Share

Ch 4 - posisi yang sulit

Sinta sedang duduk di depan meja rias, memoles wajahnya dengan make up tipis setelah melakukan sholat Magrib. Tadi umminya sempat memberikan gamis baru berwarna biru muda, entah untuk apa itu, tapi gamisnya sangat indah dan Sinta suka, makanya malam ini dia mengenakan itu.

"Sinta!" panggil ummi sambil mengetuk pintu. 

"Iya, Ummi. Masuk aja." 

Pintu terbuka dan menampakkan sosok wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu sudah rapi dengan gamis berwarna hijau botol senada dengan jilbabnya.

"Ayo cepetan, nenek udah datang tuh!" ajak ummi.

"Wah Ummi serius?" Sinta langsung bangkit dari duduknya. "Kalau gitu Sinta keluar dulu deh." Kemudian keluar dari kamarnya.

Begitulah Sinta, dia sangat antusias dengan apapun yang berhubungan dengan neneknya Rama, meskipun bukan neneknya tapi ikatan Sinta dan nenek lebih erat dari pada seorang cucu.

"Assalamualaikum, Nenek apa kabar?" Sinta menghampiri nenek yang sedang duduk di sofa panjang. "Sinta kangen banget." Kemudian memeluk nenek.

"Waalaikumsalam, Nenek juga kangen banget sama kamu." Nenek membalas pelukan Sinta.

Senyum di bibir Sinta luntur ketika melihat Rama ternyata juga duduk di samping neneknya, jadi cowok mesum itu juga ikut? 

"Eh, ada kamu juga ternyata, Ram?" tanya Sinta ketus, kemudian melepaskan pelukannya.

"Kalau bukan nenek yang maksa, aku juga ogah kerumah kamu, terus ketemu kamu!" jawab Rama tidak kalah ketus.

"Ya udah, pulang aja sana, lagian aku cuma pengen ketemu nenek, bukan kamu!" 

"Oke!" Rama bangkit dan hendak pergi, tapi dengan cepat nenek menahan tangannya. "Rama mau pulang aja, Nek." 

"Duduk dulu, kamu boleh pulang, kalau acaranya sudah selesai," kata nenek.

Sinta mengerutkan kening. "Acara apa, Nek?" tanyanya bingung.

"Loh, Abi sama Ummi kamu belum cerita?" tanya nenek.

Sinta menggeleng. "Abi sama Ummi gak ada cerita apa-apa kok, Nek."

"Oh, mungkin buat kejutan ya." Nenek tersenyum simpul.

Kejutan apa?

Sinta melirik ke arah abinya yang duduk tidak jauh darinya. "Abi?" panggil Sinta dengan sejuta pertanyaan.

Abi mengangguk. "Tunggu Ummi dulu ya." 

Sinta pasrah dan diam sampai umminya datang dengan membawa satu nampan berisi minuman untuk nenek dan juga Rama. Beginilah jika malam hari, Ummi harus mengerjakan pekerjaan rumah sendiri karena asisten rumah tangga hanya bekerja sampai sore kemudian pulang.

"Di minum dulu, Nek, Nak Rama." Ummi menyuguhkan minuman di atas meja.

"Tante baik banget deh, gak kayak anaknya," kata Rama kemudian mengambil satu gelas minuman dan meneguk hingga menyisakan setengah. 

Sinta mencebik kesal, andai tidak ada ummi dan abinya mungkin sekarang mereka sudah beradu mulut. 

"Jadi gimana, Nek? tentang rencana kita?" tanya ummi kepada nenek.

"Rama sudah setuju sama rencana kita, jadi sekarang tinggal nunggu jawaban dari Sinta aja," jawab nenek.

"Rencana apa? kok ummi gak cerita ke Sinta?" tanya Sinta. Jantung bertalu hebat sekarang, memikirkan kemungkinan terburuk dalam hidupnya.

"Biar Abi saja yang jelasin," Ummi melempar pernyataan Sinta kepada Abi.

"Jadi gini, Sinta. Nenek datang kesini membawa lamaran untuk kamu, dari Rama." Padat singkat dan jelas, itulah penjelasan yang keluar dari mulut Abinya.

