“Dek, aku mau nikah lagi,” ucap Yusuf Pramudya, lelaki bergelar suami yang menikahiku belum lama ini.
Entah apa alasan suamiku yang baru pulang dari luar kota, langsung memberitahukan keinginannya itu kepadaku, sedangkan koper yang dibawanya belum aku bongkar.
Mas Yusuf menarik tanganku yang baru saja meletakan tas kerjanya di meja. Lelaki itu berdiri gagah di depanku dengan kemeja digulung hingga siku dan dasi yang dilonggarkan sembari tangan kekarnya menggenggam tanganku. Bau maskulin dari tubuhnya menyeruak di hidungku karena begitu dekatnya ia berdiri.
Jantungku mendadak berdegup kencang. Aku sering mengalami ini saat didekatinya. Namun, mengapa kali berbeda. Ada rasa takut juga dalam hatiku. Apakah ia serius dengan ucapannya tadi? Aku coba menepis pikiran itu.
"Apa kau mengijinkan aku untuk menikah lagi, Nadhira?" tanyanya dengan seutas senyuman meminta persetujuan.
Kulepaskan genggamannya dan tidak ingin kujawab. Aku malah beralih ke dapur untuk mengambilkannya minum. Kutahu suamiku lelah. Sebaik mungkin aku akan melayaninya.
Usia pernikahan kami baru seumur jagung, jahat sekali bila lelaki itu benar-benar ingin menikah lagi. Batinku.
Aku kembali menghampiri Mas Yusuf dengan segelas air putih di tanganku.
"Nadhira, aku serius akan menikah lagi! Aku akan menikah dengan Naura," ucap Mas Yusuf tegas.
Bagai disambar petir, padahal tidak ada hujan atau badai sore ini. Namun, aku langsung menutup telinga dan tidak ingin mendengarnya. Gelas yang kupegang jatuh berkeping.
Praaang!
Aku marah. Raut wajahku memerah setelah mendengar pernyataannya. Alih-alih mendapat oleh-oleh yang menggembirakan sepulang ia dari tugasnya di luar kota, justru sebuah berita yang menyayat hatiku yang harus aku terima.
“Ijinkan aku, Nadhira! Ini semua karena sebuah amanat dari ayahku dan ayahnya Naura sebelum mereka meninggal. Mereka berdua telah membuat kesepakatan di atas kertas untuk menikahkan kami berdua. Dan aku baru tahu setelah ibunya Naura bercerita padaku saat aku bertemu dengannya di Bandung,” ucap Mas Yusuf sembari menggenggam tanganku.
Aku terperanjat dengan pengakuan suamiku itu. Sebuah amanat? Kesepakatan di atas kertas? Apa maksud semua itu? Mengapa baru sekarang terungkap setelah Mas Yusuf menikahiku. Aku benar-benar tidak mengerti. Sungguh tidak masuk akal menurutku.
Hal yang lebih membuat aku semakin tercengang hingga membuat mataku membulat, ternyata wanita calon maduku itu adalah temanku sendiri saat kuliah dulu, sekaligus atasan suamiku.
Namanya Naura Amanda. Ia wanita muda berparas cantik dengan segudang prestasi saat kuliah. Ia juga memegang jabatan direktur di perusahaan tempat suamiku bekerja. Sedangkan diriku, aku hanyalah seorang guru honorer yang mengabadikan diri mengajar anak-anak di sebuah sekolah menengah atas di daerahku dengan gaji yang tidak seberapa. Untuk gaji aku tidak mempermasalahkan, karena aku mengajar hanya untuk mengisi waktu luangku.
“Lalu bagaimana pernikahan kita? Aku gak mau dimadu, Mas! Aku hanya mau, kamu milikku seorang, tanpa ada orang lain. Tidak bisakah kamu batalkan pernikahan itu?” Aku bersikukuh pada pendirianku dan menolak keinginannya.
