Share

5. Hasutan Saudara Iparku

Yuli masih kesal dengan kehamilan Romlah yang baru saja ia ketahui. Sebenarnya, bukan karena usia Riska yang menjadi penyebab utama kekesalannya, ada hal lain yang mengganggu pikirannya.

"Jangan sampai hutangku nggak jadi dibayar gara-gara dia hamil!" gerutu Yuli.

Yuli selalu merasa emosi tiap memikirkan utang yang tak kunjung dibayar oleh Romlah. Berkali-kali ia tagih, tetapi berkali-kali pula ia mendapatkan kekecewaan.

Ketika dijanjikan Romlah akan membayar utangnya empat bulan lagi, hatinya cukup gembira. Setidaknya, ada setitik harapan uangnya akan kembali.

Diambil telepon genggam yang sedari tadi tergeletak di meja. Ditekan nomor yang telah diberi nama Agus itu. Tak berselang lama, panggilan akhirnya tersambung.

[Halo, Mbak.]

[Halo, Gus. Lagi istirahat?]

[Belum, Mbak. Ada apa?]

[Udah tahu belum, kalo Romlah hamil lagi?]

[Hamil? Masa, sih, Mbak?]

[Aku lihat sendiri Romlah pegang testpack dan hasilnya positif. Lagian, Romlah udah ngakuin, kok, kalau dia emang beneran lagi hamil. Emang nggak dikasih tahu?]

[Engga, Mbak. Makanya aku bingung waktu Mbak bilang Romlah hamil.]

[Wah, parah. Laki sendiri nggak dikasih tahu kalau lagi hamil. Aku heran sih sama Romlah, emang nggak kasihan, Riska masih kecil udah mau punya adik!]

[Tapi, pas pulang kemarin, Romlah udah suntik KB, kok. Malahan, aku yang antar.]

[Jangan-jangan itu bukan anak kamu! Kalau KB kayaknya nggak bakal hamil, sih]

[Iya, ya, Mbak? Kurang ajar Romlah. Berani-beraninya main curang di belakangku!]

[Lagian, Gus, si Riska tuh sering dititipin ke Ibu, yang alesan mandi, kadang juga mau nyuci, sering, deh, pokoknya. Apa jadinya kalau ditambah sama bayi juga? Apa nggak tiap hari si Riska bakal dititipin ke Ibu? Kasihan Ibu, Gus. Ibu udah tua, masih disuruh capek jagain anak-anakmu!]

[Bener-bener keterlaluan Romlah! Nanti, deh, Mbak, biar ku telpon Romlahnya. Aku mau lanjut kerja lagi. Nggak enak dari tadi dilihat sama bos.]

Tut!

Suara sambungan telepon terputus. Yuli girang bukan main karena sebentar lagi Romlah akan dimarahi suaminya.

"Sekali-sekali emang perlu dikasih pelajaran, tuh, orang. Biar nggak seenaknya!” ucap Yuli tersenyum puas.

"Bu, ada apa? Kok, senyum-senyum sendiri kayak orang kesurupan. Mendingan bikinin kopi buat Bapak!" ujar suami Yuli, sebenarnya ia merasa heran dengan tingkah aneh istrinya.

"Halah, Bapak ganggu orang lagi seneng aja!" Yuli memonyongkan bibirnya lalu bangkit untuk menyeduhkan kopi suaminya.

***

Keesokan harinya, Romlah memutuskan untuk memeriksakan dugaan kehamilannya ke Bidan desa ditemani oleh Dewi.

Karena hubungannya dengan mertuanya belum mencair, Romlah terpaksa membawa Riska. Mereka menempuh perjalanan dalam waktu sepuluh menit, hingga akhirnya mereka tiba di depan bangunan dengan cat warna putih itu.

Romlah harus bersabar karena ada beberapa orang juga yang sedang mengantre. Namun, tak begitu lama, akhirnya giliran Romlah memasuki ruangan periksa yang kemudian disusul oleh Dewi.

"Bu, Romlah. Selamat pagi. Silahkan duduk!" sapa seorang bidan yang tengah bertugas.

"Pagi, Bu." Romlah duduk di kursi berhadapan dengan sang bidan.

"Mau pasang KB atau mau imunisasi anaknya, Bu?" tanya bidan dengan senyum rumahnya.

"Mau periksa kehamilan, Bu. Kemarin saya mual-mual dan badan saya nggak enak. Apalagi saya udah telat datang bulan, lalu saya iseng cek pake testpack, dan hasilnya positif Bu bidan," jelas Romlah, wajahnya tampak sedih.

"Loh, anak Ibu masih kecil, Bu. Kok, bisa hamil lagi? Emang Ibu nggak pakai KB?" bidan pun kaget.

"Nah, itu masalahnya, Bu. Seingat saya, saya udah suntik, kok, pas suami saya mau pulang." Romlah masih mencoba mengingat-ingat.

"Terakhir Ibu suntik KB yang waktu diantar suami Ibu itu, kan?" wanita berbaju batik itu memastikan.

