Saat suara itu berlalu menjauh dari kamarku, aku pun tersadar kalau aku sedang berada di rumah sakit. Dengan infusan yang menggantung dan bau obat-obatan yang sangat menyengat di indra penciumanku.
Badanku yang ngilu, dan kepalaku yang pusing menarik memoriku kembali ke permukaan. Bahwa aku baru saja mengalami kecelakaan.
Beberapa saat kemudian aku bisa melihat ada seorang dokter yang didampingi oleh dua orang suster masuk ke dalam ruanganku.
Dokter tersebut tersenyum manis, sambil meletakkan stetoskop di atas dadaku.
"Alhamdulillah, Pak Doni sudah siuman. Apakah Bapak bisa mendengar dan melihat dengan normal?" tanyanya sambil tersenyum sopan.
Aku mengangguk dan mencoba menggerakkan tubuhku, tapi hanya sakit yang kurasakan, sepertinya tulang-tulangku dicabut paksa dari tempatnya.
"A—air ...." kataku dengan terbata-bata, menahan s
Halooo semuanya, apakabar hari ini? Masih semangat kan puasanya😁 pasti baru pada bangun tidur, ya kan? Akh engga? Semangat bekerja ya. Jangan lupa kasih rate ceritaku ya, biar semangat up nya. Babay 😘
Dina memacu motornya dengan membonceng ibunya. Dia menuju butik Renata dengan harapan Renata bisa sedikit memberi waktu untuk mendampingi Doni sampai pulih ingatannya. "Bu, bagaimana kalau, Kak Rena, menolak untuk mengunjungi Kakak di rumah sakit?" tanya Dina, saat motor berhenti di lampu merah. "Semoga Ibu bisa membujuknya," ucapnya dengan gamang. Karena dirinya sendiri tidak yakin dengan apa yang diucapkannya. Mengingat sikap ketusnya terhadap menantunya selama ini, apalagi saat di rumah sakit, saat dirinya dengan lantang menyalahkan Renata adalah sebab dari kecelakaan itu. Namun di hadapan Dina, ia tak boleh lemah. Tidak butuh lama perjalanan antara rumah sakit dan butik Renata. Hanya dua puluh menit saja. Mereka kini telah sampai. Bu Tuti dengan setengah berlari memasuki butik yang sedang ramai pengunjung. Matanya langsung menatap ke arah wanita berbaju pink yang s
Pov Renata. Kepalaku berdenyut kencang, ketika mendengar permintaan ibu mertuaku yang terus menghiba. Karena ramainya pengunjung butik, aku sampai lupa Annisa kubawa kesini. Dan sekarang bayi itu sedang nyenyak dipangkuan neneknya. Semua kontak telepon dan sosial media keluarga suamiku masih ku blokir. Niat awalku adalah tak ingin menampakkan diri lagi di hadapan keluarga suamiku, hingga proses sidang ceraiku selesai. Namun keadaan tidak berpihak padaku sepertinya. Karena tempat usahaku yang tidak mungkin pindah juga, hanya karena ini semua. Lihatlah hari ini, Ibu mertuaku datang ke butik untuk memintaku menjenguk anaknya! Ya … salam, apakah tidak sadar Ibu mertuaku ini, dengan apa yang dilakukan anaknya kepadaku. Mas Doni bukan hanya mengkhianatiku saja, dia menyakitiku sekaligus menghancurkan nama baikku ke seluruh pelosok negeri ini, dengan kecelakaan yang dialaminya bers
"Aku terpaksa melakukan itu, Bi! kalau tidak seperti itu, ibunya Mas Doni tidak akan pergi dan pasti terus bersujud di kakiku. Dan pelanggan-pelanggan butik aku akan melihat semua ini, dan kembali viral. Aku tidak punya pilihan, apalagi menolaknya," ucap Renata saat dia menyadari bahwa aku sedang menatapnya tajam. Dan segera ku alihkan pandangan pada baby Annisa yang sedang memasukan tangan ke mulutnya. Tak lama Bi Sumi datang mengambil Annisa untuk dibawa pulang. Sesuai titah Renata. Karena kami akan ke rumah sakit terlebih dahulu. Karena mustahil kami membawa Annisa kesana. Sungguh heran aku dibuatnya. Terbuat dari apa hati sahabatku ini. Gemas, kesal, rasanya ingin memarahinya, tapi aku masih tercengang dengan perkataan Dina tadi tentang statusku di samping Renata. Antara aku dan Renata, memang tidak ada hubungan darah, tapi rasa sayangku padanya melebihi aku menyayangi ipar-iparku. &nb
POV. Renata. "Katanya mau ke rumah sakit, ayo!" ajak Bianca, sewaktu-waktu setelah pergulatan kami selesai. Akupun punya tas yang tadi kubawa kemana-mana dan bersiap untuk menjenguk Mas Doni. Sementara Bianca dia langsung keluar dengan nafas masih terengah-engah. Setelah merapikan penampilan yang mengenaskan akibat perlakuanku tadi.
