Share

3. Hadirnya Calon Keluarga Baru

Semenjak Angga sembuh dari sakitnya kemarin, ia menjadi anak yang pemilih untuk urusan makanan. Romlah harus lebih kreatif dalam memasak menu untuk Angga. Itu pun kadang hanya beberapa suap yang dimakan. Lihat lah! badannya kini menjadi lebih kurus.

Juga Riska, ia pun sering rewel saat akan tidur. Di hari biasanya, Riska akan tidur selesai menyusu, tetapi beberapa hari ini berbeda. Entah apa yang diinginkan Riska. Ibunya pun sampai bingung melihat kelakuan mereka.

Romlah mulai lelah dengan keadaan ini. Ia terlihat stres membujuk Angga agar mau makan. Beberapa menu makanan ia sebutkan agar Angga dapat memilih sendiri makanan yang diinginkan. Mulai dari sop ayam, soto ayam, sate, dan yang lainnya, tetapi usahanya nihil. Angga tetap saja menggelengkan kepala dan membuat Romlah emosi.

Karena merasa lelah, akhirnya Romlah memutuskan membeli saja masakan yang dijual di warung depan gang. Ia membeli beberapa potong ayam bumbu kecap dan beberapa lauk lainnya.

Sedang sibuk membujuk Angga agar mau makan, tak sadar jika mertuanya telah berada di depan meja sambil memperhatikan makanan yang baru saja ia beli.

"Ini beli di mana, Rom?" tanya Siti.

"Di warung depan, Bu," jawab Romlah keluar dari kamar Angga.

"Emang kamu nggak bisa masak? Mentang-mentang abis dikirimi uang sama laki, beli terus!" tuduh Siti menjembreng plastik berisi makanan itu.

"Engga terus, Bu. Beli juga baru ini, soalnya Angga lagi susah makan," jelas Romlah tak mau disalahkan.

"Halah, alesan! Kamu jadi ibu jangan boros-boros, lah! Kasian Agus tiap hari kerja tapi gak punya tabungan!" Siti duduk di kursi kayu ruang tamu Romlah.

Riska yang berada di gendongan Romlah mulai merengek, mungkin ia lapar. Romlah mengambil nasi dan hendak menyuapi Riska. Dibawanya lauk yang dibeli tadi untuk ditempatkan di piring.

"Mau nyuapi Riska apa Angga?" tanya Siti.

"Nyuapi Riska, Bu. Angga nanti abis ini," jelas Romlah.

"Ambilin nasi buat Angga sana, biar Ibu yang suapi Angga!" perintah Siti. Romlah segera kembali ke dapur untuk mengambil nasi beserta lauknya.

"Ini, Bu." Romlah menyerahkan piring yang dipegangnya. Lalu memanggil Angga agar duduk di dekat neneknya.

Riska terus saja merengek, hingga Romlah membawa Riska ke teras rumah. Beruntung Riska mulai tenang dan mau menerima suapan Romlah. Sebentar saja, makanan di mangkok sudah habis dimakan Riska. Romlah senang dan memeluk putri kecilnya itu.

"Makanannya abis, pinter anak Ibu. Udah jangan rewel lagi, ya," ucap Romlah kepada Riska. Walaupun Riska belum mengerti yang dibicarakan ibunya, tetapi Romlah cukup bahagia.

Begitu masuk ke dalam rumah, Romlah mendapati makanan Angga dimakan oleh neneknya dan hanya tersisa sedikit.

"Makanan Angga kok dimakan, Bu?!” Romlah terkejut dengan kelakuan mertuanya.

"Abisnya Angga nggak mau mangap Ibu suapin, ya, udah, daripada mubazir mendingan Ibu makan, kan?" bantah Siti. Ia sama sekali tak merasa bersalah.

"Tapi, Angga belum makan, Bu. Aku juga lagi nggak masak, makan sama apa dia nanti?" Sebenarnya Romlah geram. Namun, ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya.

"Tinggal beli lagi apa susahnya, sih, Rom! Jangan pelit-pelit sama orang tua! Baru kayak gini udah marah-marah. Kamu tahu nggak, Ibu yang ngelahirin Agus, Ibu juga yang ngerawat Agus dari kecil, giliran udah gede malah kamu yang dikasih duit!" Siti berdiri dari tempat duduknya.

Inilah yang ditakutkan Romlah ketika membuat mertuanya tersinggung. Mertuanya akan mengungkit jasanya sebagai Ibu dari suaminya. Mertuanya seringkali membesar-besarkan masalah.

"Agus pasti nyesel punya istri kayak kamu!" ketus Siti meninggalkan Romlah.

Tak terasa butiran bening meleleh ke pipi Romlah. Matanya memanas dan dadanya terasa sesak.

