Share

perpisahan

Author: Ana Battosai
last update Last Updated: 2022-06-28 10:08:20

❤️❤️

Tidak ada perpisahan yang berujung bahagia, meski keduanya sudah tak ada lagi rasa. Lalu, bagaimana dengan hati Nisa dan Imran yang masih saling mendamba, masih saling mencinta, tapi keadaan yang sudah tak ingin saling menyapa. Sakit!

Meski nasib bisa diubah, tapi jalan hidup yang sudah Allah gariskan harus dijalani dengan baik. Jangan mengeluh.

Nisa sudah bisa menguasai dirinya. Tidak menangis seperti tadi, wanita itu bahkan beranjak dari pelukan mertuanya, lalu ke dapur guna menghangatkan sayur dan menyiapkan makan siang. Pak Surya ke luar dan memilih duduk di teras, sedangkan Bu Surya naik ke lantai atas.

Tangan tua wanita itu membuka pintu perlahan, tanpa mengetuk terlebih dahulu. Kamar itu terlihat lebih berantakan, dengan beberapa hiasan meja tercecer di lantai. Juga beberapa buku berserakan. Ia melihat Imran tengah berdiri di balkon kamar dengan kedua mata tertutup.

“Mama nggak paham dengan jalan pikiranmu, Imran.” Bu Surya berdiri di sebelah putranya. Wanita itu menoleh, menanti jawaban.

“Imran nggak minta mama untuk memahami ini.” Imran terdiam sejenak, lalu kembali berkata. “Mama pun pasti ingin lihat Nisa bahagia!”

“Dengan cara menceraikannya?” tanya Bu Surya.

Imran mengangguk.

“Nggak ada jalan lain?”

Imran menggelengkan kepalanya.

Kedua alis Bu Surya bertautan. Sungguh tidak mengerti apa yang sedang direncanakan Imran.

“Suami mana yang tega melihat istrinya menatap penuh ingin saat melihat wanita lain sedang hamil atau menggendong anak. Hati aku sakit, Ma. Aku nggak akan bisa membuat Nisa hamil!”

“Apa Nisa mengatakan itu padamu, jika ingin memiliki anak?”

“Nisa nggak pernah sekalipun menyinggung soal anak di hadapanku. Ia memahami kekurangan ini, Ma. Tapi di hadapan Allah saat ia selesai berdoa, ia adukan semua keluh kesahnya sampai menangis. Tapi di hadapanku, ia selalu tersenyum. Wanita mana yang bisa setegar Nisa, Ma?” Imran tertunduk, lelaki itu kembali menangis.

“Kamu ikhlas melepaskan Nisa? Semudah itu?” tanya Bu Surya. Ia hafal dengan benar apa yang ada di dalam hati putranya. Meski keduanya menikah hasil dari perjodohan, tapi Imran menerima sosok Nisa dalam hidupnya. Rumah tangga mereka bahkan jauh dari pertengkaran. Tidak sekali pun terlihat cek-cok, meskipun seluruh dunia tahu bahwa menjalani biduk rumah tangga tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Imran menghela napas panjang, lalu mengangguk. Tanda ia mengakui bahwa sudah ikhlas melepaskan Nisa.

“Aku mencintai Nisa karena Allah, Ma. Terima kasih sudah menghadirkan sosok Nisa dalam hidupku.” Imran mengusap wajahnya yang basah.

“Mama mengerti, Im. Tapi alangkah baiknya jika kamu memikirkan ini lagi. Talak satu sudah kamu jatuhkan, Mama harap kalian bisa rujuk lagi.”

“Keputusanku sudah bulat, Ma. Aku akan tetap menjodohkan Nisa dengan orang lain.”

“Imran! Keputusan ini hanya akan menyakiti kalian berdua. Nisa mencintaimu dan Mama pun tau kamu sangat mencintai dia.”

“Cinta nggak selamanya harus saling memiliki, Ma. Adakalanya cinta harus berupa pengorbanan dan aku mengorbankan cinta ini demi kebahagiaan Nisa.”

