Share

Suami Brengsek vs Istri Manja
Suami Brengsek vs Istri Manja
Penulis: Acha07

Ch 1 - Cowok mesum

Sinta menarik nafas pelan. Sebuah senyum yang tadinya muncul saat ia mendapat sebuah undangan pernikahan dari sahabatnya perlahan sirna, setelah ia mengetahui siapa mempelai prianya. Perasaan haru dan bahagia, berubah menjadi iri dan dengki. Tangannya terkepal erat saat membayangkan Khansa duduk bahagia di pelaminan, hatinya perih bahkan sekedar untuk menelan ludahnya saja ia tidak mampu. Kenapa wanita itu menusuknya dari belakang? Ada apa ini, apa yang sudah terjadi selama ia tidak ada? 

Sinta meremas undangan yang ada di tangannya dan melempar ke lantai. Banyak pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Tentang, siapa yang berkhianat disini? Apakah Khansa atau Azzam? Dia sendiri tidak yakin kalau pria sebaik itu bisa berkhianat, tapi jika di ingat-ingat hubungannya dengan Azzan tidak di ketahui siapapun, kecuali mereka berdua. 

Tok! Tok! Tok! 

Sinta menarik diri dari dalam pikirannya, saat pintu di ketuk dari luar. Tanpa ingin membuat sang tamu menunggu, Sinta segera membuka pintu. Bayangan pria yang tadi ada di benaknya, kini benar-benar muncul di hadapannya. Perih di hatinya luruh seketika saat pria itu mengusap pucuk kepalanya. 

"Masuk, Mas." 

Sinta menggeser tubuhnya, membiarkan pria itu masuk lebih dulu dan ia mengekor di belakang. Mereka duduk dalam sofa yang sama dan tidak berjarak.

"Makan dulu yuk, Mas?" Seolah lupa dengan apa yang baru saja ia baca. Sinta masih bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. 

Tidak seperti biasanya, pria yang tidak pernah menolak itu kali ini menggeleng samar.

"Mas gak lapar kok," sahurnya pelan, bahkan nyaris tidak terdengar.

"Tumben gak mau?" tanya Sinta, tentu ia sudah merasakan keanehan saat pria itu datang. Mulai dari tidak adanya senyum dan sapaan manja seperti biasanya. Itu terlihat begitu jelas bukan? 

"Gimana kalau kita jalan aja? Mumpung Surabaya gak terlalu panas, bakalan asik deh kalau ke pantai." Sinta melingkarkan tangannya di lengan Azzam, ia bahkan tidak ragu mengerlingkan mata agar pria itu mau. 

Lagi-lagi semuanya tidak seperti biasanya. Sinta kembali di tolak saat Azzam perlahan menjauhkan tangan Sinta dari lengannya dan mulai memberi ruang di antara mereka. 

"Kamu pasti sudah tau kedatangan Mas kesini untuk apa." Suara itu tidak lebih keras dari sebelumnya. Di tambah lagi dengan kepalanya yang tertunduk seolah-olah sedang ada beban berat di bahunya saat ini.

Sinta mengernyitkan kening, pura-pura tidak mengerti dengan pertanyaan Azzam. Ia beranjak, mengubah posisinya menjadi duduk di lantai tepat di hadapan Azzam. Sinta menatap wajah yang ia kagumi dari bawah, tangannya terangkat untuk membelai rahang tegas itu. Jarak mereka cukup dekat bahkan Sinta bisa melihat sebuah tahu lalat di dekat bibir tebal itu. 

"Kamu pasti kangen sama aku 'kan, Mas?" Sebelumnya, belum pernah mereka berada di jarak sedekat ini. Mungkin memang hubungan mereka terbilang cukup dekat, namun tidak pernah melewati batas.

"Jangan begini, Sin." Azzam memalingkan wajahnya, menghindari sentuhan Sinta. "Aku kesini untuk mengatakan sesuatu-" 

"Sssttt." Sinta meletakkan telunjuknya di depan bibir Azzam. "Jangan katakan apapun yang bisa membuatku lebih sakit, Mas." 

Perlahan Azzam memberanikan diri untuk membalas tatapan Sinta. Iris mata hazel itu jelas tidak bisa berbohong tentang rasa sakit yang kini sedang di tutupinya, meskipun tidak ada cairan bening yang keluar dari pelupuk matanya, tapi Azzam tau kalau di dalam sana hatinya sedang tersayat bahkan tercabik-cabik.

"Itu gak bener 'kan, Mas?" tanya Sinta berusaha mengelak semuanya kebenaran.