"Lamaran?" sekarang mata Sinta beralih menatap Rama.

"Ini bukan kemauan aku, tapi Nenek yang minta," kata Rama menjawab tuduhan Sinta.

"Iya Sinta, nenek yang minta supaya Rama mau menikah sama kamu, kalian kan sudah berteman dari kecil, jadi pasti sudah tau satu sama lain," kata nenek.

Berteman dari kecil? musuhan yang ada!

"Tapi Sinta gak mau nikah sama Rama, Nek!" tolak Sinta secara halus kepada nenek. 

"Lah, emang kamu pikir aku mau nikah sama kamu?" sahut Rama.

"Sinta, kamu itu sudah seperti cucu nenek, jadi nenek pengen kamu itu menikah sama Rama supaya ikatan kekeluargaan kita semakin kuat." Nenek mengusap lembut tangan Sinta, wanita tua itu sangat berharap banyak kepada Sinta.

"Abi, Ummi, Sinta gak mau nikah sama Rama," rengek Sinta dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ah iya Rama sangat benci melihat Sinta mengeluarkan senjata pamungkasnya.

"Apa alasan kamu nolak Rama? dia pria yang baik, sopan, santun dan Abi yakin dia bisa jadi imam yang baik buat kamu." 

"Tapi, Abi—"

"Tapi kenapa Sinta? kamu punya calon sendiri? atau kamu masih nunggu Azam yang sudah punya istri itu?" tanya Abi.

Sinta menggeleng tanpa bisa menjawab, air matanya sudah luruh saat nenek membawanya ke dalam pelukan, jujur hal ini tidak pernah sekalipun terbayangkan di pikiran Sinta, menikah dengan Rama sama saja menciptakan peperangan.

"Siapa pria yang kamu kenal selain Rama? kamu juga tidak terlalu bergaul kan dengan pria, sudah pas rasanya kalau kamu menikah dengan Rama. Selain keluarga yang sudah saling mengenal kalian juga 'kan sudah tau sifat masing-masing, jadi tinggal penyesuaian aja." Kali ini umminya yang angkat bicara.

"Tapi, Ummi. Ini gak adil buat Sinta."

Rama berdecih. "Udahlah, Sin. Jangan drama, aku juga gak kesenangan ya bisa nikah sama kamu, anggap aja rejeki kamu karena bisa nikah sama cowok sekeren aku!" sahut Rama yang langsung mendapat cubitan dari neneknya.

"Awww!" pekik Rama. "Kok dicubit si, Nek?"

"Kamu berisik!" tegur Nenek.

"Sinta butuh waktu buat mikir, Bi." 

"Mikirin apa lagi, Nak?" tanya Abi. "Kalau kamu memang punya calon sendiri, kamu boleh nolak, tapi kalau enggak, berarti kamu harus mau menikah dengan Rama."

Sinta semakin terisak di pelukan nenek setelah mendengar itu, jelas dia tidak punya calon lain, jangankan calon, kenalan dengan seorang pria saja tidak pernah.

Pupus sudah harapannya untuk bisa menikah dengan pria yang dia cintai, yaitu Azam. Pria yang sudah beristri tapi dia tunggu dudanya.

***************

"Apa alasan kamu gak mau menikah sama Rama?" tanya nenek, kini Sinta sudah berada di rumah nenek, untuk membujuk agar rencana pernikahan ini tidak sampai terjadi.

"Sinta gak cinta sama Rama, Nek. Sinta juga yakin kalau Rama juga gak punya perasaan ke Sinta." 

Nenek menghela nafas berat. "Cinta itu akan datang seiring berjalannya waktu, dan Nenek yakin kalian pasti juga akan saling mencintai setelah menikah nanti. Bukan begitu Rama?" tanya Nenek kepada Rama yang juga sedang berada di tengah-tengah mereka. Rama menganguk dengan terpaksa.

"Tapi Nek—" 

"Kamu ngobrol dulu deh sama Rama, Nenek mau sholat Isya' dulu," potong nenek setelah itu berlalu meninggalkan Rama dan Sinta di ruang tamu.

