Share

SA - Bab 2

Inara dan aku itu macam bawang putih dan bawang merah.  Bagai air dan api. Seperti air dan minyak. Juga,  sama seperti siang dan malam. Pokoknya, beda sekali.

Aku yakin, salah satu dari kami pasti anak pungut. Aku atau Inara, salah satunya pasti ditemukan di semak-semak, pinggir sungai, tepi jalan atau genteng tetangga. Dan anak pungut itu pasti bukanlah Inara.

Inara itu sudah 27 tahun sekarang. Sudah berumahtangga pula. Namun, lihatlah bagaimana Ibu memperlakukannya.

Di depanku sekarang, ada berbagai macam hidangan. Udang asam manis, ikan gurami sambal, ayam goreng, ayam tumis kecap, tumis kangkung pedas, dan ... getirnya kehidupan spesial untukku.

Ibu duduk di seberangku. Di sampingnya ada Inara. Ibu sedang berusaha merayu Inara agar mau membuka mulut dan melahap sesendok kasih sayang Ibu dalam bentuk sepotong daging ikan tanpa tulang.

Ululu, manis sekali untuk Inara. Luar biasa pahit untuk diri ini.

Seumur hidup, sejak aku bisa mengingat, ya. Ibu hanya menyuapiku 2 kali. Satu kali ketika pertama masuk sekolah dasar. Satunya lagi ketika aku sakit habis dipukul Ibu dengan ikan pinggang dan gantungan baju. Namun, lihatlah Inara ini.

Inara sehat. Memang, dia menderita kelainan jantung sejak kecil. Pernah beberapa kali operasi besar. Namun, tangannya utuh, sehat. Kenapa dia harus disuapi? Di depanku pula.

Bukan, bukan. Aku bukannya cemburu. Aku hanya enggak suka. Enggak suka sama Ibu yang dari dulu selalu pilih kasih.

Pernah terpikirkan olehku. Mungkin, Ibu yang selalu lebih sayang Inara pasti karena anak bungsu itu sakit-sakitan sejak lahir. Namun, lama-kelamaan asumsi itu terpatahkan. Dasarnya, Ibu memang lebih sayang Inara, apa pun dan bagaimana pun keadaannya.

Kadang, aku bersyukur diberi tubuh yang lebih sehat dari Inara. Kalau sampai aku juga punya penyakit macam dia, sudah pasti umurku tak akan sampai 29 tahun. Sudah lama mati, karena enggak kebagian kasih sayang dari Ibu.

"Setelah ini kamu jangan kegatelan dulu, ya, Anes!"

Aku mengunyah tenang. Meski kalimat itu benar-benar memancing adrenalin perang.

"Nanti dulu kalau mau nikah lagi. Malu sedikit, Anes. Perempuan, kok, sampai dicerai dua kali?" Ibu melempar tatapan penuh amarah.

"Laki-laki aja boleh kawin sampai empat kali? Aku baru cerai dua kali udah diprotes?" Aku menambah nasi  ke piring.

Di situasi seperti ini, kabur bukan pilihan bijak. Sayang makanan yang ada. Mending, aku tetap duduk, makan yang banyak, anggap hinaan Ibu selingan.

"Kamu itu kapan dewasa, sih, Anes? Mau sampai kapan selalu begini? Susah sekali menuruti nasihat Ibumu?" Ibu menaruh sendok, berhenti menyuapi Inara.

Yey! Inara akhirnya makan sendiri. Kami sama sekarang.

"Aku udah dewasa, loh, Buk. Udah kawin dua kali, cerai juga dua kali." Aku nyengir pada Ibu, beliau menggeleng putus asa.

"Pokoknya, ka--"

"Pokoknya ditebang, Buk," potongku kurang ajar.

"Anesya!" Ibu memukul meja makan. Kulihat wanita itu menarik napas dalam, menurunkan emosi, ketika Inara mengelus lengannya pelan.

"Kak, dengerin Ibuk," kara Inara padaku.

"Aku dengerin dari tadi. Kalian enggak lihat telingaku terbuka?" Aku menunjukkan sisi wajah agar mereka bisa melihat bahwa tak ada apa pun yang menyumpal telinga.

"Pokoknya, jangan menikah dulu. Sampai kamu menikah dalam waku dekat, Ibu usir kamu dari rumah ini. Bikin malu keluarga saja!"

Masih ada makanan dalam mulut, jadi aku mengunyah cepat, kemudian menelannya. "Aku sanggup sewa kos-kosan, kalau Ibu lupa. Ibu usir dari sini, aku enggak akan jadi gelandangan, loh."

Piringku sudah kosong. Aku meneguk air banyak-banyak, lalu pergi dari meja makan. Tak lupa memberi senyum pada Ibu. Saatnya ke kamar dan tidur,  karena aku sudah kenyang. Kenyang aku sama derita-derita ini. Entah terselip di mana kebahagiaan yang menjadi bagianku.

Apa semesta lupa ciptakan kebahagiaan untukku, ya?

