Share

Ch 2 - musuh bebuyutan

Rama menenggak bir yang ada di tangannya, menemui Sinta barusan adalah keputusan yang konyol, ini memang salahnya! kenapa juga dia nekat menemui lampir seperti Sinta.

"Woy! minum gak ajak-ajak kau setan." Dio yang baru datang langsung mengambil alih bir yang ada di tangan Rama.

"Buset! Kesurupan apa kau, sebotol di habisin sendiri," protes Dio saat tau botol itu sudah kosong.

"Sialan si lampir itu!" gerutu Rama tanpa menghiraukan Dio.

"Kenapa sih? berantem lagi sama Sinta?" tanya Dio kemudian duduk di samping Rama.

"Lagi? emang kapan aku gak berantem sama dia!" jawab Rama kesal.

"Heran aku sama kalian, nenek bilang kau sama dia itu sahabat dari kecil, tapi kenapa berantem mulu?" 

Rama melirik Dio sekilas, pembahasan tentang Sinta adalah hal yang paling dia hindari. Kemudian memilih menyumat satu rokok dan di selipkan di antara bibirnya.

"Mana ada sahabat? aku sama Sinta itu musuh bebuyutan!" Rama menghisap rokoknya kemudian membuang asapnya di depan wajah Dio.

"Jangan gitu lah, Ram! Benci itu bisa jadi cinta!" 

Cinta? apa itu cinta? bahkan Rama tidak yakin kalau di hati Sinta bisa terselip sedikit rasa untuknya.

"Gak usah ngomongin cinta! kau sendiri sampai sekarang masih jomblo!" ejek Rama sambil menjitak kepala Dio.

"Jangan salah! meskipun aku jomblo tapi di hati aku masih ada rasa cinta untuk seseorang!" Dio membela diri.

"Alah! itu bukan cinta namanya, kau aja yang belum move on!" Sekali lagi Rama kembali menjitak kepala Dio.

"Woy! jangan main kekerasan dong!" Dio mengusap kepalanya yang sudah dua kali menjadi korban kekerasan tangan Rama.

"Jadi cowok jangan lembek!" ejeknya lagi sebelum meninggalkan Dio yang masih menggerutu.

Rama merogoh kunci motor yang ada di saku celananya, kemudian melajukan motor sportnya membela jalanan lalu lintas kota malang yang membawanya menuju rumah sang nenek yang sudah hampir 1 tahun ini dia tinggali.

Motor Rama masuk ke dalam perumahan model cluster yang berbeda di tengah-tengah kota malang, rumah berwarna vintage dengan lantai dua itu yang menjadi tempat pemberhentian motor Rama.

"Assalamualaikum, Nek!" ucap Rama setelah memasuki rumah. 

"Waalaikumsalam," jawab sang nenek yang sedang duduk sambil merajut di ruang tengah. "Kok sudah pulang, Ram?" tanyanya kemudian.

"Bosen, Nek. Di pasar ada lampir disana."

Nenek menghentikan aktivitasnya dan menatap tajam Rama. "Jangan gitu, Ram! Sinta itu punya nama!" tegurnya kemudian.

"Nenek aneh! masa lebih sayang sama Sinta dari pada cucunya sendiri." Rama tidak terima karena sang nenek selalu berada di pihak Sinta.

"He! Sinta itu juga cucu nenek, jangan macem-macem kamu." 

Rama mencebik kesal, tidak di rumah dan di pasar dia sama-sama di buat kesal. "Udahlah, Rama mau tidur aja!"

"Jangan!" tahan nenek. "Sini duduk dulu, nenek mau ngomong!"

Rama berdecak dan terpaksa menuruti perintah sang nenek. Terpaksa ya, tolong garis bawahi. 

"Ada apa sih, Nek?" tanya Rama kemudian duduk di salah satu kursi terpisah dan menyilang kaki di meja.

"Duduk yang sopan!" nenek memukul kaki Rama. 

"Astagfirullah, Nek. Ribet banget si." Rama menggerutu tapi tetap menuruti perintah neneknya dengan menurunkan kakinya.

"Nenek mau ngomong serius sama kamu."

"Jangan serius-serius amat lah, Nek," goda Rama di sertai tawa renyah.

"Nenek gak mau bercanda sekarang. Nenek mau tanya, kamu kapan nikah?" tanya nenek datar.

