Share

2. Keresahan Hati

Kevin baru saja akan memunguti pecahan gelas di hadapannya, saat tiba-tiba dia terhenti karena kedatangan seseorang bersepatu hitam polos. Sosok itu berdiri tepat di hadapannya sambil berkacak pinggang. Kevin yang merasa bersalah, lalu mendongak dengan perlahan. Rasa bersalah menggerogoti dirinya begitu saja.

“Bagus. Lo pecahin gelas-gelas di kafe gue,” kata si lelaki sambil menurunkan kedua tangannya dari pinggang, lalu melipatnya di dada dengan tatapan sinis. Kevin meneguk ludahnya sekencang dia bisa sambil berusaha untuk tenang. “Dan, sekarang apa lo bakal tanggung jawab?” tanyanya. Ada senyum mengejek yang timbul di bibir merah tipisnya.

Gawat! Masalah lagi, batin Kevin sambil mencoba berdiri di hadapan lelaki itu. Dia sedikit mendongak karena perbedaan tinggi tubuh di antara keduanya.

“Maafkan saya,” ucap Kevin, kemudian dia menunduk. Sekarang, Kevin tidak berani menatap mata hitam arang lelaki itu. “Saya akan menggantinya dengan yang baru. Kalau masih kurang, say—“

Kevin tidak sempat menyelesaikan ucapannya, saat tiba-tiba lelaki itu terbahak dan menyentuh pundak kanan Kevin dengan lembut. “Sori, sori,” kata si lelaki itu sambil masih terbahak. Sekarang, suaranya yang nyaring malah tampak tidak sesuai dengan fostur tubuhnya yang tinggi dan besar. “Muka lo biasa aja kali. Enggak usah tegang begitu,” lanjutnya.

Kevin sedikit mengernyit. “Maaf? Apa ada yang aneh? Saya baru aja mecahin gelas di kafe ini. Kenapa Mas malah ketawa?” tanya Kevin heran, alis matanya yang hitam lebat terangkat sebelah. Beruntung, kafe itu tidak terlalu ramai, jadi hanya ada beberapa orang saja yang memerhatikan interaksi mereka.

Kedua orang tadi yang menjadi akar masalah ini sudah pergi meninggalkan kafe sambil bertengkar kecil. Mereka sama sekali tidak peduli pada keadaan gelas yang pecah, termasuk pada nasib Kevin yang sekarang berhadapan dengan seseorang yang meminta ganti rugi.

“Udah, enggak usah dipikirin soal gelas. Gue cuma pura-pura marah. Serem enggak?” Tawanya lolos di sela-sela pertanyaan konyolnya. “Kalau soal gelas, gue punya satu lemari gelas kayak begitu,” lanjut si lelaki yang kini Kevin sadari memiliki hidung mancung dengan dagu lancip dan wajah tegas. Tampak sangat tampan dan memesona dengan rambut hitam lebat disisir ke samping.

Lelaki itu berhenti tertawa saat melihat Kevin terbengong di hadapannya. Bukan hanya karena itu lelaki berwajah tegas itu berhenti tertawa, tapi karena kondisi wajah Kevin yang lebam, tidak luput dari perhatiannya. Lelaki itu berdeham, berusaha menyudahi tertawanya, lalu menoleh ke meja yang akan jadi tempat duduk Kevin tadi. “Kita bisa bicara sebentar?” tanyanya.

Sekarang, Kevin malah dibuat terkejut dengan keadaan yang sedang dihadapinya. Lelaki itu tampak maco dan gagah. Namun, memiliki suara yang nyaring. Sama sekali tidak cocok dengan fosturnya yang besar dan tinggi.

“Ehm, boleh. Saya juga harus minta maaf sama Mas soal gelasnya.”

Mereka duduk di kursi warna putih gading, tepat pada meja krem yang tampak elegan dan mewah. Lelaki itu menggeleng sambil menyingkirkan sekotak tisu di hadapannya ke sisi lain. “Enggak. Jangan panggil Mas. Panggil gue Steven. Gue baru dua puluh tiga tahun,” katanya.

Jika diperhatikan dengan saksama, Kevin jadi berasumsi bahwa lelaki itu adalah pemilik kafe asri modern ini. Namun, dari penampilannya yang juga mengenakan apron seperti pegawai lainnya, membuat Kevin beranggapan lelaki berwajah tampan itu juga turun tangan untuk masalah-masalah di kafenya.