Bu Surya menatap lekat wajah Imran. Ia tidak menyangka, menikah dengan Nisa membuat putranya menjadi dewasa. Jika dulu sebelum menikah dengan Nisa ia terlihat tak acuh dan sering bersikap kekanak-kanakan, kini sosok putranya terlihat sedikit dewasa.

“Baiklah. Jika itu keputusan kamu.” Bu Surya hanya bisa menghela napas berat. Ia lalu membalikkan badan, hendak turun ke bawah, tapi langkahnya terhenti saat Imran kembali memanggilnya.

“Apa Nisa masih menangis, Ma?” tanya Imran. Ia pun masih khawatir pada istrinya-mantan istrinya.

“Nisa bahkan lebih kuat dari yang Mama bayangkan. Dia sedang menyiapkan makan siang, turunlah, kami menunggumu.”

Imran tersenyum getir mendengar ucapan Mamanya. Hatinya pun sakit, tapi ini adalah jalan yang sudah dipilihnya. Bagaimana pun nanti, ia harus lebih kuat menghadapi yang terjadi.

Bu Surya menuju dapur, membantu Nisa menyiapkan makan siang. Tak lama Pak Surya pun masuk dan duduk di meja makan, disusul Imran yang terlihat sedikit segar setelah mencuci muka.

Makan siang yang hambar. Bahkan tidak ada percakapan hangat seperti biasanya. Imran dan Nisa bahkan duduk berjauhan. Wanita itu duduk di sebelah Bu Surya, sementara Imran duduk di seberang meja.

Meski talak satu yang baru terucap, tapi Nisa sudah memosisikan Imran sebagai orang lain dan bukan muhrimnya lagi.

Untuk pertama kalinya, Nisa tidak menikmati makan bersama seperti ini. Matanya menatap kosong makanan hasil olahannya. Imran pun bisa menangkap kesedihan yang terpancar dari wajah Nisa. Sungguh, di dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia pun merasakan kesedihan ini.

Imran mencuri pandang ke arah Nisa, meski wanita itu sama sekali enggan melihat ke arah Imran. Hati Imran sakit saat melihat mata Nisa yang sembab akibat perbuatannya.

“Nanti, Nisa menjalani masa Iddah di rumah kami saja.” Pak Surya akhirnya membuka suara. Imran menghentikan gerakan tangannya yang hendak menambah lauk.

“Pah, Nisa boleh minta sesuatu?” tanya Nisa. Pak Surya mengangguk.

“Nisa ingin menjalani masa Iddah di rumah ini. Bagaimana pun juga tempat terbaik seorang istri yang menjalani masa Iddah itu di rumah suaminya.”

“Tapi, Nisa.” Bu Surya hendak berbicara, tapi Nisa kembali bersuara.

“Nisa bisa jaga diri, kok, Ma. Mama nggak perlu khawatir.” Nisa menyentuh tangan Bu Surya yang berada di atas meja. Ia ingin meyakinkan mertuanya bahwa ia akan kuat dan bisa menjalani masa Iddah, meski harus berada satu atap dengan Imran.

Pak Surya dan istrinya tidak bisa berbuat apa-apa, mereka pun percaya jika anak dan menantunya bisa melewati ini dengan baik. Syukur-syukur ada keajaiban jika keduanya mau rujuk kembali. Terutama keputusan Imran yang bisa berubah lagi.

Usai makan, Pak Surya dan istrinya pun pamit pulang. Keduanya ingin memberikan waktu dan ruang untuk Nisa dan Imran berpikir jernih. Keduanya sudah sama-sama dewasa, pasti bisa mengambil langkah dengan bijak.

Mobil Pak Surya bergerak menjauhi kediaman Imran. Lelaki itu langsung masuk dan mengurung diri di kamar. Ia bahkan tidak memedulikan Nisa yang masih menatap ke arahnya.

Nisa tidak bisa berbuat apa-apa. Ia berusaha keras untuk tidak menangis saat Imran tidak peduli lagi padanya. Wanita itu bertekad, jika Imran mengorbankan cintanya demi kebahagiaannya, ia pun harus bisa mengorbankan cintanya, demi kebahagiaan Imran.

