan hancur hanya karena sebuah pengkhianatan dari lelaki ‘murahan’ seperti mas Adnan. Ya, mulai detik ini aku tak lagi menyebutnya sebagai lelaki tanpa cela.
Baiknya aku sedikit bersabar, menunggu kepulangan mas Adnan tiga hari lagi. Sambil menyusun rencana yang akan kulakukan selanjutnya.
"Cih ... tidak ada hakmu satu rupiah pun. Dan ingat, aku bukan lagi ibumu!" Nyonya Friska berjengit, ia jijik kembali berhadapan dengan anak sambung yang tak tahu diri itu.Renita berdecak, di pandangnya sekilas foto-foto yang terpampang di dinding rumah itu. Terdapat potret baru pernikahan Marwah dan Dipo, juga Friska bersama almarhum ayahnya dulu.Senyum ayahnya tampak nyata dari sana, namun mewariskan belati tajam di sanubarinya. Bagaimana bisa Friska tidak lagi mengakui tentang dirinya, namun masih setia memasang potret ayahnya."Wanita tua brengsek! Dulu, kau sendiri yang memintaku agar memanggilmu ibu. Sekarang kau membuang ku karena ayahku telah tiada. Wanita macam apa kau itu? Status sosialmu tinggi namun sebenarnya kau rendahan!"Renita mengumpat bekas ibu sambungnya dengan kata-kata kejam. Nyonya Friska terhenyak dengan bola mata yang hampir keluar."Kau ... keterlaluan. Aku tidak punya tanggung jawab apapun lagi padamu! Aku telah menawarimu rumah dan uang tapi kau malah men
Sepasang mata tajam itu kemudian menatap wajah Renita dari gambar yang ia ambil secara diam-diam dari ponsel canggihnya. Jemari tangannya bergerak untuk memperbesar tampilan layarnya."Kena kau, Renita. Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" Pria itu berucap dengan geram, bibirnya menampilkan seringai penuh dendam."Tinggal satu langkah lagi, kau akan mendekam di penjara!" lanjutnya, gemeretak giginya mengisyaratkan panasnya bongkahan bara yang menghuni di dada.Pria berjambang yang sejak tadi mengintai dari dalam mobil itu tak akan lagi kehilangan jejak Renita. Ia akan segera menuntaskan dendamnya. Renita harus membayar semua rasa sakit atas kehilangan aset dan nyawa ibunya. Juga wanita pujaannya. ***Pagi itu, Renita merasakan dirinya yang baru. Perlahan, ia membuka mata setelah semalaman begadang bak seorang lajang. Ia habiskan malam panjangnya dengan dentuman keras dari irama diskotik langganan.Sejak melahirkan, ia tak pernah lagi hadir ke
"Gak, Mas. Silahkan kau pulang bersama ibumu tapi aku tidak akan ikut!" ucap Renita menyanggah ucapan sang suami. Sudah setengah jam mereka berdiskusi dan Renita masih terus kekeh dengan jawaban yang sama.Saat keduanya terbangun tadi pagi, Riswan telah mendapat maaf dari Masli atas kelakuan kasarnya semalam. Mereka berdua kembali berbaikan dan sempat menghabiskan sarapan bersama di meja makan. Walaupun suasananya agak berbeda, karena ada Tata dan suaminya.Renita tidak tahu jika kakak iparnya sudah tiba sejak semalam. Ia tidur semalaman sambil melewati hukuman yang diberikan Riswan."Ini demi masa depan kita juga, aku berjanji ini tidak akan lama. Jika sudah sukses nanti, aku akan membeli rumah di kota lagi," bujuk Riswan lagi. Ia masih berusaha merayu Renita dengan memberikan iming-iming berbagai hal. "Gak, Mas. Tidak ada yang namanya masa depan kalau di kampung!""Ck, sadar, Renita. Kita tidak boleh memaksakan diri seperti ini. Roda kehidupan itu berputar, mana tau rezeki kita ada
"Masih belum diam juga?" ucap Riswan keheranan. Sudah cukup lama ia berada di luar, namun Renita masih belum bisa menenangkan putranya. Reisan masih terus menangis dalam dekapan sang ibu."Hhmmm, balik lagi, toh!" Bukannya merespon ucapan Riswan. Ia malah melirik tajam pada Bu Hayati dan menyindir kehadiran sang mertua.Ia bersyukur di dalam hati, sebab mertuanya masih ingin kembali. Ia jadi tak perlu repot, mengurus Reisan sendiri. Tanpa sungkan, ia berikan kembali Reisan pada neneknya. Lalu, memijit pelan bahunya bergantian akibat lelah menahan bayi dengan bobot enam kilogram tersebut."Gak konsisten, balik lagi, toh. Kenapa? Gak punya ongkos, atau takut tidur di pinggir jalan? Makanya kalau hidup masih numpang itu jangan sok-sokan!" gerutu Renita lagi. Wanita itu sudah melihat keduanya kembali melalui jendela kamarnya tadi. Lalu, bergegas turun untuk melontarkan kata-kata pedasnya pada sang mertua.Bu Hayati tak ingin menjawab, perasaannya masih kalut akibat pertemuan tidak sengaj
