Share

Terpesona

“Hmmm … Rangga, bagaimana kalau—”

“Rangga.”

Rangga dan Hanin menoleh ke arah sumber suara, yang membuat Hanin menghentikan ucapannya.

“B—bu Abel,” ucap Rangga terlihat gugup.

“Bagaimana tugasnya?” tanya Abel pada Rangga, dengan lirikkan mata yang ditujukan untuk Hanin.

“Sedang proses, Bu. Kalau sudah, kirimkan ke email saya segera,” pinta Abel. “Dan jangan lupa untuk makan.”

Abel berlalu, tidak berbasa-basi lagi.

“Hanin, aku harus pergi ke perpustakaan. Kamu bisa makan duluan, ya.”

***

Tok tok tok

Ia mengetuk pintu lebih dulu dan menunggu Abel membukakan pintu untuknya.

Tok tok tok

Ia mengetuknya lagi, setelah beberapa saat menunggu.

Tidak ada kehadiran Abel untuk membukakan pintu.

‘Bisa-bisa aku tidur di depan pintu,’ keluhnya dalam hati.

Cklek

Pintu terbuka dan Rangga segera masuk.

“Bu, maaf … saya pulang terlalu larut dan membuat ibu menunggu terlalu la … ma—”

Rangga diam, terperanga melihat Abel.

“B—bu … A—abel?”

“Apa setiap hari kamu akan pulang larut seperti ini?”

Rangga masih diam, melihat Abel yang hanya mengenakan baju daster yang tipis dan hampir transparan.

“Segera istirahat, besok kamu mesti kuliah,” tutur Abel berlalu.

Rangga menelan salivanya berkali-kali. Merasakan sesuatu seolah memberontak keluar dari balik celananya.

‘Gila! Kenapa dia bangun disaat yang tidak tepat?! Bu Abel benar-benar menggoda malam ini. Sepertinya aku beruntung memiliki istri yang begitu seksi seperti Bu Abel,’ batin Rangga tidak menolak untuk terpesona.

Rangga melangkah pelan, masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Ia memilih untuk bersandar di balik pintu, menunggu kepemilikannya berhenti menegang.

‘Apa yang kurang dari Bu Abel, sampai usianya yang hampir 30 tahun masih melajang? Aku saja sampai setegang ini melihat tubuhnya yang seperti itu,’ batinnya bergumam, masih belum bisa melanjutkan perjalanan, kepemilikannya belum kembali tidur.

***

Rangga diam, memandangi Abel yang kini sedang sarapan di depannya. Ia masih teringat kejadian tadi malam yang membuatnya tertegun, karena pesona Abel yang tidak diragukan lagi.

“Rangga? Habiskan sarapan kamu,” ujar Abel menegur Rangga yang sejak tadi hanya memandanginya saja. “Tidak perlu memandangi saya seperti itu, saya tetap tidak akan memberimu tumpangan untuk ke kampus,” ujar Abel, sedikit memperlihatkan senyum tipisnya.

Jleb

‘Apa sejak tadi aku memandangi Bu Abel? Apa pandanganku terkesan seperti anak yang meminta belas kasihan untuk ditumpangi?’

“Rangga!”

Rangga tersentak, segera meraih sendok dan garpunya.

“Apa yang mengganggu pikiranmu?” tanya Abel.

Rangga menggelengkan kepalanya. Ia sangat malu karena Abel sampai menegurnya.

“Kalau bisa, kamu libur part time saja hari ini. Sepertinya kamu lelah, sejak tadi hanya melamun saja,” tutur Abel.

“S—saya baik-baik saja, Bu. Nanti malam … ibu tidak perlu menunggu saya hingga larut. Saya akan menginap di rumah teman saja,” ujar Rangga.

“Pulang mengajar, saya akan ganti pintu dengan pin. Jadi kita bisa keluar dan masuk tanpa harus saling tunggu menunggu. Jika kamu tidak keberatan, temani saya untuk mengurusnya, ya,” pinta Abel.

Rangga menelan salivanya. Ia sangat kaget.

Ini adalah kali pertama Abel mengandalkannya.

“Ke bagian developer, Bu?” tanya Rangga.

“Iya. Kamu kepala keluarga di rumah ini, kamu juga harus ikut andil dalam urusan apartemen.”

‘Apakah ini yang dinamakan pernikahan? Memiliki tetangga dan menganggapku sebagai seorang suami?’ batin Rangga, entah mengapa ia menjadi terpesona dengan dirinya sendiri yang dianggap sebagai kepala rumah tangga.

***

“Siapanya Bu Abel?”

