"Kamu senang jadi janda dua kali?"
Tadinya berniat mendiamkan semua omelan Ibu, aku terpaksa menoleh karena mendengar kalimat tadi. Gila. Tega sekali wanita yang sudah melahirkan aku itu berkata demikian?Memang, siapa yang suka jadi janda? Dua kali pula? Terlebih bukan janda yang ditinggal mati? Agak lain Ibuku ini.Jadi, hari ini Ibu dan Inara pulang dari luar negeri. Agenda tiap bulan, mengantar anak kesayangannya, si Inara itu untuk berobat. Kebetulan, pas mereka pulang, aku lagi ada di rumah. Bertemulah kami.Bukannya bertanya kabar, minimal bertanya habis berapa juta aku untuk biaya perceraian yang putusannya baru keluar dua hari lalu, Ibu malah marah-marah ndak jelas.Tadinya, sumpah, aku ingin diam saja. Sadar diri karena nantinya akan menumpang lagi di rumah Ibu, sudah kuputuskan untuk menerima saja semua wejangan wanita itu. Akan aku tahan apa pun yang dia katakan.Mau dibilang tak becus jadi istri, terlalu banyak tingkah jadi perempuan, sampai tuduhan selingkuh kalau perlu, aku sudah berjanji akan menerimanya dengan hati lapang, selapang-lapangnya. Namun, sungguh, kalimat barusan sama sekali enggak kuantisipasi.Tega sekali, ya, mengatai anak sendiri begitu. Menuduh aku senang karena sudah jadi janda dua kali. Wah, aku sampai enggak punya tenaga untuk geleng-geleng takjub karena terlampau terperangah."Kamu ini maunya apa, sih, Anesya? Mau sampai kapan kamu begini? Apa susahnya serius sama hidupmu sendiri?"Ibu sudah akan meraih lenganku, mungkin akan ia lipat-lipat, sampai suara Inara terdengar. Perempuan lemah lembut dengan kemeja coklat itu mencegah Ibu menyentuhku."Buk, sudahlah. Jangan terlalu keras sama Kak Nesya. Dia pasti masih sedih sekarang.""Sedih apanya? Kamu tidak lihat dia bisa makan keripik?" Ibu menunjuk keripik di pangkuanku.Aku langsung mengerutkan dahi. "Memangnya kalau baru cerai, enggak boleh makan keripik? Orang sedih pantang makan keripik? Ini keripik malang bener jadi barang terlarang?"Kulihat Ibu sudah akan membuka mulut. Mungkin, kali ini bukan cuma akan mengeluarkan kalimat panjang penuh amarah, Ibuku itu juga akan mengeluarkan semburan api. Jadi, aku buru-buru menyela.Aku berdiri, menaruh kedua tangan di depan wajah, alhasil plastik keripikku jatuh berserakan di karpet. Haduh! Sayangnya."Kan jatuh!" sungutku menyalahkan Ibu."Anesya!" Ibu memekik murka, aku langsung balik kanan, lalu kabur ke kamar.Nanti saja dilanjutkan makan keripiknya, setelah suasana lebih aman. Lagipula, sepertinya aku masih menyimpan dua bungkus keripik pisang rasa coklat di kamar. Sengaja kubeli banyak kemarin, setelah pulang dari pengadilan.Pintar, 'kan, aku?***Sejak tadi ponselku terus berdenting. Ingat tak punya urusan pekerjaan selama beberapa hari ke depan, aku mengabaikannya. Namun, makin dibiarkan dia malah makin menjadi.Malas-malasan aku bangun dari ranjang. Tak lupa melipat halaman buku novel yang sejak tadi kubaca, kemudian meraih ponsel. Banyak sekali pesan masuk."Oalasu!" Aku mengumpat kencang.Ini Inara kurang kerjaan atau gimana? Kenapa mengirimi banyak sekali pesan? Dia kan masih di rumah Ibu?Kubaca deretan pesan yang datang itu. Kebanyakan pertanyaan soal kondisiku, Inara agaknya mengalami gejala amnesia. Dia yang punya sakit jantung, kenapa malah sok cemas pada kondisiku? Aku ini manusia kuat. Dipukul pakai ikat pinggang saja aku enggak mati.Salah satu pesannya bertanya soal kapan aku datang ke rumahnya. Heleh! Banyak sekali energi wanita ini sampai memikirkan sesuatu yang remeh-temeh begini. Memang di rumahnya ada apa?Ada kamar tidur? Di sini juga ada. Di kamar kosku juga ada. Semua yang ada di rumahnya pasti juga ada di rumah Ibu. Ah, satu yang pasti ada di sana, tetapi enggak ada di mana pun.Si Gatan. Si gatal. Sianjing!Suasana hatiku jadi buruk, segera kulempar ponsel itu ke kasur. Lanjut