Share

perpisahan

❤️❤️

Tidak ada perpisahan yang berujung bahagia, meski keduanya sudah tak ada lagi rasa. Lalu, bagaimana dengan hati Nisa dan Imran yang masih saling mendamba, masih saling mencinta, tapi keadaan yang sudah tak ingin saling menyapa. Sakit!

Meski nasib bisa diubah, tapi jalan hidup yang sudah Allah gariskan harus dijalani dengan baik. Jangan mengeluh.

Nisa sudah bisa menguasai dirinya. Tidak menangis seperti tadi, wanita itu bahkan beranjak dari pelukan mertuanya, lalu ke dapur guna menghangatkan sayur dan menyiapkan makan siang. Pak Surya ke luar dan memilih duduk di teras, sedangkan Bu Surya naik ke lantai atas.

Tangan tua wanita itu membuka pintu perlahan, tanpa mengetuk terlebih dahulu. Kamar itu terlihat lebih berantakan, dengan beberapa hiasan meja tercecer di lantai. Juga beberapa buku berserakan. Ia melihat Imran tengah berdiri di balkon kamar dengan kedua mata tertutup.

“Mama nggak paham dengan jalan pikiranmu, Imran.” Bu Surya berdiri di sebelah putranya. Wanita itu menoleh, menanti jawaban.

“Imran nggak minta mama untuk memahami ini.” Imran terdiam sejenak, lalu kembali berkata. “Mama pun pasti ingin lihat Nisa bahagia!”

“Dengan cara menceraikannya?” tanya Bu Surya.

Imran mengangguk.

“Nggak ada jalan lain?”

Imran menggelengkan kepalanya.

Kedua alis Bu Surya bertautan. Sungguh tidak mengerti apa yang sedang direncanakan Imran.

“Suami mana yang tega melihat istrinya menatap penuh ingin saat melihat wanita lain sedang hamil atau menggendong anak. Hati aku sakit, Ma. Aku nggak akan bisa membuat Nisa hamil!”

“Apa Nisa mengatakan itu padamu, jika ingin memiliki anak?”

“Nisa nggak pernah sekalipun menyinggung soal anak di hadapanku. Ia memahami kekurangan ini, Ma. Tapi di hadapan Allah saat ia selesai berdoa, ia adukan semua keluh kesahnya sampai menangis. Tapi di hadapanku, ia selalu tersenyum. Wanita mana yang bisa setegar Nisa, Ma?” Imran tertunduk, lelaki itu kembali menangis.

“Kamu ikhlas melepaskan Nisa? Semudah itu?” tanya Bu Surya. Ia hafal dengan benar apa yang ada di dalam hati putranya. Meski keduanya menikah hasil dari perjodohan, tapi Imran menerima sosok Nisa dalam hidupnya. Rumah tangga mereka bahkan jauh dari pertengkaran. Tidak sekali pun terlihat cek-cok, meskipun seluruh dunia tahu bahwa menjalani biduk rumah tangga tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Imran menghela napas panjang, lalu mengangguk. Tanda ia mengakui bahwa sudah ikhlas melepaskan Nisa.

“Aku mencintai Nisa karena Allah, Ma. Terima kasih sudah menghadirkan sosok Nisa dalam hidupku.” Imran mengusap wajahnya yang basah.

“Mama mengerti, Im. Tapi alangkah baiknya jika kamu memikirkan ini lagi. Talak satu sudah kamu jatuhkan, Mama harap kalian bisa rujuk lagi.”

“Keputusanku sudah bulat, Ma. Aku akan tetap menjodohkan Nisa dengan orang lain.”

“Imran! Keputusan ini hanya akan menyakiti kalian berdua. Nisa mencintaimu dan Mama pun tau kamu sangat mencintai dia.”

“Cinta nggak selamanya harus saling memiliki, Ma. Adakalanya cinta harus berupa pengorbanan dan aku mengorbankan cinta ini demi kebahagiaan Nisa.”

