Share

Suami Adikku, Ayah Anakku
Suami Adikku, Ayah Anakku
Penulis: Sinda

SA -Bab 1

"Kamu senang jadi janda dua kali?"

Tadinya berniat mendiamkan semua omelan Ibu, aku terpaksa menoleh karena mendengar kalimat tadi. Gila. Tega sekali wanita yang sudah melahirkan aku itu berkata demikian?

Memang, siapa yang suka jadi janda? Dua kali pula? Terlebih bukan janda yang ditinggal mati? Agak lain Ibuku ini.

Jadi, hari ini Ibu dan Inara pulang dari luar negeri. Agenda tiap bulan, mengantar anak kesayangannya, si Inara itu untuk berobat. Kebetulan, pas mereka pulang, aku lagi ada di rumah. Bertemulah kami.

Bukannya bertanya kabar, minimal bertanya habis berapa juta aku untuk biaya perceraian yang putusannya baru keluar dua hari lalu, Ibu malah marah-marah ndak jelas.

Tadinya, sumpah, aku ingin diam saja. Sadar diri karena nantinya akan menumpang lagi di rumah Ibu, sudah kuputuskan untuk menerima saja semua wejangan wanita itu. Akan aku tahan apa pun yang dia katakan.

Mau dibilang tak becus jadi istri, terlalu banyak tingkah jadi perempuan, sampai tuduhan selingkuh kalau perlu, aku sudah berjanji akan menerimanya dengan hati lapang, selapang-lapangnya. Namun, sungguh, kalimat barusan sama sekali enggak kuantisipasi.

Tega sekali, ya, mengatai anak sendiri begitu. Menuduh aku senang karena sudah jadi janda dua kali. Wah, aku sampai enggak punya tenaga untuk geleng-geleng takjub karena terlampau terperangah.

"Kamu ini maunya apa, sih, Anesya? Mau sampai kapan kamu begini? Apa susahnya serius sama hidupmu sendiri?"

Ibu sudah akan meraih lenganku, mungkin akan ia lipat-lipat, sampai suara Inara terdengar. Perempuan lemah lembut dengan kemeja coklat itu mencegah Ibu menyentuhku.

"Buk, sudahlah. Jangan terlalu keras sama Kak Nesya. Dia pasti masih sedih sekarang."

"Sedih apanya? Kamu tidak lihat dia bisa makan keripik?" Ibu menunjuk keripik di pangkuanku.

Aku langsung mengerutkan dahi. "Memangnya kalau baru cerai, enggak boleh makan keripik? Orang sedih pantang makan keripik? Ini keripik malang bener jadi barang terlarang?"

Kulihat Ibu sudah akan membuka mulut. Mungkin, kali ini bukan cuma akan mengeluarkan kalimat panjang penuh amarah, Ibuku itu juga akan mengeluarkan semburan api. Jadi, aku buru-buru menyela.

Aku berdiri, menaruh kedua tangan di depan wajah, alhasil plastik keripikku jatuh berserakan di karpet. Haduh! Sayangnya.

"Kan jatuh!" sungutku menyalahkan Ibu.

"Anesya!" Ibu memekik murka, aku langsung balik kanan, lalu kabur ke kamar.

Nanti saja dilanjutkan makan keripiknya, setelah suasana lebih aman. Lagipula, sepertinya aku masih menyimpan dua bungkus keripik pisang rasa coklat di kamar. Sengaja kubeli banyak kemarin, setelah pulang dari pengadilan.

Pintar, 'kan, aku?

***

Sejak tadi ponselku terus berdenting. Ingat tak punya urusan pekerjaan selama beberapa hari ke depan, aku mengabaikannya. Namun, makin dibiarkan dia malah makin menjadi.

Malas-malasan aku bangun dari ranjang. Tak lupa melipat halaman buku novel yang sejak tadi kubaca, kemudian meraih ponsel. Banyak sekali pesan masuk.

"Oalasu!" Aku mengumpat kencang.

Ini Inara kurang kerjaan atau gimana? Kenapa mengirimi banyak sekali pesan? Dia kan masih di rumah Ibu?

Kubaca deretan pesan yang datang itu. Kebanyakan pertanyaan soal kondisiku, Inara agaknya mengalami gejala amnesia. Dia yang punya sakit jantung, kenapa malah sok cemas pada kondisiku? Aku ini manusia kuat. Dipukul pakai ikat pinggang saja aku enggak mati.

Salah satu pesannya bertanya soal kapan aku datang ke rumahnya. Heleh! Banyak sekali energi wanita ini sampai memikirkan sesuatu yang remeh-temeh begini. Memang di rumahnya ada apa?

