Home / Romansa / Suami Brondong Nona Presdir / Jadi burung bersangkar emas

Share

Jadi burung bersangkar emas

last update Last Updated: 2024-01-19 12:41:52

Keluar dari mobil, Devan menyapu pandangannya ke seluruh sudut halaman rumah yang berdiri mewah di depannya. Sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan. Kemudian Devan mendongakkan kepala memperhatikan rumah kediaman istri yang baru saja Ia nikahi beberapa jam yang lalu. Hebat. Sungguh hebat. Devan tidak mengira perempuan itu sekaya ini.

“Tuan, Devan,” tegur orang suruhan Laura yang membawa Devan ke rumah ini.

“Oh.” Devan tersadarkan.

“Ayo silakan masuk. Saya akan mengantar Tuan Devan sampai ke dalam kamar.”

Devan menganggukkan kepala sembari mengikuti langkah laki-laki itu. Saat memasuki rumah, rasa takjub Devan semakin menjadi-jadi. Seketika jiwa miskinnya sangat meronta-ronta. Jangankan memiliki rumah semewah ini, untuk makan tiga kali sehari saja dia harus bekerja keras. Sampai akhirnya langkah kaki Devan berhenti di depan sebuah kamar.

Laki-laki berpakaian hitam itu memutar handle pintu. “Silakan istirahat. Ini kamar Nona Laura. Tuan Devan akan tinggal di sini.”

Devan mengangguk sembari mengayunkan langkah masuk ke dalam kamar. Mulutnya ternganga. “Apakah ini kamar?” gumamnya tak henti merasa takjub. “Ini kamar atau ruangan tengah? Ruangan kamar ini saja hampir keseluruhan ruangan rumahku. Gila!”

Devan memutar tubuhnya ke arah belakang mencari sosok laki-laki yang berpakaian hitam tadi karena di dalam kepalanya terdapat banyak tanya yang ingin ditanyakannya, tetapi sayang laki-laki tersebut sudah menghilang. Tinggallah Devan seorang diri plonga-plongo. Dia melebarkan langkah, lalu menjatuhkan bokongnya di atas ranjang. Rasanya empuk. Devan mulai mengunjit-unjit ranjang Laura. “Enak banget hidup jadi orang kaya. Fasilitas elit.”

Setelah berucap demikian, tiba-tiba saja Devan teringat dengan ayahnya. Dia berharap pengorbanannya tidak akan sia-sia, semoga saja ayahnya bisa cepat pulih seperti sedia kala. Di atas dunia ini harta yang paling berharga yang ia miliki hanyalah ayahnya seorang. “Ayah, Devan nggak akan pernah menyesal karena telah mengambil keputusan ini. Selain karena terpaksa sebab diancam oleh perempuan itu, Devan juga melakukannya demi Ayah. Walaupun Devan akan menjual diri, Devan tidak apa-apa.” Bola mata bening polos itu mulai berkaca-kaca. Namun, satu hal prinsip Devan. Dia seorang anak laki-laki, dia tulang punggung ayahnya maka dari itu tidak boleh satu tetes air mata pun terjatuh walau sesakit apapun hidup ini.

Devan bangkit dari duduknya. Ia mulai berjalan-jalan menyusuri setiap sudut ruangan kamar. “Apa ini ruangan kamar mandi?” Tangannya terulur mendorong pintu dan benar saja ternyata kamar mandi. “Bahkan kamar mandinya semewah ini,” lirih Devan.

Drettt. Drettt. Ponsel pemuda itu berdering. Tangannya merogoh ke dalam saku celana. “Hallo, Aziel.”

“Dev, lu bilang hari ini cuti bekerja.”

“Iya. Kenapa?”

“Sekarang gue sama Daffa ada di depan rumah lu.”

Kelopak mata Devan melebar sempurna.”Kalian di depan rumahku?”

“Gue pikir lu nggak budekkan, Dev. Lu di mana sekarang?”

“A-aku….”

“Di manapun lu sekarang, cepat pulang. Daffa banyak bawa makanan sama minuman nih untuk kita makan bareng. Have fun boys. Hahaha.”

“Tunggu sekitar lima belas menit.” Devan mematikan ponselnya. Dia bergegas keluar dari kamar dan melangkah lebar ingin keluar dari dalam rumah.

