Share

SA - Bab 3

Sebenarnya, dulu itu aku punya ksatria. Pahlawan yang akan selalu membela, tiap kali Ibu marah-marah, cubit-cubit atau pukul-pukul. Nama pahlawanku itu Rudianto. Ayahku.

Sayang, seperti kata orang-orang. Orang baik itu perginya cepat. Ayahku juga pergi cepat sekali. Waktu aku berusia 17 tahun, Ayah berpulang karena penyakit yang sama seperti yang Inara derita. Sakit jantung.

Sejak Ayah sudah enggak ada, aku enggak punya seseorang yang akan membawaku pergi jalan-jalan setiap habis dimarahi Ibu. Enggak ada lagi yang diam-diam masuk ke kamarku, terus kasih pelukan berlama-lama sambil bercerita soal hal seru, setelah siangnya aku dibentak Ibu habis-habisan.

Sekarang aku sendirian. Harus sendirian merasai sakit hati habis disuruh mati sama suaminya Inara. Ayah enggak di sini untuk mendengar semua keluhanku.

Beruntung si Gatan itu. Kalau saja Ayah masih ada, aku yakin dia sudah digantung hidup-hidup. Berani sekali bilang punya niat melenyapkanku? Memang dia siapa berhak atas nyawa seseorang?

Mengingat Ayah, aku jadi rindu. Sejak semalam kutahan, pagi ini aku mau pergi menemuinya. Aku tahu, cerita padanya bisa di mana saja. Dari atas sana, dia pasti bisa melihat aku. Namun, rasanya tetap berbeda karena raganya enggak lagi bisa aku lihat.

Orangnya enggak bisa dilihat, minimal bisa memegang nisannya. Meski itu sama sekali enggak akan bisa membayar rindu yang kupunya seluruhnya.

Turun ke ruang tamu, aku melihat Ibu dan Inara di sana. Ibu bertanya aku mau ke mana. Meski kali ini aku enggak mengenakan gaun seksi, melainkan kemeja kuning cantik, tetapi sorot mata wanita itu tetap tajam seperti semalam.

"Mau beli keripik pisang. Kenapa? Ibu juga bakal larang aku jajan?"

Ibu hanya menggeleng pelan, lalu kembali sibuk dengan buku-buku catatannya di meja. Aku juga enggak berlama-lama di sana. Langsung aku berlari keluar dan berangkat ke rumah Ayah.

***

Aku di tempat Ayah dari pagi sampai sore. Pertama menanyai kabar Ayah, lalu bercerita soal perceraianku dengan Arman, kemudian diam. Kurasa karena terlalu lama bungkam dan melamun, aku kerasukan sampai menangis tiba-tiba. Habis menangis, aku kembali bicara pada Ayah.

Aku mengadukan pipiku yang sakit karena ditampar Ibu kemarin.

"Ayah apa enggak bisa datangi Ibu? Bilangin, aku bikin blush on itu lumayan lama, karena enggak pandai. Kok Ibu enak aja hapus pakai tamparannya?"

Kalimatku enggak dijawab Ayah. Cuma suara angin tipis yang terdengar berembus. Anginnya pelan, tapi daun -daun dari pohon di dekat pusara Ayah sampai berjatuhan. Apa sekarang lagi musim gugur?

Kembali aku memandangi nisan Ayah. Mengusapinya beberapa kali, air mataku tumpah lagi. Kerasukan lagi agaknya.

"Ayah ... kata Ibu dia malu sama aku. Memang aku ngapain, Ayah? Ayah tahu, 'kan, kalau aku juga enggak mau jadi janda dua kali. Ayah tahu, 'kan apa yang terjadi?"

Kepalaku mengangguk. Kuseka mata dan pipi yang kembali basah. "Ayah pasti tahu. Ayah selalu lihat aku dari atas sana, 'kan? Aku enggak salah, 'kan, Ayah? Cerai sampai dua kali enggak sepenuhnya salahku, 'kan?"

Kali ini bukan cuma angin yang datang. Hujan mulai turun. Aku tersenyum ke arah nisan Ayah.

"Ayah marah apa ikut nangis sama aku? Tadi angin, sekarang hujan? Ayah enggak suka aku datang?"

Aku hanya bercanda. Sepanjang yang aku tahu, almarhum Rudianto ini enggak pernah marah padaku. Mana mungkin dia kesal karena seharian mendengar ocehanku, 'kan? Ayah enggak begitu?

Ayah bahkan pernah mengajakku minggat dari rumah seharian, sampai dia enggak pergi ke kantor. Waktu itu Ibu marah padaku karena meninggalkan Inara di sekolah dan pulang duluan. Aku dapat banyak cubitan di paha, hampir dijambak juga kalau saja bapak Rudianto ini enggak membawaku kabur.

Kami beneran kabur. Naik motor berdua, pergi dari rumah, tetapi enggak bawa baju. Kami pergi ke warung makan dulu. Ayah suruh aku makan, bahkan disuapi karena kubilang enggak selera.

Setelah makan, dia mengajakku beli mainan. Saat sore datang, kami menunggu di depan sebuah pasar malam.

"Ibumu cuma marah. Dia ndak benci ke kamu." Begitu kata Ayah dengan suaranya yang selalu bernada menenangkan.

Aku yang duduk di jok motor hanya mengangguk pada Ayah yang duduk di sebelah. Kami sama-sama menatap ke pintu lapangan tempat pasar malam.

"Kamu pasti merasa Ibumu benci kamu."

Air mataku tumpah waktu itu. Aku mengangguk, sesenggukan lalu berkata. "Ibu sayangnya cuma sama Inara. Inara anak kesayangannya Ibu, a--"

"Kamu anak kesayangan Ayah."