“Nadhira, tolong mengertilah! Aku tidak mungkin membatalkan pernikahanku dengannya, karena pernikahannya akan dilaksanakan seminggu lagi. Dan lagi pula, ibunya Naura sedang sakit saat ini. Apa aku mampu menolaknya? Bagaimana bila kamu ada di posisiku?” jawab Mas Yusuf memohon dengan diakhiri pertanyaan yang tidak bisa aku jawab.
Di awal pernikahanku ini, seharusnya saat ini aku dan Mas Yusuf sedang mereguk manisnya pernikahan. Seharusnya kami saling mendukung dan sedang mesra-mesranya merajut kasih. Sebagai pengantin yang terbilang baru, seharusnya lelaki itu mengajakku untuk berbulan madu di bulan ke tiga pernikahan kami. Namun, sepertinya semua itu hanya angan belaka bagi seorang Nadhira Putri. Wanita sederhana yang hanya ingin memiliki Yusuf Pramudya seorang.
Aku tersenyum miris. Tatapan tajam aku hujamkan pada suamiku. Hah, mengerti? Seharusnya lelaki itu yang mengerti perasaanku sebagai istrinya. Wanita mana yang rela dimadu dan berbagi suami dengan wanita lain? Terlebih saat ini kami sedang menikmati manisnya madu pernikahan.
Aku mendesah seraya menghembuskan napas pendek. Mencoba mencerna perkataan suamiku. Dilema memang baginya.
“Apa yang harus aku mengerti dari situasi seperti ini, Mas? Kamu memaksa aku untuk mengerti, tapi apa kamu sudah mengerti dengan perasaan aku? Tidak bisakah kamu menyentuh hatiku terlebih dahulu, sebelum kamu memutuskan untuk menikah lagi?” Kulontarkan pertanyaan padanya sembari menyilangkan tangan di dada.
“Bahkan kamu tidak memberikan alasan syar’i, kenapa kamu ingin menikah lagi? Apa karena jabatan, heh?” tanyaku lagi sambil memicingkan mata.
Aku dapat berspekulasi seperti itu, karena suamiku baru saja mendapat promosi jabatan pada perusahaan calon maduku.
“Nadhira!!!” Bentak Mas Yusuf. “Hati-hati kalau bicara! Aku tidak serendah itu! Untuk apa aku mengorbankan cinta kita hanya karena jabatan?!” ucapnya lagi dengan wajah memerah dan tangan mengepal.
Aku terkesiap kaget karena bentakan Mas Yusuf hingga kedua tangan ini menutup mulutku yang menganga.
Baru aku melihat kemarahannya dan mendengar bentakan yang menusuk hatiku. Selama aku bersamanya, tidak pernah kudengar sekalipun nada tinggi keluar dari mulutnya. Dia lelaki lembut, penyayang, dan tidak pernah berbuat kasar, apalagi bernada tinggi. Itulah yang membuat aku jatuh cinta padanya.
Namun, hari ini, entah karena ia sedang lelah atau bingung, nada tinggi itu aku dengar.
Tak terasa buliran bening yang sedari tadi membendung di kelopak mataku meluncur perlahan di pipiku.
Aku duduk di sofa ruang tengah sambil menutupi wajahku dan menangis. Mas Yusuf merasa bersalah karena telah membentakku. Ia mendekati padaku dan berlutut di bawah kakiku. Dihelanya tanganku dari wajah dan mengambilnya untuk ia genggam.
“Maaf, Maafkan aku, Nadhira! Aku tidak bermaksud membentakmu,” ucap Mas Yusuf seraya meraih tubuhku dalam pelukannya.
Aku menangis tersedu. Mas Yusuf membelai kepalaku yang berbalut kerudung. Kurasakan kenyamanan saat ia memelukku.
