Share

Struggle Of Love
Struggle Of Love
Penulis: Castortwelvy

1. Rasa yang Meresahkan

Bandung adalah kota yang dingin dan asri. Dengan udara yang dingin dan menyejukkan seperti itu, membuat beberapa orang lebih memilih melakukan aktivitas agar merasa hangat. Namun, tidak untuk beberapa anak kelas dua belas yang sedang dalam mata pelajaran renang. Mereka rela telanjang dada dan hanya mengenakan celana dalam renang ketat yang membentuk jelas alat vital.

Kevin, lelaki bermata empat dengan warna cokelat madu, tengah mengendap-endap di balik ruang bilas kolam renang. Lehernya yang panjang menampilkan tonjolan jakun yang terus naik-turun seiring ludahnya yang meluncur dengan cepat. Napasnya berderu kencang saat dia merasakan panas di pembuluh darah yang mengaliri jemarinya. Angin yang berembus kencang mengenai rambut hitam belah duanya, tidak cukup membuat dirinya tenang dan nyaman.

Dia sengaja membolos hanya untuk datang ke area kolam renang di saat jam pelajarannya masih berlangsung. Sejak pagi, otaknya terus saja memikirkan tentang senior-senior tampan yang sedang telanjang dada di ruang bilas. Maka dari itu, sekarang dia sedang melakukan niat buruk yang terlintas di otaknya. Namun, dia sedikit menyesal karena tindakkannya membuat dia merasa menjadi orang paling bejat.

“Pelan-pelan, Key. Tenang,” gumamnya sambil terus mengendap di antara sekat kamar mandi. Langkahnya sengaja dia angkat seringan kapas, mencoba meminimalisir kebisingan yang bisa membuat orang-orang di balik kamar mandi itu mengetahui keberadaanya.

Sejauh mata memandang memang tidak ada siapa pun. Senior-senior itu masih anteng di kolam karena jam renang masih berlangsung. Namun, sudah ada satu-dua orang yang membilas diri untuk cepat-cepat menyelesaikan jam renangnya. Saat itulah Kevin merasa dirinya harus mengintip salah satu senior yang menjadi ambisinya itu.

Dia menelan ludah lagi dengan kencang saat tangan kanannya sudah menyentuh pegangan pintu kamar mandi pertama. Terdengar bunyi air dari shower di dalam bilik itu, membuat darahnya semakin memanas. Kevin lalu membayangkan pemandangan indah lekuk tubuh laki-laki seumurannya sedang mandi bugil.

“Huh. Tenang. Saya cuma lihat sebentar. Itu enggak akan masalah. Mereka enggak akan sadar selama saya enggak berisik.”

Di antara bunyi air yang jatuh, Kevin juga mendengar desah seseorang dari balik sekat kamar mandi, Itu membuatnya semakin resah dan menggigil. Darah dalam tubuhnya semakin mendidih, mengeluarkan gelembung uap. Tanpa sadar, tangannya yang sejak tadi menyentuh pegangan pintu itu terus bergetar, menahan nafsu yang meronta ingin keluar.

Bagaimana kalau ada yang tahu?

“Oke. Kalau ada yang datang, bilang ambil sabun yang ketinggalan. Mereka enggak akan mikir aneh-aneh. Lagian ….” Kevin sengaja menjeda ucapannya, kemudian menoleh ke segala arah, mencoba memastikan jika di kamar mandi itu hanya ada dirinya dan orang-orang yang sedang sibuk membersihkan diri. “Sebelum jam pelajaran mereka, kelas sebelas lebih dulu pake kolam renangnya. Mereka enggak akan curiga kalau saya ngintip sebentar,” katanya saat ludah di lehernya meluncur lagi bagaikan roket.

Tangan Kevin semakin bergetar hebat. Ada rasa bersalah yang menjalari dirinya saat otaknya terus mendorongnya melakukan hal itu. Namun, hatinya yang terdalam mengiakan apa yang diinginkannya.

Entah sejak kapan ambisi menyimpang ini muncul dalam dirinya. Kevin sama sekali tidak menyadari hal itu. Apa yang dia tahu, belakangan ini ketika dirinya melihat lelaki telanjang, selalu sukses membuatnya bergairah dan semangat.

