Setelah badai reda, langit kembali cerah dan penuh dengan bintang. Mereka memutuskan untuk berkumpul di luar, menyalakan api unggun, bakar-bakar bersama sembari bercanda. Sayangnya Ziea kurang menikmati, dia tidak cocok dengan suhu yang terlalu dingin dan lagipula dia sudah mengantuk. Walau ada api yang menyala, namun Ziea sudah mengantuk. 'Kalau tahu begini mending aku nginap di rumah Lea,' batin Ziea, sudah menyender lesu di lengan Kakaknya– awalnya menonton drama favoritnya di handphone. Namun, karena sahabatnya mengirim pesan padanya, Ziea seketika beralih bertukar pesan dengan sahabatnya tersebut. --Lea--[Cuk, kamu ngapain dengan Pak Burhan?]Ziea langsung membalas [Chat-mu ambigu, Lea sayang. Aku ngapain dengan Pak Burhan?]--Lea--[Tiga hari aku diterror terus. Dia minta nomor kamu. Kan aneh!! Pasalnya beliau dospemmu, masa nomormu tak ada di dia.]--Ziea--[Nomornya memang aku block. Soalnya aku dendam, Lea. Tapi jangan kasih tahu yah. Bilang saja HP aku hilang.]--Lea--[
Setelah liburan ke Villa kemari, Reigha berangkat ke Paris. Sekarang pria itu tengah di bandara dan Ziea berusaha untuk menyusul. Haaaa, tidak ada yang memberi tahu Ziea jika Reigha ingin ke Paris, karena itu mereka satu pertemanan berlibur ke villa, sebagai tanda pisah dengan Reigha yang berencana akan menetap di Paris. "Setidaknya aku akan memberikan Kak Reigha surat ini, supaya dia selalu ingat denganku," ucap Ziea dengan berlari terburu-buru, ingin menyusul Reigha sebelum pria itu meninggalkannya. Tak ada yang tahu Ziea menyusul Reigha ke bandara karena Ziea pamit ke kampus. Dan bisa dikatakan Ziea nekat ke mari hanya untuk memberikan surat cintanya pada Reigha. "Itu dia, Kak Reigha masih di sini. Yes!!" Ziea memekik bahagia kala melihat Reigha masih di sana, tengah duduk dan sedang fokus pada handphone di genggamannya. Ziea sejenak merapikan penampilannya, mengambil cermin kecil dari tote bag yang dia kenakan lalu bercermin sembari tersenyum manis. Setelah merasa manis dan c
Wanita cantik dengan kebaya mewah berwarna putih, duduk di atas ranjang pengantin yang telah dihias sedemikian rupa. Dia menekuk kaki lalu memeluknya dengan erat, menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan di atas lutut. "Sekarang apa?" gumam Serena -- wanita cantik dengan wajah blasteran Jerman-Indo tersebut dengan lirih.Dia telah resmi menjadi istri dari seorang pria bastard -- Rafael Abbas Azam, sahabat sekaligus Bosnya di kantor-- yang telah merenggut kesuciannya secara paksa dan selalu menekan Serena untuk menikah dengannya. Pria itu … gila! Dia dan obsesinya untuk memiliki Serena itu sangat mengerikan bagi Serena. "Sekarang aku harus bagaimana?!" pekik Serena pelan, melengking sembari mengigit lututnya dengan air mata yang jatuh dari pelupuk. Awal, Serena ingin membatalkan pernikahan ini. Namun karena kasihan dengan Papanya dan takut Papanya yang akan kena imbasnya, Serena mengurungkan niatnya. "Hiks …." Tanpa sadar isakan keluar dari mulutnya, mengingat kembali foto yang
"Kita akan melakukan malam pertama," bisik Rafael dengan nada berat, meniup daun telinga Serena secara erotis. "Lepaskan aku!" Serena memberontak, menyikut perut Rafael lalu berniat kabur dari atas ranjang.Rafael dengan cepat menarik kaki Serena, membuat perempuan itu berakhir tengkurap di atas ranjang. Rafael menyeringai puas, membalik tubuh Serena agar menghadapnya dengan langsung membuka kebaya pernikahan Serena dengan santai. "Kenapa? Kau takut sakit, Darling?" kekeh Rafael, mencondongkan tubuhnya ke arah Serena dengan satu tangannya yang menahan kedua tangan Serena untuk tak memberontak dan satu lagi membelai pinggiran wajah Serena secara sensual. "Seharusnya ini tak akan sakit, Baby Girl. Kita sudah pernah melakukannya sebelum ini," bisik Rafael, mendekatkan wajahnya ke wajah Serena -- mencium bibir perempuan itu dengan lembut. "Rafael, kau menjijikkan!" pekik Serena marah dan kesal, setelah Rafael melepas pangutan bibir mereka. "Setelah kau tidur dengan Jenner, kau menikah
Serena dan Rafael berjalan bersama, ke ruang makan yang ada di villa keluarga Azam -- jauh dari perkotaan dan berada di perkebunan milik keluarga Azam. Setelah pesta pernikahan Serena dan Rafael, tadi malam mereka semua langsung ke mari. Entah ini pengalihan masalah, tapi berkumpul di villa ini adalah ide Rafael. Dia yang menyarankan keluarga Azam dan keluarga Lucard berkumpul di villa-- dengan embel-embel merayakan kebahagiaan bersama karena telah berhasil mewujudkan impian mendiang Kakek mereka. Yah, Rafael se licik dan cerdik itu! Semua orang bisa ia manipulasi. "Oh, Serena." Serena seketika menampilkan senyuman manis saat Mama mertuanya-- Satiya Adini Azam-- menyapanya. Mommy dari suaminya tersebut menghampirinya dan langsung membawanya untuk duduk di sebuah kursi meja makan -- ruang makan villa tersebut. "Kamu ingin sarapan dengan apa, Sayang?" "Ah, tidak perlu repot, Tante. Aku bisa ambil sendiri," ucap Serena dengan cepat karena tak enak pada Sati. "Mommy dong, Sayang.