Tiga bulan lalu, saat Mas Yusuf mengucapkan akad sucinya di hadapan penghulu dan walinya adalah ayahku sendiri. Ia mengikat janji padaku, wanita yang selama tiga tahun ia pacari dan setelah memantapkan hatinya, ia pun akhirnya menikahiku.
Aku tampak cantik dengan kebaya putih yang membalut tubuhku. Acara pernikahan sederhana yang hanya dihadiri oleh sanak saudara dan tetangga sekitar itu menjadi peristiwa bersejarah dari penyatuan cinta kami.
Ayahku sempat ragu saat aku memutuskan untuk menikah dengan Mas Yusuf. Entah apa yang membuatnya ragu ketika itu. Mungkin, inikah jawaban atas keraguan ayahku?
Apakah ini karma karena aku tidak menuruti perkataan ayahku?
Ah, tidak! Tidak ada karma di dalam agamaku.Mas Yusuf kini sudah menjadi suamiku, Imamku. Sebisa mungkin aku akan menutupi kesalahan suamiku di depan ayahku karena sudah menyakiti putrinya.
Aku tidak ingin menyesali pilihanku, karena ini adalah takdir hidup yang harus aku terima dan aku jalani.“Maafkan aku! Maafkan aku, Nadhira! Maafkan aku!” ucapnya lagi berulang-ulang di telingaku.
.
.
.
Bersambung.....
Alhamdulillah... akhirnya rampung juga novel Suami Bersama. Terima kasih atas dukungan kakak-kakak yang sudah menyempatkan waktu dan membeli koin untuk membaca ceritaku sampai akhir. Semoga Allah menggantinya dengan rezeki yang lebih banyak lagi. Aamiin... Dukungan, vote, dan komen positif yang kalian berikan seperti penyemangat buatku. Sehingga aku semakin bersemangat untuk melanjutkan cerita. Mohon maaf bila dalam penulisan cerita ini masih banyak kesalahan dan kekurangan. Aku juga selalu menggantung cerita dan lama tidak menulis, karena pekerjaan di dunia nyata yang sangat banyak. Moga kalian suka dengan cerita yang aku suguhkan. Ambil yang baiknya dan buang yang jelek. Biar authornya gak dosa. Karena apa yang kita perbuat, akan dimintain pertanggungjawaban kelak. Semoga ada pelajaran berharga yang bisa diambil dari kisah ini. Sekali lagi terima kasih readers tercinta. Sampai jumpa di novelku berikutnya. Salam dan peluk jauh d
Adrian sudah menyiapkan tiket pesawat untuk pergi berbulan madu bersama Nadhira. Turki adalah tujuan wisata yang dipilihnya karena Nadhira pernah berkata padanya bahwa ia ingin sekali pergi ke sana. Tidak hanya keindahan alamnya yang menjadi daya tarik para wisatawan untuk pergi ke sana, di negara itu juga banyak tempat bersejarah yang wajib untuk dikunjungi. Nadhira sangat suka mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Dan sekarang waktunya Adrian mewujudkan impian sang istri tercinta untuk pergi ke sana.Pagi ini mereka sudah bersiap pergi ke bandara. Nadhira tampak bersedih saat akan pamit pada ayah dan ibu mertuanya."Bu, titip Andra ya," ucap Nadhira sambil memeluk ibu mertuanya."Kamu tenang saja, Nak. Ibu dan Bapak akan menjaga anakmu dengan baik," balas Bu Widya, ibu mertuanya.Tak lama, Nadhira melerai pelukan lalu mengusap air matanya. Nadhira menangis karena inilah kali pertama ia akan meninggalkan Andra jauh. Namun, ia tidak khawatir l
