“Merah tuh kayanya, atau melepuh nantinya. Itu kuah bakso pasti panas banget!”
“Ini baru awalnya. Nanti kita bantuin lagi, Tha!”
Deg!
Dua tangan Abimanyu terkepal kuat, rahangnya mengeras kala mendengar obrolan di dalam toilet. Seseorang yang jelas Abimanyu kenal, dan ia menyesal pernah mengagumi gadis yang pandai dan berbakat itu.
“Mampus! Aku yakin bakal melepuh tuh paha!”
“Siapa suruh main-main sama Lytha. Hari ini pahanya, besok mukanya! Liat aja, dia main-main sama aku!”
Wajah Abimanyu memerah, menandakan laki-laki tampan itu sedang menahan amarah. Abimanyu tidak berniat masuk menghampiri mereka ke dalam toilet. Ia memeilih bersandar pada tembok didepan toilet, menunggu mereka keluar.
“Kenapa kamu nyuruh temen kamu buat nyiram Dhilla? Kenapa THA?” Kata Abimanyu tepat saat Lytha dan temannya keluar dari toilet.
Tubuh Lyhta mematung dengan kedua mata yang berkaca-ka
Abimanyu mendengus mendengar perkataan laki-laki yang masih berada di sekolah. Okay, memang salahnya yang membelikan rok untuk Dhilla tapi rok yang dibelikan itu terlalu pendek untuk kaki Dhilla yang jenjang. Dan, saat Abimanyu akan menukar rok itu ternyata koperasi sudah tutup.Dan, sekarang saat Abimanyu dan Dhilla berjalan menuju parkiran, mereka benar-benar menjadi perhatian murid-murid yang masih ada di sekolah. Dhilla berjalan biasa saja disamping Abimanyu, tentu saja Abimanyu tidak sekalipun melepas gandengan tangan di tangan kekasihnya itu. Penampilan Dhillalah yang membuat murid-murid kagum dengan kecantikan bak model yang gadis ayu itu pancarkan.Dhilla memang cantik, tinggi semampai ditambah dengan rok yang dibelikan Abimanyu lebih pendek beberapa senti diatas lutut dan jelas-jelas memamerkan kaki Dhilla yang jenjang. Abimanyu tidak berhenti mendengus, saat para lelaki di sekolah menatap gila pada kekasihnya, sementara Dhill
Hari berganti waktu berlalu, hubungan asmara Abimanyu dan Fadhilla masih sama seperti beberapa bulan yang lalu. Hanya saja, akhir-akhir ini waktu pertemuan mereka semakin berkurang karena Abimanyu yang juga menekuni bisnis serta menjalankan perusahaan Papanya disela jadwal sekolahnya. Bahkana, Abimanyu juga sering tidak masuk sekolah karena harus keluar kota bahkan keluar negeri untuk perjalanan bisnis.Sore hari selepas pulang kerja, Abimanyu menuju rumah Claudia, wanita yang masih bersetatus Mama tirinya itu, entah kenapa tiba-tiba mengundangnya untuk datang ke rumahnya. Abimanyu sudah menolaknya, namun bertubi-tubi ancaman wanita angkuh itu berikan untuknya.Dan, ancaman yang paling membuat Abimanyu tidak bisa menolak permintaan Mama tirinya adalah, Papanya, “Sial!” Entah sudah berapa kali Abimanyu mengumpat kesal. Bagaimana bisa, Mama tirinya itu mengetahui keberadaan sang Papa. Padahal sudah bertahun-tahun, ia menyembunyikan k
“Please help me!”Dahi Dhilla kembali berkerut, nentarnya bertemu dengan manik hazel yang berkabut gairah milik Abimanyu, “Apa maksudnya?” Batin Dhilla yang semakin bingung melihat wajah putih bersih milik Abimanyu yang sudah merah sampai kedua telinganya.Abimanyu berhasil melepas pengait bra milik Dhilla, dan langsung melumat bibir ranum itu dengan lembut. Tangannya yang tadi berada dipunggung, sudah teralih meremasi dua gundukan kembar milik Dhilla secara bergantian di balik baju yang masih lengkap terpakai.“Abi, ja-jangan…” Dhilla mendadak mengatupkan rapat bibirnya, berharap Abimanyu menghentikan ciumannya. Kuncian satu tangan kiri Abimanyu yang dilakukannya pada dua pergelangan tangan Dhilla di atas kepala, membuat Dhilla sulit untuk menghentikan apa yang dilakukan Abimanyu saat ini terhadapnya.Pikir Dhilla, dengan mengatupkan rapat bibirnya, Abimanyu akan berhenti menciumnya. Tapi ternyata
Dhilla termenung di dalam kamarnya. Ada beberapa hal yang ia risaukan saat ini, kerisauan yang sudah ia takutkan sejak lama, namun dirinya selalu abai.Bukan kerisauan seperti beberapa minggu yang lalu, saat akan menghadapi ujian akhir nasional. Namun, kerisauan saat ini, tentang hal yang benar-benar ia takutkan sangat-sangat Dhilla takutkan.Kembali mengabaikan rasa takut yang menguasai hati dan pikirannya, Dhilla bangkit dari duduknya dan melangkah menuju kamar mandi. Tepat saat membuka pintu kamar, tiba-tiba saja perutnya bergejolak. Tidak tahan akan bau masakan yang tengah dimasak Mamanya, Dhilla segera berlari menuju kamar mandi satu-satunya yang ada dirumah mereka, yang berada dekat dapur.Hoek… hoek… hoek…Dhilla memuntahkan isi perutnya sampai tiga kali. Sementara Evi Mamanya Dhilla yang sedang memasak di dapur, langsung mematikakan kompor saat melihat Dhilla berlari menuju kamar mandi dan mendengar anak sulungnya muntah
