Yuli masih kesal dengan kehamilan Romlah yang baru saja ia ketahui. Sebenarnya, bukan karena usia Riska yang menjadi penyebab utama kekesalannya, ada hal lain yang mengganggu pikirannya.
"Jangan sampai hutangku nggak jadi dibayar gara-gara dia hamil!" gerutu Yuli.Yuli selalu merasa emosi tiap memikirkan utang yang tak kunjung dibayar oleh Romlah. Berkali-kali ia tagih, tetapi berkali-kali pula ia mendapatkan kekecewaan.Ketika dijanjikan Romlah akan membayar utangnya empat bulan lagi, hatinya cukup gembira. Setidaknya, ada setitik harapan uangnya akan kembali.Diambil telepon genggam yang sedari tadi tergeletak di meja. Ditekan nomor yang telah diberi nama Agus itu. Tak berselang lama, panggilan akhirnya tersambung.[Halo, Mbak.][Halo, Gus. Lagi istirahat?][Belum, Mbak. Ada apa?][Udah tahu belum, kalo Romlah hamil lagi?][Hamil? Masa, sih, Mbak?][Aku lihat sendiri Romlah pegang testpack dan hasilnya positif. Lagian, Romlah udah ngakuin, kok, kalau dia emang beneran lagi hamil. Emang nggak dikasih tahu?][Engga, Mbak. Makanya aku bingung waktu Mbak bilang Romlah hamil.][Wah, parah. Laki sendiri nggak dikasih tahu kalau lagi hamil. Aku heran sih sama Romlah, emang nggak kasihan, Riska masih kecil udah mau punya adik!][Tapi, pas pulang kemarin, Romlah udah suntik KB, kok. Malahan, aku yang antar.][Jangan-jangan itu bukan anak kamu! Kalau KB kayaknya nggak bakal hamil, sih][Iya, ya, Mbak? Kurang ajar Romlah. Berani-beraninya main curang di belakangku!][Lagian, Gus, si Riska tuh sering dititipin ke Ibu, yang alesan mandi, kadang juga mau nyuci, sering, deh, pokoknya. Apa jadinya kalau ditambah sama bayi juga? Apa nggak tiap hari si Riska bakal dititipin ke Ibu? Kasihan Ibu, Gus. Ibu udah tua, masih disuruh capek jagain anak-anakmu!][Bener-bener keterlaluan Romlah! Nanti, deh, Mbak, biar ku telpon Romlahnya. Aku mau lanjut kerja lagi. Nggak enak dari tadi dilihat sama bos.]Tut!Suara sambungan telepon terputus. Yuli girang bukan main karena sebentar lagi Romlah akan dimarahi suaminya."Sekali-sekali emang perlu dikasih pelajaran, tuh, orang. Biar nggak seenaknya!” ucap Yuli tersenyum puas."Bu, ada apa? Kok, senyum-senyum sendiri kayak orang kesurupan. Mendingan bikinin kopi buat Bapak!" ujar suami Yuli, sebenarnya ia merasa heran dengan tingkah aneh istrinya."Halah, Bapak ganggu orang lagi seneng aja!" Yuli memonyongkan bibirnya lalu bangkit untuk menyeduhkan kopi suaminya.