rebahan, lanjut baca-baca. Peduli apa sama pesannya Inara?"Kak Anes?"Aku menaruh buku di atas wajah, lalu menggelepar bersemangat. Ketukan dan panggil di pintu makin sering, rasanya aku ingin mengunyah orang hidup-hidup.Apa Inara saja yang kukunyah?"Apa?" tanyaku sedang senyum kuda usai membukakan pintu untuk Inara.Perempuan dengan bulu mata lentik itu tersenyum. Ululu, manis sekali. Benar juga, ya. Dia lebih mirip Ibu daripada aku. Bulu mataku enggak lentik, tetapi lurus macam habis direbonding."Kakak udah makan? Inara buatkan mi, turun, yuk. Makan sama Inara."Wajah cantik, senyum manis, perangai dan tutur kata sempurna, penuh sopan santun. Aku mengangguk-angguk di tempat. Pantas banyak cowok yang tegila-gila pada Inara ini, ya? Pantas semua cowok yang kutaksir atau dekat denganku, akhirnya lebih memilih dia."Enggak, ah. Aku kenyang." Pintu sudah kudorong, tetapi Inara menahannya dengan tangan.Kalau enggak ingat dia ini ringkih sejak kecil, aku mungkin akan mendorong lebih kuat. Biar tangannya terjepit sekalian. Namun, enggaklah. Nanti bisa kena penjara. Ibu bisa ngamuk-ngamuk, ngatain aku udah janda dua kali, masuk bui pula.Akhirnya aku manut diajak turun ke meja makan. Kami makan, Inara sibuk berceloteh. Dia menerangkan soal perkembangan kondisinya di pembukaan."Doain, Kak. Semoga Inara nggak perlu operasi lagi."Aku mengangguk saja. Sebenarnya, enggak perlu dia kasih tahu, aku juga bakalan dapat info dari Ibu. Ibu kan enggak pernah absen memberitahu aku. Katanya, biar aku update perkembangan Inara dan seandainya Inara butuh bantuan aku siap sedia.Aku curiga Ibu melakukan itu untuk menyuruhku bersiap-siap siapa tahu Inara butuh mengambil jantungku untuk dicangkok.Selanjutnya, Inara cerita soal suaminya. Di sepanjang topik itu, aku menunduk ke arah mangkuk mi. Meresapi rasa kuah dan mi sebaik-baiknya, berusaha mendistorsipikiran dari ocehan Inara.Bukan apa-apa. Aku, tuh, sensitif sama topik itu. Aku dan suaminya Inara enggak akur. Jadi, sepet kalau dengar berita soal dia. Sialnya, Inara membutuhkan waktu hampir 20 menit untuk menceritakan suaminya. Aku hampir buang air besar di celana karenanya."Kak," panggil Inara sesudah beberapa saat diam.Aku menengok dengan wajah lempeng."Kapan Kakak main ke rumahku? Sekali aja, Kak. Inara juga pengen kayak adik-adik yang lain. Dikunjungin Kakaknya."Kepalaku mengangguk cepat."Serius, Kak. Jangan nunda-nunda lagi. Inara udah menikah empat tahun, tapi sekali pun Kakak belum pernah nginjak rumahku."Kali ini wajah ramahku hilang. Alisku mengait. "Memang, sepenting apa aku nginjak rumahmu? Apa urgensinya?"Senyum Inara tampak sedih. Aku curiga sebentar lagi dia akan menangis. Haduh, segera kupakai sandal rumah. Harus bersiap untuk kabur, kalau-kalau Ibu datang ke sini. Aku bisa dituduh sudah membuat anak kesayangannya menangis.Padahal, aku enggak salah apa-apa."Inara butuh yakin kalau Kakak nggak benci Inara lagi, setelah permintaan terakhir yang pernah kubuat waktu itu.""Bohong banget aku enggak benci kamu?" sahutku tanpa menutup-nutupi.Dia mengangguk, masih dengan senyum yang kelihatan enggak lepas. "Maafnya Inara belum cukup?""Aku bencinya dulu. Sekarang udah enggak. Udah biasa aja." Aku meneguk air dari gelas. Rasanya ingin cepat-cepat mengakhiri percakapan ini."Inara akan percaya itu, kalau Kakak datang ke rumahku. Jadi, Inara tunggu, Kak. Datanglah ke rumah, biar Inara bisa ngehapus rasa bersalah ke Kakak."Inara dan aku itu macam bawang putih dan bawang merah. Bagai air dan api. Seperti air dan minyak. Juga, sama seperti siang dan malam. Pokoknya, beda sekali. Aku yakin, salah satu dari kami pasti anak pungut. Aku atau Inara, salah satunya pasti ditemukan di semak-semak, pinggir sungai, tepi jalan atau genteng tetangga. Dan anak pungut itu pasti bukanlah Inara. Inara itu