Menyesal, memang selalu datang diakhir. Pun dengan Fadhilla yang sangat teramat sangat menyesali perbuatan bodohnya. Namun meskipun begitu, bukan berarti tidak dapat memperbaiki kesalahan. ‘Tidak perlu disesali’, kalimat itu mungkin cocok diberikan kepada Dhilla yang saat ini tengah di ujung kehancuran. Dhilla masih memandangi test pack yang berada ditangannya, meremasnya dengan perasaan yang berkecamuk, ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana selain menangis. Dan saat ini, ia sangat membutuhkan Abimanyu. Ia sangat ingin memeluk laki-laki yang sudah menanamkan benih di rahimnya. Namun, sepertinya itu mustahil, mengingat keberadaan Abimanyu yang sudah dua minggu ini menghilang bak ditelan bumi. Dhilla mengambil ponselnya, kembali mencoba menghubungi Aabimanyu. Dan tetap saja, nomor laki-laki itu masih tidak bisa dihubungi. Tanpa berpikir lagi, Dhilla bersiap untuk ke sekolah. Ia sangat berharap bisa bertemu Abimanyu. Tentu saja
Dhilla dan Sabrina akhirnya pergi ke rumah sakit. Dhilla menghela napas panjang ketika Sabrina menepikan mobilnya. Rumah sakit yang sama, dimana Papanya Abimanyu dirawat. Terlintas dipikiran Dhilla, mungkin nanti ia bisa menjenguk Papanya Abimanyu, syukur-syukur ia bisa menemukan laki-laki itu disana.Dhilla turun tanpa banyak kata, diikuti Sabrina yang turun dari kursi pengemudi. Dhilla berjalan dengan ragu mengikuti Sabrina kearah resepsionis, “Maaf mbak, kita mau periksa.” Ujar Sabrina kepada mbak penjaga resepsionis.“Sakit apa?” Tanya mbak penjaga itu ketus tanpa menatap Dhilla dan Sabrina.“Hmmm, periksa kandungan.” Jawab Sabrina ragu-ragu seraya melirik Dhilla.Wanita penjaga itu sontak menoleh menatap Sabrina dan Dhilla bergantian, dengan tatapan meremehkan. Mungkin dalam hati, wanita penjaga resepsionis itu berkata, ‘Sukurin! Itu akibatnya jadi perempuan tidak lurus! Kamu patut mendapat ganjaran itu!&rsqu
Hari-hari berikutnya, Dhilla tidak pernah benar-benar keluar kamarnya kecuali saat ia sedang ada perlu di kamar mandi yang memang ada di dekat dapur. Mamanya pun sudah beberapa hari ini harus mengetuk-ngetuk pintu kamar Dhilla, mengantarkan makanan tiga kali sehari. Bahkan Evi memilih pulang ke rumah saat jam istirahat kantornya tiba. Ia sama seperti ibu pada umumnya, yang khawatir dengan putrinya yang tiba-tiba berubah menjadi pendiam dan lebih sering melamun. Rasa khawatir Evi bertambah kala tidak jarang ia mendapati putrinya menangis. Setiap Mamanya mengantar makanan, Dhilla selalu enggan dan benar-benar tidak ingin makan, tapi kemudian ia ingat ada kehidupan, lebih tepatnya ada dua kehidupan lain di dalam tubuhnya. Maka Dhilla makan sedikit. Pagi ini, Mamanya tidak lagi mengetuk-ngetuk pintu, tetapi kali ini menggedor-gedornya dengan kasar. Dhilla bangkit dari ranjangnya, berjalan gontai menuju pintu lalu membuka pintu yang memang ia kunci dari dalam. Ternyata ya
Perkara anak hamil di luar nikah, apalagi usia yang sangat beliau, bukan hal yang diharapkan setiap orang tua manapun, termasuk Fikri da Evi selaku orang tua Fadhilla. Sebagai orang tua pastilah mereka malu, marah, kecewa, bahkan merasa gagal mendidik putrinya. Tapi pada akhirnya ujian itu memilih Dhilla, maka tidak ada jalan untuk Fikri dan Evi untuk lari dari kenyataan. Mereka memang kecewa luar biasa, namun Evi sendiri sadar bahwa Dhilla putrinya juga sama merasa dunianya runtuh. Pagi ini Evi ingin memasakan masakan kesukaan Dhilla, Timlo Solo. Ia berharap sedikit perhatian untuk putrinya bisa meringankan beban mental, dan membuat Dhilla tidak tertekan. Evi sebenarnya sangat takut putrinya melakukan hal-hal yang tidak diinginkan karena tekanan yang mendera batinnya. Semalam, ia dan suaminya sudah berdiskusi akan mencari tahu siapa yang telah menghamili Dhilla. Mereka akan mencoba berbicara baik-baik dengan putrinya, supaya putrinya it