***Keesokan harinya, Romlah memutuskan untuk memeriksakan dugaan kehamilannya ke Bidan desa ditemani oleh Dewi.Karena hubungannya dengan mertuanya belum mencair, Romlah terpaksa membawa Riska. Mereka menempuh perjalanan dalam waktu sepuluh menit, hingga akhirnya mereka tiba di depan bangunan dengan cat warna putih itu.Romlah harus bersabar karena ada beberapa orang juga yang sedang mengantre. Namun, tak begitu lama, akhirnya giliran Romlah memasuki ruangan periksa yang kemudian disusul oleh Dewi."Bu, Romlah. Selamat pagi. Silahkan duduk!" sapa seorang bidan yang tengah bertugas."Pagi, Bu." Romlah duduk di kursi berhadapan dengan sang bidan."Mau pasang KB atau mau imunisasi anaknya, Bu?" tanya bidan dengan senyum rumahnya."Mau periksa kehamilan, Bu. Kemarin saya mual-mual dan badan saya nggak enak. Apalagi saya udah telat datang bulan, lalu saya iseng cek pake testpack, dan hasilnya positif Bu bidan," jelas Romlah, wajahnya tampak sedih."Loh, anak Ibu masih kecil, Bu. Kok, bisa hamil lagi? Emang Ibu nggak pakai KB?" bidan pun kaget."Nah, itu masalahnya, Bu. Seingat saya, saya udah suntik, kok, pas suami saya mau pulang." Romlah masih mencoba mengingat-ingat."Terakhir Ibu suntik KB yang waktu diantar suami Ibu itu, kan?" wanita berbaju batik itu memastikan."Oiya, ya, Bu," kata Romlah"Gimana nggak hamil, kalo suntiknya telat kayak gitu, Bu! Suami udah di rumah baru suntik. Ada-ada aja, Ibu ini." Bu bidan tertawa melihat kekonyolan Romlah. Wajah Romlah terlihat memerah karena malu."Kalau nanti saya beneran hamil, anak saya gimana ya, Bu? Dia masih kecil. Nanti masalah gak, kalau dia masih terus menyusu?" tanya Romlah."Nggak apa-apa Bu. Dengan syarat, Ibu tidak merasakan kontraksi atau sakit lainnya. Ibu harus perbanyak makan, terutama sayur, daging dan buah, agar vitamin ibu dan bayinya bisa terpenuhi. Tapi, jika terasa kontraksi atau perut terasa kencang, lebih baik pakai susu formula aja!” anjur bidan.Setelah melewati beberapa pemeriksaan, akhirnya Bidan menyimpulkan jika Romlah tengah berbadan dua. Perkiraan usia kehamilannya kini memasuki sepuluh minggu."Dijaga kehamilannya, ya, Bu. Jangan terlalu banyak pikiran, apalagi sampai stres. Janin di usia segini masih lemah soalnya," kata bidan."Iya, bu. Terima kasih," ucap Romlah.Lalu mereka pulang dengan membawa buku catatan kehamilan dan juga beberapa vitamin untuk Ibu hamil. Ada sedikit kelegaan di hati Romlah setelah memeriksakan kehamilannya.Sore nanti, Romlah berencana menelpon Agus untuk memberitahukan kabar kehamilannya. Ia berharap suaminya mengerti keadaannya. Ia juga akan meminta tambahan uang bulanan, karena jumlah anggota keluarganya pun bertambah.Sepulang dari tempat bidan desa, Romlah mendatangi tukang sayur keliling yang telah berhenti tepat di depan rumah Dewi. Ada beberapa Ibu-Ibu yang sedang memilih sayuran."Pagi, Ibu-Ibu. Mau masak apa, nih?" sapa Romlah berbasa-basi"Pagi, Rom. Tau, nih, bingung banget tiap hari mikirin mau masak apa," jawab Ibu yang memakai daster berwarna ungu."Bawa mangga muda nggak, Pak?" tanya Romlah kepada tukang sayur."Nggak bawa, Neng. Kalau mau, besok saya bawain," jawab tukang sayur sembari membenahi beberapa sayurannya yang bertumpuk-tumpuk."Mau, deh, Pak. Satu bungkus aja, ya." Air