“Tuan butuh sesuatu?” Seorang perempuan muda menanyai Devan. Diperkirakan kemungkinan usianya tidak terlalu jauh dari Devan.

“Kamu?”

“Aku pembantu di rumah ini. Apa Tuan Devan butuh sesuatu? Atau ada hal yang bisa aku bantu?”

“Oh!” Devan ber oh ria setelah mengetahui identitas perempuan muda tersebut. Gadis itu lumayan cantik dan cara berbusananya pun terkesan sangat sopan dalam balutan hijab, berbeda halnya dari Laura istri Devan sendiri.

“Emm. Apa di sekitar sini ada taksi yang lewat?”

“Tuan tolong jangan pergi kemana-mana. Tetaplah di rumah sampai Non Laura pulang.”

“Ck,” Devan berdecak. Bukankah perempuan itu telah membuat janji dengan dirinya. Mereka tidak akan pernah ikut campur dalam urusan pribadi masing-masing. Apa ini? Dia bukan seekor anjing peliharaan. Kenapa gerakannya di atur-atur.

Gadis itu tampak menunduk segan. “Maaf, Tuan.”

“Yani,” terdengar suara teriakan dan tidak lama muncul wujud dari suara tersebut. Saat melihat Devan dia langsung menunduk sungkan. “Tuan.” Laki-laki itu berdiri di samping gadis yang yang panggil dengan sebutan Yani.

“Kamu juga pembantu di rumah ini?”

Kepala menunduk sopan. “Ngih, Tuan. Bener.”

“Siapa namamu?”

“Tresno, Tuan.”

Devan mengulurkan tangannya dan itu cukup membuat Yani dan Tresno terkejut. Keduanya tampak saling melemparkan pandangan sebelum akhirnya menyambut uluran tangan Devan. “Kenalkan namaku Devan. Panggil aja Devan atau Dev. Aku pikir usia kita tidak terlalu jauh berbeda.”

Jika di perhatikan, apa yang dikatakan oleh majikan baru mereka ini ada benarnya. Devan terlihat sangat muda walaupun tubuhnya tinggi dan tegap tidak bisa dipungkiri bahwa Ia terlihat masih sangat muda. Tresno dan Yani kembali saling melemparkan pandangan.

“Tresno tolong bantu aku carikan taksi.”

“Tapi, Tuan Axel sudah berpesan agar Tuan Devan tidak pergi kemana-mana.”

“Ck. Axel itu siapa sih,” kesal Devan.

“Dia sekretaris pribadi Non Laura. Dia orang kepercayaan Non Laura.”

Ponsel Devan kembali berdering dan Devan mengangkatnya.

“Oyy, Devan! Anjir!”

Telinga Devan terasa berdenging mendengar teriakkan dari seberang sana. Ia menjauhkan ponsel sembari mengusap-usap daun telinga. “Aziel, bisa ngomong gak pake bentak. Anjir lah! budek telingaku.”

“Lu pikir kita berdua gak capek nungguin lu. Katanya lima belas menit, sekarang sudah lebih, batang hidung lu masih belum nongol.”

“Kita tungguin sepuluh menit lagi. Kalau gak nongol and!” cecar Daffa pula.

Devan kembali menyimpan ponsel di saku celananya. Dia menatap pada Tresno. “Baiklah. Kalau kamu gak bisa nolong, aku bisa pergi cari sendiri.” Devan melangkah.

“Tuan, Devan.” Tresno mengiringi langkah.

“Tolong jangan persulit kami. Kami hanya pembantu di rumah ini.”

Yani pun ikut mengekor.

Mendengar itu Devan menghentikan langkahnya. Dia berbalik ke arah belakang. Menatap wajah Tresno dan Yani secara bergantian. Benar saja, orang-orang seperti mereka miliki nasib yang sama dengan dirinya. Devan menghela nafas panjang sembari mengeluarkan ponsel. Ia memutar langkah kembali menuju ke dalam kamar. Apa-apaan ini! Apakah dia harus menjadi seekor burung bersangkar emas.

Devan menjatuhkan bokongnya di atas sofa panjang di dalam kamar itu. Panggilan telepon yang Ia lakukan telah tersambung. “Aziel. Aku minta maaf. Aku gak bisa menepati janji.”