Rama menguap, bosan mendengar pertanyaan itu melulu, pasalnya dia tidak punya keinginan untuk menikah, meskipun dia mempunyai hubungan dengan banyak wanita tapi bukan berarti dia harus menikah.

"Udahlah, Nek. Kenapa harus nikah si yang di bahas?"

"Loh harus itu! kamu udah umur 24, mau sampai kapan gini-gini terus?" 

"Tapi Rama belum pengen nikah, Nek," tolak Rama secara halus.

"Kali ini nenek gak mau di tolak!" ancam nenek.

Rama tergelak kencang. "Siapa yang nolak Nenek? Rama nolak pernikahan, bukan nolak Nenek." 

Nenek mengelus dada, untung saja di usianya yang mulai menua dia tidak mengidap penyakit jantung. "Terserahlah, Nenek gak mau tau, pokoknya kamu harus nikah."

Tawa Rama berubah menjadi kesal. "Nikah sama siapa, Nek? Rama belum nemu cewek yang cocok buat jadi istri Rama." Rama beralasan.

Nenek tersenyum menyeringai. "Kebetulan banget. Nenek udah siapin calon yang cocok banget buat kamu." 

"Siapa, Nek? jangan aneh-aneh ya, Nek. Rama gak suka di paksa!"

"Kalau gak di paksa, kamu gak bakalan nikah sampek tua! terus kapan nenek punya cucunya?" 

"Nenek mau cucu? Rama bisa kasih cucu meskipun gak nikah," ucap Rama dengan senyum jahil.

"Astagfirullah!" Tangan nenek tergerak untuk memukul kepala Rama. "Biar jernih pikiran kamu!"

"Tolong lah, Nek. Jangan paksa Rama terus." 

"Memangnya kapan Nenek maksa kamu terus? ini pertama kalinya loh."

Rama menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ya iya sih, tapi jangan gini lah, Nek." 

"Gak ada tapi-tapi lagi, kali ini gantian kamu yang harus nurutin kemauan nenek!" ucap sang Nenek sambil membuang muka pura-pura merajuk.

Rama menghela nafas panjang, neneknya memang selalu baik dan menuruti keinginannya, bahkan melebihi kedua orangtuanya. "Ya udah, Rama mau nikah, kalau itu yang Nenek mau." 

"Beneran kamu mau?" tanya nenek sumringah. 

Rama menganguk pasrah. "Iya, ini juga demi Nenek." 

"Alhamdulillah, berarti kamu mau nikah sama Sinta?" tanyanya dengan antusias.

Rama membelalak, tunggu! ini pasti telinganya yang salah dengar, tidak mungkin neneknya ingin dia menikah dengan lampir seperti Sinta. Apa jadinya seorang Rama jika menikahi wanita seperti Sinta.

"Siapa tadi namanya, Nek? kok tadi Rama kayaknya salah denger nama lampir Sinta?" tanya Rama menyakinkan kalau dia memang salah dengar.

"His!" Nenek menarik telinga Rama. "Nenek mau kamu nikah sama Sinta!" ucapnya tepat di telinga Rama.

Rama mengerjapkan matanya saat nama Sinta terdengar sangat jelas di telinganya. Tidak! ini pasti tidak mungkin!

Bagaimana bisa mereka akan di satukan dalam ikatan pernikahan, sedangkan berteman saja tidak, mereka itu hanya musuh. Iya, musuh bebuyutan dan selamanya akan tetap seperti itu. Titik!

"Gak mungkin lah, Nek. Rama sama Sinta itu musuhan dari kecil, jadi gak akan bisa bersatu, apalagi sampai nikah."

"Siapa bilang gak mungkin, malah bagus dong, negatif ketemu negatif, hasilnya pasti positif."

"Tapi, Nek—"

"Nenek gak mau denger alasan kamu, setuju gak setuju, kamu harus nurut."

BERSAMBUNG........

Assalamualaikum. Terima kasih kalian sudah membaca sampai bab ini, itu artinya kalian penasaran kan sama cerita ku? 

Penasaran gak?

Penasaran gak?

Penasaran lah, masa enggak! Hihi.

Tapi terima kasih ya, aku harap kalian mau dukung karyaku ini untuk mengikuti lomba kali ini. Semoga bisa membawa ku sebagai pemenang

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status