Beberapa hari berlalu ....Setelah resmi menjadi istri Adrian dan berganti status sebagai nyonya Mahesa, Nadhira ikut bersama suaminya pindah ke Jakarta. Pagi-pagi sekali, ia menyiapkan barang-barangnya dan kebutuhan Andra ke koper. Setelah itu, ia pun pamit pada ayahnya."Ayah, aku pamit ya. Jaga diri Ayah baik-baik. Jaga kesehatan Ayah," ucap Nadhira dengan derai air mata. Dipeluknya sang ayah dengan erat. Rasanya berat sekali meninggalkan lelaki itu. Apalagi di usia Abah Abdur yang semakin senja. "Aku janji akan sering-sering ke sini menjenguk ayah," ucapnya lagi sambil terisak."Iya, Nak. Kamu tidak usah mengkhawatirkan ayah. Sekarang Ayah tenang, kamu udah ada yang jagain. Berbahagialah bersama suamimu di rumahmu yang baru. Ingat, jadilah istri yang baik untuk suamimu," sahut Abah Abdur. Lelaki itu tak kuasa menahan tangisnya.Anak perempuan satu-satunya yang ia miliki, harus ia relakan untuk laki-laki lain. Ia tidak bisa mencegah kepergian san
Acara resepsi yang diadakan sejak siang hari hingga menjelang Maghrib telah selesai digelar. Keluarga Adrian pun sudah pulang dari rumah Nadhira. Hanya Adrian yang masih berada di rumah itu karena sekarang ia sudah resmi menjadi suami Nadhira. Pernikahan di kampung tidak seperti pernikahan di kota. Suasana hajatan di sini masih terlihat ramai, walau deretan acara telah selesai dilaksanakan dan hari mulai malam. Tamu masih saja berdatangan. Mereka baru menyempatkan diri datang untuk memenuhi undangan setelah pulang dari bekerja. Kerabat Nadhira yang datang dari jauh memilih menginap dan mereka akan pulang esok hari. Adrian maklum, karena memang saudara dari istrinya itu jarang sekali menyambangi rumah kediaman mertuanya. Mereka baru berkumpul di saat ada acara-acara khusus saja, seperti hari ini. *** Adrian tengah bersama saudara-saudara istrinya. Lelaki itu dikerumuni oleh adik-adik sepupu dan keponakan dari sang istri. Ia diajak bermain adu panco kar
"Saya terima nikah dan kawinnya Nadhira Putri binti Abdurrahman dengan Mas kawin ... " "Adrian...!" Kalimat Adrian terputus saat suara ibu memanggilnya. Suara sang ibu terdengar menggelegar hingga ke kamar mandi Adrian. Saat ini Adrian sedang berada di dalam kamar mandi. Ia berdiri di depan wastafel dengan menghadap cermin tengah menghapal bacaan ijab kabul yang akan ia ucapkan saat pernikahannya nanti. Lelaki itu belum bersiap juga. Ia masih bertelanjang dada dan hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggangnya. "Aaah ... ibu mengganggu saja. Aku harus menghapal kalimat itu, supaya lancar nanti saat ijab kabul," keluhnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Adrian, cepat sedikit! Kamu lagi ngapain sih, di dalam, lama banget? Ini udah jam berapa? Nanti kita terlambat sampai di sana!" seru Bu Widya lagi dari depan pintu kamar Adrian. "Iya, Bu, sebentar lagi aku keluar!" sahut Adrian dengan sedikit berteriak agar sang i
Adrian dan Nadhira sedang melakukan fitting baju pengantin di salah satu butik ternama di Jakarta. Sebuah gaun pengantin model kebaya berwarna putih dengan taburan payet, yang panjangnya menjuntai dan menutupi seluruh tubuhnya hingga kaki dan dipadukan dengan kain kebaya dengan motif yang mewah dan elegan, sangat pas di tubuh Nadhira yang sedikit berisi. Nadhira tampak cantik dalam balutan kebaya pengantin yang diserasikan dengan kerudung berwarna senada.Semua persiapan pernikahan lainnya sudah diurus oleh keluarga Adrian. Mulai dari dekorasi, catering, sampai undangan pernikahan. Pernikahan mereka akan digelar secara meriah dan dilaksanakan di rumah mempelai wanita.Sebenarnya, Nadhira ingin pernikahan yang sederhana saja yang hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat. Namun, Adrian menolak. Dan itu sempat membuat keduanya bertengkar.Mana mungkin Adrian memberikan yang sederhana saja untuk seorang wanita yang begitu spesial di hatinya. Bahkan sebuah cinc