"Oiya, ya, Bu," kata Romlah

"Gimana nggak hamil, kalo suntiknya telat kayak gitu, Bu! Suami udah di rumah baru suntik. Ada-ada aja, Ibu ini." Bu bidan tertawa melihat kekonyolan Romlah. Wajah Romlah terlihat memerah karena malu.

"Kalau nanti saya beneran hamil, anak saya gimana ya, Bu? Dia masih kecil. Nanti masalah gak, kalau dia masih terus menyusu?" tanya Romlah.

"Nggak apa-apa Bu. Dengan syarat, Ibu tidak merasakan kontraksi atau sakit lainnya. Ibu harus perbanyak makan, terutama sayur, daging dan buah, agar vitamin ibu dan bayinya bisa terpenuhi. Tapi, jika terasa kontraksi atau perut terasa kencang, lebih baik pakai susu formula aja!” anjur bidan.

Setelah melewati beberapa pemeriksaan, akhirnya Bidan menyimpulkan jika Romlah tengah berbadan dua. Perkiraan usia kehamilannya kini memasuki sepuluh minggu.

"Dijaga kehamilannya, ya, Bu. Jangan terlalu banyak pikiran, apalagi sampai stres. Janin di usia segini masih lemah soalnya," kata bidan.

"Iya, bu. Terima kasih," ucap Romlah.

Lalu mereka pulang dengan membawa buku catatan kehamilan dan juga beberapa vitamin untuk Ibu hamil. Ada sedikit kelegaan di hati Romlah setelah memeriksakan kehamilannya.

Sore nanti, Romlah berencana menelpon Agus untuk memberitahukan kabar kehamilannya. Ia berharap suaminya mengerti keadaannya. Ia juga akan meminta tambahan uang bulanan, karena jumlah anggota keluarganya pun bertambah.

Sepulang dari tempat bidan desa, Romlah mendatangi tukang sayur keliling yang telah berhenti tepat di depan rumah Dewi. Ada beberapa Ibu-Ibu yang sedang memilih sayuran.

"Pagi, Ibu-Ibu. Mau masak apa, nih?" sapa Romlah berbasa-basi

"Pagi, Rom. Tau, nih, bingung banget tiap hari mikirin mau masak apa," jawab Ibu yang memakai daster berwarna ungu.

"Bawa mangga muda nggak, Pak?" tanya Romlah kepada tukang sayur.

"Nggak bawa, Neng. Kalau mau, besok saya bawain," jawab tukang sayur sembari membenahi beberapa sayurannya yang bertumpuk-tumpuk.

"Mau, deh, Pak. Satu bungkus aja, ya." Air liur Romlah terasa ingin menetes ketika membayangkan rasanya makan buah mangga.

"Kayak lagi ngidam aja, Rom, pake mesen mangga muda segala," celetuk Ibu yang memakai gamis hijau.

Romlah hanya tersenyum mendengar perkataan Ibu itu. Tak ada niat mengiyakan atau menyangkal perkataan yang baru saja ia dengar.

"Emang dia lagi ngidam, Bu," ucap Yuli yang baru saja datang.

"Loh, iyakah, Rom?!" Salah seorang ibu memastikan.

Romlah tak bereaksi dan memasang wajah datar. Sengaja ia tak berkomentar, ia tak mau emaosinya meledak.

"Riska, kan masih kecil, Rom. Tega banget mau dikasih adik!" timpal Ibu lainnya.

"Tau, tuh, Romlah. Nggak mikirin nasib anaknya," ujar Yuli sengaja memancing perdebatan.

"Ya udah, sih. Anak kan rezeki, masa mau ditolak?" Ibu bergamis hijau membela Romlah.

"Iya, ya, Bu. Mungkin romlahnya sengaja, biar capeknya sekalian. Anak ‘kan, titipan Allah, nggak boleh ditolak!" kata Ibu berdaster ungu.

Romlah segera membayar belanjaannya dan meninggalkan Ibu-Ibu yang masih membicarakan perihal kehamilannya. Ia takut jika terus berada di sana, akan menambah beban pikirannya.

Sebenarnya ia juga tidak ingin berada di posisi ini. Namun, karena keteledorannya, Romlah harus merasakan hamil lagi dikala anaknya masih berusia sepuluh bulan.

Helaan napas dalam diambil oleh Romlah demi menghilangkan rasa marah yang sempat meraja di hati. Biar bagaimana, di dalam perutnya sudah ada janin yang harus dia jaga, dan tak ingin Romlah terhanyut dalam masalah dan mulut para orang orang di sekelilingnya.

Lebih baik dia memikirkan, bagaimana cara mengabari Agus agar suaminya itu tak terkejut dengan kabar kehamilannya saat

ini. Namun, belum sempat menemukan inspirasi untuk menyusun kata, ponsel berdering nyaring memecah sunyi, membuat Ibu yang saat ini tengah hamil itu tersenyum. “Itu pasti Mas Agus,” batinnya senang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status