Aziel dari seberang sana jelas mendengar nada suara Devan loyo tidak bersemangat. “Apa terjadi sesuatu sama lu? Lu dimana? Apa di rumah sakit? ayah lu baik-baik aja kan, Dev?” seruntutan pertanyaan bertalian Aziel tanyakan.

Devan terkekeh mengetahui betapa temannya cemas seperti itu. Dia beruntung memiliki sahabat seperti Aziel dan Daffa. “Aman. Ayahku juga udah ditangani dengan baik. Doakan saja semoga cepat sembuh.”

“Terus lu sekarang dimana?”

Devan terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa. Haruskah dia menceritakan pada kedua temannya jika dia baru saja melangsungkan pernikahan. Dia telah menjadi seorang suami. Ah, sial! Bisa-bisa dia menjadi bahan ejekan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Brondong Nona Presdir    Konferensi pers

    Usai menelpon orang yang dipercayakan untuk mengurus ayahnya di luar negeri, Laura berdiri di depan cermin dengan tatapan datar. Beberapa orang pembantu masuk ke dalam kamar. Mereka datang untuk mendandani Laura dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ya, setelah pulang dari kediaman Wiguna, Laura langsung mencari Devan, dia mulai mengajak suaminya itu berbicara empat mata. Setelah pembicaraan itu mereka berdua sepakat untuk mengadakan konferensi pers hari ini. Axel masuk ke dalam kamar, dia melangkah mendekati Laura. “Nona, kita berangkat sekarang?”“Huum. Dimana Devan?”“Dia ada di ruang tamu.”Laura membalik tubuhnya, lalu melangkah dengan anggun. Axel berusaha mensejajarkan langkah mereka. “Nona, aku sudah berusaha menekan segala informasi tentang Devan, tapi setelah kejadian ini dia pasti akan jadi bahan perhatian. Sulit untuknya tetap seperti biasa.”“Baiklah.”Laura sudah berdiri di depan Devan yang menatapnya dengan pandangan tidak bersemangat. Baru saja tadi malam dia merasaka

  • Suami Brondong Nona Presdir    Skandal panas

    Nada dering ponsel terdengar begitu berisik memenuhi ruangan kamar hotel membuat mimpi indah Laura terganggu. Dia membuka mata sembari meliuk dan meraih ponsel itu. Dia memposisikan tubuhnya terlentang sembari menatap layar ponsel pada genggaman tangannya, tetapi suara gumaman Devan yang tengah meliuk memutar tubuh ke arah dirinya membuat Laura tersentak kaget. Tiba-tiba pipinya merona merah tersipu malu. Dia memperhatikan wajah Devan yang tengah terlelap dalam wajah damai. Tidak sengaja bibirnya tertarik membentuk lengkungan indah saat menikmati wajah tampan itu. Tidak bisa mengendalikan diri, tangan bergerak begitu saja menyentuh bibir yang membuatnya tergila-gila hingga membuat Devan bergerak, Laura bergegas menarik tangannya, lalu mengubah posisi tubuh terlentang seperti semula.“Mbak, kamu sudah bangun?”“Hmmm.”Devan miring ke arah Laura. “Lagi yuk, Mbak.”Sontak Laura melirik pada suaminya dengan tatapan melotot. “Bicara yang sopan!” cercanya dalam debaran jantung tidak mene

  • Suami Brondong Nona Presdir    Mau tapi Gengsi

    “Mas, ayo kita samperin Mbak Laura.”“Kita cari tempat makan lain aja.” Devan memutar tubuhnya dan itu membuat Tiara kebingungan serta serba salah. Untuk beberapa menit dia menatap kakak iparnya bangkit dari duduk dengan pandangan mata tertuju pada Devan yang sudah mendorong pintu sembari keluar, di saat itulah Tiara berlari mengejar saudara laki-lakinya itu. “Mas!” dadanya turun naik karena berusaha mengatur nafas yang ngos-ngosan. Devan mengulurkan helm. “Cepat pakai.”Tiara hanya bisa pasrah dan meraih helm tersebut. Dia tidak mengerti mengapa Devan begitu tampak marah ketika melihat kakak iparnya dengan laki-laki lain, menurut pemikiran Tiara bukankah seharusnya hal seperti ini tidak perlu terlalu di perhitungkan karena bisa jadi laki-laki itu adalah klien atau semacamnya jika mengingat status sosial kakak iparnya tidak sederhana seperti mereka berdua. Namun, begitu Tiara tetap duduk di belakang Devan dalam diam dan mereka mulai melaju.Sementara itu, Bisma yang melihat reaksi tid

