Fadhil dan Nisa menjalani hari-harinya sebagai orang tua muda. Mereka banyak melakukan hal-hal yang biasa orang lain lakukan. Fadhil tidak pernah menyia-nyiakan waktunya untuk bersama Syafira dan Nisa. Terlebih kini bocah mungil itu sedang gemas-gemasnya karena sudah mulai berceloteh meski usianya belum genap satu tahun.Seperti biasa, sore ini Fadhil pulang lebih awal. Saat kakinya melangkah masuk dan mengucapkan salam, Syafira dengan riangnya menyambut kedatangan sang ayah. Balita itu merangkak pelan mendekati Fadhil sambil tersenyum riang. Nisa di belakang Syafira menuntun.Nisa meraih tangan kanan Fadhil dan menciumnya lembut, Fadhil lalu meraih kepala Nisa dan mencium keningnya. Kepala Syafira mendongak menyaksikan adegan mesra orang tuanya itu sambil senyum dan memperhatikan.“Assalamualaikum anak ayah. Cantik banget hari ini,” ucap Fadhil sambil tangannya menggendong Syafira. Bocah itu tersenyum sambil tangannya mengusap wajah Fadhil dan mencoba membuka kacamatanya. Tapi Nisa k
Dua tahun kemudian ....“Unda ....” Syafira merengek pada Nisa minta digendong, sedangkan wanita itu tengah sibuk menyiapkan sarapan untuk Fadhil di dapur. Syafira bangun tidur tanpa sepengetahuan Fadhil, lelaki itu entah ke mana. Biasanya, bocah mungil itu akan digendong Fadhil jika ikut bangun subuh seperti ini.Syafira ... kini bocah itu mulai bisa berjalan dan mengoceh. Ia bisa membedakan mana bundanya dan orang lain. Syafira semakin manja dan enggan digendong orang lain, bahkan jika pun terpaksa, harus diiming-imingi hal lain. Ajak jajan, misalnya.Nisa mematikan kompor dan melap tangannya, lalu menggendong Syafira.“Kok anak bunda udah bangun, sih. Ayah, mana, nih? Bunda lagi bikin sarapan, Syafira sama ayah dulu, ya,” ucap Nisa sambil berjalan ke kamarnya. Di sana, ia melihat Fadhil baru ke luar dari kamar mandi.“Syafira udah bangun, Nis?”“Iya ... gendong bentar, ya, Kak. Nisa lagi buat sarapan buat Kak Fadhil.”Tanpa menunggu jawaban Fadhil, Nisa menyerahkan Syafira pada le
Seperti kisah sinetron yang akan menuju ending yang bahagia dan tidak ada lagi air mata. Kisah cinta Nisa, Imran dan Fadhil pun seperti itu. Imran turut bahagia dan terharu kala mendengar kabar tentang kehamilan Nisa, pun dengan orang tua Imran, mereka tentu bahagia pula.Bu Surya sering mengunjungi Nisa di rumahnya. Bersama Alifah ia datang. Bu Sri tentu tidak keberatan dengan hal itu. Justru dengan seringnya Bu Surya datang berkunjung, hubungannya dengan ibu dari Fadhil pun terlihat semakin akrab, bahkan keduanya semakin kompak.Nisa bersyukur karena dua wanita yang paling disayanginya kini terlihat bak teman, semoga saja mereka akan terus menjalin hubungan baik ini.Imran doble bahagia, karena sebentar lagi Fitri akan pulang dan niatnya untuk melamar dan meminang gadis itu akan segera ia wujudkan di hadapan Semuanya. Tentunya Fitri sudah mengetahui latar belakang Imran dan gadis itu dengan hati terbuka menerima. Imran tentu tidak akan pernah menyia-nyiakan ini dan akan mencintai Fi
Imran masih duduk dengan di kursi restoran, tanpa ada niat untuk pergi atau mengurung diri seperti yang ia lakukan dulu jika menghadapi situasi ini. Lelaki itu justru mencoba menghabiskan makanannya yang masih tersisa, meski makanan itu terasa pahit di lidah. Teringat pesan sang mama agar tidak menyisakan makanan, karena banyak di luaran sana orang-orang yang sulit untuk mendapatkan makanan.Lelaki itu tidak menangis lagi, bahkan Imran merasa air matanya sudah kering. Yang ingin Imran lakukan sekarang adalah menghabiskan makanan itu dan pergi untuk segera pulang ke rumahnya. Imran tidak lagi menempati apartemennya sejak ia tertangkap basah oleh Pak Surya di saat sedang mabuk.Saat Imran hendak menyendok suapan terakhir, seseorang menepuk bahunya. Imran menoleh. “Fadhil!” Fadhil tersenyum lalu duduk di hadapan Imran. Kening Fadhil berkerut saat melihat piring bekas makan seseorang.Imran yang menyadari keanehan di wajah Fadhil berucap. “Tadi saya makan sama Fitri.”“Dia ke mana?” tany
