Share

Suami Baru untuk Istriku
Suami Baru untuk Istriku
Penulis: Ana Battosai

jatuhnya talak

❤️

“Rabbana atinaa fiddunya hasanah, wafilaakhirati hasanah, waqinaa 'adzaabannaar.”

Nisa mengusap wajahnya, lalu kedua tangannya menengadah, berdoa memohon pada Sang Khalik agar senantiasa melindungi keluarga kecilnya.

Usai berdoa, tanpa melepas mukena yang dikenakannya, ia mendekati lelaki yang masih berbaring di ranjang.

“Mas, bentar lagi masuk waktu subuh, tahajud dulu, Mas.” Nisa mengusap pelan bahu Imran-suaminya, tapi lelaki itu enggan membuka mata.

“Mas ....”

Imran mengedikkan bahunya. “Mas masih ngantuk.”

Kening Nisa bertautan, tidak biasanya Imran menolak ajakan untuk tahajud. Biasanya lelaki itu yang selalu bersemangat mengingatkan. Ia pun mencoba untuk membangunkan Imran sekali lagi, siapa tahu berhasil.

“Mas ... solat tahajud dul ....” Nisa urung melanjutkan perkataannya saat Imran bangun.

“Kamu dengar, nggak, Mas bilang!” Imran memutar tubuhnya menghadap Nisa. Matanya yang berwarna merah menatap istrinya dengan marah.

“Maaf, Mas. Nisa ....”

“Lagian percuma juga tahajud. Toh keadaan Mas akan kayak gini aja. Nggak bakal bisa bikin kamu hamil!”

“Ya Allah, Mas. Istighfar!” Nisa terkejut melihat sikap Imran. Ini adalah pertama kalinya ia melihat sang suami membentaknya. Meski mereka menikah karena dijodohkan, tapi lelaki itu selalu bersikap baik.

Napas Imran memburu, entah setan apa yang merasuki jiwanya sampai berkata seperti tadi.

“Sudahlah, jangan ganggu, Mas.” Suara Imran kembali melunak. Imran kembali merebahkan tubuhnya, ia bahkan tidak peduli pada Nisa yang nyaris menangis karena dibentak olehnya.

Nisa menutup mulutnya dengan tangan, ia mencoba menahan diri agar tidak menangis. Jujur saja, selama hampir lima belas tahun pernikahan, baru kali ini Imran membentaknya. Perubahan sikap Imran benar-benar membuat Nisa shock.

**

Pukul tujuh, Imran baru bangun tidur. Ia bahkan tidak melaksanakan solat subuh. Nisa sudah berulang kali mencoba untuk membangunkan, tapi lelaki itu tidak memberikan respons. Tidak seperti tadi yang membentaknya, lelaki itu justru diam seribu bahasa. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.

“Mas, minta maaf, Nisa. Tadi sudah bentak-bentak,” ucap Imran saat duduk di meja makan. Tangannya sambil memainkan ponsel, membalas beberapa chat masuk dari para karyawannya.

“Maafin Nisa juga, Mas. Ganggu Mas tidur tadi,” ucap Nisa. Tangannya meletakkan nasi goreng yang sudah matang ke tempat nasi, lalu meletakkannya di meja makan.

Imran kembali diam. Entah nasib bagus seperti apa yang membuatnya memiliki istri salihah seperti Nisa. Wanita itu bahkan tidak marah padanya atau mengeluh karena sampai kapan pun tidak akan pernah memiliki keturunan darinya.

Nisa memandangi Imran yang sedang melamun. Ia pun heran dengan sikap Imran yang akhir-akhir ini lebih sering marah. Sensitif. Tapi urung bertanya, Nisa takut itu akan menyinggung perasaan sang suami.

“Nanti siang masak agak banyak, ya. Mas ajak Papa sama Mama makan siang di sini,” ucap Imran sambil menyendok nasi goreng ke mulutnya. Nisa yang mendengarnya mengangguk bahagia.

Nisa dan Imran dijodohkan karena kedua orang tua mereka bersahabat sejak kuliah. Meski Nisa kini berstatus yatim piatu, karena orang tuanya meninggal karena kecelakaan, ia tidak pernah merasa sendiri, ada mertua yang begitu menyayanginya, juga memiliki suami seperti Imran yang mau menerima kekurangannya.