***

Malam ini, aku mau pergi. Susah-susah meminta Vani menyisihkan waktu, kami akan bersenang-senang ke salah satu kelab. Sejak sore aku sudah bersiap dan yakin kalau penampilanku akan lebih cantik dari ondel-ondel yang pipinya merah.

Turun dari kamar, aku melempar senyum pada tiga orang di ruang tamu. Ululu, ada keluarga bahagia, harmonis dan sejahtera rupanya.

"Ibu, aku pergi dulu, ya."

Baru saja selesai mengatakan itu, aku langsung didatangi. Ibu memegangi lenganku kuat. Matanya melotot.

"Mau ke mana kamu dengan dandanan sepert ini, Anesya?"

Aku menengok penampilanku dari ujung kaki hingga bahu. Enggak ada yang salah di mataku. Bajuku bagus. Atasan aku pakai crop top hitam lengan pendek. Bawahannya, aku kenakan rok lipit mini satu jengkal di atas lutut. Sepatuku cantik, haknya tinggi. Apa yang salah?

"Aku mau main sama Vani, Buk. Udah, ya. Aku udah terlam--"

Terlambat aku mengelak. Tamparan Ibu sudah menghantam pipi, sebelum aku sempat mengelak. Aduh, kok sakit?

"Kamu mau bikin Ibu cepat mati, Anes?! Ngapain main malam-malam, dengan pakaian begini pula? Kamu mau jual diri? Mau jadi pelacur kamu?!"

Oh, Ibuku Sayang. Kenapa beliau enggak paham-paham dengan watakku, ya? Aku ini pantang dipancing. Langsung termotivasi untuk melakukan.

Mengusapi pipi yang nyeri, aku mengangkat dagu pada Ibu. "Kalau aku mau jual diri, memang kenapa? Ruginya Ibu apa? Kan bukan Ibu yang aku jual?"

Tadi yang kiri, sekarang pipiku yang kanan dapat giliran kena tampar. Apa ini arti pepatah soal kalau ditampar pipi kiri, kasih pipi kanan? Tapi, kan aku enggak kasih yang kanan tadi.

Tadinya duduk, Inara mendatangi dan memegangi Ibu yang mulai menangis. Ada yang aneh. Aku yang ditampar, kenapa Ibu yang menangis? Apa telapak tangannya sakit? Kalau pun iya, pasti enggak sesakit yang aku rasakan, 'kan?

"Mau sampai kapan kamu membuat malu keluarga kita, Anesya?" Ibu meratap sembari menepuk dadanya. "Harus sampai serendah apa kamu bertindak?"

Aku mengangkat bahu santai untuk menjawab tanya itu. Berikutnya, kaki mulai bergerak. Namun, kali ini tanganku ditahan lagi, oleh Inara.

"Jangan pergi, Kak. Banyak orang jahat yang bakalan manfaatin Kakak di luar sana."

Kuberi perempuan itu senyum sinis. "Orang jahat juga ada di dalam rumah. Bukan cuma di luar."

Inara menggeleng. Ia menengok ke belakang, lalu berkata, "Mas, tolong bawa Kakakku masuk ke kamarnya. Dia nggak boleh pergi."

Kutepis tangan Inara kuat. Segera aku berlari menuju pintu. Namun, tanganku ditarik oleh suaminya Inara yang entah sudah sejak kapan menyusul.

"Lepas," ucapku padanya. Kutatap dia penuh kebencian.

"Masuk ke kamar." Lelaki malah menarik makin kuat, kemudian menyeretku.

Aku meronta. Kupukul bagian tubuhnya yang bisa dijangkau. Tangan, lengan, punggung sampai kepalanya. Namun, dasarnya dia memang manusia batu, tak satu pun pukulan itu membuatnya melepas cekalan dariku.

Pria itu mendorongku kuat ketika tiba di kamar. Dia berdiri di depan pintu. Matanya menatap tajam padaku.

Sempat tak ada suara yang terdengar di antara kami untuk beberapa saat,  kecuali deru napas yang sedikit terengah. Aku tak gentar menatap sorot mata penuh kebencian miliknya. Asal dia tahu, aku sama bencinya pada dia.

"Kamu kira bisa kurung aku di sini? Aku tetap bakal pergi. Aku bisa cari jalan lain!" Aku memecah hening dengan ucapan penuh amarah.

Dia masih tak mengatakan apa-apa. Namun, matanya sudah memberitahuku apa yang kini dia pikirkan. Dia jijik padaku. Memang aku enggak?

Saat akan berjalan ke jendela karena berniat kabur dari sana, aku mendengar suaminya Inara itu buka suara.

"Mau sampai serendah apa lagi kamu? Mau sampai semurah apa lagi? Ibumu terlalu baik karena sudi menampungmu di sini. Kalau aku jadi dia, sudah lama kamu kulenyapkan."

Memunggungi dia, aku memegangi dada. Bajuku agaknya terlalu ketat, karenanya jadi sedikit sesak. Mataku bahkan sampai terasa panas dan mulai berair.

Aku tahu dia berhak membenciku, setelah apa yang terjadi. Aku sudah tahu dia jijik padaku sejak kejadian itu. Namun, aku enggak menyangka kalau mendengarnya menyuarakan itu bisa sebegini menyakitkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status