Nisa akan menerima lelaki yang akan dijodohkan dengannya kelak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Baru untuk Istriku    Tamat

    “Fadhil, kok, kamu lain hari ini?” tanya Bu Sri saat menemani putra semata wayangnya itu makan siang. Bi Sumi, Nisa dan Syafira sedang pergi ke supermarket membeli es krim, karena Syafira rewel minta jajan. “Lain gimana, Bu? Fadhil masih ganteng ‘kan, meski mau punya anak dua?” tanya Fadhil sambil terkekeh. “Ish, kamu, nih!” Bu Sri urung melanjutkan perkataannya karena takut Fadhil akan kepikiran. Fadhil melanjutkan makannya, sementara Bu Sri terus memandangi putranya itu. Perasaan Bu Sri dipenuhi kekhawatiran yang membuatnya takut. Wajah Fadhil seolah membuat Bu Sri Dejavu. Bayangan masa lalu itu seolah kembali. Dulu ... sebelum atau Fadhil meninggal dunia, Bu Sri memiliki firasat seperti ini. Terlebih rona wajah Fadhil sama persis seperti mendiang suaminya dulu. Satu hari sebelum ayah Fadhil meninggal, rona wajahnya terlihat cerah, bersih dan seperti bercahaya. Tidak ada tanda-tanda sakit atau apa pun. Bahkan sangat sehat dan segar bugar. Masih teringat jelas saat Bu Sri

  • Suami Baru untuk Istriku    kecelakaan

    Kesedihan dan patah hati membuat Imran berubah menjadi sosok yang lebih kuat. Sikapnya terlihat jelas dengan ia lebih giat dalam bekerja. Tidak pernah sekali pun Imran menunjukkan gelagat sedih di hadapan orang tuanya atau pun orang lain. Karena Imran benar-benar sedang menerapkan ajaran dari Fadhil untuk bisa bersikap secukupnya.Keceriaan terpancar dari raut wajah Imran. Lelaki itu sudah membuang jauh-jauh rasa sedih dan iri terhadap kebahagiaan yang dimiliki Fadhil. Imran sudah ikhlas, lahir dan batin. Bu Surya pun bisa bernapas lega melihat putra sulungnya bisa mengambil hikmah dari perbuatannya itu.“Kalau Allah masih menyisakan jodoh untuk Imran. Pasti suatu saat nanti dipertemukan, kok, Ma. Mama nggak usah khawatir,” ucap Imran pada sang mama saat sore hari usai pulang dari kantor.“Mama cuma ....”“Mama nggak usah takut. Allah maha segalanya, serahkan pada-Nya,” ucap Imran bijak. Kali ini Bu Surya tidak lagi banyak membantah. Ia percaya pada putranya, bahwasanya Imran bisa mem

  • Suami Baru untuk Istriku    selanjutnya

    Sejak obrolannya dengan Fadhil waktu itu, Imran seolah menjadi sosok manusia yang baru. Tidak mudah uring-uringan atau pun marah karena hal sepele. Terlebih saat ia ditolak oleh orang tua Fitri, Imran dengan mudah bisa move on dengan cara menyibukkan diri dengan pekerjaan. Meski tidak bisa dipungkiri, Imran masih sering memikirkan gadis itu.Beberapa bulan kemudian, saat sedang di kantor, salah seorang teman mengantarkan undangan pernikahan untuk Imran. Pada kertas undangan berwarna putih dengan ukiran batik itu tertulis nama Fitri dan Imran. Yah ... nama calon suami Fitri juga Imran, tapi bukan dirinya yang terpilih, melainkan orang lain.“Ikhlas itu memang tidak mudah, tapi saya pasti bisa melewati ini semua!” ujar Imran dalam hati. Lalu mengembuskan napasnya panjang.Dibukanya kertas undangan yang diikat dengan tali yang terbuat dari serabut kayu itu, lalu dibacanya kata demi kata acara yang tertulis di sana. Acara akad nikah Fitri bertepatan dengan acara tujuh bulanan kehamilan Ni