liur Romlah terasa ingin menetes ketika membayangkan rasanya makan buah mangga."Kayak lagi ngidam aja, Rom, pake mesen mangga muda segala," celetuk Ibu yang memakai gamis hijau.Romlah hanya tersenyum mendengar perkataan Ibu itu. Tak ada niat mengiyakan atau menyangkal perkataan yang baru saja ia dengar."Emang dia lagi ngidam, Bu," ucap Yuli yang baru saja datang."Loh, iyakah, Rom?!" Salah seorang ibu memastikan.Romlah tak bereaksi dan memasang wajah datar. Sengaja ia tak berkomentar, ia tak mau emaosinya meledak."Riska, kan masih kecil, Rom. Tega banget mau dikasih adik!" timpal Ibu lainnya."Tau, tuh, Romlah. Nggak mikirin nasib anaknya," ujar Yuli sengaja memancing perdebatan."Ya udah, sih. Anak kan rezeki, masa mau ditolak?" Ibu bergamis hijau membela Romlah."Iya, ya, Bu. Mungkin romlahnya sengaja, biar capeknya sekalian. Anak ‘kan, titipan Allah, nggak boleh ditolak!" kata Ibu berdaster ungu.Romlah segera membayar belanjaannya dan meninggalkan Ibu-Ibu yang masih membicarakan perihal kehamilannya. Ia takut jika terus berada di sana, akan menambah beban pikirannya.Sebenarnya ia juga tidak ingin berada di posisi ini. Namun, karena keteledorannya, Romlah harus merasakan hamil lagi dikala anaknya masih berusia sepuluh bulan.Helaan napas dalam diambil oleh Romlah demi menghilangkan rasa marah yang sempat meraja di hati. Biar bagaimana, di dalam perutnya sudah ada janin yang harus dia jaga, dan tak ingin Romlah terhanyut dalam masalah dan mulut para orang orang di sekelilingnya.Lebih baik dia memikirkan, bagaimana cara mengabari Agus agar suaminya itu tak terkejut dengan kabar kehamilannya saatini. Namun, belum sempat menemukan inspirasi untuk menyusun kata, ponsel berdering nyaring memecah sunyi, membuat Ibu yang saat ini tengah hamil itu tersenyum. “Itu pasti Mas Agus,” batinnya senang.Dering telepon membuyarkan lamunan Romlah. Senyum merekah di bibirnya ketika melihat nama suaminya yang memanggil. Sedari tadi memang ia menunggu telepon dari Agus. Tak sabar rasanya, segera diusap tombol berwarna hijau itu."Halo, Mas," ucap Romlah sengaja bermanja dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Banyak hal yang ingin diceritakannya kepada suaminya."Aku nggak nyangka kamu tega sama aku, Rom!" kata Agus pelan. Tersirat kesedihan terdengar dari suaranya."Kenapa, Mas? Ada apa?" Romlah bingung karena tak mengerti yang diucapkan oleh suaminya."Dengan siapa kamu melakukannya?!" Nada bicara Agus mulai meninggi."Apa, sih, Mas? Kamu ngomongin apa?" desak Romlah."Kamu selingkuh, ‘kan, di belakangku! Siapa ayah dari bayi yang kau kandung? Katakan, Romlah!" bentak lelaki berusia tiga puluh enam tahun itu."Aku nggak selingkuh, Mas." Romlah lemas mendengar perkataan suaminya. Seperti ada sesuatu yang menusuk di dada Romlah. Bulir bening pun menetes dari matanya. "Jangan bohong!
