Share

Bab 4 Wanita Yang Baik Hati

Mendengar ancaman dari Bella, membuat emosi Ronald menjadi terpancing. Tangannya mengepal dan rahang wajahnya mengeras. "Lalu apa yang kamu inginkan hah?" tanya Ronald.

"Kamu ingin aku menikahimu begitu? Itu tidak mungkin!" lanjut Ronald.

Bella tak punya pilihan lain lagi selain hanya diam. Mana mungkin dia mengharap Ronald menikahinya. Kini Bella hanya bisa pasrah. Pikiran Bella yang semakin kalut membuatnya menjadi bertambah mual. Tak bisa menahanya lagi ia kemudian berlari meninggalkan Ronald dan pergi ke kamar mandi.

Anehnya walau sudah beberapa menit berlalu Ronald masih belum beranjak dari kost Bella. Kakinya seakan terpaku. Merasa tak nyaman dengan perasaannya sendiri kemudian Ronald menyusul Bella ke kamar mandi. Entah kenapa dia takut terjadi sesuatu pada gadis itu.

Dengan cekatan ia memijat tengkuk Bella agar merasa lebih lega. Kaget bukan kepalang Bella mengetahui tindakan Ronald yang secara tiba-tiba. Merasa risih ia kemudian menepis tangan Ronald.

"Tolong jangan lakukan itu Pak," cegah Bella.

Ronald memundurkan langkahnya. "Aku hanya berniat membantumu, tak lebih," elaknya.

"Saya bisa mengurus diri saya sendiri, Pak," sahut Bella. Kepalanya pusing dan perutnya masih mual namun Bella tahan sampai Ronald akhirnya pergi.

Setelah Ronald pergi Bella melanjutkan kegiatannya mengeluarkan cairan yang membuatnya tak nyaman dalam perut. Setelah selesai kemudian Bella berbaring di kasurnya. Bella mulai memejamkan mata dan mencoba untuk tidur.

Namun saat dirinya hampir tertidur matanya kembali harus terbuka saat mendengar suara dering ponselnya. Tertera nama Laura di sana. Bella yang masih lemas mengangkatnya. 

"Halo Bel. Kamu gimana keadaannya?" tanya Laura mengawali percakapan di ujung telepon.

"Saya sudah agak mendingan Bu Laura," jawab Bella. 

"Sudah periksa ke dokter?" tanya Laura yang ingin memastikan Bella sudah benar-benar sembuh.

"Sudah Bu," jawab Bella.

"Syukurlah kalau begitu. Berarti besok kamu sudah bisa ke rumahku lagi ya?" tanya Laura.

"Sudah Bu. Besok saya sudah bisa bekerja seperti biasanya lagi," jawab Bella. Lebih baik dia kembali bekerja. Daripada Laura akan curiga nantinya.

"Maafkan aku Bella karena harus memaksamu untuk langsung bekerja. Padahal kamu baru saja sembuh. Hanya saja kamu tau kan kalau besok kita akan ada klien penting. Aku nggak bisa mengurusnya sendiri," ungkap Laura panjang lebar di ujung telepon.

"Saya mengerti Bu. Saya akan mengurusnya besok," sahut Bella dengan nada ramah.

"Terimakasih ya Bella. Aku tahu kamu bisa diandalkan," ucap Laura dengan tulus.

"Sama-sama Bu. Itu sudah tugas saya," sahut Laura.

"Okey. Sampai ketemu besok ya Bel," pungkas Laura mengakhiri sambungan teleponnya.

"Baik Bu Laura. Sampai bertemu besok." Kemudian Bella menggeser tombol merah pada layar.

Hanya beberapa menit Bella berbincang-bincang dengan Laura lewat telepon. Namun entah kenapa hal itu sudah cukup membuat hatinya tak nyaman. Ada pergolakan yang hebat dalam hatinya. Dia merasa sudah mengkhianati Laura. Meskipun semua itu bukan kesalahannya.

Bella mencoba menarik napas panjang dan ternyata begitu sulit. Sesulit membayangkan ketika nanti ia harus bertemu dengan Laura. Akankah dia dapat bersikap biasa-biasa saja setelah kejadian itu? Setelah kehamilannya saat ini. Rasanya Bella tak akan bisa tidur dengan tenang malam ini.

**

Pagi harinya Bella bangun dari tidurnya. Tak ada tidur nyenyak. Ia bahkan lupa hanya berapa jam tidurnya semalam. Hal itu membuat kepalanya menjadi berat.

Dengan malas ia bangkit dari tempat tidurnya. Kemudian ia mengambil handuk dari jemuran. Lalu berjalan menuju ke kamar mandi dan lekas bersiap-siap ke rumah Laura.

Setelah siap Bella keluar dari rumah. Kebetulan ada taksi melintas di depannya. Kemudian Bella panggil dan masuk.

Sepanjang perjalanan Bella merasa cemas. Ia takut bertemu dengan Ronald. Padahal sesungguhnya ia ingin bertemu dengan lelaki itu dan meminta penyelesaian dari masalahnya. Hingga tanpa sadar Bella sudah sampai di rumah Laura.

"Mbak. Sudah sampai," beber supir taksi membuyarkan lamunan Bella.

Bella terkejut, kemudian menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Oh. Maaf Pak. Maaf," ucapnya. Lalu membuka dompet dan menyerahkan uang argo taksi.

Bella mulai berjalan melewati pintu gerbang rumah Laura. Dan sesampainya di pintu utama secara kebetulan ia bertemu dengan Laura. Seperti biasanya wanita itu akan menyapanya dengan hangat.

"Astaga Bella. Kemarilah," sapa Laura sambil merentangkan kedua tangannya. Kemudian tanpa ragu ia memeluk Bella dan mengelus punggungnya dengan lembut.

"Baru satu hari kamu nggak datang ke rumah ini aku udah rindu banget sama kamu," ucap Laura. Kalimat ini tulus dari hatinya.

Sesaat Bella terhanyut dalam pelukan Laura. Bella tersenyum sambil menyadarkan kepalanya dengan nyaman di bahu Laura. Rasanya masih sama seperti kemarin. Ia dapat merasakan nyaman bagai dalam pelukan seorang ibu. Karena Laura ini memang punya sifat keibuan. 

Namun sekelebat bayangan ketika Ronald menodainya malam itu dengan keji. Juga dengan tawarannya untuk menggugurkan bayinya membuat hati Bella seketika remuk redam. Ia membeku dan seakan merasakan rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya.

Menyadari hal itu Laura kemudian mengurai pelukannya. Ia pegang kedua pundak Bella lalu menanyainya karena cemas. "Kamu kenapa kayak orang yang lagi ketakutan gitu?" Mata Laura mulai menyelidik mimik wajah Bella.

"Hah! Astaga," seru Laura terkejut. Ia berpikir Bella seperti itu karena mengetahui jika sebelumnya ada orang yang ingin berbuat jahat dengan menaruh sesuatu di minumannya ketika di pesta ulang tahunnya. Padahal bukan.

Instingnya yang protektif seperti seorang kakak membuatnya kembali merengkuh Laura dalam pelukannya. "Kamu tenang aja ya Bel. Nggak akan ada orang yang akan berani nyakitin kamu selama ada aku di sini," ucap Laura dengan yakin.

Bella tanpa sadar meneteskan air mata. Dan di saat yang sama ia melihat Ronald keluar dari rumah dan mendekat ke arahnya. 

"Kenapa kalian mengobrol di luar. Ayo bawa Bella masuk Laura," suruh Ronald pada istrinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status