Perlahan tapi pasti, pintu berbahan PVC itu dia dorong, nyaris tidak menghasilkan bunyi sama sekali. Air dari dalam ruangan itu masih terus berbunyi, menjadikan fokus utama sosok lelaki tampan yang sedang mandi di bawah kucuran air segar. Kevin menelan ludahnya berkali-kali saat matanya tertuju pada bentuk indah tubuh lelaki itu, tampak sempura dan tanpa cacat. Dan, matanya langsung fokus pada benda yang tergantung di antara selangkangannya.

Namun, saat dia akan membuka daun pintu itu semakin lebar, seseorang mencekal tangannya, membuatnya terkejut bukan kepalang. Dadanya yang sejak tadi sudah terasa tidak keruan dibuat semakin tidak menentu saat sosok itu memegangi tangannya dan memelotot penuh selidik. Lelaki itu mengeratkan pegangan tangannya sambil masih menatap Kevin penuh curiga.

“Lo lagi ngapain di sini? Apa lo enggak lihat pintu itu ketutup dan ada orang yang lagi mandi?” tanya orang itu dengan nada sinis. Matanya yang tajam menusuk dada Kevin dengan telak, membuatnya tidak bisa berkutik. Kevin hanya bisa menelan ludahnya beberapa kali sambil berusaha melepaskan diri darinya. Dia cemas jika orang-orang akan mulai berdatangan.

“An-anu, saya cu-cuma mau ambil sa-sabun yang ketinggalan di dalam,” jawabnya, dia berhasil mengenyahkan cekalan tangan lelaki berwajah tegas dengan rambut hitam belah dua itu dengan cepat. Parasnya yang tampan dan penampilannya yang telanjang dada, membuat Kevin semakin merasa dibuat jungkir-balik.

“Lo, kan bisa nunggu orang di dalam beres mandi dulu sebelum lo masuk kayak gini. Lo enggak niat buat ngintip, kan?” Lelaki itu menyipitkan matanya, menelisik dengan curiga. Kevin semakin gelagapan. Namun, Kevin buru-buru mengalihkan pandangan ke sisi lain, pada deretan urinoir di samping kanannya.

“Gila! Sa-saya en-enggak mungkin ngitip cowok mandi,” balas Kevin resah, lalu melenggang meninggalkan area kamar mandi. “Saya pergi sekarang. Saya masih bisa beli sabun baru,” lanjutnya sambil meninggalkan area kamar mandi.

Akan tetapi, lelaki berambut belah dua itu terus menatapnya curiga. Ada prasangka buruk yang semakin menjalari kepalanya. Dia mengira jika Kevin memang mengintip temannya yang sedang mandi di dalam ruang bilas.

“Aneh banget gerak-geriknya tuh cowok. Gila. Bikin gue jijik aja,” ucapnya sambil bergidik membayangkan kelakuan Kevin barusan.

Selama perjalanan menuju kelas, Kevin merasakan pukulan berkali-kali di dadanya, seperti sebuah palu yang terus menghantamnya secara otomatis. Dia sempat merasa tidak enak karena hanya dirinya yang mengenakan seragam lengkap di area  kolam renang itu. Sementara yang lainnya nyaris semuanya bertelanjang dada dengan celana pendek ketat.

Sepatu hitam Kevin menghasilkan bunyi nyaring di koridor ketika dia berlari, berdecit saat dia mengerem kakinya, lalu hening ketika dia sudah tiba di depan kelasnya yang ramai. Orang-orang mulai berhenti berbicara dan menoleh bersamaan ke arah Kevin yang berdiri di ambang pintu.

Tatapan-tatapan itu mengintimidasi. Kevin menjadi satu-satunya murid yang keluar saat jam pelajaran dan kembali ketika sesi sudah berakhir. Namun, keheningan dan tatapan canggung itu tidak berlangsung lama karena guru jam pelajaran selanjutnya baru saja sampai.

Kevin harus kembali belajar—atau dia akan dicurigai perihal tindak-tanduknya yang selalu keluar kelas di saat jam pelajaran masih berlangsung.

“Tenang. Semua baik-baik aja.”

*

Selama jam pelajaran berlangsung, Kevin hanya bisa menatap ke arah jendela—yang kebetulan posisi meja dan kursinya berada di belakang dekat dengan jendela. Dia menahan pipi kanannya yang tampak putih dan mulus dengan tangan kanannya yang terbalut jaket hitam oversize. Kevin lalu mengembuskan napas berat beberapa kali. Otaknya sama sekali tidak bisa menyingkirkan bayangan bentuk alat vital yang dilihatnya saat di kamar mandi tadi.