Kevin mengangguk mengerti. “Saya Kevin,” jawabnya sambil mengulurkan tangannya. “Delapan belas tahun. Saya beneran minta maaf karena mecahin gelasnya. Saya ganti, ya? Enggak enak kalau cuma minta maaf kayak begitu,” tambahnya.

Steven terlihat menilik penampilan Kevin dari atas sampai ujung kakinya yang ada di bawah meja. Itu tindakan memalukan yang dilakukan oleh seorang lelaki tampan berpakaian rapi. Namun, Steven tampaknya tidak peduli. Dia lalu menggeleng saat menyadari kondisi wajah Kevin yang tampak tidak biasa.

“Lo keliatannya bukan anak nakal yang suka tawuran. Itu  muka, kenapa?” tanyanya setelah merasa terganggu dengan kondisi wajah Kevin yang penuh lebam.

Kevin menelan ludahnya dengan cepat. Ada ganjalan yang terasa di kerongkongannya, membuat dia seolah-olah baru saja menelan biji kedondong dengan paksa. Tidak mungkin dia menceritakan kejadian aslinya kepada Steven—orang yang baru dikenalnya. Namun, Kevin juga tidak pandai jika harus berbohong.

Aneh, bukan jika dia harus blak-blakan kepada Steven tentang apa yang sudah terjadi? Tidak mungkin dia bilang kalau di sekolahnya tadi, dia baru saja mengintip seorang lelaki dan dipukuli karena hal itu.

Dia berdeham pelan. “Ini, saya dikeroyok sama temen-temenku,” jawabnya sambil memalingkan wajah ke sisi lain, merasa sangat malu karena harus berkata seperti itu di depan seorang lelaki tampan dan maco. Matanya bergerak gelisah. Dia sedang memikirkan alasan paling logis yang bisa dibuat oleh anak seusianya. “Saya enggak kasih mereka sontekan dan mereka hadang saya di jalan,” tambahnya.

Steven mengangguk pelan. “Oke. Masalah anak sekolahan. Gue paham,” kata Steven sambil menarik daftar menu yang tergeletak di samping kirinya. “Kalau begitu, lo mau pesen apa?” tanyanya.

“Tadinya saya ke sini cuma iseng karena lihat kafe baru. Saya juga mau nenangin diri karena enggak mungkin pulang ke rumah dengan kondisi muka begini. Tapi, karena sudah ada di sini dan bikin masalah, saya akan pesan teh tarik aja dengan bayaran double,” jawab Kevin, menunjuk nama menu yang ada di bagian paling bawah.

“Aih. Enggak usah bayar segitu juga kali. Kan, gue udah bilang, itu cuma gelas. Gue akan siapin tehnya sekarang. Lo tunggu di sini,” ucap Steven sambil beranjak. Namun, dia berhenti saat ucapan Kevin menahannya.

“Kamu pelayan di sini?”

Steven menggaruk tengkuknya pelan sambil cengengesan. “Sebenernya, gue owner di sini. Tapi, karena hobi gue racik minuman, gue juga ikut layanin pembeli. Lo bisa lihat ada berapa pelayan di kafe kecil gue ini? Itu karena gue enggak mau banyak pegawai, selama gue bisa turun tangan sendiri.”

“Di umur dua puluh tiga tahun, kamu udah bisa buka usaha sendiri? Apa saya juga bisa begitu?” tanya Kevin merasa iri sekaligus takjub kepada Steven. Padahal mereka baru saja ketemu, tapi sudah bisa berbincang hal yang bersifat pribadi.

“Selama lo mau dan ada usaha. Kenapa enggak?” Bahu Steven mengedik pelan.

“Apa ini semua keinginanmu?” tanyanya lagi. Kevin memainkan jemarinya di atas meja sambil menggigit bibir bawahnya yang mulai memutih dan wajahnya tampak gelisah.

“Maksud lo?” Steven masih belum mau berbalik dan beranjak untuk menyiapkan pesanan Kevin. Dia sekarang dibuat penasaran dengan pertanyaan Kevin barusan, seolah-olah itu adalah hal yang tidak wajar dilakukan oleh orang seusianya.