“Alifah diajak juga, Mas?” tanya Nisa. Alifah adalah adik Imran.

“Alifah kan baru nikah, Nisa. Masa kamu mau ganggu yang lagi bulan madu,” ucap Imran datar.

Nisa urung bertanya lagi saat melihat gelagat di raut wajah Imran mendadak muram. Makan pagi ini dilalui tanpa canda tawa seperti biasa. Naluri Nisa sebagai istri mengatakan jika suaminya menyembunyikan sesuatu.

Hari libur seperti ini biasanya dihabiskan berdua di rumah, atau jika sedang tidak lelah, keduanya akan mengunjungi rumah mertua yang letaknya tidak terlalu jauh. Imran memang kerap kali mengundang orang tuanya untuk makan bersama, jadi tidak ada rasa curiga apa pun pada sang suami.

Imran sudah berada di ruang kerjanya, kamar yang didesain khusus untuknya menyelesaikan pekerjaan kantor yang memungkinkan untuk dikerjakan di rumah. Sementara Nisa membereskan kamar tidur.

Imran memiliki perusahaan di bidang interior design, Kehidupan rumah tangganya benar-benar terlihat sempurna. Memiliki usaha yang mapan, rumah pribadi, istri yang salihah. Tapi jauh di dalam lubuk hatinya, ia merasakan itu semua tidak ada gunanya. Ia bahkan membenci dirinya sendiri karena sudah gagal menjadi suami yang sempurna sejak dokter memvonisnya mandul. Iya, lelaki itu tidak akan bisa menghadirkan buah hati di dalam rumah besarnya ini.

“Mas, ngelamun?” Nisa meletakkan cangkir kopi di meja, lalu mengusap pipi suaminya. Lelaki itu tergagap, lalu memalingkan muka. Entah mengapa, meski sudah belasan tahun menikah, Imran masih suka salah tingkah saat Nisa mengusap melakukan hal itu. Wanita itu menahan tawa saat menyadari perubahan di wajah suaminya yang merona.

Imran meraih tangan sang istri, lalu menggenggamnya. Pandangan keduanya beradu.

“Nisa, maafin, Mas, belum bisa buat kamu bahagia.” Kalimat itu tiba-tiba keluar dari bibir Imran. Nisa yang berdiri memandangnya aneh.

“Mas, aneh. Coba sini cerita, ada masalah apa, sih, Mas.”

Imran tidak menggubris ucapan Nisa, ia bahkan semakin erat menggenggam tangan sang istri.

“Maaf kalau selama kita menikah. Mas, belum bisa membuat Nisa menjadi wanita seutuhnya.”

Nisa menundukkan wajahnya, ia paham ke arah mana pembahasan sang suami. Ini bukan pertama kalinya Imran membahas perasaannya yang insecure karena belum bisa membuatnya hamil, bahkan sudah ratusan kali.

“Mas ....” Nisa mengangkat kepalanya, menatap wajah Imran dalam-dalam. “Nisa bahagia memiliki suami seperti, Mas. Cukup ada satu Imran di dunia ini yang menjadi panutan Nisa.”

Nisa menghentikan ucapannya, ada rasa sesak jika ia harus mengutarakan isi hatinya. Apa masih kurang cukup pembuktiannya selama ini.

Kedua kaki Nisa terasa lemas, ia akhirnya terduduk di lantai. Air matanya menetes. Hatinya selalu merasa tidak siap jika Imran kembali berkata untuk mengakhiri kisah rumah tangganya.

Imran membantu Nisa berdiri, lalu mendudukkannya di pangkuan.

“Mas.”

“Nisa, Mas minta satu hal, boleh?” Imran mengusap air mata di wajah istrinya. Lelaki itu bahkan selalu merasa sakit saat melihat air mata Nisa jatuh usai solat.

“Apa pun itu, Mas. Asalkan jangan minta Nisa untuk mencari yang lain. Sampai kapan pun, Nisa nggak akan bisa.”

