Share

Bertengkar

Setalah berlibur di villa, Rafael dan keluarganya kembali ke rumah masing-masing. Ada yang berbeda dan terasa baru tentunya, kini keluarga Azam bertambah satu. Serena akan tinggal dengan mereka -- akan satu rumah dan satu kamar tentunya dengan Rafael.

"Istirahatlah. Kalian pasti lelah." Satiya berucap lembut, menatap hangat pada menantunya yang wajahnya terlihat sembab.

Walau rumah orang tuanya cukup dekat dari sini, namun tetap saja Serena akan merasa sangat sedih karena dia tidak tinggal dengan orang tuanya lagi. Sekarang Serena tinggal dengan keluarga suaminya.

"Iya, Tan …- Mommy." Serena berucap kikuk.

Melihat Rafael menyalim orang tuanya, Serena juga melakukan hal yang sama. Kebiasaan Rafael dan ketiga adiknya, ketika akan tidur mereka akan pamit dan menyalim orang tua mereka. Tradisi di rumah ini sudah turun temurun sejak jaman Gabriel, Alfa, King dan Xena dulu.

'Nih anak ada sisi terangnya juga. Kirain gelap melulu.' batin Serena ketika memperhatikan Rafael yang bahkan mencium pipi Daddynya.

Ya … maklum! Anak Daddy!

Setelah pamit untuk tidur, Serena mengikuti Rafael -- berjalan menuju kamar mereka. Sebenarnya mansion ini bukan suatu hal yang asing bagi Serena, dia sering kemari. Tapi … dengan status yang dia sandang sekarang, entah kenapa tempat ini berubah menjadi asing dan -- sedikit tak menyenangkan. Ada perasaan segan, kaku dan juga gugup yang memenuhi hati Serena.

'Aku tidak menyangka jika aku bakalan jadi istri si Kang brengsek ini. Ya Allah! Dari yang kecil main rumah-rumahan sama nih orang malah besarnya kenyataan bangun rumah tangga sama setan satu ini. Nyesel aku kenal dia pas kecil.' batin Serena, menundukkan kepala dan hanya berjalan dengan mengikuti tumit kaki suaminya -- Rafael berjalan di depannya.

Dug'

"Ahck." Serena meringis pelan, tak sengaja menabrak punggung Rafael yang tiba-tiba berhenti. Cik, Serena terlalu larut dalam pikirannya.

Sampai detik ini dia masih belum ikhlas jika dia telah menjadi istri Rafael. Bukan apa-apa, tapi Rafael sangat brengsek! Pria ini merenggut mahkotanya dan berlagak baik di depan kedua orang tua Serena. Satu mansion di rumah Serena sangat mengidolakan Rafael -- pria yang menikahinya ini sangat manipulatif.

Parahnya, di hari mereka akan menikah Rafael tidur dengan Jenner -- sahabat rasa kekasihnya itu. Cemburu?! Tidak! Tapi Serena merasa dikhianati dan direndahkan. Sebegitu remeh-nya Rafael pada pernikahan sampai dia tega mempermainkannya.

Serena sampai detik ini tidak terima dengan hal itu. Namun … kasihan Papanya jika Serena memberontak.

"Cik." Rafael berdecak pelan, menoleh ke arah Serena kemudian menarik kepala perempuan itu. Serena pikir Rafael akan memarahinya karena pria ini memang mudah marah dan kesal. Namun Serena salah, Rafael malah mengelus jidat Serena dengan sesekali meniupnya. Setelah itu, Rafael juga mencium kening Serena dengan lembut.

"Hati-hati kalau jalan," ucap Rafael kemudian, memperingati Serena Dengan menatapnya tajam. Rafael membuka pintu kamarnya lebar, mempersilahkan Serena lebih dulu untuk masuk ke dalam.

Serena dengan kikuk dan gugup melangkah ke kamar tersebut. Aroma maskulin khas langsung menyeruak dan memenuhi indera penciumannya. Kamar bernuansa mono ini mempunyai suhu yang dingin, mirip dengan penghuninya sih.

Tiba-tiba pipi Serena bersemu merah, dia teringat masa high school dulu, id mana Serena pernah disuruh oleh Satiya untuk memanggil Rafael makan. Saat itu, Serena membuka pintu kamar ini -- memperlihatkan Rafael yang tidak memakai baju.

Posisinya saat itu dia dan Rafael sedang bertengkar karena sesuatu, dan karena insiden memalukan tersebut Rafael sering mengejeknya si pengintip.

Demi Tuhan! Dulu Rafael tidak seperti sekarang. Dia pria yang menjaga auratnya sendiri dan menjaga pandangannya. Dia sangat menghormati perempuan. Namun sekarang, setelah dia besar dan pulang dari LA, dia menjadi pria dewasa yang sangat bastard. Terlebih lada Serena.

"Rafael." Serena menoleh ke arah Rafael yang sudah masuk dan berniat ke kamar mandi.