sudah 27 tahun sekarang. Sudah berumahtangga pula. Namun, lihatlah bagaimana Ibu memperlakukannya. Di depanku sekarang, ada berbagai macam hidangan. Udang asam manis, ikan gurami sambal, ayam goreng, ayam tumis kecap, tumis kangkung pedas, dan ... getirnya kehidupan spesial untukku. Ibu duduk di seberangku. Di sampingnya ada Inara. Ibu sedang berusaha merayu Inara agar mau membuka mulut dan melahap sesendok kasih sayang Ibu dalam bentuk sepotong daging ikan tanpa tulang. Ululu, manis sekali untuk Inara. Luar biasa pahit untuk diri ini. Seumur hidup, sejak aku bisa mengingat, ya. Ibu hanya menyuapiku 2 kali. Satu
Sebenarnya, dulu itu aku punya ksatria. Pahlawan yang akan selalu membela, tiap kali Ibu marah-marah, cubit-cubit atau pukul-pukul. Nama pahlawanku itu Rudianto. Ayahku. Sayang, seperti kata orang-orang. Orang baik itu perginya cepat. Ayahku juga pergi cepat sekali. Waktu aku berusia 17 tahun, Ayah berpulang karena penyakit yang sama seperti yang Inara derita. Sakit jantung. Sejak Ayah sudah enggak ada, aku enggak punya seseorang yang akan membawaku pergi jalan-jalan setiap habis dimarahi Ibu. Enggak ada lagi yang diam-diam masuk ke kamarku, terus kasih pelukan berlama-lama sambil bercerita soal hal seru, setelah siangnya aku dibentak Ibu habis-habisan. Sekarang aku sendirian. Harus sendirian merasai sakit hati habis disuruh mati sama suaminya Inara. Ayah enggak di sini untuk mendengar semua keluhanku. Beruntung si Gatan itu. Kalau saja Ayah masih ada, aku yakin dia sudah digantung hidup-hidup. Berani sekali bilang punya niat melenyapkanku? Memang dia siapa berhak atas nyawa seseo
Aku sedang menikmati mujair goreng yang dimasak Buk Tami, saat tiba-tiba saja Inara terdengar merintih. Perempuan itu sedikit membungkuk, lalu memegangi dada kiri. Kujeda gerakan mengunyah. Sudah akan menghampiri dia, tetapi Ibu dan suami perempuan itu lebih dulu melakukannya. Jadi, aku lanjut menggerakkan rahang, menghaluskan makanan di mulut. Inara pasti kambuh lagi. Entah di mana Ibu membawanya berobat, sepertinya selama ini ia dirawat dokter gadungan. Bertahun-tahun sudah menjalani perawatan, minum obat ini dan itu, sudah dua kali operasi, tetapi jantungnya masih saja bermasalah. Inara sudah begitu dari lahir. Sejak kecil, dia sering pingsan. Kelelahan sedikit, pingsan. Terkejut sedikit, pingsan. Bahkan untuk sekadar ikut upacara di sekolah saja dia itu enggak sanggup. Ibu sudah membawanya ke beberapa dokter. Kata mereka kelainan jantung yang Inara punya sulit disembuhkan. Paling bisa dibantu obat dan beberapa kali operasi. Namun, setelah semua itu dilakukan, kondisi anak kedu
Warning! 18+ *** Aku tiba di kos pukul tujuh malam. Beberapa minggu cuma mengontrol pekerjaan lewat ponsel, ternyata banyak hal yang perlu dilakukan. Aku pergi pukul sepuluh pagi tadi, dan baru selesai sekarang. Suasana hati agak muram saat aku ingat kalau malam ini Rahisa enggak tidur di kosnya. Rahisa akan menginap di rumah Pak Naja, karena laki-laki itu sakit. Sepertinya, habis mandi nanti, aku langsung tidur saja. Langkahku yang menuju kamar memelan saat melihat ada orang yang duduk di kursi teras. Kukira salah lihat, sempat sangsi kalau itu Gatan, suaminya Inara. Namun, setelah menginjak teras, ternyata benar lelaki itu Gatan. Malas meladeni dia, pun enggak tahu apa urusannya ada di sini, aku membuka kamar. Siapa tahu dia nyasar, ya, 'kan? Nanti, kalau aku tanya, dia malah bilang aku ge-er. Namun, ketika akan menutup pintu, Gatan malah mencegah. Pria itu mendorong kuat, sampai pintu kamar terbuka lebar. Dia menekuk wajah ke arahku, makin terlihat jelek dia. "Inara tanya