Ada apa ini. Saya kenapa? batin Kevin sambil terus menggeleng, mencoba meyakinkan dirinya sendiri, bahwa dia memang normal. Namun, tindakkannya barusan jelas-jelas bertentangan dengan keyakinannya selama ini.

Kevin terus saja memikirkan lelaki berambut belah dua dengan mata tajam yang mencekal tangannya, dia memakai celana renang ketat yang memperlihatkan bentuk alat vitalnya yang besar dan panjang. Bayangan itu benar-benar menghantam otaknya, memaksanya terus memikirkannya tanpa diminta. Entah apa yang terjadi, padahal dia seorang lelaki.

“Ah! Gila. Kenapa saya kepikiran soal itu terus? Ini enggak baik.” Dia menggeleng beberapa kali sampai kepalanya terasa pusing, lalu mengelus wajahnya dengan sepuluh jari dan menggebrak meja dengan kencang setelah merasa frustrasi, membuat beberapa orang menoleh kepadanya.

“Kevin Fernando! Apa yang kamu lakukan?” tanya Pak Ronald, guru Sejarah yang merasa aktivitasnya terganggu oleh ketidakjelasan Kevin. Lelaki itu menyelidik dengan tatapan tidak suka.

Merasa risi diperhatikan oleh semua orang, Kevin lalu menggosok tengkuknya yang tidak gatal dan cengengesan. “Maaf, Pak. Saya cuma pusing,” jawabnya. Beberapa orang tertawa mendengarnya, termasuk Pak Ronald yang tampak mengernyit karena merasa heran dengan tindakan Kevin barusan.

Sebelum menjawab lagi, Pak Ronald tampak mengembuskan napas pelan sambil mengurut pangkal hidungnya. Dia lalu menunjuk Kevin dan menyuruhnya diam jika memang tidak ingin memerhatikan kelasnya.

“Sekali lagi kamu menganggu, berdiri di luar,” kata Pak Ronald tegas, seakan-akan perintahnya adalah hal yang mutlak. Kevin menelan ludahnya susah payah, kemudian mengangguk paham.

Seberapa kuat pun dia mengangguk menyetujui ucapan Pak Ronald untuk fokus pada pelajaran dan tidak menganggu, Kevin benar-benar tidak bisa melakukannya. Saat lelaki beruban itu menjelaskan tentang pra-sejarah, Kevin lagi-lagi berteriak ketika kepalanya mengeluarkan ingatan tentang lelaki tampan yang mencekalnya.

“Ah! Hentikan! Saya enggak tahan,” teriaknya, memancing tatapan semua orang. Dan, saat itulah masa-masa Kevin di kelas sudah habis. Dia dikeluarkan dan dihukum harus berdiri di koridor dengan satu kaki terangkat sambil mengucapkan janji, ‘Saya tidak akan meracau di kelas lagi dan berjanji akan belajar dengan giat’.

Tiga puluh menit sudah dia berdiri di sana dengan satu kaki seperti bangau tidur. Bukan masalah sebenarnya, tapi Kevin tidak nyaman jika harus ditatap terus-menerus oleh teman-temannya dari dalam dengan tatapan mengejek seperti itu. Dia lalu mengembuskan napas kesal sambil memalingkan wajah ke sisi lain.

Tepat saat melakukannya, dia melihat dua orang lelaki tampan menghampirinya. Dua-duanya Kevin tahu, tapi tidak dia kenali. Jelas sekali, lelaki rambut belah dua yang memakai jaket jins abu-abu itu adalah orang yang mencekalnya tadi. Dan, satu lelaki lagi adalah orang yang dia intip di ruang bilas.

Mendadak saja ludahnya meluncur secepat roket ke kerongkongan, ketika menyadari bahaya sedang mendatanginya. Kevin menatap sekitar dengan gelisah, berharap jika dua orang itu tidak mengingatnya. Akan tetapi, lelaki berjaket jins itu lebih dulu menyapanya dengan nada sinis seperti biasa.

“Lo cowok yang tadi gue lihat di kolam, kan?” tanyanya.

Kevin menggeleng. “Bukan. Kakak salah orang kali,” jawab Kevin sambil membuang tatapan ke arah lain, berusaha untuk berbohong.