Sejak obrolannya dengan Fadhil waktu itu, Imran seolah menjadi sosok manusia yang baru. Tidak mudah uring-uringan atau pun marah karena hal sepele. Terlebih saat ia ditolak oleh orang tua Fitri, Imran dengan mudah bisa move on dengan cara menyibukkan diri dengan pekerjaan. Meski tidak bisa dipungkiri, Imran masih sering memikirkan gadis itu.Beberapa bulan kemudian, saat sedang di kantor, salah seorang teman mengantarkan undangan pernikahan untuk Imran. Pada kertas undangan berwarna putih dengan ukiran batik itu tertulis nama Fitri dan Imran. Yah ... nama calon suami Fitri juga Imran, tapi bukan dirinya yang terpilih, melainkan orang lain.“Ikhlas itu memang tidak mudah, tapi saya pasti bisa melewati ini semua!” ujar Imran dalam hati. Lalu mengembuskan napasnya panjang.Dibukanya kertas undangan yang diikat dengan tali yang terbuat dari serabut kayu itu, lalu dibacanya kata demi kata acara yang tertulis di sana. Acara akad nikah Fitri bertepatan dengan acara tujuh bulanan kehamilan Ni
❤️“Rabbana atinaa fiddunya hasanah, wafilaakhirati hasanah, waqinaa 'adzaabannaar.” Nisa mengusap wajahnya, lalu kedua tangannya menengadah, berdoa memohon pada Sang Khalik agar senantiasa melindungi keluarga kecilnya.Usai berdoa, tanpa melepas mukena yang dikenakannya, ia mendekati lelaki yang masih berbaring di ranjang.“Mas, bentar lagi masuk waktu subuh, tahajud dulu, Mas.” Nisa mengusap pelan bahu Imran-suaminya, tapi lelaki itu enggan membuka mata.“Mas ....”Imran mengedikkan bahunya. “Mas masih ngantuk.”Kening Nisa bertautan, tidak biasanya Imran menolak ajakan untuk tahajud. Biasanya lelaki itu yang selalu bersemangat mengingatkan. Ia pun mencoba untuk membangunkan Imran sekali lagi, siapa tahu berhasil.“Mas ... solat tahajud dul ....” Nisa urung melanjutkan perkataannya saat Imran bangun.“Kamu dengar, nggak, Mas bilang!” Imran memutar tubuhnya menghadap Nisa. Matanya yang berwarna merah menatap istrinya dengan marah.“Maaf, Mas. Nisa ....”“Lagian percuma juga tahajud.
❤️❤️Tidak ada perpisahan yang berujung bahagia, meski keduanya sudah tak ada lagi rasa. Lalu, bagaimana dengan hati Nisa dan Imran yang masih saling mendamba, masih saling mencinta, tapi keadaan yang sudah tak ingin saling menyapa. Sakit!Meski nasib bisa diubah, tapi jalan hidup yang sudah Allah gariskan harus dijalani dengan baik. Jangan mengeluh.Nisa sudah bisa menguasai dirinya. Tidak menangis seperti tadi, wanita itu bahkan beranjak dari pelukan mertuanya, lalu ke dapur guna menghangatkan sayur dan menyiapkan makan siang. Pak Surya ke luar dan memilih duduk di teras, sedangkan Bu Surya naik ke lantai atas.Tangan tua wanita itu membuka pintu perlahan, tanpa mengetuk terlebih dahulu. Kamar itu terlihat lebih berantakan, dengan beberapa hiasan meja tercecer di lantai. Juga beberapa buku berserakan. Ia melihat Imran tengah berdiri di balkon kamar dengan kedua mata tertutup.“Mama nggak paham dengan jalan pikiranmu, Imran.” Bu Surya berdiri di sebelah putranya. Wanita itu menoleh,
❤️❤️Imran berbaring dengan kedua tangannya menumpu kepala. Matanya menatap langit-langit kamar. Sesekali napas panjang keluar dari mulutnya. Tak jauh dari sisinya, seorang wanita berhijab berdiri di dekat meja rias memerhatikan.“Mas ....”Imran menoleh ke arah wanita yang masih mengenakan pakaian pengantin berwarna putih. Tiba-tiba ada hasrat yang menyuruhnya untuk tersenyum.“Ya, Nis?”“Nisa boleh rebahan di situ?” tanya Nisa, sambil telunjuknya mengarah ke lengan Imran. Wanita itu ingin tidur di lengannya. Kening Imran mengernyit, tapi detik berikutnya ia mengangguk. Ia merentangkan tangan kanannya, seolah mempersilakan. Nisa berjalan mendekat lalu meletakkan kepalanya di sana.Jantung keduanya berdetak cepat saat keduanya saling bertatapan. Tangan kiri Imran menyentuh pipi Nisa, keduanya pun tersenyum.“Nisa?”“Iya, Mas?”“Kenapa mau dijodohkan sama, Mas?”“Karena Allah!”“Seyakin itu, Nis?”“Iya. Nisa percaya. Allah akan menghadirkan pada Nisa, pasangan yang baik. Juga soleh.”K