POV Doni. Saat aku melihat Renata datang, bahagia sekali hatiku. Cantik sekali! Ya … Allah, teriak batinku. Sempurnanya Engkau menciptakan wanitaku. Sikap Renata sedikit canggung padaku, padahal aku merindukannya. Bahkan dia tak mau mendekat, dari sejak kedatangannya beberapa menit lalu. Kupandangi wajah cantiknya dengan penuh rindu, rasanya aku takkan bisa hidup tanpanya. Terserah mau dibilang lebay pun, pokoknya aku mencintainya sampai mati. Dan saat kupeluk pinggangnya, sesaat setelah kupinta dirinya mendekat. Bahkan dia seolah terkejut. Padahal aku ini suaminya, wajar aku memeluknya penuh rindu, bukankah perlakuanku selama ini juga seperti itu ketika di rumah. Lalu saat aku sakit begini, kenapa istriku seolah takut olehku. Ada apa dengan Renata? Kucoba tak memperdulikannya, dan hal yang paling menyebalkan adalah saat ku lihat Bianca turut serta ke rumah
Rindi mematut dirinya di cermin besar yang berada di walk in closet kamar mewahnya. Kamar dengan ukuran 4x rumah Btn, dengan interior yang modern didominasi oleh warna ungu muda, mewah dan elegan. Dilengkapi dengan berbagai furniture yang di pesan khusus dengan di design sendiri. Sempurna sudah kehidupan Rindi serta kedua kakaknya. Pak Usman tipe pria yang mementingkan anak-anaknya daripada dirinya sendiri. Bahkan sampai kini, 24 tahun lalu sejak kematian istrinya, Pak Usman tidak menikah lagi. Waktunya dihabiskan dengan bekerja, demi ketiga anaknya. Dan dia sukses memberikan yang terbaik untuk mereka. Secara finansial, anak-anak keluarga Wisesa bahkan tak tahu bagaimana rasanya tak punya uang, atau makan seadanya, apalagi telat bayar spp sekolah. Pak Usman mengorbankan kehidupan pribadinya demi ketiga anaknya. Kini si bungsu pun sudah dewasa dan ia pikir sudah saatnya dia beristirah
Pov Bara Akhir-akhir ini, aku sangat sibuk banget, harus memeriksa beberapa file penting. Ada beberapa kasus yang sedang aku tangani. Membuat waktuku tersita begitu banyak. Meski di kesibukanku yang begitu menyita waktu, tapi pikiranku tentang Renata tak pernah enyah dari kepala, wanita itu, selalu mampu bertengger paling dominan di pikiranku. Untung saja aku tak sampai gila gara-gara memikirkan Renata. Apalagi setelah kasus yang menimpa wanita itu. Aku semakin terpacu dan yakin bahwa aku akan mendapatkan Renata kembali. Karena cinta sejati selalu menemukan jalannya untuk kembali. Dan aku disini akan selalu setia menanti, hingga kamu sendiri yang kembali, chubby! Meski tahun terus berganti, musim juga berlalu. Tapi cintaku padamu tak pernah mati selalu bersemi setiap hari. "Huft, pikiranku ini kenapa?" Kusandarkan kepalaku pada sandaran kursi kerjaku. Mencoba mengenyahkan semua tentang Renata. Namun lagi-lagi aku tak bisa. "Assalamualaikum," ucap seorang
Diam bukan berarti tenang. Bianca terus menyeret Renata, keluar dari kamar rawat inapnya Doni. Karena ia merasa telah jenuh dan kesal melihat tingkah laku Doni yang seperti anak kecil. Padahal sudah diterangkan bahwa di rumah, baby Annisa butuh Asi dan tak bisa tidur tanpa Ibunya. Tapi dengan wajah yang terus mengiba, Doni dengan segala upaya mencoba menahan Renata. "Rasanya ingin sekali menonjok, muka dia!" rutuk Bianca dalam hatinya. Dia sudah sangat dongkol sekali dengan keduanya, yang satu dengan segala menimang perasaannya hingga membuatnya terlihat lemah, dan yang satunya, laki-laki yang nggak tau malu, dengan memanfaatkan keadaan. "Mungkin aku harus membawa Renata ruqyah, agar setan-setan dalam tubuhnya sirna," sungutnya lagi. Bianca begitu yakin kalau kediaman Renata gak wajar sekali. "Tapi masa iya, di tahun 2021 masih ada begituan," lir