Hari terus berlalu, tetapi tidak dengan kebencian Romlah terhadap kakak iparnya. Setelah rumah tangganya dibuat porak poranda, bahkan namanya kini telah menjadi buah bibir oleh warga sekitar. Romlah kini lebih sering menghabiskan waktunya di rumah. Selain untuk menghindar dari Yuli, Romlah juga enggan untuk bertemu ibu-ibu yang selalu menggosip. Hatinya masih terlalu rapuh untuk menjawab pertanyaan para ibu tentang kehamilannya. Berita yang tersebar saat ini adalah kehamilannya dengan pria lain ketika ditinggalkan Agus untuk bekerja.Begitu kejam fitnah yang dibuat oleh kakak iparnya itu. Seperti tak ada puasnya membuat Romlah menderita. Romlah sedang menemani Riska yang tengah tidur di dalam kamar ketika mertuanya memanggil namanya."Rom, Romlah. Ibu mau bicara," ucap mertua Romlah yang langsung duduk di kursi kayu."Iya, Bu." Romlah bergegas keluar. Sebenernya ia sangat malas untuk menemui mertuanya. Namun, dia tidak bisa menolaknya.Romlah duduk di hadapan wanita berusia lima pul
Mempunyai keluarga yang saling mendukung, sejatinya adalah impian setiap orang. Begitu pun dengan Romlah. Namun apa daya, kini dia justru merasa sendiri menghadapi kerasnya dunia.Jika hanya mertua dan kakak iparnya yang membencinya, mungkin ia masih bisa terima. Namun, ketika suaminya sudah tak mempercayainya, apakah mungkin biduk rumah tangganya masih dapat terus berjalan? Bertahan terlalu sakit, tetapi untuk menyerah bukanlah pilihan yang mudah.Demi anak-anaknya dia terus bertahan untuk memperjuangkan keutuhan keluarganya. Walaupun tak terhitung entah berapa banyak tetes air mata yang ia tumpahkan.Ini adalah hari kelima setelah pertengkarannya dengan Yuli. Itu artinya ini hari kelima juga pertengkarannya dengan Agus. Sejak saat itu, Agus tak lagi menghubunginya. Jangankan untuk meminta maaf, untuk menanyakan kabar anak-anaknya pun tidak.Begitu pula dengan Romlah, dia juga tak mau menghubungi suaminya. Rasa sakit hati membuatnya enggan untuk memberi kabar kepada suaminya.Hari in
Teriknya siang ini menambah suhu di kota Jakarta semakin panas. Namun, hal itu tak mengurangi semangat Agus dalam bekerja. Sebagai seorang montir, ia dituntut untuk selalu fokus dalam pekerjaannya. Bapak dari dua orang anak itu tak mau posisinya digantikan oleh orang lain karena pekerjaannya tidak bagus.Sebenarnya, Agus saat ini tengah merasakan keresahan dalam hatinya. Bagaimana tidak? Istri yang amat dicintainya kini tengah hamil padahal Agus telah dua bulan lebih berada di kota Jakarta. Hatinya panas ketika diberitahu oleh kakaknya. Mengapa Romlah begitu tega menduakan cintanya?Segalanya telah Agus berikan kepada Istrinya, hingga seluruh uang gajinya pun dia berikan seluruhnya kepada Romlah setelah dikurangi uang bensin. Sedangkan untuk urusan makan, dia telah mendapatkan jatah dari bengkel tempatnya bekerja.Beberapa hari tak menelpon keluarga kecilnya di kampung, membuat kerinduannya menggunung. Namun, rasa sakit hati yang terlalu dalam kepada istrinya, membuat Agus harus menah
Bagi sebagian orang, mereka akan merasa antusias ketika hendak pulang kampung. Namun, hal itu tidak terjadi pada Agus. Anak kedua dari ibu Siti itu justru merasa bingung harus bersikap seperti apa ketika bertemu dengan istrinya nanti.Rasa tidak tenangnya terlihat sekali ketika Agus beberapa kali merubah posisi duduknya. Bahkan, sepanjang jalan ia tak dapat memejamkan matanya.Setelah menempuh perjalanan kurang lebih sekitar enam belas jam, akhirnya ia tiba di tempat pemberhentian bis terdekat dari desanya. Walaupun ia masih harus memesan ojek untuk sampai ke tempat tinggalnya.Tepat pukul 05.00, Agus menginjakkan kaki di desa tempatnya dilahirkan. Di depan pintu kini lelaki itu berdiri. Ingin sekali rasanya segera masuk ke dalam rumah sederhana yang telah ia bangun bersama istrinya delapan tahun lalu. Di dalam rumah ini juga, perjalanan keluarga kecilnya dimulai."Bapak!" Seorang bocah berumur delapan tahun yang baru saja bangun tidur menghampiri Agus. Entah berapa lama ia termenung