Setalah berlibur di villa, Rafael dan keluarganya kembali ke rumah masing-masing. Ada yang berbeda dan terasa baru tentunya, kini keluarga Azam bertambah satu. Serena akan tinggal dengan mereka -- akan satu rumah dan satu kamar tentunya dengan Rafael. "Istirahatlah. Kalian pasti lelah." Satiya berucap lembut, menatap hangat pada menantunya yang wajahnya terlihat sembab. Walau rumah orang tuanya cukup dekat dari sini, namun tetap saja Serena akan merasa sangat sedih karena dia tidak tinggal dengan orang tuanya lagi. Sekarang Serena tinggal dengan keluarga suaminya. "Iya, Tan …- Mommy." Serena berucap kikuk. Melihat Rafael menyalim orang tuanya, Serena juga melakukan hal yang sama. Kebiasaan Rafael dan ketiga adiknya, ketika akan tidur mereka akan pamit dan menyalim orang tua mereka. Tradisi di rumah ini sudah turun temurun sejak jaman Gabriel, Alfa, King dan Xena dulu. 'Nih anak ada sisi terangnya juga. Kirain gelap melulu.' batin Serena ketika memperhatikan Rafael yang bahkan men
"Selamat pagi, Mommy," sapa Serena kikuk dan gugup, memasuki ruang bersama seorang pria yang berjalan lambat di belakangnya. "Pagi, Nak. Bagaimana tidurmu? Nyenyak?" tanya Sati balik, mendapat anggukan pelan dari Serena. "Serena, kenapa kau tidak menyapaku juga? Apa aku transparan?" Gabriel yang juga di sana, menaikkan sebelah alis -- menatap anak sahabatnya yang kini menjadi menantunya dengan sebelah alis yang terangkat. Aneh bocah satu ini! Bisa-bisanya dia terlihat kikuk seperti ujian skripsi saat berhadapan dengan Gabriel begini. Padahal biasanya Serena tak pernah canggung dan selalu enjoy. "Selamat pagi, Paman," sapa Serena dengan malu-malu dan setengah gugup. Demi Tuhan! Dulu dia biasa saja bertemu dengan pamannya ini. Namun entah kenapa sekarang rasanya berbeda, rasanya seolah dia bertemu dengan petinggi negara. Gugup dan berdebar!"Istriku kau panggil mommy dan aku kau panggil paman. Aku ini terlihat seperti suami keduanya, humm?" protes Gabriel tak terima. "O--oh. Selam
"Serena …," geram Rafael sembari menatap layar komputernya. Dia sudah di ruangannya dan dia masih kepikiran dengan Serama tadi. Perempuan itu sepertinya memang tidak merasakan apa-apa padanya. Serena terlalu santai dan bahkan seperti mendukung Rafael dengan Jenner. Tok tok tok"Silahkan." Ceklek'Rafael menoleh ke arah pintu, langsung berdecak kesal karena bukan Serena yang datang. Shit! Dia sangat berharap jika Serena yang akan menemuinya di sini. Sialnya bukan Serena yang datang melainkan Jenner. "Rafael, aku ingin membicarakan sesuatu padamu." Perempuan itu langsung menarik kursi ke sebelah Rafael, kemudian dia duduk di sana sembari memeluk lengan Rafael. "Kamu sudah memberikan akses untukku agar bisa setiap hari datang ke kantormu. Selama orang tuamu tidak datang ke sini, kau bilang aku boleh kan ke sini?""Jadi?" Rafael menaikkan sebelah alis. "Itu kurang, Rafael. Aku ingin-- jika bisa dua puluh empat jam bersamamu." Dengan manja, Jenner menduselkan pipinya ke lengan Rafael.