Belum genap sebulan ia menikahi Renita, kini ia sudah bersama wanita lain. Untuk yang kedua kalinya ia telah menipuku keluar kota dengan dalih berkerja. Nyatanya, kini ia di tempat ini bersama keluarga barunya.Wanita itu terlihat masih muda, rambutnya tergerai indah sampai ke pinggang. Tubuhnya tinggi hampir mengimbangi mas Adnan. Wajahnya, aku tak tahu persisnya seperti apa, mungkin lebih cantik dariku. Sementara wanita berambut putih yang tadi bersandar di kursi roda, barangkali ibu dari wanita itu, artinya mertua dari istri ketiga Mas Adnan.Ada nyeri yang tiba-tiba menusuk tepat ke jantung ini. Sebuah perasaan perih yang kembali menghunjam ke ulu hati.Bahteraku yang tenggelam kini semakin karam ke dasar lautan. Duniaku yang runtuh kini semakin hancur tak bersisa. Hatiku yang luka kini semakin berdarah-darah. Aku tak menyangka, pernikahanku akan berakhir bukan hanya karena kehadiran orang ketiga, namun ada yang keempat, bahkan mungkin yang kelima dan seterusnya.Adnan Fahreza, pr
POV ADNANAku yang waktu itu duduk di kelas lima Sekolah Dasar baru saja pulang sambil berlari tergesa- gesa. Setelah seorang teman mengatakan bahwa ibuku dibawa oleh seorang laki-laki bermata sipit yang mengendarai sedan berwarna putih.“Ibu, Ibu, mana Ibuku?” teriakku saat membuka pagar besi rumahku yang setinggi dada.“Sudahlah, Nak. Tak perlu menangis lagi. Ibumu lebih memilih pria itu daripada ayah kalian. Tak perlu menangis, ada Bibi bersama kalian,” ucap wanita yang sedang mengelus lembut pucuk kepalaku yang berkeringat. Ia mengusap air yang keluar dari kedua mataku dengan sapu tangannya. Lalu memelukku, memberikan kehangatan persis seperti Ibu.Sementara, Dipo sedang meringkuk di ujung ranjang, memeluk kedua lututnya sembari menangis sesenggukan.“Ibu ... ibu, aku mau ikut,” rengeknya dalam tangisnya. Matanya merah hampir bengkak, sedang seragam TK-nya kotor dan ada noda darah di tubuhnya.“Darah ibu,” ucapnya ketika sadar aku sedang mengamatinya. Wajah imutnya berubah dekil,
“Ayolah Adnan, turuti permintaan Mama sekali saja. Kasihan wanita itu sebatang kara,” ucap mama memelas.Ini bukan kali pertama mama mengucapkan kalimat itu, memintaku kembali menikah dengan wanita yang sama sekali tak kukenal.“Kalau kasihan apa harus dinikahi, Ma?” Aku menatap mata mama yang hampir menangis, kemudian meneguk segelas air putih.“Iya harus, dia sangat cocok sama kamu. Wanita itu baik sekali, mama yakin dia bisa memberimu seorang anak laki-laki. Kamu mau anak laki-laki ‘kan?”Ia terus mencari alasan agar aku menuruti permintaan tak masuk akalnya.Mama merayuku dengan dalih anak. Padahal saat itu, Zahira istriku sedang mengandung anakku. Kehamilannya sudah menginjak usia delapan bulan, hanya menunggu sebulan lagi aku akan menimang bayi kecil yang kunantikan selama lima tahun lamanya.Hasil USG menyatakan bahwa Zahira mengandung bayi perempuan, bagiku sebenarnya tak masalah. Asal bayi itu terlahir sehat dan sempurna. Tapi mama sangat kekeh ingin punya cucu laki-laki.“Ka
“Wah bagus sekali jam tanganmu, Nak!” ucap mama sesaat ketika aku baru saja tiba di rumah penuh kenangan masa kecilku ini. Aku menyandarkan tubuh di sebuah sofa berwarna maroon yang baru dibeli mama seminggu lalu, dengan uangku.“Iya, Ma. Hadiah anniversary dari istriku,” ucapku bangga. Menatap kembali jam tangan mewah berwarna silver yang diberikan Zahira sebagai hadiah anniversary pernikahan kami yang kelima.“Oh, dari Zahira. Banyak uangnya ya!” Mama mendelik begitu menyebut nama Zahira.“Butiknya berkembang pesat, Ma. Mungkin memang rezeki Tabitha juga, hidup kami semakin bahagia sejak kehadiran bayi berlesung pipi itu.”Seulas senyum terukir indah di bibirku.Aku merasa telah menjadi lelaki yang paling bahagia.Bagaimana tidak, karirku di kantor sedang naik, aku sudah berhasil membangun rumah mewah untuk keluarga kecilku, aku pun menjadi suami dari seorang istri yang sukses mengembangkan butiknya, dan kini aku telah menjadi ayah dari seorang bayi mungil bernama Tabitha Elrumi. Le