Rangga menoleh pada Abel yang terlihat sedang memainkan ponselnya.

“S—suami,” jawab Rangga, ragu.

Petugas developer itu hanya tersenyum, mungkin heran. Abel memiliki suami yang terlihat sangat muda.

“Kerja dimana, Pak?” tanya petugas itu lagi.

“S—saya hanya bekerja part time, sepulang kuliah,” jawab Rangga.

“Lanjut S2, ya? Ingin menjadi dosen juga seperti Bu Abel.”

“S—saya … masih semester satu … dan sedang mengambil S1, Pak,” ujar Rangga, sebenarnya malu untuk mengakui itu.

“Kamu … sebegitu terpesonanya dengan Bu Abel, sampai rela menikah muda? Dia memang primadona di gedung ini,” bisik petugas tersebut.

“Pak, sudah jangan mengganggunya. Lekas urus dan segera ganti mode pintu apartemen saya,” timpal Abel yang sejak tadi hanya diam, namun mendengarkan pembicaraan mereka.

Rangga dan petugas itu hanya menyeringai, menanggapi ucapan Abel.

“Banyak yang mengincar Bu Abel. Kamu harus menjaganya baik-baik, ya. Tunjukkan kalau Bu Abel ini adalah milikmu,” lanjut si petugas itu.

“Galih  …,” tegur Abel, lagi. Petugas developer apartemen tempat tinggalnya adalah teman Abel saat sekolah. Sehingga membuat Abel tidak tersinggung saat dia mengajukan banyak pertanyaan kepada Rangga. Hanya saja Abel khawatir Rangga akan risih dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

“Dia teman satu sekolah,” lanjut Abel, memberitahu Rangga.

Petugas itu kembali menyeringai.

***

Malam ini, Rangga makan malam bersama dengan Abel. Dengan masakan yang dibeli oleh Abel, Rangga tetap menikmati makanan tersebut.

“Enak?” tanya Abel.

Rangga tersenyum dan mengangguk, sembari mengunyah makanan di dalam mulutnya.

“Tapi saya lebih suka masakan Ibu,” ujar Rangga, berterus terang.

“Saya hanya memasakkan kamu nasi goreng saja, Rangga,” balas Abel terkekeh.

“Iya … tapi saya sedang membuktikan ucapan orang-orang kebanyakan, Bu.”

“Hm? Apa itu?”

“Masakan istri itu, jauh lebih enak dari restoran manapun,” papar Rangga.

Blush

Abel diam, tidak tahu harus merespon apa. Tapi terlihat dari gelagatnya, ia tersipu karena pujian dari Rangga.

“Terima kasih, Rangga.”

Usai makan malam, Abel tidak langsung ke kamarnya. Ia masih berada di ruang tamu, menonton serial drama kesukaannya. Ditemani oleh Rangga yang juga ternyata memperhatikan apa yang sedang ditonton oleh sang istri.

“Kamu selesaikan tugas dulu, Rangga. Jangan ikut menonton,” perintah Abel, dengan mata yang tidak lepas dari televisi.

Rangga terkekeh melihat Abel yang ternyata sebegitu sukanya dengan serial drama tersebut, hingga tidak ingin melewatkannya, walau hanya satu detik.

“Tidak ada tugas, Bu. Saya sudah menyelesaikannya tadi siang saat di kampus,” balas Rangga, masih memandangi Abel.

“Ouh, begitu ….”

Abel kembali fokus menonton, sementara Rangga memilih memainkan ponselnya. Ia juga tidak bisa tidur lebih awal, karena tempat tidurnya adala sofa yang kini sedang diduduki olehnya dan juga Abel.

Ting

Ponsel Rangga berbunyi, sebuah chat masuk dan menunjukkan pop up pada layar ponselnya.

Hanin

[Kamu tidak part time?]

Rangga melirik pada Abel. Ia tidak ingin Abel tahu kalau dirinya sedang melakukan chat dengan wanita lain.

Rangga

[Tidak, Han]

[Kamu sedang apa?]

Hanin mengirimkan sebuah foto.

Itu adalah fotonya yang sedang berada di rumah makan, tempat Rangga bekerja.

Hanin

[Aku pikir, makan malamku kali ini akan disediakan oleh kamu]

[Kenapa kamu tidak kerja, Ngga?]

[Apa kamu sedang tidak sehat?]

Rangga

[Aku hanya lelah, Han. Aku baik-baik saja]

[Sebagai gantinya, aku akan mengajakmu makan siang bersama besok siang]

[Selamat malam, Hanin ….]

“Rangga? Kamu sedang chat dengan siapa?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status