Kevin menggeleng. Dia lalu tersenyum dan mengangguk, membiarkan Steven kembali melakukan aktivitasnya. “Lupakan. Saya cuma iseng,” kata Kevin.

“Gue mulai menyukai sikap lo. Lo lucu,” ucap Steven sambil terbahak.

Kepergian Steven ke belakang minibar ditunggu oleh Kevin. Obrolan selanjutnya pun berubah ke sesi perkenalan secara pribadi dan semakin hangat sambil menyesap minuman masing-masing. Steven meluangkan waktunya sedikit karena kafenya masih sepi dari pembeli.

Percakapan itu sudah merambat ke mana-mana, sampai akhirnya, Kevin memutuskan untuk pamit pulang karena hari sudah mulai sore. Dia tidak ingin kedua orangtuanya menanyakan banyak hal tentangnya.

*

Bandung baru saja gelap saat Kevin sampai di depan rumahnya. Gerbangnya dibuka oleh satpam yang bekerja di rumahnya dan mempersilakan Kevin masuk tanpa banyak tanya. Lelaki tua itu juga memberitahu jika ayah Kevin masih belum pulang.

Kevin menyerahkan kunci motornya kepada lelaki tua yang jadi sopir pribadi di rumah itu dan masuk ke rumahnya dengan mengendap-endap. Walaupun ayahnya belum pulang, ibunya masih belum tidur sebelum jam delapan. Kevin lalu berlari ke kamarnya di lantai dua dan menutup pintu kamarnya rapat-rapat.

Saat tubuhnya yang terbalut seragam dan jaket hitam oversize-nya terlentang di atas ranjang empuk, pikirannya tentang dua lelaki di kolam renang itu kembali berputar di kepalanya. Ada rasa aneh yang menjalari tubuhnya setiap kali bayangan alat vital itu membayang di otaknya.

Tidak mungkin dia menjadi seorang homoseksual. Kevin terus saja menyangkal fakta itu, mengabaikan semua hal yang sudah dilaluinya seharian ini. Padahal, itu semua sudah cukup untuk menjadi bukti jika dirinya mulai menyimpang.

“Enggak. Saya enggak mungkin homoseksual. Saya menyukai perempuan,” gumamnya sambil merentangkan kedua tangan bagai salib raksasa dan menatap plafon di atas kepalanya lamat-lamat. Bayangan alat vital tercetak jelas pada alas putih itu, membuatnya menggeleng dan meringis.

Kevin tahu itu, dia normal. Jika memang dirinya menyimpang, seharusnya ketika berbicara dengan Steven di kafe tadi, perasaan aneh dan semangat yang menggebu dalam dirinya akan muncul. Akan tetapi, Steven tidak memberikan tanda-tanda itu. Padahal, lelaki itu tampak sangat tampan dengan tubuhnya yang tinggi dan maco.

Buru-buru dia bangkit dari tidurnya, memelesat ke arah komputer yang ada di dekat jendela, lalu menghidupkannya untuk mencari artikel tentang penyimpangan seksual. Dia mencari-cari alasan yang membuat beberapa orang menjadi seperti dirinya di internet.

Tiga laman dibuka dalam waktu bersamaan, membuatnya fokus membaca. Beberapa dari laman yang didapatkannya, memberi informasi jika penyimpangan seksual diakibatkan oleh traumatik di masa lalu. Kevin mendadak menegang di tempatnya. Ada kilasan kejadian tidak mengenakan di kepalanya yang memaksa keluar tanpa diminta, membuatnya sakit kepala secara tiba-tiba. Akan tetapi, saat dia akan mengorek kejadian apa yang sudah dialaminya, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dan menampilkan sosok wanita paruh usia.

“Kevin,” ucap wanita itu. “Ayah udah pulang dan dia menunggumu di bawah buat makan malam,” lanjutnya. Dan, saat itu juga Kevin merasa seperti dihantam benda tumpul di bagian dada. Hatinya mencelus saat kedapati sedang mencari artikel penyimpangan seksual di kamarnya. Dia tidak sempat menutup laman itu saat menoleh pada ibunya yang sedang menatap layar komputer di belakangnya.

Kevin lalu cepat-cepat menutup laman yang sedang dibacanya, dia berdecak sebal dan bangkit dari duduknya. “Bu! Saya sudah bilang berkali-kali. Kalau masuk, ketuk pintu dulu! Kan, saya juga punya privasi.”