Ada kamar tidur? Di sini juga ada. Di kamar kosku juga ada. Semua yang ada di rumahnya pasti juga ada di rumah Ibu. Ah, satu yang pasti ada di sana, tetapi enggak ada di mana pun.

Si Gatan. Si gatal. Sianjing!

Suasana hatiku jadi buruk, segera kulempar ponsel itu ke kasur. Lanjut rebahan, lanjut baca-baca. Peduli apa sama pesannya Inara?

"Kak Anes?"

Aku menaruh buku di atas wajah, lalu menggelepar bersemangat. Ketukan dan panggil di pintu makin sering, rasanya aku ingin mengunyah orang hidup-hidup.

Apa Inara saja yang kukunyah?

"Apa?" tanyaku sedang senyum kuda usai membukakan pintu untuk Inara.

Perempuan dengan bulu mata lentik itu tersenyum. Ululu, manis sekali. Benar juga, ya. Dia lebih mirip Ibu daripada aku. Bulu mataku enggak lentik, tetapi lurus macam habis direbonding.

"Kakak udah makan? Inara buatkan mi, turun, yuk. Makan sama Inara."

Wajah cantik, senyum manis, perangai dan tutur kata sempurna, penuh sopan santun. Aku mengangguk-angguk di tempat. Pantas banyak cowok yang tegila-gila pada Inara ini, ya? Pantas semua cowok yang kutaksir atau dekat denganku, akhirnya lebih memilih dia.

"Enggak, ah. Aku kenyang." Pintu sudah kudorong, tetapi Inara menahannya dengan tangan.

Kalau enggak ingat dia ini ringkih sejak kecil, aku mungkin akan mendorong lebih kuat. Biar tangannya terjepit sekalian. Namun, enggaklah. Nanti bisa kena penjara. Ibu bisa ngamuk-ngamuk, ngatain aku udah janda dua kali, masuk bui pula.

Akhirnya aku manut diajak turun ke meja makan. Kami makan, Inara sibuk berceloteh. Dia menerangkan soal perkembangan kondisinya di pembukaan.

"Doain, Kak. Semoga Inara nggak perlu operasi lagi."

Aku mengangguk saja. Sebenarnya, enggak perlu dia kasih tahu, aku juga bakalan dapat info dari Ibu. Ibu kan enggak pernah absen memberitahu aku. Katanya, biar aku update perkembangan Inara dan seandainya Inara butuh bantuan aku siap sedia.

Aku curiga Ibu melakukan itu untuk menyuruhku bersiap-siap siapa tahu Inara butuh mengambil jantungku untuk dicangkok.

Selanjutnya, Inara cerita soal suaminya. Di sepanjang topik itu, aku menunduk ke arah mangkuk mi. Meresapi rasa kuah dan mi sebaik-baiknya, berusaha mendistorsi

pikiran dari ocehan Inara.

Bukan apa-apa. Aku, tuh, sensitif sama topik itu. Aku dan suaminya Inara enggak akur. Jadi, sepet kalau dengar berita soal dia. Sialnya, Inara membutuhkan waktu hampir 20 menit untuk menceritakan suaminya. Aku hampir buang air besar di celana karenanya.

"Kak," panggil Inara sesudah beberapa saat diam.

Aku menengok dengan wajah lempeng.

"Kapan Kakak main ke rumahku? Sekali aja, Kak. Inara juga pengen kayak adik-adik yang lain. Dikunjungin Kakaknya."

Kepalaku mengangguk cepat.

"Serius, Kak. Jangan nunda-nunda lagi. Inara udah menikah empat tahun, tapi sekali pun Kakak belum pernah nginjak rumahku."

Kali ini wajah ramahku hilang. Alisku mengait. "Memang, sepenting apa aku nginjak rumahmu? Apa urgensinya?"

Senyum Inara tampak sedih. Aku curiga sebentar lagi dia akan menangis. Haduh, segera kupakai sandal rumah. Harus bersiap untuk kabur, kalau-kalau Ibu datang ke sini. Aku bisa dituduh sudah membuat anak kesayangannya menangis.

Padahal, aku enggak salah apa-apa.

"Inara butuh yakin kalau Kakak nggak benci Inara lagi, setelah permintaan terakhir yang pernah kubuat waktu itu."

"Bohong banget aku enggak benci kamu?" sahutku tanpa menutup-nutupi.

Dia mengangguk, masih dengan senyum yang kelihatan enggak lepas. "Maafnya Inara belum cukup?"

"Aku bencinya dulu. Sekarang udah enggak. Udah biasa aja." Aku meneguk air dari gelas. Rasanya ingin cepat-cepat mengakhiri percakapan ini.

"Inara akan percaya itu, kalau Kakak datang ke rumahku. Jadi, Inara tunggu, Kak. Datanglah ke rumah, biar Inara bisa ngehapus rasa bersalah ke Kakak."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status