"Humm." Pria itu berdehem singkat, menoleh dan menatap berat ke arah Serena.

"Aku … aku akan tidur di mana?" tanya Serena. Dia sudah mengantuk tetapi takut menyentuh ranjang serba hitam milik Rafael.

Mungkin karena statusnya berubah-- dari sahabat pria ini lalu menjadi istri Rafael-- Serena merasa sangat canggung dan kaku. Apalagi hubungannya dan Rafael tak baik. Bisa dikatakan pernikahan ini adalah konspirasi Rafael.

Wajah Rafael berubah menjadi dingin, tatapannya tajam dan rahangnya mengatup. "Di lantai! Dasar stupid!" ketusnya bercampur kesal sembari langsung masuk ke dalam kamar mandi.

Sedangkan Serena ….

Deg

"Di--di lantai?" murungnya pelan, mengerjabkan mata karena ingin menangis. Selain bastard, Rafael juga sangat kejam.

'Harusnya aku tidak menikah dengannya!' gumam Serena sedih bercampur kesal. Dia mengambil bantal di ranjang lalu meletakkannya di lantai. "Dia tidak akan marah jika aku pakai bantalnya satu kan?! Cik, aku mau pulang saja. Rafael sangat kejam!!"

Ceklek'

Rafael keluar dari kamar mandi, bersamaan dengan Serena yang berniat akan tidur di lantai.

"Kau bodoh, hah?!" ucap Rafael, berjalan panjang ke arah Serena dengan raut marah bercampur tak habis pikir.

"Kamu yang bilang …-" ucapan Serena berhenti. Dengan kasar Rafael mendorongnya ke atas ranjang, membuat Serena terhempas dan terbaring di atas ranjang.

Deg deg deg

Jantung Serena berpacu dengan kuat, takut pada Rafael dan sakit hati dengan perlakukan pria ini padanya. "Apa masalahmu?! Bukannya kamu yang bilang tadi jika aku tidur di lantai."

"Kau sangat berisik. Diam!" ketus Rafael, naik ke atas ranjang dan berbaring di sisi lain ranjang dengan membelakangi Serena.

'Sejak di villa dia sepertinya kesal. Tapi … kenapa?' batin Serena, memperhatikan Rafael yang berbaring membelakanginya.

Ting'

Suara handphone Serena berbunyi terdengar. Serena mengerjab beberapa kali, menatap handphonenya yang ia letakkan di atas nakas sebelah Rafael berbaring.

Ting'

Lagi-lagi handphonenya tersebut berbunyi.

"Hah." Serena menghela nafas, memilih mengambilnya karena takut Rafael terganggu dan marah lalu membanting handphone kesayangannya tersebut.

Serena mendekati Rafael, merundukkan tubuhnya untuk mengambil handphone tersebut dan …-

Dug'

'Mampus!' batin Serena ketika tak sengaja lututnya kejedot ke kepala Rafael yang berbaring.

Serena buru-buru meraih handphonenya dan kembali ke tempatnya semula, bersamaan dengan Rafael yang sudah menatapnya dengan tajam dan marah.

"Apa matamu buta?" geram Rafael, marah dan mendidih pada Serena.

"Aku tidak sengaja, El." Serena menghela nafas dengan pelan. Dari Rafael yang gila ingin dekat terus dengannya menjadi Rafael yang anti padanya dan pemarah begini.

'Mungkin PMS kali.' batin Serena berusaha positif thinking.

Sehabis dari rooftop di villa, Rafael sangat sensi padanya. Pria ini marah dan bersikap dingin juga.

"Awal saja jika kau mendekati batas ini," ucap Rafael, menaruh guling di tengah ranjang untuk sebagai batas. "jangankan melewati batas ini, mendekatinya saja kau akan tahu akibatnya, Serena."

"Terserah dan bodo amat, El." kesal Serena, memutar bola mata dengan jengah dan memilih berbaring. Jujur saja, dia sudah sangat lelah -- lelah karena pernikahannya dengan pria bastard ini dan lelah karena sikap menjengkelkan Rafael.

Rafael menggeram pelan, namun juga kembali membelakangi Serena dan melanjutkan tidurnya.

Pengantin baru? Cih, bahkan mereka tidur dengan jarak dan dengan guling pembatas. Mereka lebih cocok disebut musuh bebuyutan yang terjebak di ranjang yang sama.

"Cik." Tiba-tiba Rafael berdecak kesal, membalik tubunnya menghadap Serena yang sudah terlihat pulas. Rafael mengambil guling pembatas tadi lalu melemparnya sembarangan arah. Kemudian dia menarik Serena, memeluk perempuan itu dengan senyaman mungkin -- menjadikan Serena sebagai guling pribadinya.

Sial! Dia sangat kesal pada Serena karena perempuan ini berpandangan dengan Maxim ketika di villa. Keduanya seperti kekasih … Fuck! Rafael benci mengingat itu.

