Share

nasi goreng bumbu air mata

❤️❤️

Imran berbaring dengan kedua tangannya menumpu kepala. Matanya menatap langit-langit kamar. Sesekali napas panjang keluar dari mulutnya. Tak jauh dari sisinya, seorang wanita berhijab berdiri di dekat meja rias memerhatikan.

“Mas ....”

Imran menoleh ke arah wanita yang masih mengenakan pakaian pengantin berwarna putih. Tiba-tiba ada hasrat yang menyuruhnya untuk tersenyum.

“Ya, Nis?”

“Nisa boleh rebahan di situ?” tanya Nisa, sambil telunjuknya mengarah ke lengan Imran. Wanita itu ingin tidur di lengannya. Kening Imran mengernyit, tapi detik berikutnya ia mengangguk. Ia merentangkan tangan kanannya, seolah mempersilakan. Nisa berjalan mendekat lalu meletakkan kepalanya di sana.

Jantung keduanya berdetak cepat saat keduanya saling bertatapan. Tangan kiri Imran menyentuh pipi Nisa, keduanya pun tersenyum.

“Nisa?”

“Iya, Mas?”

“Kenapa mau dijodohkan sama, Mas?”

“Karena Allah!”

“Seyakin itu, Nis?”

“Iya. Nisa percaya. Allah akan menghadirkan pada Nisa, pasangan yang baik. Juga soleh.”

Keduanya tersenyum, lalu kembali terdiam. Imran memalingkan wajahnya, kembali menatap langit-langit kamar.

Untuk pertama kalinya Imran bersama seorang wanita. Lelaki itu termasuk sulit dalam soal hati, tapi di hadapan wanita yang kini sudah sah menjadi istrinya, hatinya luluh.

Teringat dulu betapa ia tidak suka saat ada wanita yang mendekat atau bahkan berani menggodanya. Bukan Imran namanya jika ia tidak bisa mengusir wanita itu. Baginya, wanita yang baik adalah yang bisa menjaga harga diri dan rasa malunya.

Berbeda dengan Nisa. Meski pertama kali bertemu dan langsung dijodohkan, ia sama sekali tidak menolak. Ia bahkan terhipnotis saat pertama kali bertemu wanita itu di rumahnya. Apakah ini yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama? Entahlah, yang jelas, Imran saat itu tidak menolak saat Pak Surya ingin menikahkan dirinya dengan Nisa.

“Mas, melamun?” Nisa mengusap wajah lelaki itu. Tangannya sedikit bergetar saat menyentuh dagu Imran yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Ini pun adalah kali pertama bagi Nisa bersentuhan dengan lelaki selain Papanya.

“Aku hanya sedikit berpikir, bagaimana bisa manusia tak sempurna sepertiku mendapatkan bidadari cantik seperti dirimu, Nisa!”

“Jangan menggombal, Mas!”

“Aku merasa tidak layak untukmu. Aku ....” Belum sempat Imran menuntaskan kalimatnya, telunjuk Nisa menyentuh bibir lelaki itu.

“Jangan merendahkan diri sendiri. Nanti Allah marah, Mas!” Kepala Nisa terangkat, wajahnya memandang Imran lekat. Mata lelaki itu pun sedikit terbelalak, memandang dengan tatapan tidak percaya pada apa yang dilakukan Nisa. Menyentuh bibirnya.

Imran menggenggam tangan Nisa yang masih menyentuh bibirnya. Nisa yang merasa sikapnya berlebihan pun menarik tangannya, lalu bangkit duduk. Wajahnya memerah seperti tomat. Imran terkekeh melihat tingkah istrinya.

Lelaki itu pun bangun, lalu duduk di dekat Nisa. Ia memandangi wajah Nisa yang cantik. Hatinya pun bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang wanita cantik sepertinya mau menikah dari hasil dijodohkan. Sebegitu percaya ‘kah ia pada Tuhannya?

“Nisa ....” Imran memanggilnya dengan terus menatap Nisa. Wanita itu menoleh. Pandangan mata keduanya kembali beradu, memunculkan gejolak yang lain. Ini adalah pertama kali bagi keduanya berada dalam situasi seintim ini. Karena bagi Nisa atau pun Imran, tidak akan pacaran sebelum menikah.

“Jadikan aku lelaki yang layak untukmu, Nis!”

“Jadikan Nisa layak untukmu juga, Mas!”

Imran tersenyum, tangan kanannya terulur menyentuh pipi Nisa dan mengusapnya lembut. Wajah Imran bergerak maju, perlahan ia mencium kening Nisa.