“Kenapa, Nisa. Bukankah dengan kamu menikah lagi, masih ada kemungkinan bisa memiliki keturunan?” ucap Imran dengan suaranya yang parau. Ia bahkan hampir ikut menangis saat melihat Nisa berurai air mata.

“Mas. Pernikahan bukan hanya soal anak. Pernikahan yang sesungguhnya adalah ibadah kepada Allah. Ayolah, Mas. Nisa mohon. Berhenti membahas hal ini. Nisa capek!”

“Nisa ....”

“Nisa mencintai, Mas, karena Allah! Bukan karena anak!”

Nisa berdiri dan meninggalkan ruang kerja Imran. Hatinya terasa tercabik-cabik jika memikirkan perpisahan. Imran adalah jodoh yang dipilihkan Allah untuknya. Baginya, cukuplah Imran, bagaimana pun keadaannya.

Pukul sebelas, orang Pak Surya dan istrinya tiba. Masakan sudah tersaji di meja. Nisa pun sudah mengganti pakaian, karena yang tadi sudah terkontaminasi dengan bau masakan yang menempel. Tak lupa ia tadi sempat membasuh muka dan memoles wajahnya dengan make up untuk menyamarkan mata yang sembab, karena tadi saat memasak ia tidak berhenti menangis.

Nisa memanggil Imran saat kedua orang tuanya sampai. Lelaki itu mencium punggung tangan keduanya bergantian, lalu mereka pun duduk di ruang keluarga.

Nisa di dapur, membuatkan minuman dingin, sementara Imran menemani mengobrol. Obrolan yang semula terdengar tawa, mendadak Pak Surya membentak Imran. Nisa segera beranjak mendekati sang suami.

“Keterlaluan kamu, Imran!” Pak Surya menampar keras pipi putra sulungnya, sehingga meninggalkan bekas merah di sana. Lelaki berusia lanjut itu terlihat marah. Bu Surya yang tadi duduk, kini berdiri, berusaha menenangkan.

“Pah, Mas. Ada apa, ini?” Nisa terlihat bingung. Hatinya berharap semoga ucapan Imran tadi pagi tidak ia sampaikan pada mertuanya.

“Apa kurangnya Nisa untukmu, hah! Apa kamu jatuh cinta sama wanita lain, Imran? Jawab Papa!” Emosi Pak Surya semakin meledak.

Imran menggeleng cepat. “Nggak mungkin ada wanita yang bisa menggantikan posisi Nisa, Pa. Nggak!” Imran mengacak-acak rambutnya, frustrasi.

“Lalu apa. Kenapa kamu mau menceraikan istrimu!” Kali ini Bu Surya yang bertanya. Pak Surya duduk, berusaha meredam emosinya.

“Imran ingin melihat Nisa bahagia, Mah. Imran sudah memikirkan ini.”

“Apa kamu meminta pendapat istrimu dulu?”

“Pah, Mah. Mas Imran hanya bercanda.” Nisa berusaha untuk tersenyum, meski air matanya terus berderai. “Iya, kan, Mas?” Nisa memandang Imran yang menunduk.

“Nisa ....” Kalimat Imran terhenti. Hatinya ngilu saat melihat Nisa menangis. Ingin rasanya ia menghapus air mata itu di wajah Nisa, tapi urung dilakukan. Apakah sesakit ini menyakiti orang yang paling kita cintai.

“Mas. Bukankah kita udah bahas ini sebelumnya. Nisa terima ini semua. Jadi, tolong ....”

“Nisa ... hari ini, saya jatuhkan talak padamu!” Dengan lantang Imran berucap.

Hati Nisa hancur, begitu pun dengan Imran. Usai mengatakan itu, Imran naik ke lantai atas, mengunci diri di kamar. Ia bahkan membiarkan Nisa menangis sendiri.

Bu Surya memeluk tubuh kurus menantunya. Ia pun merasakan sakit. Bagaimana pun, ia menyayangi Nisa seperti anaknya sendiri. Mereka bertiga tahu sifat buruk Imran, jika lelaki itu sudah memiliki keinginan, maka tidak ada seorang pun yang bisa mencegahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status