Share

4. Salahkah Aku?

"Romlah, kamu hamil lagi!" teriak Siti yang berada tepat di depan Romlah. Karena terlalu buru-buru, ia lupa mengunci pintu rumahnya.

Romlah kaget hingga benda yang dipegang terjatuh. Siti mengambil alat tes kehamilan itu dan memastikan yang dilihatnya tidak salah.

"Astaga, Rom!" Siti kaget begitu melihat hasil dari tes kehamilan itu.

Siti terduduk di kursi yang terbuat dari kayu. Romlah merasa bersalah, dan ikut duduk di hadapan mertuanya.

Terdengar suara tangisan Riska dari dalam kamar. Segera Romlah menggendong anak perempuan itu. Romlah mendekati mertuanya dan kembali duduk di hadapannya.

Terlihat raut sedih di wajah Siti, sesekali ia memijat pelan keningnya. Beberapa kali Siti menarik napas lalu membuangnya. Badannya pun terlihat tak bertenaga.

Romlah yang tak enak hati, semakin merasa bersalah melihat sikap mertuanya.

"Riska masih kecil, Rom," ucap mertuanya. Pandangannya terlihat kosong.

"Iya, Bu." Romlah menatap anak yang digendong lalu menundukkan kepalanya.

Saat ini, rumah Romlah terasa begitu sepi dan sunyi. Mereka membisu, seakan semua kata di dunia ini sudah habis dikeluarkan. Nyatanya, sejak tadi mereka hanya berperang dengan pikirannya masing-masing.

Sesekali terdengar celotehan Riska yang sedari tadi tengah menyusu dan memainkan rambut ibunya.

Tak mereka sadari jika ada seseorang yang telah masuk ke dalam rumah Romlah.

"Pantesan Yuli cari dari tadi nggak ada. Ternyata Ibu di sini!" Yuli masuk ke rumah Romlah dan duduk di samping ibunya.

Siti hanya memberikan senyum kepada Yuli. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Romlah gugup dan merasa tak nyaman di tempat duduknya. Ia takut jika Yuli mengetahui keadaan dirinya yang kini tengah hamil.

"Ibu sakit? Pucet banget mukanya, Bu?" Yuli menempelkan telapak tangan ke dahi ibunya.

"Nggak, kok. Ibu sehat," jelas Siti.

"Ini ada apa, sih? Kok, pada diem-dieman?" Mata Yuli tertuju pada apa yang dipegang oleh ibunya. Diambilnya barang itu dan melihat dengan seksama.

"Punya siapa ini, Bu?" tanya Yuli.

Ibunya tak menjawab, tetapi, mata Siti menatap Romlah seolah memberi tahu jika itu milik menantunya.

"Kamu hamil lagi, Rom!" teriak Yuli, "Ya ampun, kamu ini! Anak masih kecil udah hamil lagi! Gak kasihan sama Riska?" hardik Yuli sambil berdiri. Terlihat sekali emosi di wajahnya.

Romlah tak menjawab. Ia sudah menduga jika Yuli akan marah kepadanya.

"Sudahlah, Yul. Jangan teriak-teriak, malu sama tetangga," kata Siti mencoba menenangkan anaknya. Tangannya meraih pundak Yuli dan mengajaknya duduk kembali.

"Ini kelewatan, Bu. Riska belum genap setahun umurnya, udah mau punya adik aja dia!" Yuli kembali meletakkan bokongnya di kursi yang terbuat dari kayu.

"Aku juga nggak tahu kalo bakalan hamil lagi, Mbak," ujar Romlah memberanikan diri.

"Emang kamu nggak KB?" tanya Siti.

"Seingatku, dulu waktu Mas Agus mau pulang, aku udah KB, Bu. Tapi, nggak tahu, kenapa bisa hamil lagi," jelas Romlah.

"Kok bisa hamil kalo udah KB? Apa jangan-jangan itu bukan anak Agus?!" tuduh Yuli. Tangannya dilipat di depan dada dan tatapannya sinis sekali.

"Astaghfirullah, Mbak. Kok, ngomongnya gitu? Aku nggak pernah aneh-aneh, loh!" Romlah meneteskan air mata, tak terima dirinya dituduh bermain di belakang Agus.

"Yul, jangan ngomong gitu, nggak baik!" Siti menarik lengan Yuli.

"Ya siapa tahu, Bu. Agus kan udah lebih dari dua bulan balik ke Jakarta. Wajar dong aku mikir kayak gitu," bantah Yuli.

Siti hanya bisa diam. Kepalanya terasa berat. Bayangan Angga dan Riska datang dan pergi di pikiran wanita berusia lima puluh empat tahun itu.

"Tapi, aku nggak pernah kayak gitu, Mbak," jawab Romlah, air matanya semakin deras. Lengan dasternya ia gunakan untuk menghapus buliran bening yang menetes di pipinya.