Sinta mendengkus kesal, kemudian menatap dendam Rama. "Kenapa main setuju-setuju aja sih?" tanya Sinta emosi.

"Emang kamu pikir aku seneng bisa nikah sama kamu? Enggak!" jawab Rama tak kalah tegas.

"Terus, kenapa gak nolak?" 

"Dengerin ya! Kalau bukan karena Nenek, ini semua pasti udah aku tolak!" Rama menegaskan.

"Alasan!" gumam Sinta.

 "Aku bukan kamu, Sin! yang apa-apa selalu di turutin sama kedua orangtua mu, aku cuma punya nenek yang sayang sama aku. Aku malah heran sama kamu, kapan sih kamu akan memberikan kebahagiaan untuk kedua orangtua mu? Bahkan aku yakin, kalau ini adalah kali pertama orangtua mu meminta sesuatu sama kamu."

Sinta bergeming, tidak membenarkan atau membantah ucapan Rama, tapi semua itu memang benar, kapan terakhir kali dia membuat orang tuanya bahagia? sepertinya belum pernah, hanya orang tuanya yang selalu membahagiakan dirinya.

"Kamu itu, bukan cuma manja! tapi juga egois, gak pernah mikirin orang-orang di sekitar mu, sekalipun itu orang tuamu. Coba sesekali buka mata, jangan maunya cuma keinginan mu yang di turuti, tapi berusaha menuruti keinginan orang lain, orang tuamu misalnya."

Ini yang tidak pernah Sinta sukai dari Rama, kata-kata pria itu sangat pedas dan tidak pernah lembut, entah itu hanya berlaku kepadanya atau ke semua orang.

"Kamu gak bisa maksa aku, buat nerima pernikahan ini!" 

"Aku maksa kamu? bahkan aku gak yakin, kalau orang tuamu juga bisa maksa kamu."

"Bisa, gak sih? kamu kalau ngomong jangan nyakitin!" bentak Sinta.

"Tapi bener 'kan yang aku ucapin tadi?" cibir Rama.

"Rama!"

"Apa, hah?"

"Aku gak suka sama kamu!"

"Kamu pikir, aku suka sama kamu? enggak! Bahkan nggak ada cowok yang suka sama kamu!"

Dasar cowok gak punya hati. Batin Sinta.

"Aku akan bikin kamu, tarik kata-kata mu tadi!" ancam Sinta. Sudah cukup, Rama selalu meremehkan dirinya selama ini, ini waktunya Sinta membuktikan, kalau semua yang di ucapkan Rama tidak benar.

 "Silahkan, kalau bisa! Dasar anak manja!" ejek Rama, kemudian pergi meninggalkan Sinta.

Sinta memupuk air matanya, dia tidak boleh lemah, dia harus buktikan, kalau dia bukan anak manja, seperti yang di katakan Rama.

 "Loh, kamu kok sendirian, Nak. Kemana Rama?" tanya nenek yang masih mengenakan mukena.

"Pergi, Nek. Baru aja." 

Nenek mengangguk, kemudian menghampiri Sinta. "Jadi gimana, apa keputusan kamu, setelah ngobrol sama Rama?"

Sinta memejamkan mata, menarik nafas 

"Kamu yakin, Sayang?" tanya Nenek antusias, kemudian memeluk Sinta erat, bahkan sangat erat. 

Dari balik pintu, Rama hanya senyum kecut, melihat kedekatan Sinta dan neneknya, dia tidak menyangka kalau wanita keras kepala seperti Sinta, akan semudah itu membuat keputusan.

Sinta melepaskan pelukan lebih dulu. "Sinta pamit ya, Nek." 

Nenek mengangguk, senyum itu masih tercetak jelas di wajahnya. "Rama!" teriak nenek.

"Iya, Nek!" sahut Rama dari luar, kemudian berjalan menghampiri sang nenek. "Kenapa?"

"Antarin Sinta pulang," perintah nenek.

"Pulang sendiri, gak bisa ya? manja banget!"

"Rama!" tegur nenek.

"Sinta pulang sendiri aja, Nek. Lagian deket juga," tolak Sinta secara halus, kemudian pamit pulang setelah mengucapkan salam.

BERSAMBUNG.....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status