Sinta menatap wajah depannya lekat-lekat. Tangannya turun mengusap dagu Azzam dengan begitu lembut. Dagu laki-laki itu terangkat, matanya kini membalas tatapannya. 

"Maaf." Kata itu sudah cukup menjelaskan kalau Azzam memang salah disini. 

"Aku tau ini menyakitkan untuk mu-" 

"Kalau kamu tau, kenapa kamu melakukan ini, Mas?" Potong Sinta. Sekeras apapun ia berusaha untuk menyembunyikan air matanya, ia tetaplah wanita yang memiliki perasaan lembut dan sensitif, ia tidak sekuat itu.

Azzam menarik nafas panjang. Ia bungkam, lidahnya keluh, ia tidak bisa menepis kalau yang ia lakukan sangatlah jahat, menerima permintaan orang tuanya untuk menikahi wanita lain, padahal ia sendiri sudah berjanji akan menikahi Sinta. 

"Maaf, Sin. Mas gak punya pilihan lain." 

Sinta menggeleng, ia merasa di bohongi oleh Azzam. Memang apa yang salah dari dirinya, hingga pria itu lebih memilih sahabatnya? Apa karena Sinta bukan jebolan dari pesantren, seperti Khansa?

"Kamu bohong, Mas!" Sinta meneguk ludah dan mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup kencang, meksipun sudah tau tentang kenyataan pahit yang harus ia terima, tapi ia tidak sanggup jika mendengarnya langsung dari Azzam.

"Mas gak bohong Sinta." Azzam menyamakan posisi, lalu merengkuh kedua pundak Sinta. "Kita harus akhiri hubungan ini." 

Mata Sinta melebar, ia menepis tangan Azzam dengan kasar. Air matanya mulai terjatuh tanpa bisa ia bendung lagi, bibirnya bergetar menahan agar tidak terisak. Ini tidak mungkin, ini pasti salah. Sinta menggeleng untuk menepis semua kenyataan di depannya. 

"Gak Mas! Ini gak mungkin!" 

"Ini kenyataannya, Sinta!" Azzam menatap Sinta tanpa berkedip. Sinta masih terpaku di tempatnya. Tubuhnya membeku kala Azzam mendekapnya ke dalam pelukan, hangat namun menyayat. 

"Ini pertemuan terakhir kita," bisik Azzam, sebelum akhirnya melepaskan pelukannya. 

Sinta mengepalkan tangan, pipinya sudah sangat basah sekarang. Bahkan air mata itu tidak cukup untuk membuat Azzam iba dan menetap bersamanya. 

"Kenapa harus Khansa, Mas?" tanya Sinta lirih. 

Azzam menggeleng seraya berdiri, ia tidak ingin menjelaskan apapun pada Sinta. Karena ia yakin, apapun alasannya akan tetap menyakiti Sinta, jadi lebih baik wanita tidak mengetahui sama sekali. 

"Mas harus pergi sekarang." 

"Apa kamu cinta sama Khansa?" Pertanyaan Sinta menghentikan langkah Azzam. Tanpa berpikir panjang, Azzam menggerakkan kepalanya ke atas dan ke kanan sebagai jawaban. 

Nafas Sinta tercekat, ia tidak bisa merasakan pasokan udara di sekelilingnya. Membayangkan wanita lain yang memiliki pria itu adalah sebuah mimpi paling buruk. Namun, ia tidak bisa berharap jika ini hanya mimpi karena kata-kata itu sentuhan dari Azzam masih membekas.

"Jahat kamu, Mas!" pekiknya dengan isakkan kecil. 

Sinta tidak beranjak dari tempatnya bahkan ketika langkah kaki Azza terdengar mulai menjauh. Pria itu benar-benar tidak menoleh sedikitpun padanya. Pelukan Azzam untuk pertama kalinya sekaligus menjadi yang terakhir, pria itu sudah melepaskan ikatan yang mereka buat sendiri selama hampir dua tahun. Benarkah sudah tidak ada sisa namanya di hati Azzam, hingga pria itu tega membuangnya dan merengkuh wanita lain ke dalam pelukannya?

Kenapa harus Khansa? Kenapa wanita itu begitu beruntung? Kenapa dia tega menancapkan duri di dalam persahabatan ini? Sinta menelungkupakn tubuhnya di lantai, ia memukul-mukul lantai sambil menangis histeris. Tangisan itu bahkan semakin keras saat matanya menangkap sebuah undangan yang ia buang ke lantai tadi. Sinta meraih undangan itu dan merobeknya hingga menjadi beberapa bagian. 

Ya Allah, apa boleh aku mengadu atas kesedihan dari hubungan yang tidak halal ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status