Wanita itu tampak tidak peduli pada kekesalan Kevin dan mulai mengangkat langkah pertamanya memasuki kamar bernuansa kuning itu. “Ibu udah panggil kamu dari tadi. Kamu enggak sendiri, tuh yang denger! Jangan salahin Ibu kalau masuk tanpa ketuk pintu dulu.”

“Ta-tapi, kan Ibu bisa ketuk dulu! Se-sekarang sa-saya mau ganti baju. Jadi, Ibu duluan saja. Saya menyusul, Bu.”

“Kamu lagi baca apa itu?” tanya wanita itu saat langkahnya semakin dalam dan ingin tahu apa yang sedang Kevin baca di internet. Namun, dengan cepat Kevin berlari dari duduknya dan mendorong wanita itu agar kembali keluar dari kamarnya.

“Enggak. Itu bukan apa-apa. Saya lagi mengerjakan tugas, Bu. Nanti saya menyusul!” ucapnya, lalu menutup kembali pintu kamarnya. Kevin sempat melihat tatapan curiga di mata ibunya sebelum pintu itu benar-benar ditutup.

“Jangan lama-lama. Kamu enggak mau, kan Ayah ngomel-ngomel?”

“Iya,” jawab Kevin. Dia lalu mengembuskan napas lega. “Duh. Hampir aja,” gumamnya sambil menyandarkan punggungnya di pintu kamar.

 *

Acara makan malam keluarga Galang berlangsung dalam keheningan. Setelah Kevin turun dari kamarnya, dia langsung mengambil piring dan menyendok beberapa kali nasi ke atas piringnya. Tindakannya seakan-akan sedang menjauhi pertanyaan Galang perihal wajahnya yang babak belur.

Galang dan istrinya saling tatap, merasa aneh dengan tingkah Kevin yang mencurigakan. Mereka sama-sama tahu, jika Kevin bertindak tidak wajar dan gelisah, ada sesuatu yang sedang disembunyikannya.

“Bagaimana sekolahmu?” tanya Galang di sela makannya, dia menaruh sendok dan garpunya, lalu menatap Kevin yang sedang asik makan. Kevin sejak tadi hanya menunduk sambil terus mengunyah. Sang istri di sampingnya menoleh heran, lalu kembali menatap anaknya yang bersikap aneh.

“Key, Ayah tanya sama kamu. Gimana sekolahmu?” tanya ibunya.

Namun, Kevin masih belum menjawab. Dia membalik sendoknya, lalu menaruh piring kotor yang sudah tidak menyisakan sebutir nasi pun di dekat piring yang masih bersih, lalu dia beranjak dan siap pergi. Akan tetapi, gebrakan di meja membuatnya terhenti mendadak.

“Kevin! Kembali ke kursi dan jawab pertanyaan Ayah!”

Kevin berdecak sebal, menaikkan posisi kacamatanya, kemudian menoleh. “Ayah, saya sudah selesai makan. Saya mau langsung mandi dan tidur,” jawab Kevin tanpa menatap mata ayahnya yang sudah nyalang sejak tadi. “Hari ini capek banget.”

“Belajar apa aja kamu di sekolah selama ini sampai berani melawan sama orang tua?” tanya Galang meradang, tapi sang istri terus mengelus punggung tangannya, berusaha menenangkan. “Duduk kamu!”

Walau berat hati, dia menurui perintah ayahnya dan duduk dengan gelisah.

“Sekolah saya baik-baik saja,” jawab Kevin masih menunduk.

“Tatap mata lawan bicaramu kalau lagi berbicara! Ayah enggak pernah ngajarin kamu bertindak enggak sopan begitu!” bentaknya, membuat Kevin mengangkat pandangan ke arah Galang.

“Sekarang Ayah puas lihat wajah saya?” tanyanya. Tangan-tangannya mengepal di bawah meja. Dia sudah sangat marah dan muak dengan perilaku ayahnya yang selalu saja banyak mengatur. Kevin ingin hidup sesuai apa yang dia sukai.

Galang tidak menjawab. Dia lalu mencabut sebatang rokok dari kotak emas di sampingnya, memencet kraket dan menyalakan api di ujung rokok itu. Tidak lama, kepulan asap muncul dari mulutnya yang dibuat monyong. “Mukamu kenapa?” tanyanya dengan lembut. Galang paham, dia harus bersikap ramah menghadapi Kevin. Jika mereka sama-sama keras kepala, tidak akan ada percakpan yang terjadi selain pertengkaran.

