Share

Jadi burung bersangkar emas

Keluar dari mobil, Devan menyapu pandangannya ke seluruh sudut halaman rumah yang berdiri mewah di depannya. Sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan. Kemudian Devan mendongakkan kepala memperhatikan rumah kediaman istri yang baru saja Ia nikahi beberapa jam yang lalu. Hebat. Sungguh hebat. Devan tidak mengira perempuan itu sekaya ini.

“Tuan, Devan,” tegur orang suruhan Laura yang membawa Devan ke rumah ini.

“Oh.” Devan tersadarkan.

“Ayo silakan masuk. Saya akan mengantar Tuan Devan sampai ke dalam kamar.”

Devan menganggukkan kepala sembari mengikuti langkah laki-laki itu. Saat memasuki rumah, rasa takjub Devan semakin menjadi-jadi. Seketika jiwa miskinnya sangat meronta-ronta. Jangankan memiliki rumah semewah ini, untuk makan tiga kali sehari saja dia harus bekerja keras. Sampai akhirnya langkah kaki Devan berhenti di depan sebuah kamar.

Laki-laki berpakaian hitam itu memutar handle pintu. “Silakan istirahat. Ini kamar Nona Laura. Tuan Devan akan tinggal di sini.”

Devan mengangguk sembari mengayunkan langkah masuk ke dalam kamar. Mulutnya ternganga. “Apakah ini kamar?” gumamnya tak henti merasa takjub. “Ini kamar atau ruangan tengah? Ruangan kamar ini saja hampir keseluruhan ruangan rumahku. Gila!”

Devan memutar tubuhnya ke arah belakang mencari sosok laki-laki yang berpakaian hitam tadi karena di dalam kepalanya terdapat banyak tanya yang ingin ditanyakannya, tetapi sayang laki-laki tersebut sudah menghilang. Tinggallah Devan seorang diri plonga-plongo. Dia melebarkan langkah, lalu menjatuhkan bokongnya di atas ranjang. Rasanya empuk. Devan mulai mengunjit-unjit ranjang Laura. “Enak banget hidup jadi orang kaya. Fasilitas elit.”

Setelah berucap demikian, tiba-tiba saja Devan teringat dengan ayahnya. Dia berharap pengorbanannya tidak akan sia-sia, semoga saja ayahnya bisa cepat pulih seperti sedia kala. Di atas dunia ini harta yang paling berharga yang ia miliki hanyalah ayahnya seorang. “Ayah, Devan nggak akan pernah menyesal karena telah mengambil keputusan ini. Selain karena terpaksa sebab diancam oleh perempuan itu, Devan juga melakukannya demi Ayah. Walaupun Devan akan menjual diri, Devan tidak apa-apa.” Bola mata bening polos itu mulai berkaca-kaca. Namun, satu hal prinsip Devan. Dia seorang anak laki-laki, dia tulang punggung ayahnya maka dari itu tidak boleh satu tetes air mata pun terjatuh walau sesakit apapun hidup ini.

Devan bangkit dari duduknya. Ia mulai berjalan-jalan menyusuri setiap sudut ruangan kamar. “Apa ini ruangan kamar mandi?” Tangannya terulur mendorong pintu dan benar saja ternyata kamar mandi. “Bahkan kamar mandinya semewah ini,” lirih Devan.

Drettt. Drettt. Ponsel pemuda itu berdering. Tangannya merogoh ke dalam saku celana. “Hallo, Aziel.”

“Dev, lu bilang hari ini cuti bekerja.”

“Iya. Kenapa?”

“Sekarang gue sama Daffa ada di depan rumah lu.”

Kelopak mata Devan melebar sempurna.”Kalian di depan rumahku?”

“Gue pikir lu nggak budekkan, Dev. Lu di mana sekarang?”

“A-aku….”

“Di manapun lu sekarang, cepat pulang. Daffa banyak bawa makanan sama minuman nih untuk kita makan bareng. Have fun boys. Hahaha.”

“Tunggu sekitar lima belas menit.” Devan mematikan ponselnya. Dia bergegas keluar dari kamar dan melangkah lebar ingin keluar dari dalam rumah.

“Tuan butuh sesuatu?” Seorang perempuan muda menanyai Devan. Diperkirakan kemungkinan usianya tidak terlalu jauh dari Devan.

“Kamu?”

“Aku pembantu di rumah ini. Apa Tuan Devan butuh sesuatu? Atau ada hal yang bisa aku bantu?”

“Oh!” Devan ber oh ria setelah mengetahui identitas perempuan muda tersebut. Gadis itu lumayan cantik dan cara berbusananya pun terkesan sangat sopan dalam balutan hijab, berbeda halnya dari Laura istri Devan sendiri.