Agus bangkit dari tempat duduknya lalu menuju rumah Yuli. Siti yang khawatir dan penasaran pun mengekor di belakang Agus. Ia tak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan.Agus hanya butuh penjelasan perihal kebohongan kakak perempuannya itu. Dengan tergopoh-gopoh ia mendatangi rumah Yuli. Namun, begitu begitu sampai, ternyata rumah Yuli tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda keberadaan ibu dua anak itu.Agus berbalik dan kembali ke rumahnya. Ibunya masih berada di belakangnya. Terlihat Siti menghela napas lega. Entah apa yang di sembunyikan Siti dan Yuli. Ada banyak pertanyaan yang ingin Agus tanyakan kepada kakaknya."Ibu pulang aja dulu. Aku capek pengen istirahat!" ucap Agus ketika melihat ibunya mengikuti dirinya masuk ke dalam rumah."Ibu kangen sama kamu, Nak!" Siti cemberut. Ia tak terima karena merasa dirinya diusir oleh anaknya sendiri."Iya, Bu, aku ngerti. Nanti, kan, aku ke rumah Ibu." Agus merasa risih karena terus dibuntuti oleh ibunya.Siti pun jengkel, dan meninggalkan rum
Kesehatan Romlah perlahan mulai membaik. Semenjak suaminya pulang, ia benar-benar dapat beristirahat dengan tenang. Agus selalu memanjakan Romlah. Apapun yang diinginkan Romlah pasti akan dilakukan.Sore itu, Yuli sedang mencari Agus, entah ada perlu apa. Begitu masuk ke dalam rumah, ia melihat Angga tengah memainkan tab android barunya."Wah, baru itu tabnya Angga?" tanya Yuli yang langsung duduk di sebelah Angga."Iya, Bi. Baru di beliin bapak," jawab polos bocah delapan tahun itu."Bapakmu uangnya banyak ya, Ngga." Yuli meraih benda berbentuk kotak itu dan mengamatinya."Iya lah, Bi. Bapak, kan, baru pulang dari Jakarta, pasti uangnya banyak." Angga kembali memainkan tab yang baru saja dikembalikan oleh bibinya."Bilangin ibu sama bapak. Kalau punya duit, mendingan buat bayar utang! Bukan buat belanja terus!" Siti sengaja berbicara dengan keras agar didengar oleh Romlah."Emangnya ibu punya utang sama siapa, Bi?" Siswa kelas dua sekolah dasar itu penasaran."Ah udahlah! Kamu nggak
Tak terasa kehamilan Romlah kini telah memasuki perkiraan bulan kelahiran. Berat badan Romlah pun bertambah drastis, tetapi ia tak mempermasalahkan dengan itu. Wanita yang kini memakai daster batik berwarna hijau kombinasi putih itu selalu menikmati setiap proses kehamilannya.Setelah berbelanja aneka sayuran, Romlah segera bergegas ke dapur untuk memasak. Kebetulan Riska juga tengah tidur setelah ia suapi bubur instan yang telah dibelinya dari warung.Di saat ia sedang mengupas bahan sayuran yang akan dimasak, ia merasakan keram di perut bagian bawah. Rasa keram bercampur mulas datang bersamaan. Di saat itu pula Romlah merasakan ada sesuatu yang keluar dari tubuh bagian bawahnya.Romlah meraba daster pada bagian bokong, dan benar saja, kini dasternya dalam keadaan basah. Istri dari Agus ini sesekali mengatur napasnya. Ia berusaha tetap tenang dan tidak panik.Karena rasa keram dan mulasnya hanya datang kadang-kadang saja, ia masih bisa beraktivitas. Walaupun kadang harus berhenti sej