"Terus gimana anak-anakmu? Riska masih sepuluh bulan, Rom, dia masih menyusu kepadamu. Kalo nanti kamu hamil gede, apa, iya, bakalan terus kamu susuin?" keluar juga pertanyaan Siti yang semenjak tadi hanya bersarang di kepalanya.

"Nggak tahu, Bu," jawab Romlah singkat.

"Kamu dari tadi ditanya, jawabnya nggak tahu terus! Dipikirin, dong!" hardik Yuli.

"Emang belum kepikiran, Mbak. Aku tahu kalau aku hamil lagi juga barusan. Lagian, belum tentu aku hamil, bisa aja testpacknya salah. Iya, kan?" bantah Romlah.

"Matamu nggak bisa lihat kalau ini garis dua, ha! Apa fungsinya kamu pake alat itu kalo hasilnya kamu salah-salahin!" Yuli melemparkan testpack ke depan wajah Romlah. Yuli geram dengan jawaban Romlah.

"Sudahlah, Yul. Sudah!" Siti berusaha menengahi.

"Sudah apa, Bu? Punya anak dua aja masih sering ngerepotin Ibu. Dikit-dikit nitip Riska, kalau nambah satu lagi, apa nggak tiap hari nitipin Riskanya? Ucap Yuli menatap Ibunya, lalu menatap Romlah bergantian.

Yang diucapkan Yuli memang benar. Seringkali Romlah menitipkan Riska kepada mertuanya. Entah untuk masak, untuk mandi atau untuk keperluan lainnya.

"Ya, udah kita pulang saja, nanti bisa diomongin lagi. Kasian Riska keganggu tidurnya!" ajak Siti kepada anaknya. Siti kasihan melihat tidur Riska terganggu oleh suara teriakan Yuli.

Yuli dan ibunya pun bangkit dari tempat duduknya. Mereka meninggalkan Romlah dengan rasa bersalahnya.

Bukankah setiap anak adalah rezeki? Lantas, mengapa Romlah merasa takut ketika mengetahui dirinya tengah mengandung? Ya, mungkin karena ia merasa belum siap. Terlalu cepat untuk mempunyai anak lagi ketika anak keduanya masih berumur sepuluh bulan.

Rasa sesak kembali menghampiri Romlah ketika ia memikirkan tentang Riska. Bagaimana ASI-nya, makanannya, juga siapa yang akan menjaganya ketika adiknya lahir nanti.

Terlebih, mengingat ia harus berjuang sendiri menjaga buah hatinya. Tak mungkin ia meminta suaminya berhenti bekerja demi membantunya mengurus anak-anaknya.

***

Beberapa hari tak melihat Romlah berkunjung kerumahnya, membuat Dewi khawatir. Setelah pekerjaan rumahnya selesai, ia berjalan menuju rumah Romlah.

"Rom," panggil Dewi.

"Masuk, Dew!" sahut Romlah dari dalam rumah.

Begitu di dalam, Dewi menurunkan Fitri dari gendongannya.

"Kok, nggak pernah keliatan, kamu sakit, Rom?" tanya Dewi.

Hanya dengan menatap mata Dewi, runtuhlah tembok pertahanan hati Romlah. Dia menangis sejadi-jadinya. Setelah ia tenang, diceritakan permasalahan yang saat ini ia hadapi. Kembali tangisannya pecah di pelukan Dewi.

"Udah, nggak apa-apa. Anak itu rezeki, pasti ada jalan," ucap Dewi menenangkan Romlah yang masih berada di pelukannya.

"Tapi, gimana Riska, Dew? Dia masih ASI," kata Romlah mengurai pelukannya.

"Ya, gimana lagi. Mau nggak mau harus mulai minum susu formula. Takutnya kalo terus-terusan ASI, malah bikin bahaya janinmu. Atau mau nyusu langsung ke sapi aja Riskanya?" Dewi berusaha menghibur Romlah.

"Enak aja. Biar kayak gitu juga masih anakku itu. Masih kuatlah buat beli susu formula. Paling kalau lagi mepet, bolehlah pinjam dulu seratus," ujar Romlah. Suasana hati Romlah mulai membaik.

"Lagian, gacor amat, sih, Mas Agus, sekali bikin langsung jadi!" goda Dewi sambil mencubit paha Romlah.

"Makanya, sebenernya takut aku kalau dekat-dekat dia, bahaya. Sekali pegang langsung nyetrum." mereka tertawa bersama.

Sejenak Romlah bisa melupakan kegalauan yang akhir-akhir ini ia rasakan. Hatinya merasa tenang walau sejenak, tetapi tidak tahu bagaimana hari ke depan, ketika Agus sudah pulang nanti. Karena Romlah pun belum mengabari pada Agus, apa yang terjadi kepadanya saat ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status