Entah mengapa Siti begitu tega berkata seperti itu kepada menantunya. Tak berpikir kah ia juga wanita, yang pasti akan merasakan kesedihan yang sama jika mertuanya mengeluarkan perkataan yang sama terhadapnya.

"Ibu, kok, nangis?" tanya anak sulung Romlah ketika melihat ibunya menyeka air mata.

"Nggak apa-apa, kok, Nak. Ibu cuma kelilipan," bohong Romlah.

"Ibu dimarahi Nenek gara-gara aku, ya? Maafin aku ya, Bu. Aku janji nggak nakal lagi," kata Angga memeluk ibunya.

"Iya, Nak." Romlah tersenyum dan membalas dekapan anaknya. Tak terhitung lagi berapa banyak air mata yang ia keluarkan. Ia berharap semua beban yang dipikul luruh bersama tangisannya.

***

Pukul enam pagi, Romlah dibangunkan oleh suara dering telepon genggamnya. Diraih benda pipih itu. Terlihat jelas nama suaminya yang sedang memanggil. Tak butuh waktu lama, diusapnya gambar telepon berwarna hijau.

"Assalamualaikum, Mas. Belum berangkat?" tanya Romlah.

"Waalaikumsalam, Dek. Ini baru siap-siap," jawab Agus di seberang sana.

"Mas, boleh gak aku minta sesuatu?" tanya Romlah kepada Agus setelah berbasa-basi.

"Minta apa, Dek?" Suara Agus di telepon terdengar lembut sekali.

"Kemaren, aku lihat sepeda motor bagus banget di depan rumahnya Dewi. Kalau misalnya aku suatu saat nanti ngidam pengen sepeda motor kayak gitu bakalan Mas turutin, Nggak? Kalo orang ngidam harus dituruti pengennya, kan?" rayu Romlah.

"Iya, Dek. Kalau Adek ngidam nanti, Masa bakalan turutin pengennya Adek biar gak ngiler anak kita. Tapi, Adek nggak lagi hamil, kan?!" Agus terdengar serius dengan pertanyaannya.

"Enggak, lah, Mas. Kan, aku cuma berandai-andai. Tapi benar, ya, nanti beliin aku sepeda motor N-Max yang kayak aku lihat kemarin!" tagih Romlah.

"Iya. Udah dulu, ya, Mas berangkat, assalamualaikum," pamit Agus.

"Waalaikumsalam," jawab Romlah lalu mematikan sambungan telepon dengan suaminya.

Disimpan lagi telepon genggamnya itu ke atas meja dekat tempat tidurnya.

Romlah bangkit dari kasurnya karena merasakan mual yang begitu hebat. Sampai di kamar mandi, tak ada apapun yang keluar dari mulutnnya.

"Seperti orang ngidam aja, pagi-pagi mual," gerutu Romlah, dan di saat itu pula ia tertegun kala menyadari dirinya telat datang bulan.

"Apa, iya, aku hamil lagi?" Romlah mulai panik. Ia berusaha mengingat kembali kapan ia mendapatkan tamu bulanannya itu, tetapi tetap saja ia tak ingat.

"Ibu, sakit?" tanya Angga yang telah berdiri di belakang Romlah.

"Enggak, kok. Kayaknya Ibu masuk angin, soalnya dari tadi mual. Angga mau sarapan apa nanti?" Romlah memaksakan senyum di tengah kekhawatirannya.

"Sama telur ceplok aja, Bu," jawab Angga.

Romlah pun meninggalkan Angga dan membuatkan sarapan untuknya.

Selesai sarapan dan bersiap-siap, Angga pamit untuk berangkat sekolah. Angga berangkat bersama teman-temannya berjalan kaki.

Romlah beranjak ke rumah Dewi untuk meminjam sepeda motor dan menitipkan Riska kepadanya. Ia beralasan harus ke apotek membeli obat.

Usai dari Apotek, ia kembali ke rumah bersama Riska. Tak sabar rasanya ingin memakai alat tes kehamilan yang baru saja ia beli.

Setelah memberi cemilan kepada Riska agar anteng, ia langsung menuju ke kamar mandi. Cepat-cepat ia memakai benda kecil itu tanpa membaca petunjuk penggunaannya karena ia masih ingat cara pakainya.

Sembari menunggu hasil, Romlah membawa testpack itu ke kursi ruang tamunya.

Mata Romlah memanas, jantungnya terasa berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangan panas dingin dan napasnya terasa memburu ketika melihat dua garis merah pada alat tes kehamilan yang dipegangnya.

"Romlah, kamu hamil lagi!" teriak Siti yang berada tepat di depan Romlah. Karena terlalu buru-buru, ia lupa mengunci pintu rumahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status