“Kenapa, Mas? Kita baru saja melewati malam pertama kita,” ucapnya kembali hendak mendekat padaku.“Apa?”Aku merasa tidak ada melakukan apapun dengan wanita ini, dan aku hanya tidur sendirian. Lalu, bagaimana bisa ia berkata seperti itu?Aku menarik tangannya paksa, menyuruhnya keluar dari kamar ini untuk kembali ke kamarnya. Lalu memberikan selimut untuk menutupi tubuhnya yang setengah telanjang.Hari ini jadwal kepulanganku kembali ke Medan, meskipun aku mendapat perpanjangan tugas tiga hari lagi di sini, tetapi aku meminta rekanku yang lain untuk menggantikan tugasku di tanah Minang. Karena kemarin, Zahira tiba–tiba saja menelepon dan bilang akan menyusulku ke sini bersama Tabitha.Tentu aku kelabakan, aku tak tega bila Zahira harus menempuh perjalanan pesawat sambil membawa bayi, apalagi di sini masih ada Renita. Wanita itu selalu ingin mengekoriku ke manapun.Jadinya, aku harus bersikap baik pada Renita agar ia mau menuruti perintahku untuk tetap tinggal di hotel, ketika aku bek
Untuk menghibur hati dan pikiran yang lelah, serta menyenangkan hati Zahira, aku bermaksud mengajaknya makan malam romantis di restoran tempat kami biasa melakukan rutinitas yang dulu sering kami lakukan. Zahira menerima ajakanku dengan senang hati, lalu mempersiapkan diri. Tanpa diduga, terjadi keributan antara Renita dan Zahira di bawah. Istriku tak terima saat memergoki Renita tengah mendekap bajuku yang seharusnya ia setrika. Entah apa tujuan wanita itu, mungkin ia benar-benar merindukan kehangatan dari seorang suami. Karena sampai detik itu aku sama sekali tak pernah melakukan hubungan apapun dengannya.Mama pun tampak membela Renita habis–habisan dan mulai sering menyalahkan Zahira. Kedua wanita itu seperti dilanda perang dingin. Semua karna kehadiran wanita yang kubenci.Sebab itulah tiba-tiba Zahira kehilangan selera untuk pergi makan malam di luar, aku yang tak terima melihatnya seperti itu lantas hendak mendatangi Renita dan mengusirnya keluar dari sini. Karena sejujurnya, a
POV Zahira“Tapi masalahnya ... Pak Adnan lah atasan kami, dia pemilik hotel ini, Bu!”“Apa?”Aku terperangah, kedua mataku seakan hendak keluar dari tempatnya, pun mulutku membulat sempurna. Tak bisa kubayangkan seperti apa wajahku saat ini. Yang jelas, aku sangat terkejut mendengar penjelasan pegawai hotel ini.Bagaimana bisa? Sejak kapan mas Adnan punya hotel. Oh ... ya, bukankah lelaki itu adalah pembohong sempurna, sehingga apapun bisa ia sembunyikan dariku.Ketika aku didera pikiran yang kacau, tiba–tiba terdengar langkah kaki dari lorong kamar hotel, semakin cepat dan semakin dekat. Aku mengerjap saat menyadari pemilik langkah kaki itu adalah mas Adnan. Ia tersenyum begitu melihatku, lalu bersiap memelukku.Sayangnya, aku kalah cepat dengan gerakannya, saat tanganku baru saja meraih gagang pintu, lengan kekar mas Adnan sudah melingkar di perutku. Dia memelukku dari belakang, menyandarkan kepalanya tepat di bahu kiriku. Sementara aku meronta, melepaskan pelukannya dari tubuhku.
“Ibu kandung?”Aku meyakinkan, mungkin telingaku salah mendengar“Iya Zahira, Sarmila hanyalah lbu sambung Adnan. Akulah yang telah melahirkannya. Suamiku lebih memilih wanita picik itu ketimbang aku, istri yang telah membersamainya dari nol,” ucap wanita itu, matanya berkaca–kaca dan menerawang jauh ke depan. Seakan berusaha mengumpulkan kembali memori masa lalunya.Ia semakin mendekatiku, tangannya yang mulai keriput menyentuh jari–jariku yang dingin. Kepalanya mendongak ke arahku.“Zahira, ayo ikuti Ibu!” ajaknya.Seakan ada sinar kekuatan yang menarikku untuk menuruti setiap ucapannya. Aku pun menyambut genggaman tangannya lalu berjalan beriringan menyusuri lorong ini menuju sebuah ruangan di ujungnya.Mas Adnan menyorong kursi beroda itu, pun Erika yang mengimbangi langkah kaki kami.“Duduklah, Nak!” ucapnya saat kami sudah berada di ruangan yang bernuansa putih, dindingnya banyak di hiasi dengan potret lawas sebuah keluarga. Aku masih terpaku sambil mengedarkan pandangan pada ru