"Mau ke mana kamu, Mas? Jangan kamu kejar ibumu itu, biarkan saja!" sergah Renita sambil berusaha menghalangi kepergian Riswan. Sementara Reisan, ia biarkan di kamar sendirian."Kamu jangan halangi aku, aku akan mengantar ibu pulang. Urus saja Reisan, dia menangis sendirian," ucap Riswan sambil berlari menuju keluar rumah. Sayangnya, ia lupa jika kunci mobil masih dipegang Renita.Dengan terburu-buru, ia kembali ke kamar, menyusul Renita yang gusar karena mencoba menenangkan Reisan. Renita tak paham dengan keinginan bayi mungil di dekapannya, sebotol susu sudah ia sodorkan namun putranya masih tak ingin diam. Keadaan rumah yang kacau dan suara tangisan kencang memenuhi isi ruangan, membuatnya seketika merasa geram."Mana kunci mobilnya?" Riswan mengadahkan tangan, menunggu dengan perasaan risau."Gak ada!" Renita membuang pandang. Matanya memindai keluar jendela kamar, menyaksikan Bu Hayati berjalan sambil menyeret koper."Kok, gak ada? 'Kan kamu yang terakhir pakai mobilnya. Cepat b
"Aaaarggghh ... apa kamu gak punya cara lain lagi, sih, Mas? Masa' kita harus keluar juga dari rumah ini? Mau tinggal di mana lagi kita?" sergah Renita begitu marah. Baru tiga bulan ia menempati rumah mewah bertingkat dua ini, ia beserta keluarganya harus merelakan rumah itu disita pihak Bank."Mau gimana lagi, Ren? Uangku gak cukup untuk bayar tunggakan bank. Kamu 'kan tahu, gajiku yang sekarang cuma cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari aja. Sementara, tabungan sudah semakin menipis!" Riswan tertunduk lesu. Baru saja ia pulang bekerja, tapi malah disambut amukan oleh Renita. Mereka baru saja menerima surat peringatan untuk yang ketiga kalinya dari pihak bank. Mau tak mau, keluarga itu harus segera mengambil keputusan. Pergi mengosongkan rumah yang telah dianggunkan itu atau membayar semua tunggakan.Riswan sudah lama memikirkan hal ini. Keputusannya bulat untuk mengosongkan rumah ini saja dan membeli rumah sederhana di kampung halaman dengan uang yang masih ia punya. Akan tet
Entah kenapa, hati kecil kedua sahabat itu seperti bersorai gembira setiap kali melihat Renita tersakiti. Seakan ada kepuasan tersendiri dan juga rasa sakit yang terbalaskan. Sebagai manusia biasa, keduanya masih menyimpan dendam dan ingin terus membalasnya.Bu Hayati tampak begitu acuh. Ia sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk membela wanita yang telah memberinya seorang cucu laki-laki itu. Wanita yang ia bela mati-matian kemarin, saat kesuksesan masih dalam genggaman putra semata wayangnya.Begitu pun Riswan. Ia lebih tertarik untuk mengamati barang bawaannya ketimbang melerai pertengkaran dua wanita yang pernah mengisi hari-harinya. "Itu becaknya, Wan?" tanya Bu Halimah ketika di saat bersamaan mendengar deru mesin dari dua buah becak motor yang datang. Ia benar-benar tidak ingin ikut campur pada urusan kedua wanita itu. Lalu, mengambil Reisan dari gendongan Renita.Bayi laki-laki yang wajahnya sangat mirip dengan Riswan itu menggeliat lucu, kelopak matanya yang tertutup be
Karena terus didesak, akhirnya Masli menuruti saran Zahira. Apalagi ini hari terakhir sahabat karibnya bisa pergi dengannya, setelah berjanji dengan sang mertua untuk tak lagi pergi keluar rumah. Selain itu, Zahira akan pulang kampung lusa, mereka akan berpisah lama sekitar sepekan lamanya."Iya, iya. Kita ke sana sekarang," ujar Masli meskipun sebenarnya ia tak lagi ingin melihat wajah Riswan. Cukuplah semalam itu yang terakhir baginya. Karena setiap kali menatap manik pria itu, kenangan manis mereka kembali muncul.Mereka berempat menuju mobil yang terparkir di halaman kantor Koh Yusuf, lalu melajukan kendaraan itu menuju perumahan Evergreen.Berbagai prasangka berputar seperti roda di dalam kepala Masli. Begitu pun tentang bayangan wajah Koh Yusuf, meskipun keberadaan mereka telah dikikis oleh jarak, namun raut rupawan itu seolah masih ada di hadapannya.Apakah ia salah jika memiliki setitik perasaan pada pria Tiong Hoa itu?Ataukah ia layak menaruh sedikit harapan pada pria mapan
Bukannya sombong atau pun memandang dengan sebelah mata, keduanya hanya tidak mengira jika orang yang dimaksud akan berpenampilan sesederhana ini. Apalagi bayangan yang sejak tadi menghantui pikiran Zahira selama diperjalanan. Mereke berdua menganggap jika Koh Aceng adalah sosok pria tua yang berpenampilan necis dan berkelas. Khas para pengusaha kakap di kota ini."Oh ... jadi Anda, Koh Aceng? Maafkan saya Koh, saya tidak menyangka jika Koh Aceng masih muda dan segagah ini," celetuk Masli. Meskipun ia dilanda rasa gugup dan bingung, namun wanita itu mencoba tetap tenang dan menetralisir degupan jantungnya yang seketika hendak melompat, ketika pria bersahaja yang ia abaikan kehadirannya adalah pria pemilik perusahaan ini.Apalagi, pria itu sempat mengatakan tentang kekacauan di perumahan Evergreen. Sontak membuat nyali kedua sahabat itu menciut sekaligus malu."Maaf, Koh! Saya juga tidak tahu kalau Anda adalah Koh Aceng. Mas Adnan banyak bercerita tentang Anda kepada saya, tapi dia tid