Tiba di hari lamaran. Adrian bersama keluarganya sedang dalam perjalanan menuju rumah Nadhira untuk melakukan lamaran malam itu. Sejumlah barang seserahan seperti pakaian, alas kaki berupa sepatu dan sandal, tas branded, sampai perlengkapan make up sudah memenuhi kabin belakang mobil yang dikendarai Hadi. Padahal Nadhira tidak meminta semua itu. Namun, ini sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian masyarakat dalam acara lamaran. Selain itu, orang tua Adrian juga sudah menyiapkan barang berharga berupa seperangkat perhiasan emas untuk calon menantunya sebagai hadiah. Belum lagi sejumlah uang yang dipersiapkan Adrian untuk calon istrinya. Adrian yang duduk di kursi penumpang samping Hadi tampak gugup sambil memainkan ponselnya. Baru saja ia mengirim pesan pada Nadhira. Lelaki itu kemudian melihat ke arah kaca spion di depannya untuk mengecek penampilannya. "Gimana, Di, penampilan Masmu? Udah keren, kan?" tanyanya pada Hadi sambil merapikan tatanan rambutnya.
Hari itu juga Adrian pulang dari klinik. Nadhira tidak ikut mengantar Adrian ke rumahnya karena hari sudah hampir malam. Selain itu juga, ia harus segera pulang untuk memberi tahu Andra bahwa ayahnya baik-baik saja. Agar anak itu tidak khawatir. Sekarang mereka sedang berada di depan klinik. "Nadhira, kamu ikut kami saja pulangnya. Ini sudah malam," ajak Bu Widya saat mereka akan pulang. "Gak usah, Bu, terima kasih. Aku bawa motor," tolak Nadhira halus. Sebenarnya, ia merasa canggung dengan Bu Widya bila harus pulang bersama. Lagipula jarak klinik ke rumahnya tidak begitu jauh. "Beneran gak apa-apa?" tanya Bu Widya memastikan. "Gak apa-apa, Bu," jawab Nadhira sambil mengulas senyum. "Ya udah, ibu duluan ya," ucap Bu Widya kemudian masuk ke mobil. "Iya, Bu, hati-hati," sahut Nadhira. Ia masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya. Sikap wanita paruh baya itu berubah drastis terhadapnya. Lebih ramah dibanding saat
Nadhira tersentak saat seseorang menghubunginya dan memberi tahu bahwa Adrian kecelakaan. Baru saja siang tadi, lelaki itu mengantarkan ia dan anaknya pulang dari rumah sakit lalu pergi lagi dengan tergesa-gesa. Dan tiba-tiba, ia mendapat kabar buruk bahwa lelaki itu kecelakaan. Dengan perasaan cemas, ia bergegas pergi ke klinik untuk mengecek keadaan Adrian. Karena orang yang meneleponnya memberi tahu bahwa Adrian ada di klinik dekat pertigaan kampung, tidak jauh tempat tinggalnya. Sebelumnya, ia pamit pada ayah juga anaknya. Mereka tidak kalah terkejut saat mendengar kabar buruk itu. Terutama Andra, anak kecil itu menangis saat mendengar ayahnya kecelakaan. Nadhira menenangkan Andra sebentar, sebelum akhirnya pergi ke klinik. Ia meminta agar Andra berdoa untuk ayah angkatnya. "Bunda mau lihat Ayah di klinik, kamu doakan Ayah Rian agar dia baik-baik saja ya, Nak," ucap Nadhira. "Iya, Bunda," sahut Andra terisak. Nadhira pe