  • Suami Brondong Nona Presdir    Sakit tapi Tidak Bersuara

    Tiara berlarian menghambur memeluk Devan, sedangkan Daffa tetap duduk di atas motor sport sembari memandangi gadis pujaannya tengah melepaskan rindu dengan sahabat baiknya. Arya yang duduk di sebelah menantunya itu sampai mengernyitkan dahi, bingung kenapa ada gadis lain memeluk suami putrinya.Devan berusaha melerai pelukan adiknya itu. “Tiara, jangan kenceng-kenceng dong meluknya, ini Mas sampai nggak bisa nafas.”Tiara bergegas melepaskan pelukan dari tubuh masnya itu sembari cengengesan. “Hehehe,” lalu ekspresi itu cepat berubah berganti marah-marah. “Mas kenapa nggak ada kasih kabar! Mas tahu nggak kalau Tiara khawatir banget! Gak mikir gimana takutnya Tiara kalau sampai terjadi apa-apa sama Mas seperti waktu itu.”Melihat kecemasan yang dipunyai adiknya membuat Devan merasa bersalah, bukan maksud hatinya untuk membuat sang adik merasa khawatir teramat sangat seperti ini, semua karena pekerjaannya yang tidak berkesudahan sedangkan ponselnya jatuh di dalam timba sabun saat memberi

  • Suami Brondong Nona Presdir    Perasaan Gue Tulus untuk Tiara

    Jam istirahat, Tiara melangkah menuju kelas XII IPS, dia ingin mencari keberadaan Devan yang sedari pagi tidak tampak batang hidungnya sama sekali. Bukan hanya pagi ini, bahkan dari kemarin mas nya itu tidak ada kabar ataupun pulang ke rumah orang tua mereka sekedar untuk bertanya kabar tentang dirinya. Namun, sentuhan tangan seseorang membuat Tiara memutar kepala, ketika dia tahu orang yang menyentuh bahunya tersebut adalah laki-laki yang paling tidak ingin ia lihat membuat wajahnya cemberut.“Mau cari Devan,” tanya Daffa sembari memamerkan senyumnya, tetapi Tiara malah merespon dengan wajah jutek. “Jangan ganggu aku!”Daffa melangkah dan berdiri di hadapan adik perempuan sahabatnya itu. “Galak amat sih adik manis.” Tangan Daffa terulur ingin menyentuh dagu Tiara tetapi gadis itu bergegas menepisnya kasar. “Lama kelamaan kamu gak sopan ya.” Mata Tiara melotot dengan aura tidak senang. Bukannya tersinggung, Daffa malah tertawa seperti orang yang sedang menikmati permainan menyenangkan

  • Suami Brondong Nona Presdir    Uring-uringan tidak menentu

    “Susah banget sih ngomong sama bocah abg! dikit-dikit marah, dikit-dikit tersinggung. Lama kelamaan dia udah kayak cewek gak sih!” Laura amat sangat kesal dengan sikap datar Devan padanya. Bahkan suami brondongnya itu berani mengacuhkan dirinya begitu saja hanya karena bocah itu menganggap ucapannya di kantor tadi menyakiti. Sebagai seorang yang tidak pernah berpikir keras bagaimana cara mengerti perasaan seorang laki-laki, kini Laura melakukan hal itu. Dia pusing memikirkan apa yang menyebabkan suami brondongnya tersinggung sedangkan ucapan yang dia katakan semua merupakan fakta, lalu di bagian mana yang telah membuat tersinggung?“Gini amat nikah sama bocah!” Laura berbaring sembari menarik selimut dan menutupi sebagian tubuhnya. Perlahan ingin menutup mata, tetapi urung setelah melihat sosok Devan keluar dari kamar mandi. Dada Laura kembang kempis menahan sesak ketika melihat dada telanjang suaminya itu. Matanya bergerak sendiri menikmati keindahan yang tengah tersungguh. Air dari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status