“Enggak mungkin. Gue ingat lo,” balas si lelaki rambut belah dua itu, lalu menoleh pada temannya sambil memberi kode yang tidak Kevin pahami maksudnya.

“Sikat,” sahut temannya itu sambil mengangguk.

“Eh, lo. Ikut gue ke sana sebentar,” titah lelaki rambut belah dua itu sambil menarik tangan Kevin dengan paksa, membuat pergelangannya berdenyut nyeri.

“Ma-mau ke mana, nih? Saya lagi dihukum sama Pak Ronald,” balas Kevin setengah meronta. Namun, tenaganya tidak sebanding dengan lelaki itu. Tubuh Kevin terseret tanpa bisa melawan. Sementara satu lelaki lainnya sedang berjalan di sampingnya dengan tatapan marah.

Keadaan sekolah sedang sepi karena murid-murid masih melakukan kegiatan belajar. Kevin tahu, dua lelaki di hadapannya itu adalah kelas dua belas. Maka, tidak heran jika mereka sudah berkeliaran di luar kelas jam segini.

“Gue cuma mau tanya sama lo. Temen gue bilang, lo ngintip gue mandi. Lo homo?” tanya lelaki satunya—yang sekarang Kevin sadari memiliki rambut hitam klimis disisir rapi.

Kevin menggeleng. “En-enggak. Saya enggak ngintip,” jawabnya gugup. Lagi-lagi, darahnya terasa mendidih.

“Oke kalau enggak mau ngaku. Gue, sih enggak masalah kalau lo homo. Tapi, kalau lo homo dan lo ganggu gue dengan cara ngintip pas gue mandi, gue kagak terima!” bentak lelaki yang menjadi korban itu dengan nada tinggi. Matanya yang hitam bagai arang memelotot.

“Sa-saya, kan udah bilang enggak ngintip!” jawab Kevin tegas.

“Tapi, gue lihat sendiri,” sambar si lelaki rambut belah dua itu sambil mencengkram kerah seragam Kevin, lalu diangkat tinggi-tinggi.

Kevin berusaha berontak sambil membetulkan posisi kacamatanya yang terus saja melorot dengan tangan kiri. “Ka-kalian mau ngapain? Jangan macem-macem! Saya bisa teriak dan panggil guru,” ancam Kevin. Namun, itu tidak cukup untuk membuat mereka takut.

Lelaki itu berdecak sebal, lalu tanpa basa-basi mendorong Kevin kencang ke belakang. Bunyi benturan antara punggung Kevin dan alas pintu PVC terdengar bergema di kamar mandi saat lelaki itu mendorong tubuhnya kencang, membuat Kevin mengaduh beberapa kali dan meringis.

“Udahlah, cowok model beginian emang harus dikasih pelajaran dulu biar ngarti!” ucap si lelaki berambut klimis itu sambil memelesat ke arah Kevin dan melayangkan tinjunya di pipi kiri Kevin dengan keras. “Mati lo, Bangsat!” teriaknya sambil meluncurkan pukulan itu bertubi-tubi.

Kevin mengaduh dan menutupi bagian wajahnya dengan tangan. Dia hanya bisa menahan sakit ketika tangan-tangan kekar itu menghantam wajahnya.

Lelaki belah dua itu melakukan hal yang sama, tapi lebih brutal dari si klimis.

“Udah, udah. Bisa bahaya kalau ketahuan sama guru. Gue udah puas mukulin nih banci,” ucap si korban, lalu meludah di depan Kevin. Dia melenggang sambil memutar pergelangan tangannya yang terasa sakit setelah menghantam wajah Kevin berkali-kali.

Kevin meringkuk di dekat urinoir sambil memegangi pipinya yang lebam. Dia meringis beberapa kali saat tangan kirinya menyentuh benjolan dalam pantulan cermin. Beberapa noda hitam dari jejak sepatu tercetak jelas di jaket hitamnya. Sekarang dia benar-benar menyesal karena telah menuruti otak cabulnya itu.

“Sekarang Ibu akan tanya-tanya dan saya enggak tahu harus jawab apa,” gumamnya sambil mengelus pipinya yang lebam.

*

Saat jam pelajaran sejarah tadi, Kevin dihukum yang membuatnya tidak diperbolehkan masuk lagi ke kelas sampai mata pelajaran itu berakhir. Pada awalnya dia sedih karena dikeluarkan, tapi sekarang bersyukur karena tidak perlu bertemu teman-temannya dalam kondisi mengenaskan seperti itu.