Imran turun dari ranjang, tangan kanannya terulur meminta Nisa untuk turun dari ranjang juga. Wanita itu pun mengikuti titah suaminya.

“Mas bantu Nisa ganti pakaian, ya?” tawar Imran.

Dengan malu-malu dan wajah yang semakin merona, Nisa mengangguk.

Sosok sesungguhnya masih berdiri di ambang pintu, menatap dengan frustrasi pada bayangan masa lalunya saat pertama kali membawa Nisa ke rumah ini.

Selesai resepsi, Imran langsung membawa Nisa ke rumah ini. Di kamar ini pula, Imran memiliki Nisa seutuhnya, di sini pula wanita itu menyerahkan kesuciannya pada Imran.

Imran terkulai lemas, kedua kakinya terasa tidak memiliki tulang. Bagaimana mungkin ia bisa selemah ini. Bagaimana hari-harinya besok, tanpa Nisa. Hatinya terasa hancur saat melihat sikap Nisa di meja makan, wanita itu bahkan tidak mau berada dekat-dekat dengannya.

“Allah ....” Hanya itu keluhan yang keluar dari mulutnya. Air matanya kembali jatuh. Imran berusaha berdiri, langkahnya tertatih saat berjalan ke tempat tidur. Setelah ia berdiri di sisi ranjang, tangannya menyentuh sprei yang baru saja diganti Nisa pagi tadi. Meski begitu, aroma tubuh Nisa masih tertinggal di sana. Ia merindukan Nisa, rindu saat wanita itu bersikap manja padanya.

Perlahan Imran merebahkan tubuhnya di kasur, ia memaksa matanya untuk terpejam. Masih ada hal yang harus dilakukannya, yaitu mencari lelaki penggantinya.

**

Nisa bangun sebelum subuh. Malam tadi ia tidur di kamar yang ada di bawah. Kamar itu yang akan digunakan untuk anak mereka. Tapi, jangankan anak, rumah tangganya saja akan segera berakhir.

Nisa tersenyum getir mengingat itu. Terlebih kalimat talak yang diucapkan Imran kemarin siang padanya. Hatinya masih terasa sakit dan air matanya pun kembali menetes.

Meski mata Nisa masih terasa perih akibat menangis semalaman, ia masih saja bangun pagi seperti biasa. Merapikan pakaian kantor lelaki itu, lalu menggantungnya di ruangan khusus di sebelah kamar mereka di lantai atas.

Nisa memandangi pintu kamar di mana biasa ia tidur bersama Imran, hatinya bertanya-tanya, bagaimana malam pertama lelaki itu tanpa dirinya. Biasa saja’kah, atau seperti dirinya yang menangis sepanjang malam?

Nisa menggelengkan kepalanya, dengan cepat-cepat ia turun ke bawah dan menyiapkan sarapan untuk lelaki itu. Meski ia kini bukan lagi istrinya, Nisa ingin mengabdi pada Imran sampai detik terakhir. Sampai masa Iddah-nya selesai.

Nasi goreng kecap plus secangkir kopi tersaji di meja. Kedua hal itu adalah menu sarapan wajib Imran. Lelaki itu bahkan tidak pernah mengatakan bosan, membuat Nisa bersemangat untuk memasak sarapan setiap pagi.

Usai berkutat di dapur dan membereskan perabotan yang kotor, wanita itu kembali ke kamarnya. Nisa akan keluar dan membereskan rumah saat lelaki itu sudah berangkat ke kantor.

Pukul tujuh lewat lima belas menit, Nisa mendengar suara mobil Imran. Lalu detik selanjutnya perlahan menjauh dari rumah. Nisa mengintip dari balik jendela kamar. Lelaki itu bahkan tidak memanggilnya saat pergi.

Nisa menggenggam erat gorden kamarnya, wajahnya tertunduk dan air matanya kembali mengalir. Sesakit ini kah bercerai? Seperih ini kah rasanya tak dianggap?

Nisa mengusap wajahnya yang basah. Ia beranjak keluar kamar lalu ke arah dapur. Tudung saji masih rapi, tangan Nisa bergerak membukanya, matanya terbelalak saat melihat masakannya masih utuh. Lelaki itu sama sekali tidak menyentuh masakannya sama sekali. Jangankan nasi goreng, kopinya pun ia biarkan utuh.

Nisa terduduk di kursi, memandangi piring juga gelas yang tak tersentuh. Ini pertama kalinya Imran tidak menyentuh masakannya. Perih hati Nisa. Tangannya bergerak menyentuh sendok dan garpu, lalu perlahan memakannya.

Nasi gorengnya masih sama. Tapi kini terasa semakin asin karena tercampur air mata yang kembali mengalir.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status