Bu Surya menatap lekat wajah Imran. Ia tidak menyangka, menikah dengan Nisa membuat putranya menjadi dewasa. Jika dulu sebelum menikah dengan Nisa ia terlihat tak acuh dan sering bersikap kekanak-kanakan, kini sosok putranya terlihat sedikit dewasa.

“Baiklah. Jika itu keputusan kamu.” Bu Surya hanya bisa menghela napas berat. Ia lalu membalikkan badan, hendak turun ke bawah, tapi langkahnya terhenti saat Imran kembali memanggilnya.

“Apa Nisa masih menangis, Ma?” tanya Imran. Ia pun masih khawatir pada istrinya-mantan istrinya.

“Nisa bahkan lebih kuat dari yang Mama bayangkan. Dia sedang menyiapkan makan siang, turunlah, kami menunggumu.”

Imran tersenyum getir mendengar ucapan Mamanya. Hatinya pun sakit, tapi ini adalah jalan yang sudah dipilihnya. Bagaimana pun nanti, ia harus lebih kuat menghadapi yang terjadi.

Bu Surya menuju dapur, membantu Nisa menyiapkan makan siang. Tak lama Pak Surya pun masuk dan duduk di meja makan, disusul Imran yang terlihat sedikit segar setelah mencuci muka.

Makan siang yang hambar. Bahkan tidak ada percakapan hangat seperti biasanya. Imran dan Nisa bahkan duduk berjauhan. Wanita itu duduk di sebelah Bu Surya, sementara Imran duduk di seberang meja.

Meski talak satu yang baru terucap, tapi Nisa sudah memosisikan Imran sebagai orang lain dan bukan muhrimnya lagi.

Untuk pertama kalinya, Nisa tidak menikmati makan bersama seperti ini. Matanya menatap kosong makanan hasil olahannya. Imran pun bisa menangkap kesedihan yang terpancar dari wajah Nisa. Sungguh, di dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia pun merasakan kesedihan ini.

Imran mencuri pandang ke arah Nisa, meski wanita itu sama sekali enggan melihat ke arah Imran. Hati Imran sakit saat melihat mata Nisa yang sembab akibat perbuatannya.

“Nanti, Nisa menjalani masa Iddah di rumah kami saja.” Pak Surya akhirnya membuka suara. Imran menghentikan gerakan tangannya yang hendak menambah lauk.

“Pah, Nisa boleh minta sesuatu?” tanya Nisa. Pak Surya mengangguk.

“Nisa ingin menjalani masa Iddah di rumah ini. Bagaimana pun juga tempat terbaik seorang istri yang menjalani masa Iddah itu di rumah suaminya.”

“Tapi, Nisa.” Bu Surya hendak berbicara, tapi Nisa kembali bersuara.

“Nisa bisa jaga diri, kok, Ma. Mama nggak perlu khawatir.” Nisa menyentuh tangan Bu Surya yang berada di atas meja. Ia ingin meyakinkan mertuanya bahwa ia akan kuat dan bisa menjalani masa Iddah, meski harus berada satu atap dengan Imran.

Pak Surya dan istrinya tidak bisa berbuat apa-apa, mereka pun percaya jika anak dan menantunya bisa melewati ini dengan baik. Syukur-syukur ada keajaiban jika keduanya mau rujuk kembali. Terutama keputusan Imran yang bisa berubah lagi.

Usai makan, Pak Surya dan istrinya pun pamit pulang. Keduanya ingin memberikan waktu dan ruang untuk Nisa dan Imran berpikir jernih. Keduanya sudah sama-sama dewasa, pasti bisa mengambil langkah dengan bijak.

Mobil Pak Surya bergerak menjauhi kediaman Imran. Lelaki itu langsung masuk dan mengurung diri di kamar. Ia bahkan tidak memedulikan Nisa yang masih menatap ke arahnya.

Nisa tidak bisa berbuat apa-apa. Ia berusaha keras untuk tidak menangis saat Imran tidak peduli lagi padanya. Wanita itu bertekad, jika Imran mengorbankan cintanya demi kebahagiaannya, ia pun harus bisa mengorbankan cintanya, demi kebahagiaan Imran.

Nisa akan menerima lelaki yang akan dijodohkan dengannya kelak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status