Kevin menenteng tas selempangnya di pundak kanan, lalu memelesat ke arah parkiran di bawah kantin lantai dua. Teman-temannya sudah tidak ada dan tidak ada satu orang pun yang menunggunya. Sudah biasa. Kevin tidak akan terkejut lagi jika mereka selalu bersikap seperti itu. Hanya karena tidak pandai berolahraga, dia dikucilkan oleh geng laki-laki.

Motor Scoopy kuningnya berada di ujung parkiran. Tanpa membuang waktu lagi, dia mendekati benda itu dan memelesat meninggalkan sekolah setelah mesinnya menyala dengan sempurna.

Dengan kondisi wajah babak-belur, tidak mungkin Kevin pulang sekarang. Dia akan habis ditanyai banyak hal oleh ibunya. Makanya, dia memutuskan untuk berkeliling Bandung untuk mencari apotek dan membersihkan luka-lukanya. Namun, tidak disangka, tindakkannya malah membawa Kevin pada sebuah kafe yang baru dibuka tidak jauh dari Alun-alun Kota Bandung.

Tempat itu tampak asri dengan tanaman rambat di halaman depannya. Pepohonan hijau yang rimbun tumbuh di kanan dan kiri bangunan semi modern itu. Nyaris keseluruhan bangunannya terbuat dari kaca, hanya beberapa bagian saja yang terbuat dari bata merah dan semen.

Kevin memutuskan untuk mampir sejenak sambil menunggu luka-lukanya pulih, setidak-tidaknya jangan terlalu jelas terlihat saat dia pulang ke rumah nanti. Di zaman modern seperti sekarang ini, anak sekolah jajan di kafe adalah hal yang biasa. Apalagi untuk Kevin, seorang anak dari keluarga kaya-raya. Itu bukan hal yang sulit dilakukan.

Dia berjalan santai memasuki bangunan asri itu sambil menenteng tas hitamnya dengan tangan kiri. Saat masuk, aroma kopi menyeruak ke penciumannya, membuat dia menarik napas sangat dalam hingga dadanya membusung. Ada rasa nyaman yang menjalari tubuhnya, memaksa Kevin tersenyum ringan.

“Selamat datang,” sapa seorang gadis yang menjadi pelayan di kafe itu. Tatapan Kevin langsung tertuju pada ruangan yang tampak sederhana, tapi menyuguhkan kesan elegan yang kental.

“Terima kasih,” balas Kevin sambil menilik keadaan sekitar. Kafe itu tampak sepi. Mungkin karena masih baru, jadi tidak ada yang tahu lokasinya. Dan, Kevin tidak akan memikirkan apa alasannya. Dia lalu melenggang menuju meja di dekat jendela, dua petak dari dua remaja yang tengah meminum kopi.

Namun, saat Kevin akan melangkah melewati lelaki di hadapannya, perempuan yang jadi lawan bicara si lelaki itu berdiri sambil membawa cangkir. Tubuhnya yang ramping berbenturan dengan bahu Kevin, membuat gelas yang akan dia bawa ke luar kafe itu jatuh dan pecah berserakan.

“Astaga. Saya minta maaf,” ucap Kevin dengan mata memelotot kaget. Lelaki yang diduga adalah pacarnya itu tampak mengepalkan tangan, gigi-giginya gemeretak.

“Iya. Aku yang salah, kok,” kata si gadis sambil menepuki bahu Kevin yang tadi membentur tubuhnya. Sontak saja, perbuatan si gadis mengundang amarah pacarnya dan mendorong Kevin dengan kencang.

“Minggir lo!” katanya. “Dan, kamu, ayo ikut aku!” bentak si lelaki. Mereka pun pergi ke luar kafe sambil bertengkar.

“Astaga. Hari ini ada apa, ya? Saya apes banget kayaknya,” ucap Kevin sambil mulai jongkok untuk memunguti beling. Namun, saat akan melakukannya, tiba-tiba seseorang memakai sepatu hitam berdiri di hadapannya.

Tepat saat Kevin mendongak, lelaki itu memelotot nyalang ke arahnya.

“Eh, lo yang di sana!” tunjuk si lelaki itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
kurniamamang
This is one of the best story I've read so far, but I can't seem to find any social media of you, so I can't show you how much I love your work
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status