“Emm. Apa di sekitar sini ada taksi yang lewat?”

“Tuan tolong jangan pergi kemana-mana. Tetaplah di rumah sampai Non Laura pulang.”

“Ck,” Devan berdecak. Bukankah perempuan itu telah membuat janji dengan dirinya. Mereka tidak akan pernah ikut campur dalam urusan pribadi masing-masing. Apa ini? Dia bukan seekor anjing peliharaan. Kenapa gerakannya di atur-atur.

Gadis itu tampak menunduk segan. “Maaf, Tuan.”

“Yani,” terdengar suara teriakan dan tidak lama muncul wujud dari suara tersebut. Saat melihat Devan dia langsung menunduk sungkan. “Tuan.” Laki-laki itu berdiri di samping gadis yang yang panggil dengan sebutan Yani.

“Kamu juga pembantu di rumah ini?”

Kepala menunduk sopan. “Ngih, Tuan. Bener.”

“Siapa namamu?”

“Tresno, Tuan.”

Devan mengulurkan tangannya dan itu cukup membuat Yani dan Tresno terkejut. Keduanya tampak saling melemparkan pandangan sebelum akhirnya menyambut uluran tangan Devan. “Kenalkan namaku Devan. Panggil aja Devan atau Dev. Aku pikir usia kita tidak terlalu jauh berbeda.”

Jika di perhatikan, apa yang dikatakan oleh majikan baru mereka ini ada benarnya. Devan terlihat sangat muda walaupun tubuhnya tinggi dan tegap tidak bisa dipungkiri bahwa Ia terlihat masih sangat muda. Tresno dan Yani kembali saling melemparkan pandangan.

“Tresno tolong bantu aku carikan taksi.”

“Tapi, Tuan Axel sudah berpesan agar Tuan Devan tidak pergi kemana-mana.”

“Ck. Axel itu siapa sih,” kesal Devan.

“Dia sekretaris pribadi Non Laura. Dia orang kepercayaan Non Laura.”

Ponsel Devan kembali berdering dan Devan mengangkatnya.

“Oyy, Devan! Anjir!”

Telinga Devan terasa berdenging mendengar teriakkan dari seberang sana. Ia menjauhkan ponsel sembari mengusap-usap daun telinga. “Aziel, bisa ngomong gak pake bentak. Anjir lah! budek telingaku.”

“Lu pikir kita berdua gak capek nungguin lu. Katanya lima belas menit, sekarang sudah lebih, batang hidung lu masih belum nongol.”

“Kita tungguin sepuluh menit lagi. Kalau gak nongol and!” cecar Daffa pula.

Devan kembali menyimpan ponsel di saku celananya. Dia menatap pada Tresno. “Baiklah. Kalau kamu gak bisa nolong, aku bisa pergi cari sendiri.” Devan melangkah.

“Tuan, Devan.” Tresno mengiringi langkah.

“Tolong jangan persulit kami. Kami hanya pembantu di rumah ini.”

Yani pun ikut mengekor.

Mendengar itu Devan menghentikan langkahnya. Dia berbalik ke arah belakang. Menatap wajah Tresno dan Yani secara bergantian. Benar saja, orang-orang seperti mereka miliki nasib yang sama dengan dirinya. Devan menghela nafas panjang sembari mengeluarkan ponsel. Ia memutar langkah kembali menuju ke dalam kamar. Apa-apaan ini! Apakah dia harus menjadi seekor burung bersangkar emas.

Devan menjatuhkan bokongnya di atas sofa panjang di dalam kamar itu. Panggilan telepon yang Ia lakukan telah tersambung. “Aziel. Aku minta maaf. Aku gak bisa menepati janji.”

Aziel dari seberang sana jelas mendengar nada suara Devan loyo tidak bersemangat. “Apa terjadi sesuatu sama lu? Lu dimana? Apa di rumah sakit? ayah lu baik-baik aja kan, Dev?” seruntutan pertanyaan bertalian Aziel tanyakan.

Devan terkekeh mengetahui betapa temannya cemas seperti itu. Dia beruntung memiliki sahabat seperti Aziel dan Daffa. “Aman. Ayahku juga udah ditangani dengan baik. Doakan saja semoga cepat sembuh.”

“Terus lu sekarang dimana?”

Devan terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa. Haruskah dia menceritakan pada kedua temannya jika dia baru saja melangsungkan pernikahan. Dia telah menjadi seorang suami. Ah, sial! Bisa-bisa dia menjadi bahan ejekan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status