Ayah memelukku waktu itu. Merangkul erat dari samping, sambil mengusapi wajahku yang basah.

"Kamu mau tahu satu rahasia?"

Aku mengangguk antusias waktu itu. Senyumku perlahan terbit, meski hujan dari mata terus jatuh. Aku enggak bisa enggak tersenyum, tiap kali Ayah melakukan hal sama.

Tiap kali laki-laki itu memberi senyum padaku, aku merasa seperti anak paling disayang. Matanya akan berbinar, senyumnya lebar sekali. Dia akan selalu menatapku seolah aku ini sesuatu yang paling bagus di dunia. Dan aku sangat menyukainya.

"Dibanding Ibumu, Ayah itu sebenarnya lebih sayang ke kamu. Ibumu itu cuma nomor dua di hati Ayah."

Lalu aku tertawa. Tertawa sambil terisak parah. Aku memeluk dia kuat-kuat, sambil berdoa supaya selalu bersama dia sampai mati.

Eh, doaku enggak dikabulkan. Bapakku berpulang, sebelum aku mati. Jadilah hidupku enggak karu-karuan. Aku enggak punya orang yang menyayangiku lagi.

Makanya, aku yakin angin dan hujan yang datang ini bukan bentuk dari kekesalan Ayah. Namun, hanya alarm untuk menyuruhku pulang karena langit sudah gelap. Aku enggak mungkin membantah Ayah, karenanya langsung pamit pulang.

Keluar dari area pemakaman, hujan makin deras. Aku berteduh di pohon dekat pintu masuk dan sudah akan memesan ojek online. Namun, sebuah mobil tahu-tahu berhenti di depanku.

Kukira itu hanya orang lewat. Jadi, aku abaikan. Namun, orang di mobil itu malah menekan klakson berulang-ulang. Berikutnya, kaca mobil diturunkan. Aku melihat Gatan di belakang kemudi.

Cukup terkejut kenapa dia bisa ada di sini. Namun, aku memilih tak bicara apa-apa atau terus-terusan meliriknya. lima belas menit berlalu, ojekku datang.

Kami sudah akan berangkat, saat Gatan tahu-tahu muncul dan mengadang laju motor. Pria itu menarikku hingga turun dari jok, lalu menyuruh si supir pergi usai dia beri uang.

"Loh?!" seruku takjub ketika ojek yang harusnya mengantar aku pulang, malah pergi begitu saja.

Gatan melirik tajam sebentar, sebelum dia menyeret, lalu memaksaku masuk ke mobilnya. Harusnya, sih, masih bisa kabur sewaktu dia memutari mobil dan menuju kursi kemudi. Namun, aku sudah kedinginan. Jadi, terpaksa ikut menumpang dengan dia.

Mobil Gatan melaju sedang. Jalanan agak macet. Pun durasi berhenti di lampu merah jadi lebih lama karena kendaraan lumayan padat. Sepanjang itu, aku sama sekali enggak menoleh pada si supir. Enggak bicara juga, karena bingung apa yang masih bisa kami bicarakan.

Namun, aku penasaran soal sesuatu.  Kenapa Gatan bisa ada di dekat pemakaman itu? Enggak sengaja lewat? Enggak mungkin, kantornya jauh dari sana. Apa dia habis mengunjungi seseorang di makam itu? Enggak mungkin juga, ibunya kan enggak dikubur di sana. Mantan pacarnya yang meninggal itu juga bukan orang sini.

Penasaran benar, aku putuskan untuk menanyai Inara. Istrinya Gatan itu pasti tahu ke mana saja suaminya. Aku mengirim pesan kalau aku bertemu Gatan di jalan.

Enggak berapa lama kemudian, pesan balasan datang.

[Kakak udah seharian di makam Ayah. Aku khawatir, jadi aku minta tolong Mas Gatan jemput pas dia pulang kantor.]

Mataku membola. Inara tahu aku di rumah Ayah? Kenapa bisa? Aku pamitnya beli keripik pisang padahal.

[Kamu tahu aku ke rumah Ayah?]

Aku mengirim balasan pada Inara. Tulisan mengetik tertulis di bawah profilnya.

[Warna kuning itu kesukaan Ayah. Kamu selalu pakai baju kuning tiap kali ke sana.]

"Oh," gumamku paham.

Jago juga Inara ini mengamati sekitar. Aku heran dia bisa hapal kalau aku memang selalu mengenakan setelan kuning tiap kali ke makam.

Mengamati ke luar jendela lagi, aku melihat toko oleh-oleh tempat aku biasa membeli jajanan. Segera kuminta Gatan berhenti.

"Makasih. Aku turun sini aja."

Tanganku yang melepas seat belt malah dia pegang. "Kamu mau bikin ulah apa lagi?"

Aku menggeleng dengan wajah jujur. Kutunjuk toko di seberang jalan. "Mau jajan. Sejak kapan jajan masuk tindakan dilarang?"

Kutepis tangannya, kemudian turun. Aku berlari kecil untuk menyebrang karena hujan masih turun, meski tidak sederas tadi. Masuk ke dalam toko, aku semringah memilih jajanan yang akan dibawa pulang.

Namun, rasa senangku karena sudah ke rumah Ayah dan beli banyak jajanan menguap begitu saja, ketika keluar dari toko. Tepat di depan toko itu, mobil Gatan terparkir. Setelah aku muncul, klaksonnya berbunyi, lalu kaca pintunya diturunkan.

Wajah Gatan yang menyebalkan terlihat. Lengkap dengan dahi ditekuk dan alis mengait. Namun, apa yang ia suarakan kemudian mampu membuatku mematung dengan laju jantung menggila.

"Cepat masuk, kamu nggak kuat sama dingin."

Jadi ... dia masih ingat beberapa hal soal aku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status