Share

2. Janji Romlah

Hari ini Angga libur sekolah. Romlah ingin masak makanan kesukaan Angga, yaitu sop ayam. Agar masakannya cepat matang, Romlah meminta Angga untuk menjaga dan mengawasi adiknya.

Selesai memasak, mereka makan bersama. Angga makan dengan lahapnya, dan Romlah masih sibuk menyuapi Riska.

Pekerjaan rumah dan segala printilannya telah selesai dikerjakan. Romlah merasa suntuk di rumah. Digendongnya Riska dan beranjak ke rumah Dewi.

Begitu sampai di depan rumah Dewi, terlihat sebuah sepeda motor terparkir, yang berarti Dewi sedang menerima tamu.

"Rom, sini!" teriak Dewi ketika melihat Romlah hendak memutar badannya untuk pulang ke rumah.

Romlah tersenyum. Wanita berdaster hijau itu berjalan menuju teras rumah Dewi.

"Ada tamu Dew?" tanya Romlah sambil menurunkan Riska dari gendongannya.

"Iya, teman ayahnya Fitri," jelas Dewi.

"Motornya bagus Dew, orang kaya pasti." Perhatian Romlah sedari tadi memang tertuju ke sepeda motor berwarna merah bermerk N-Max itu.

"Baguslah, keluaran terbaru. Dan kabarnya itu motor termahal di kelasnya. Tapi nggak tau kelas berapa dia," ucap Dewi mengundang tawa.

"Mahal dong?" tanya Romlah.

"Mahal, lah! Padahal, kerjaan dia cuma jual bibit cabe, loh," bisik Dewi.

"Iya, kah? Kok bisa dia kebeli motor sebagus itu?!" Romlah kaget.

"Bisa, soalnya dia jual bibit cabe sekalian sama kebunnya," kata Dewi.

Romlah tertawa mendengar perkataan Dewi yang seakan tak bersalah itu.

***

Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Namun, mata Romlah masih tak dapat terpejam karena harus mengompres badan Angga yang tiba-tiba saja panas setelah pulang bermain sore tadi.

Melihat Angga yang terus menggigil serta mengeluarkan rintihan kecil, membuat Romlah ketar-ketir. Untung saja Riska tak terganggu dan masih tidur dengan lelapnya.

Hari sudah pagi, tetapi suhu badan Angga tak juga menurun. Romlah bingung, kegelisahan nampak jelas di wajahnya. Romlah bangkit dari kasurnya, lalu memandikan Riska.

Setelah puas menyusu, dibawanya bocah berusia sepuluh bulan itu ke rumah mertuanya. Romlah menitipkan Riska kepada mertuanya, karena akan membawa Angga periksa ke klinik desa.

Usai menitipkan Riska, wanita berhidung mancung itu segera lari ke rumah Dewi. Romlah berniat meminjam sepeda motor Dewi. Namun apa daya, ternyata rumah Dewi tertutup rapat.

Tak ada pilihan lain, mau tak mau Romlah harus meminjam sepeda motor Yuli. Bergegas Romlah mendatangi rumah Yuli.

"Mbak," panggil Romlah.

"Tumben kesini!" ketus Yuli yang baru keluar dari dapur. Raut wajahnya terlihat sinis.

"Mau pinjam sepeda motornya sebentar, boleh?" ucap Romlah ragu.

"Mau kemana? Ke pasar? Jalan-jalan?" cecar Yuli.

"Mau ke klinik, Mbak. Angga panas," jelas Romlah.

Sebenarnya ia sudah malas harus berlama-lama berhadapan dengan Yuli. Tapi apa boleh buat? Demi kesembuhan anaknya ia abaikan rasa itu.

"Gaya amat, panas dikit ke klinik! Orang-orang, tuh, biasanya di kasih obat penurun panas juga sembuh! Ini, mah, kamunya aja yang pengen jalan-jalan!" tuduh Yuli.

"Enggak, Mbak. Beneran mau ke klinik. Angga panasnya nggak turun dari semalam," jelas Romlah.

"Yaudah, tapi jangan lama-lama! Nanti aku juga mau pakai!" ujar Yuli.

Romlah mengeluarkan sepeda motor yang masih terparkir rapi di dalam rumah Yuli.

"Jangan lupa bensinnya nanti diisi!" perintah Yuli sebelum akhirnya Romlah meninggalkan rumahnya. Tak dihiraukan ocehan Yuli dan berangkat menuju klinik bersama Angga.

Beruntung yang dikhawatirkan Romlah tidak terjadi. Angga hanya demam biasa.

Mungkin, Romlah bisa bernapas lega di klinik ini, tetapi tidak ketika di rumah nanti.

Sesampainya di rumah, Romlah mengantar Angga ke kamar. Setelah itu, segera ia mengembalikan sepeda motor milik kakak iparnya. Ia tak mau menambah panjang masalahnya dengan wanita berlengsung pipi itu.

Di teras rumah Yuli terlihat sepi, hanya ada Reza--anak pertama Yuli-yang sedang bermain telepon genggamnya.

"Mas Reza, tante mau balikin sepeda motornya ibumu. Makasih ya," ucap Romlah pelan seraya menyerahkan kunci sepeda motor itu ke Reza.