"Aku harus memperingati Maxim!"

***

"Ya Tuhan." Serena syok dan kaget saat sadar jika dia terbangun di pelukan Rafael. Beberapa menit tadi dia loading. Namun ketika mengingat ancaman Rafael tadi malam, Serena jadi takut dan panik sendiri.

Di-- dia menerobos ke wilayah Rafael dan bahkan tidur dengan memeluk Rafael.

'Perasaan aku tidur nggak liar amat. Ke--kenapa aku bisa di sini?' batin Serena, panik dan pucat pias.

Dengan hati-hati Serena berbuat pindah tempat dan kabur, namun tiba-tiba saja tangan Rafael mencekal pergelangannya. Ketika Serena menoleh ke arah pria itu, mata Rafael sudah terbuka-- menyorot tajam penuh aura intimidasi.

"Kau memasuki wilayahku, Serena," ucap Rafael dengan suara serak dan berat, khas bangun tidur. Terdengar seksi tetapi lebih dominan menyeramkan bagi pendengaran Serena.

"Kau akan aku hukum," tambah Rafael, membuat Serena melongos dan menganga lebar-lebar. Sangking lebarnya, Serena rasa rahangnya akan jatuh!

Rafael gila! Dia baru log in tetapi sudah membuat Serena mati kutu.

"A--apaan sih?!" ketus Serena, melepas cekalan Rafael di pergelangannya dan buru-buru turun dari ranjang. "Si--siapa tahu kamu yang pindahin aku tadi malam ke tempatmu. Dasar gila!" cerocos Serena dengan nada kesal bercampur cerewet, lalu buru-buru berlari ke arah kamar mandi.

Di-dia merinding! I--ini pertama kalinya Serena memperhatikan wajah Rafael ketika baru bangun tidur. Sialnya itu meresahkan karena …-

'Tampan dan seksi! Argkkkkkk … Mama, aku mau pulang! Rafael sudah besar dan dewasa!' batin Serena, berjalan cepat ke kamar mandi Rafael dengan mata melotot syok.

"Satu punishment lagi, Serena, karena kau telah memfitnah suamimu," seru Rafael dengan nada serak dan berat, menatap istrinya yang buru-buru ke kamar mandi dengan tatapan sayup dan geli.

Cih, manis dan menggemaskan. Ekspresi kesal Serena sangat menghibur pagi hari Rafael ini.

Dia suka sekali menjahili perempuan itu, sejak mereka kecil dulu.

"Serena." Rafael menyeru rendah, masih bermalas-malasan di atas ranjang. Satu hal yang paling dia sukai adalah menyebut nama Serena.

Rafael buru-buru bangkit dari ranjang, berlari ke arah kamar mandi dengan senyuman licik dan iblis yang sudah mengibar di bibirnya.

Dengan lancang dan santai dia membuka pintu kamar mandi laku masuk begitu saja -- bertepatan ketika Serena berniat membuka baju kaosnya.

"Ra--Rafael!" pekik Serena kaget bercampur gugup dan takut. Kenapa juga pria ini masuk ke kamar mandi? Kan Serena masih menggunakannya.

Dasar! Rafael sudah tidak ada kesopanan ternyata!

"Keluar nggak?! Aku mau mandi." Serena mengusir namun malah meringsut ke sudut kamar mandi ketika Rafael berjalan mendekatinya.

"Keluar? Ini kamar mandiku, Manusia Kera," ledek Rafael dengan senyuman jahil di bibirnya.

Serena melotot horor dan tak terima. "Ka--Kamu!"

"Apa?" Rafael menantang. "Paman … ah, maksudku, Papa Thomas sering memanggilmu manusia kera."

"Iiidih." Serena mendelik, memasang wajah julid dan tak suka pada Rafael. "Yaudah, aku yang pergi," kesal Serena, menghentak-hentakkan kaki sembari berjalan keluar dari kamar mandi.

Namun Rafael tiba-tiba menyentak tangannya, membuat Serena berakhir menabrak dada bidang Rafael.

"Rafael!" geram Serena dengan berusaha melepaskan tubuhnya dari jeratan Rafael.

"Kau ingin mandi?" Rafael berucap lembut, dengan tangan yang sudah melingkar di pinggang Serena. "Boleh, Baby Girl. Tapi kau harus bayar …," bisik Rafael dengan nada rendah dan serak, tangannya yang di pinggang sudah menyelip masuk ke dalam kaos Serena -- menggerayapi perut dan bagian tubuh Serena lainnya.

"Le-- Agkh! Lebih baik aku tidak mandi, Bangke! Leppass!" pekik Serena dengan susah payah, menatap antara memohon dan memperingati. Dia tidak ingin tunduk, tetapi apa yang Rafael lakukan padanya ini membuat Serena tak bisa berkutik.

"Ini masih punishment-mu. Belum bayaran karena kau menggunakan kamar mandiku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status