  • Suami Baru untuk Istriku    firasat

    Imran masih duduk dengan di kursi restoran, tanpa ada niat untuk pergi atau mengurung diri seperti yang ia lakukan dulu jika menghadapi situasi ini. Lelaki itu justru mencoba menghabiskan makanannya yang masih tersisa, meski makanan itu terasa pahit di lidah. Teringat pesan sang mama agar tidak menyisakan makanan, karena banyak di luaran sana orang-orang yang sulit untuk mendapatkan makanan.Lelaki itu tidak menangis lagi, bahkan Imran merasa air matanya sudah kering. Yang ingin Imran lakukan sekarang adalah menghabiskan makanan itu dan pergi untuk segera pulang ke rumahnya. Imran tidak lagi menempati apartemennya sejak ia tertangkap basah oleh Pak Surya di saat sedang mabuk.Saat Imran hendak menyendok suapan terakhir, seseorang menepuk bahunya. Imran menoleh. “Fadhil!” Fadhil tersenyum lalu duduk di hadapan Imran. Kening Fadhil berkerut saat melihat piring bekas makan seseorang.Imran yang menyadari keanehan di wajah Fadhil berucap. “Tadi saya makan sama Fitri.”“Dia ke mana?” tany

  • Suami Baru untuk Istriku    Gagal

    Seperti kisah sinetron yang akan menuju ending yang bahagia dan tidak ada lagi air mata. Kisah cinta Nisa, Imran dan Fadhil pun seperti itu. Imran turut bahagia dan terharu kala mendengar kabar tentang kehamilan Nisa, pun dengan orang tua Imran, mereka tentu bahagia pula.Bu Surya sering mengunjungi Nisa di rumahnya. Bersama Alifah ia datang. Bu Sri tentu tidak keberatan dengan hal itu. Justru dengan seringnya Bu Surya datang berkunjung, hubungannya dengan ibu dari Fadhil pun terlihat semakin akrab, bahkan keduanya semakin kompak.Nisa bersyukur karena dua wanita yang paling disayanginya kini terlihat bak teman, semoga saja mereka akan terus menjalin hubungan baik ini.Imran doble bahagia, karena sebentar lagi Fitri akan pulang dan niatnya untuk melamar dan meminang gadis itu akan segera ia wujudkan di hadapan Semuanya. Tentunya Fitri sudah mengetahui latar belakang Imran dan gadis itu dengan hati terbuka menerima. Imran tentu tidak akan pernah menyia-nyiakan ini dan akan mencintai Fi

  • Suami Baru untuk Istriku    dua tahun kemudian

    Dua tahun kemudian ....“Unda ....” Syafira merengek pada Nisa minta digendong, sedangkan wanita itu tengah sibuk menyiapkan sarapan untuk Fadhil di dapur. Syafira bangun tidur tanpa sepengetahuan Fadhil, lelaki itu entah ke mana. Biasanya, bocah mungil itu akan digendong Fadhil jika ikut bangun subuh seperti ini.Syafira ... kini bocah itu mulai bisa berjalan dan mengoceh. Ia bisa membedakan mana bundanya dan orang lain. Syafira semakin manja dan enggan digendong orang lain, bahkan jika pun terpaksa, harus diiming-imingi hal lain. Ajak jajan, misalnya.Nisa mematikan kompor dan melap tangannya, lalu menggendong Syafira.“Kok anak bunda udah bangun, sih. Ayah, mana, nih? Bunda lagi bikin sarapan, Syafira sama ayah dulu, ya,” ucap Nisa sambil berjalan ke kamarnya. Di sana, ia melihat Fadhil baru ke luar dari kamar mandi.“Syafira udah bangun, Nis?”“Iya ... gendong bentar, ya, Kak. Nisa lagi buat sarapan buat Kak Fadhil.”Tanpa menunggu jawaban Fadhil, Nisa menyerahkan Syafira pada le

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status