Mobil pun melaju dengan cepat, suasana sore yang cukup lenggang di weekend kali ini. Perlahan tapi pasti mobil sedan warna hitam itu, semakin jauh melaju, tidak macet hanya sedikit merayap, apalagi ini sudah suasana menjelang Magrib.
Dua insan yang dimabuk asmara mereka lupa dengan dosa. Sifat suka menyalahkan orang lain yang dimilikinya, membuat keduanya mengukir luka pada keluarga. Tawa bahagianya saat ini adalah air mata duka untuk keluarga.
Suasana Puncak malam ini tidak sepadat biasanya.
"Kita mau makan dulu?" tanya Doni.
"Iya dong, saya lapar?" tegas Lia, sambil mengerling manja pada lelaki tampan di balik kemudi itu.
"Di warung sate atas sana aja ya!" ucap Doni. Sambil tetap melajukan mobilnya perlahan-lahan, karena jalan yang berkelok. Dan posisi warung sate ada di seberang mobilnya, membuat Doni harus membelokan mobilnya ke sebelah kanan, c
Ambil hikmah dari cerita ini, jangan ambil yang buruknya ya gaes. Ingat hukum tabur tuai itu ada. Apa yang diperbuat akan dipertanggung jawabkan kelak. Semoga kita semua selalu dal lindungan Allah SWT, aamiin.
Bianca malah menawarkan diri untuk memberikan salinan chat Doni dan Lia pada polisi, demi mengungkap perselingkuhan mereka. Ada rasa puas yang membuncah dihatinya, tangisan Renata selama ini dibayar tunai, sekaligus dengan terungkapnya hubungan mereka ke publik tanpa harus dia menghajar Doni terlebih dahulu, tapi hukum alam yang bekerja. "Adakah keluarga pasien atas nama Lia Apriliani?" tanya seorang dokter, yang menghampiri mereka. Hening tak ada yang menjawab. "Apakah ada keluarga dari pasien atas nama Lia," tanya dokter itu untuk kedua kalinya. Ahmad tak berminat menjawab, dia hanya memeluk Alvin, wajahnya datar, tanpa ekspresi atau sejenisnya, pandangannya kosong ke arah lantai. Begitupun Sarah, yang merasakan lidahnya kelu meski hanya untuk mengaku sebagai keluarga korban. "Dok, dimana anak saya?" seorang laki-laki tua tergopoh menghampiri kerumunan
Dokter menerangkan bahwa keadaan Doni kritis, harapan hidupnya sangat tipis kecuali ada keajaiban tuhan. Tangis Bu Tuti semakin meraung-raung. Sesekali ia pingsan dalam dekapan suaminya. Sedangkan Renata tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Dia diam seribu bahasa begitu banyak pertanyaan demi pertanyaan yang dia tanyakan kembali pada hatinya. Walau bagaimanapun, Doni adalah masih suaminya, Doni juga adalah Ayah dari Annisa. Ada iba yang menelisik disudut hatinya. Suara dering ponsel membuyarkan segala yang ada dalam pikirannya. Nama Bik Sumi terpampang jelas saat Renata mengeluarkan ponsel itu dari tas tangannya. "Assalamualaikum, iya, Bik," ucap Renata dengan lembut. "Waalaikumsalam, Neng, Baby Annisa, tubuhnya panas semalaman, sudah bibik coba balurin bawang sama asem, tapi panasnya belum turun aja," terang Bik Sumi pada majikannya. "Hah." Renat
Claudia Rindiani Wisesa, putri bungsu dari seorang pengusaha terkenal Usman Wisesa, yang namanya selalu masuk di deret nama-nama pengusaha sukses. Rindi panggilannya, gadis manja yang pintar. Tak heran sebagai anak bungsu dari keluarga konglomerat, mudah dijangkau apapun yang diinginkannya. Hidupnya penuh dengan gelimang harta, membuat Rindi tumbuh jadi sosok yang egois, apapun yang diinginkannya harus ia dapatkan. Pak Usman Wisesa memiliki satu anak lelaki dan dua perempuan. Semua suda
Renata mematut penampilannya di cermin besar, yang terletak di walk in closet kamar pribadi miliknya. Dengan busana casual, celana jeans panjang dipadu dengan kemeja motif leopard keluaran brand ternama dipadu dengan flat shoes warna hitam senada dengan warna tas tangannya. Wajah tirus serta body yang langsing membuat penampilannya tidak seperti telah punya anak. Tapi matanya sedikit ada lingkaran hitam karena hampir setiap malam baby Annisa begadang. Entahlah apa yang membuat bayi itu selalu terbangun ditengah malam. Bahkan sampai Renata membuat jadwal agar mereka bertiga gantian menjaga baby Annisa ketika malam hari. Bayi berusia 2 bulan itu tumbuh dengan sehat dan menggemaskan, asupan nutrisi yang dimakan Renata membuat kualitas asinya mengalir deras. Membuat bayi itu tak pernah kekurangan air susu ibunya. "Bik, saya mau keluar dulu ya, Asi sudah ada di freezer," terangnya, pada Bik Sumi, orang