"Iya, Tan." Reza menerima kunci lalu memasukkan ke kantong celananya.

"Ibu kemana, Mas? Tumben sepi?" tanya Romlah, sesekali ia celingukan melihat ke dalam rumah.

"Nggak tahu, Tan. Dari aku bangun tadi rumah udah sepi. Mana belum dibikinin sarapan, untung sekolahku libur," gerutu Reza.

"Yaudah, Tante pulang, ya. Angga lagi sakit soalnya," pamit Romlah meninggalkan Reza yang kembali sibuk dengan telepon genggamnya.

Romlah berjalan menuju rumah mertuanya. Ia teringat jika Riska belum sarapan, segera ia percepat langkahnya.

Sampai di depan teras mertuanya, masih terlihat sepi.

"Bu, Ibu," panggil Romlah.

"Di dalam, masuk aja!" teriak mertua Romlah.

Betapa terkejutnya Romlah ketika melihat Riska sedang disuapi es teh menggunakan sendok oleh mertuanya.

"Bu, kok, Riska dikasih es, sih? Cuacanya lagi dingin, loh," ucap Romlah segera mengambil Riska dari gendongan mertuanya.

"Anakmu rewel, ngrengek mulu. Diberi apa-apa nggak mau. Tadi ada yang bawa es, pas dicobain dia anteng. Yaudah Ibu beliin," bantah wanita berusia lima puluh empat tahun itu.

"Tapi, ini masih pagi, loh, Bu." Romlah masih tak terima.

"Yaudah, sih. Nggak apa-apa, nggak sering juga, kan," ujar Siti tak merasa salah sedikit pun.

"Kalau kamu nggak terima, kenapa nggak kamu bawa aja tadi Riskanya!" kata Yuli yang tiba-tiba keluar dari dapur Siti, entah sejak kapan ia berada di situ.

"Ya nggak bisa, Mbak. Lagian Aku tadi buru-buru, susah bawanya," sanggah Romlah.

"Halah, kamu ibunya kok gak mau disusahin anakmu! Malah nyusahin orang lain!" tuduh Yuli

"Nggak gitu, Mbak," jawab Romlah.

"Lalu apa? Terus Angga gimana?" tanya Yuli sambil duduk di kursi sebelah ibunya.

"Nggak kenapa-kenapa, kok, Mbak. Cuma demam biasa," jelas Romlah.

"Kata aku juga demam biasa, kan. Kamunya aja yang kebanyakan gaya!" ketus Yuli.

"Nggak gitu, Mbak. Dari semalam panasnya tinggi banget, udah gitu nggak turun padahal udah kukompres." Romlah tak mau disalahkan.

"Alesan!" ngomong aja biar nggak kutagih utangmu, iya, kan?" cibir Yuli.

"Aku pulang dulu, kasihan Angga sendirian di rumah. Makasih ya Bu udah mau jagain Riska, makasih Mbak udah minjemin motor, bensin tadi udah kuisi, kok. Jangan khawatir, empat bulan lagi ku bayar utang Mas Agus!" Romlah pergi meninggalkan Yuli dan mertuanya.

Sungguh Romlah merasa sakit hati. Ketika anaknya sakit, tak ada satu orangpun yang peduli. Ia berjanji dalam hati untuk segera menyelesaikan urusan utang-piutang dengan kakak iparnya itu.

Romlah menuju kamar untuk melihat keadaan Angga yang ternyata masih tidur. Sambil menunggu Angga bangun, ia menyuapi Riska bubur ayam yang tadi sempat ia beli di jalan.

Riska lahap sekali makannya, mungkin memang dia sangat lapar.

"Rom." Terdengar seperti suara Dewi yang memanggilnya.

"Iya, di dalam," jawab Romlah.

Benar saja, Dewi datang membawa kresek kecil dan juga anaknya yang sedang digendong.

"Tadi ke rumah, ya?" tanya Dewi seraya menurunkan bocah yang usianya tak jauh beda dengan Naura.

"Iya. Tadi aku mau pinjem sepeda motormu buat bawa Angga ke klinik. Eh, kamunya nggak ada," jelas Romlah.

"Aku semalam ke rumah mertuaku. Pas mau pulang dari sana, malah hujan gede. Yaudah sekalian aku nginap. Terus, udah diperiksain Angganya?" kata Dewi lalu membuka kresek berisi jajanan yang dibawanya tadi.

"Udah, tadi pake sepeda motor Mbak Yuli. Ya gitu, ujung-ujungnya ngajak adu argumen," jelas Romlah.

"Wah, pagi-pagi udah adu argumen. DPR kalah, nih, kayaknya," ledek Dewi.

Romlah hanya tertawa saja menanggapi guyonan satire dari temannya itu. Mereka menghabiskan waktu di rumah Romlah hingga siang hari.

Ya, pada waktu Romlah kesusahan, nyatanya hanya Dewi yang peduli dengannya. Romlah tersenyum gamang menutupi luka. Di saat anaknya sakit, dia harus berdiri sendiri untuk menapak di tengah keluarga suaminya yang tak peduli. Sementara Agus sendiri berada jauh di sana, merantau ke kota orang demi mencukupi kebutuhan hidup keluarga kecilnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status