Pada awalnya, Galang memang berniat mengajak Kevin bicara aik-baik, dia ingin membahas perihal beasiswa sekolah futsal yang diajukan sahabatnya. Namun, mendapati respons tidak mengenakkan dari Kevin, membuatnya meradang dan marah-marah.

“Saya cuma kejedot meja. Tadi siang pembagian hasil ujian. Anak-anak merayakannya karena senang dan saya jatuh karena keadaan kelas kacau,” jawabnya, mata Kevin bergerak ke segala arah dengan gelisah. Meskipun tidak terlalu percaya, Galang tetap mengangguk.

Lelaki bertubuh tinggi berotot dengan rambut cepak warna cokelat itu kembali mengisap asap rokok di tangannya, lalu diembuskan seiring dengan pernyataan yang sudah disusunnya sejak tadi.

“Teman Ayah menawarkan sekolah futsal gratis selama satu tahun buat kamu. Dia merasa berutang budi karena Ayah menolong bisnisnya.”

“Jadi?” tanya Kevin. Dia sudah paham ke mana arah pembicaraan itu akan bermuara. Akan tetapi, dia ingin ayahnya menyelesaikan semua maksudnya secara langsung kepadanya.

“Ayah ingin kamu ambil beasiswa itu sebagai bentuk menghargai pemberiannya,” ucap Galang sambil mengembuskan lagi asap rokok ke udara. “Jangan menolak dan bikin malu Ayah!”

Kevin mendorong kursi yang didudukinya, lalu bangkit. “Saya pikir Ayah enggak lupa kalau saya enggak suka futsal.” Kevin lalu berbalik dan siap meninggalkan ruang makan. Namun, dia berhenti dan mengepalkan tangannya erat-erat. “Saya juga ingin Ayah enggak ikut campur apa yang saya sukai dan apa yang saya ingin pilih,” tambahnya, lalu benar-benar pergi ke kamarnya di lantai dua.

“Kevin!” bentak Galang sambil melempar rokok yang masih menyala di tangannya ke arah Kevin yang sudah hilang di telan mulut tangga. “Anak kurang ajar! Bisa-bisanya dia ngomong begitu di depan ayahnya.”

“Sayang, sudahlah. Biarin Kevin sendirian. Dia udah capek dari siang harus belajar.”

“Ini karena kamu terlalu manjain dia,” ucap Galang kesal. Dia lalu meremas bungkus rokok emas di sampingnya dan mengetukkannya berkali-kali di meja.

Ini bukan kali pertama Kevin menolak apa yang dia berikan. Anak lelakinya itu selalu saja tidak setuju dengan apa yang diharapkannya. Entah bagaimana, Kevin tampak berbeda dengan lelaki pada umumnya. Bukan satu kali ini saja Kevin tidak ingin dimasukkan ke sekolah olahraga.

“Anak itu mau jadi apa nantinya? Dia enggak bisa olahraga kayak anak cowok lainnya. Lihat badannya yang kurus begitu, beda jauh sama badanku yang gede berotot ini. Bikin malu aja!” kata Galang sambil menggeleng dan mengurut pangkal hidungnya.

“Kevin punya sesuatu yang dia sukai sendiri, Sayang. Jangan terlalu memaksanya. Biarkan dia jadi apa yang diinginkannya selama itu baik buat dia,” ucap istrinya.

“Lagi-lagi kamu terlalu manjain dia,” balasnya. “Sekarang lihat apa yang terjadi? Dia terlalu lembek dan banyak menentang.”

Wanita itu mengembuskan napas pelan, lalu mengelus punggung tangan suaminya lembut. “Kita akan pikirkan apa yang terbaik untuknya. Jangan terlalu memaksanya,” kata wanita itu, lalu berpindah mengelus pundak suaminya. “Dan, Sayang, aku ingin membahas apa yang Kevin lakukan di kamarnya tadi,” tambahnya.

 Percakapan pun berlanjut pada kejadian di kamar tadi. Istrinya bilang, dia melihat Kevin membuka sebuah laman tentang homoseksual yang membuatnya khawatir akan kondisi anaknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status