Obsesi atau cinta. Rindi bergelayut manja ditangan kakaknya. Banyak orang mengira bahwa mereka sepasang kekasih, karena perbedaan usianya hanya beberapa tahun saja. Ditambah postur tubuh Rindi juga yang hanya selisih sekitaran 15 cm dengan tinggi Bima, serta polesan make up yang membuat dirinya pantas menyandang pasangan dari Ceo perusahaan tersebut. Cantik dan ganteng. Serasi sekali, ucapan itulah saat beberapa pasang mata melihat Bima dan Rindi berjalan bersama menuju lobi kantor. Banyak karyawan yang belum tahu siapa gadis itu. Bahkan sebagian besar justru tidak tahu hubungan Rindi dengan Bima sebagai apa. "Kak, janji ya, cari informasi tentang Bara secepatnya! Kakak-kan banyak tuh Mafia-nya," ucap Rindi sambil menatap wajah tampan sang Kakak. "Hmz, kamu pikir aku ini pengedar obat terlarang? Pake nyebut Mafia segala, orang ganteng mana mungkin main begituan!" tegas
Bara merebahkan tubuhnya diatas sofa yang tersedia di kantornya. Hari ini badannya terasa letih, jadwal sidang minggu ini padat sekali, bahkan sangat padat membuat dirinya kewalahan. Pandangan menyapu bersih langit-langit kantornya, pikirannya menerawang kesegala sudut kehidupannya. Ia merasa telah sukses menggapai semua cita-citanya, bahkan ia sukses menjamin kehidupan Ibu dan adiknya. Dirinya berhasil menjaga keluarganya. Mengantarkan adiknya juga jadi seorang sarjana hukum tahun depan. Masalah keuangan bukan lagi hal yang sulit, secara kini bukan dia yang bekerja untuk uang, tapi uang yang mencarinya. Dengan memiliki kos-kosan itu, ia tak salah memilih membeli properti saat itu, adalah hal yang tepat baginya. Kini adik dan Ibunya sudah tak perlu khawatir kekurangan uang. Tanpa Bara memberi uang bulanan pun, hidup mereka sudah terjamin. Hanya saja dia masih ingin membelikan mobil untuk adiknya. Tapi Aisyah menolaknya dengan
Saat suara itu berlalu menjauh dari kamarku, aku pun tersadar kalau aku sedang berada di rumah sakit. Dengan infusan yang menggantung dan bau obat-obatan yang sangat menyengat di indra penciumanku. Badanku yang ngilu, dan kepalaku yang pusing menarik memoriku kembali ke permukaan. Bahwa aku baru saja mengalami kecelakaan. Beberapa saat kemudian aku bisa melihat ada seorang dokter yang didampingi oleh dua orang suster masuk ke dalam ruanganku. Dokter tersebut tersenyum manis, sambil meletakkan stetoskop di atas dadaku. "Alhamdulillah, Pak Doni sudah siuman. Apakah Bapak bisa mendengar dan melihat dengan normal?" tanyanya sambil tersenyum sopan. Aku mengangguk dan mencoba menggerakkan tubuhku, tapi hanya sakit yang kurasakan, sepertinya tulang-tulangku dicabut paksa dari tempatnya. "A—air ...." kataku dengan terbata-bata, menahan s
Dina memacu motornya dengan membonceng ibunya. Dia menuju butik Renata dengan harapan Renata bisa sedikit memberi waktu untuk mendampingi Doni sampai pulih ingatannya. "Bu, bagaimana kalau, Kak Rena, menolak untuk mengunjungi Kakak di rumah sakit?" tanya Dina, saat motor berhenti di lampu merah. "Semoga Ibu bisa membujuknya," ucapnya dengan gamang. Karena dirinya sendiri tidak yakin dengan apa yang diucapkannya. Mengingat sikap ketusnya terhadap menantunya selama ini, apalagi saat di rumah sakit, saat dirinya dengan lantang menyalahkan Renata adalah sebab dari kecelakaan itu. Namun di hadapan Dina, ia tak boleh lemah. Tidak butuh lama perjalanan antara rumah sakit dan butik Renata. Hanya dua puluh menit saja. Mereka kini telah sampai. Bu Tuti dengan setengah berlari memasuki butik yang sedang ramai pengunjung. Matanya langsung menatap ke arah wanita berbaju pink yang s