"Ini udah jadwalnya bersihin kolam, ya, Pak?" tanyaku pada Pak Sardi di sebelah. Pria lebih setengah abad itu mengiyakan. "Rencana besok, Mbak," jawabnya sembari menyebar pakan ikan ke kolam. Aku mengangguk, sambil memandangi para mujair yang mulai berkerubung di tempat pakan dijatuhkan. Aku menghitung dalam hati. Ini sudah bulan kelima setelah penyebaran bibit, artinya sudah bisa panen. Kembali aku menanyai Pak Sardi untuk lebih memastikan. Bagaimana juga beliau yang lebih sering mengurusi kolam-kolam mujair ini. Jadi, pasti lebih mengerti. Sejak berhenti menjadi teller salah satu bank, aku memutuskan untuk menjadi pengusaha. Budidaya ikan mujair yang kupilih. Dan setelah mengalami beberapa kali rugi, beberapa tahun belakangan usaha ini cukup menjanjikan. Aku bisa membiayai diriku dari usaha ini. Karena itu, meski enggak tinggal bersama Ibu sekali pun habis bercerai, aku enggak akan kesulitan bertahan hidup. "Apa mau sore ini saja panen, Mbak?" Pada Pak Sardi aku menggeleng. "
"Bisamu cuma buat ulah." Ditengah rasa dingin yang membuat tubuh menggigil, aku mendengar suara orang bicara. Kubuka mata, lalu mengernyit saat menemukan wajah Gatan tepat di depan mata. Seingatku, tadi itu tidur sofa di ruang tamu sendirian. Memang enggak nyenyak, karena Inara ternyata benar. Di sini dingin sekali. Namun, aku enggak merasa kapan Gatan datang dan enggak tahu mau apa dia di sini. "Minggir," gumamku sembari mendorong wajahnya menjauh. Mau apa dia dekat-dekat? "Pindah ke kamar. Di sini dingin." Mengangkat kelopak mata dalam keadaan setengah sadar, aku memakinya. "An**ng kau. Pergi kau sana," usirku dengan suara pelan. Jangan sampai Inara dengar. "Makanya jangan bikin ulah. Pindah ke kamar." Dia malah melotot. Masih enggak menyingkir dari samping sofa yang aku baringi. "Ulahku apa memangnya? Sana, aku mau tidur." Malas meladeni, pun masih sangat mengantuk, aku berbalik. Aku memunggungi dia, kemudian merapatkan selimut ke tubuh. Seharusnya tadi aku menaikkan suhu
Aku berlari macam orang dikejar kematian dari kos. Tujuanku adalah jalan raya, segera mencegat taksi, kemudian ke rumah sakit. Namun, setibanya aku di jalan besar, enggak ada satu pun taksi yang lewat. Aku memukul kepala kencang karena enggak ingat kalau taksi atau ojek bisa dipesan lewat ponsel. Mana ponselku tinggal di kos. Sialan. Menjambak rambut sendiri, aku sudah akan berlari. Biar pakai kaki saja, pasti sampai juga. Saat itu, sebuah mobil mengadang jalanku, sembari menekan klakson. "Kamu ngapain berkeliaran malam-malam di--" "Rumah sakit!" potongku pada Gatan. Aku langsung masuk ke mobilnya. Dia menatapku dengan wajah bingung. "Rumah sakit. Cepat!" Mobil Gatan mulai berjalan. Aku meremas jemari sendiri. Enggak sabar untuk segera sampai rumah sakit, tetapi juga enggak sanggup kalau harus lihat Rahi. "Kamu mau apa ke rumah sakit?" Pertanyaan Gatan langsung membuat air mataku tumpah. Debar jantungku yang cepat membawa sensasi nyeri yang membuat enggak nyaman bernapas. "T
Menarik daun pintu kamar kos hingga terbuka, aku membeliak sampai kelopak mataku rasanya sakit. Memalingkan wajah sebentar, aku baca doa sejenak, mengusap wajah, lalu menatap lurus. Orang yang kulihat di depan pintu enggak hilang. Mampus. Beneran ternyata. Sosok Ibu yang aku lihat sekarang bukan sekadar halusinasi. Segera aku keluar, kemudian menutup pintu. Kupersilakan Ibu menempati kursi yang ada di teras. "Ada apa?" tanyaku enggak sabar. Sama sekali enggak ada keramahan di ekspresi wajah Ibu. Aku berusaha mengingat-ingat sudah melakukan kesalahan apa. Sepertinya enggak ada. Hidupku tenang tentram dua bulan belakangan. Sehari-hari aku pergi menengok para mujair penghasil uang. Menjenguk Rahi, atau membereskan kamarnya Rahi. Lalu, tidur kalau memang lagi malas. Kapan aku melakukan sesuatu yang salah? "Kamu berniat merusak rumah tangga Inara?" Aku melipat bibir ke dalam. Sempat menahan napas, kemudian sok mengernyit. Aku harus pura-pura enggak paham dulu. "Maksud Ibu?" "Mau